Anda di halaman 1dari 20

SIKAP MASYARAKAT DAN PERAN BAWASLU DALAM MENYIKAPI

PRAKTIK POLITIK UANG KETIKA PEMILU

TUGAS MAKALAH
SOSIOLOGI HUKUM

Nama

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM
UNIVERSITAS INDONESIA

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemilu (pemilihan umum) adalah instrument paling krusial bagi negara yang
menjunjung tinggi demokrasi. Melalui sistem pemilu, rakyat diberikan kedaulatan
secara penuh untuk memilih para calon wakil rakyat di kursi pemerintahannya.
Indonesia sendiri telah melaksanakan pemilu sejak tahun 1955 untuk memilih
para wakil rakyat di kursi legislatif dan eksekutif seperti yang telah di atur dalam
UUD 1945 pasal 1 Ayat 2, pasal 6A (1), pasal 19 Ayat 1 dan pasal 22 (1). Selain
itu, berdasarkan amandemen konstitusi tahun 2001 terdapat prinsip yang harus
dijalankan ketika melaksanakan pemilu di Indonesia yakni prinsip LUBER
JURDIL - Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil1.
Dalam pelaksanaannya, pemilu di Indonesia menghadapi berbagai tantangan,
salah satunya adalah masalah politik uang. Sebenarnya permasalah ini bukan
sesuatu yang baru di Indonesia. Burhanudin Muhtadi, seorang pengamat politik
menjelaskan bahwa kegiatan politik uang sudah mengakar di Indonesia. Bahkan
praktiknya sudah ada sejak pemilu tahun 1955 yang dilakukan oleh Partai
Nasional Indonesia (PNI) sebagai salah satu partai tertua di Indonesia. Dimana
Soekarno sebagai pimpinan partai kala itu membagikan sejumlah uang kepada
para tokoh di tingkat lokal agar dapat memenangkan pemilu. Hingga sekarang,
praktik ini terus berlanjut di tengah masyarakat, bahkan ironisnya hal ini sudah
dianggap lumrah dan tidak tabu oleh masyarakat Indonesia. Adapun beberapa
strategi yang biasanya dilakukan para politikus dalam melakukan politik uang
yaitu melalui ‘serangan fajar’ – istilah yang digunakan untuk menjelaskan
pemberian uang, sembako ataupun benda materiil lainnya oleh peserta pemilu
kepada para warga yang ditargetkan untuk menjadi calon pemilihnya. Serangan
fajar umumnya dilakukan ketika menjelang pelaksanaan pemilu, baik sejak masa
tenang hingga pemungutan suara. Strategi lain yang dilakukan adalah dengan

1
Republik Indonesia, Pasal 22E Ayat 1 UUD 1945
mobilisasi massa, yakni dengan memberikan uang terhadap sekelompok
masyarakat agar menghadiri kampanye yang diadakannya2.
Suburnya praktik politik uang di Indonesia ini menyulitkan proses demokrasi
yang sehat dan sekaligus menghambat terbentuknya pemerintahan yang bersih.
Karena tanpa kita sadari, budaya politik uang ketika pemilu menjadi bibit bagi
mental korupsi di Indonesia. Selain itu, hadirnya politik uang juga membuat
esensi demokrasi menjadi luntur karena hubungan antara pemilih dan peserta
pemilu menjadi hanya sebatas formalitas dan transaksional saja, artinya hubungan
keduanya hanya bersandar pada jumlah uang yang ditransaksikan. Selain itu
praktik ini juga secara langsung mencederai prinsip LUBER JURDIL dalam
pemilu dan jika dibiarkan budaya semacam ini akan membuat kompetisi elektoral
menjadi tidak sehat.
Menyikapi fenomena tersebut Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melarang praktik politik uang ini, yang
dijelaskan pada pasal 523 ayat 1,2, dan 3, berbunyi3:
Ayat 1: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan
sengaja menjanjikan atau memberikan uang ataupun materi lainnya kepada
peserta kampanye secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j akan dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).
Ayat 2: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan
sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau
materi lainnya kepada pemilih secara langsung maupun tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) akan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00
(empat puluh delapan juta rupiah).

2
Nail, Muhammad Hoiru, “Kualifikasi Politik Uang dan Strategi Hukum dan Kultural atas
Pencegahan Politik Uang dalam Pemilihan Umum”, Jurnal Yuridis, Vol. 5, Nomor 2, Desember
2018, hlm 246-251.
3
Republik Indonesia, Pasal 523 UU No. 7 Tahun 2017
Ayat 3: Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk
tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Meskipun telah dilarang oleh hukum dan bahkan dikategorikan sebagai
tindakan pidana, namun praktik ini masih marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan
survei nasional yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia pada Desember
2018, terjadi peningkatan jumlah pemilih yang mengaku ditawari uang selama
proses kampanye dan pemilu berlangsung. Pada pemilu 2014, terdapat 21,2%
pemilih yang ditawari politik uang, lalu angka ini meningkat menjadi 29,5% di
Februari 2019. Lebih lanjut survei ini menjelaskan pada Pemilu 2019 19% hingga
33,1% dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang mencapai sekitar 192 juta terpapar
praktik politik uang4, selain itu survei yang dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) menyebutkan bahwa 37% dari masyarakat mengaku
menerima uang ketika pemilu dan mempertimbangkan untuk memilih mereka.
Ironisnya dari banyaknya jumlah orang yang terpapar praktik uang belum ada
satupun politikus yang tertangkap dan dihukum atas tindakan tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa makin hari praktik uang makin dianggap sebagai suatu
“kebiasaan” oleh masyarakat umum.
Dalam konteks politik, perilaku politik uang seringkali mengatasnamakan
bantuan dan lain-lain. Hal ini yang membuat polarisasi pemahaman di masyarakat
ketika berhadapan dengan poltik uang. Perubahan istilah politik uang menjadi
bahasan moral secara langsung berimplikasi terhadap perlindungannya secara
sosial melalui norma budaya karena masyrakat melazimlkan tindakan ini untuk
terjadi di masyarakat. Ketika masyrakat telah mengaggap ini sebagai tindakan
yang lumrah, maka akan sulit untuk menjangkaunya secara kekuatan legal formal
hukum.

4
Muhtadi, Burhanuddin, “Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru”, Jurnal
Antikorupsi Integritas, Vol. 5, Nomor.1, 2019, hlm. 55.
Sehingga dalam mewujudkan demokrasi yang berlandaskan LUBER
JURDIL tanpa politik uang, diperlukan suatu lembaga hukum yang memiliki
integritas, mandiri, dan jauh dari pengaruh pemerintah 5. Maka dari itu dibentuklah
Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) yang bertugas untuk mengawal jalannya
pemilu dan berwenang unuk melaksanakan tindakan preventif terhadap
pelanggaran Pemilu dan sengketa ketika proses Pemilu6. Selain itu lembaga ini
juga yang bertanggungjawab memberikan pengetahuan kepada masyrakat luas
terkait praktik uamg sebagai bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu.
Kehadiran Bawaslu sebagai upaya preventif dalam praktik jual beli suara
ketika masa pemilu sekaligus menjadi alat bagi hukum dalam melakukan tugasnya
sebagai kontrol sosial di masyarakat - artinya hukum ada untuk dapat menetapkan
tingkah laku manusia agar tidak menyimpang 7, dalam hal menyimpang yang
dimaksud adalah praktik politik uang yang melanggar aturan hukum. Sehingga
berdasarkan permasalahan di atas, penulis ingin membahas “Sikap Masyarakat
Dan Peran Bawaslu Dalam Menyikapi Praktik Politik Uang Ketika Pemilu”.

B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana sikap masyrakat dalam menyikapi praktik politik uang
ketika pemilu?
2. Bagaimana peran bawaslu dalam menyikapi praktik politik uang ketika
pemilu?

5
Republik Indonesia, Pasal 22E Ayat 5 UUD 1945
6
Republik Indonesia, Pasal 93 b Undang-undang No. 7 Tahun 2017
7
Suadi, Amran, Sosiologi Hukum Penegakan, Realitas Dan Nilai Moralitas Hukum, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2017), hlm. 185.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sikap Masyarakat dalam menyikapi politik uang


Praktik politik uang menjadi tantangan utama yang sulit dihilangkan dalam
proses pemilu di Indonesia. Bahkan praktik ini hadir di hampir seluruh tingkatan
pemilihan umum. Ironisnya kegiatan ini telah berlangsung bahkan sejak pemilu
pertama di Indonesia. Hal ini yang membuat semakin suburnya praktek politik
uang di setiap daerah8.
Maraknya praktik ini berlangsung di Indonesia membuat politik uang menjadi
lumrah untuk dikerjakan, namun fakta yang lebih menyedihkan datang dari
budaya politik masyrakat Indonesia itu sendiri yang didominasi oleh masyarakat
parokial. Tingkat partisipasi politik masyarakat yang sangat rendah karena
kurangnya pemahaman tentang hukum dan politik dikarenakan faktor pendidikan
yang relatif rendah, menciptakan masyarakat dengan budaya politik parokial.
Budaya politik semcama ini hanya akan menciptakan masyrakat mengambang
yang dapat dengan mudah dimanfaatkan, khusunya dalam praktik politik uang
ketika pemilu. Berdasarkan data hasil survei yang dilakukan oleh Suprianto dkk
pada tahun 20169, ditemukan fakta bahwa beberapa masyarakat yang tinggal di
daerah pelosok setuju dengan praktik politik uang dalam pemilu karena di satu sisi
sebagian besar masyarakat memaklumi pemberian seperti itu dari peserta pemilu
walaupun mereka tidak meminta hal tersebut. Di sisi lain, masyarakat yang telah
mengerti dan memahami makna dan arti dari politik uang dengan baik
menyatakan tidak setuju terhadap hal ini. Mereka menyadari bahwa begitu mereka
terpilih, tidak akan ada uang yang tersisa untuk dikembalikan kepada rakyat dan
kedulatan mereka sebagai pemilih telah dirampas, sehingga mereka menolak
praktik-praktik semacam itu.
a. Analisis Teori Soerjono Soekanto dalam memahami sikap masyarakat
terhadap politik uang ketika pemilu
8
La, O. Suprianto, Muh. Arsyad, dan Megawati A. Tawulo, “Persepsi Masyarakat Terhadap
Politik Uang Pada Pilkada Serentak”, Vol. 2, No.1, 2017, Hlm 3.
9
Ibid
Menurut Soerjono Soekanto, dalam mematuhi suatu peraturan masyarakat
digerakkan oleh dua sikap yakni sikap fundamental dan sikap instrumental.
Perbedaan keduanya terletak pada motivasi seseorang ketika menjalankan suatu
peraturan, sikap fundamental hadir tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi
sehingga sikap ini murni karena rasa tanggungajwab mereka terhadap hukum
sedangkan sikap instrumental didasarkan pada rasa takut individu terhadap sanksi
hukum, adanya petugas pengawas, ataupun karena mayoritas orang lain mematuhi
peraturan tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
secara komprehensif sikap individu mempengaruhi kepatuhanya terhadap hukum;
oleh karena sikap merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan
sesuatu terhadap manusia, benda ataupun keadaan.10
Setidaknya ada 3 alasan Masyarakat dalam menolak praktik politik uang dalam
pemilu yang dikategorikan menurut teori Soerjono Soekanto yaitu:11
1. Kepatuhan purna konvensional – yang memiliki alasan karena dilarang
negara dan haram hukumnya dalam agama. Kepatuhan jenis ini cenderung
melihat ke arah kepatuhan terhadap aturan-aturan normatif yang ada tanpa
melihat aspek sanksinya, yang artinya mereka menaati peraturan tersebut
bukan didasari rasa takut melainkan hanya didasari rasa taat kepada aturan-
aturan normatif yang ada bahkan mungkin tanpa ingin tahu kenapa
peraturan itu ada, mungkin saja mereka berfikir bahwa hukum dan moral
berjalan searah oleh karena itu aturan tersebut baik itu aturan negara dan
agama harus wajib dipatuhi.
2. Kepatuhan tahap pra-konvensional – yang memiliki alasan karena ada
peraturan yang melarang dan hal tersebut memiliki sanksi. Kepatuhan jenis
kedua ini cenderung melihat pada konsekuensi yang ada dari peraturan-
peraturan itu sendiri dimana apabila mereka melakukan suatu praktik
politik uang kemudian hal itu membuat diri mereka dikenakan sanksi maka
mereka akan menolak perbuatan tersebut. Hanya saja prinsip semacam ini

10
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum & Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta,
hlm. 244-245
11
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta,
Rajawali Press, 1985, hlm. 225
lebih rentan untuk disusupi kepentingan-kepentingan politis sebab apabila
ada seseorang (dari pihak partai misalnya) bisa menjamin bahwa orang
yang diberinya uang akan dilindungi dan tidak akan terkena sanksi hukum
maka bisa saja orang tersebut berubah pikiran, sebab prinsipnya didasarkan
pada sanksi bukan kepada aturan ataupun moralitas.
3. Kepatuhan tahap konvensional – yang memiliki alasan karena merugikan
pihak lain dan sadar hal tersebut merupakan perbuatan yang curang.
Kepatuhan jenis ini lebih menekankan kepada aspek untung dan rugi,
artinya apabila ada seseorang yang dirugikan akibat perbuatannya dalam
melakukan praktik politik uang namun kemudian dia diuntungkan oleh hal
tersebut, orang tersebut akan merasa perbuatan ini adalah perbuatan yang
tidak sepatutnya dilakukan karena merupakan perbuatan curang dan tidak
berada pada prinsip-prinsip moralitas yang ada dalam masyarakat. Jika
dibandingkan dengan poin pertama, kepatuhan tahap konvensial bisa dinilai
lebih baik karena lebih melihat apa yang berada dibalik aturan tersebut,
bukan apa yang ada di atas kertas, jadi apabila larangan politik uang tidak
diatur sekalipun, orang tersebut kemungkinan besar akan tetap menolak
politik uang tersebut sebab prinsipnya terletak pada hal tersebut merugikan
orang lain bukan hanya karena aturan tersebut ada dan memiliki sanksi.
Dari ketiga alasan ini kita dapat melihat bahwa terdapaat beberapa perbedaan
cara masyarakat dalam menyikapi praktik politik uang dari aturan-aturan yang
ada.

b. Analisis Teori kesadaran hukum dalam memahami sikap masyarakat


terhadap politik uang ketika pemilu
Menurut Paul Scholten kesadaran hukum adalah suatu kesadaran atau
anggapan yang ada pada diri setiap manusia untuk dapat memisahkan antara
hukum dan kebatilan (tidak hukum) yang tidak ubahnya dengan benar dan tidak
benar baik dan buruk.12 Sehingga jika merujuk pada teori ini dalam menyikapi
politik uang masyarakat akan dihadapakan pada keyakinan-keyakinan subjektiftas
12
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
2008, hlm. 120-121
mereka dalam bentuk peranggapan tadi, dengan kata lain ia dapat melihat diluar
hukum atau aturan normatif, apakah perbuatan politik uang tersebut merupakan
perbuatan yang baik atau buruk sebelum di akuisisi oleh hukum, dengan hal
tersebut pula masyarakat dapat melihat hukum tersebut apakah sudah sesuai
dengan sikap fundamental mereka atau mereka hanya bersikap instrumental akibat
takut pada sanksi-sanksi hukum.
Sedangkan menurut Soedikno Mertokusumo yang dinamakan dengan
kesadaran hukum merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang
apa hukum itu. Pandangan itu bukanlah pertimbangan rasional, bukanlah
merupakan produk pertimbangan menurut akal, tetapi berkembang dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu agama, ekonomi, politik dan sebagainya.
Pandangan ini selalu berubah, oleh karena hukumpun selalu berubah juga.
Konsekuensinya ialah bahwa tidak ada ukuran tentang isi hukum yang berlaku
obyektif, yaitu yang dapat diterima oleh setiap orang secara ilmiah.13
Oleh karena hal tersebut dalam menentukan baik buruknya sesuatu
berdasarkan peranggapan diluar aturan-aturan normatif tersebut, masyarakat
seringkali dipengaruhi oleh apa yang mereka butuhkan, tidak jarang juga hal ini
justru memaksa mereka untuk bersikap instrumental semata, dan ketika hal
tersebut terjadi mungkin saja ketakutan mereka akan sanksi-sanksi justru
dikalahkan oleh kebutuhan mereka sebagai manusia yang justru menjerumuskan
mereka dan memaksa mereka untuk menerima transaksi politik uang tersebut,
dalam hal ekonomi misalnya ketika mereka lebih takut untuk tidak makan hari itu
ketimbang dihukum esok hari oleh sanksi-sanksi hukum yang sifatnya belum
terjadi pada hari itu.
Hal ini menyebabkan dilema sebab disisi lain mereka dapat saja bersikap
fundamental dengan tidak mementingkan diri mereka sendiri dengan kesadaran
mereka akan tetapi keadaan memaksa mereka untuk berada pada titik naif dan
terpaksa bersikap instrumental dikarenakan kebutuhan mendesak akan diri sendiri
yang jika tidak dipenuhi hari itu juga, akan menimbulkan kecemasan tersendiri
untuk melanjutkan kebutuhan hidup mereka oleh karena hal itu mereka

13
Ibid.
mengesampingkan pertimbangan rasionalitas mereka terhadap moralitas umum
dari masyarakat yang menganggap politik itu sebuah kecurangan dan kejahatan.

c. Analisi Teori Tindakan Sosial Max Weber dalam memahami sikap


masyarakat terhadap politik uang ketika pemilu
Untuk memahami tindakan seseorang ketika menerima politik uang menurut
Weber perlu mempertimbangkan beberapa faktor latar belakang yang membentuk
karakter mereka dan memahami tindakan pelaku di masa kini. Sehingga tidak bisa
mengeneralisir alasan masyarakat ketika memilih menerima politik uang, karena
setiap orang memiliki presepsinya tersendiri dalam memahami politik uang 14.
Lebih lanjut melalui pendekatan verstehen, Weber menjelaskan bahwa tindakan
seseorang bukan hanya berdasarkan pada keinginan individu namun juga
mempertimbangkan tempat ia tinggal dan perilaku masyarakat yang tinggal di
sekitarnya.
Terdapat empat jenis tindakan sosial yang dikemukakan oleh Weber, yakni :
1. Tindakan rasional instrumental, yakni sebuah tindakan yang ditentukan
berdasarkan harapan seseorang di dalam lingkungan dan harapan tersebut
menjadi alat bagi tercapainya tujuan aktor yang telah diperhitungkan secara
rasional. Dalam kenyataannya, praktik uang menjadi suatu alat (yang
bentuknya sesuai dengan harapan masyarakat) bagi para caleg untuk meraih
kemenangan di pemilu.
2. Tindakan rasional nilai, yakni tindakan yang ditentukan oleh kepercayaan
akan adanya nilai tersendiri di masyarakat. Tindakan ini dapat berupa
perilaku yang etis, estetis ataupun religius. Pada tindakan ini masyarakat akan
melihat nilai yang dibawa oleh para calon ketika pemilu berlangsung. Bagi
sebagian masyarakat politik yang dipercaya memiliki nilai yang positif
sebagai bentuk perhatian caleg kepada masyarakat. Sedangkan bagi sebagian
lainnya yang menolak tindakan ini menganggap bahwa politik uang hal yang
dilarang oleh agama sehingga mereka menerpakan kepatuhan purna
konvensional.
14
Jones Pip, Liza Bradbury, Shaul Le Boutilier, Pengantar Teori-teori Sosial (Terjemahan),
Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016, 172.
3. Tindakan efektif dan emosional, yakni tindakan yang berada dan didorong
langsung oleh perasaan individu. Sikap ini memberikan pengaruh pada cara
seseorang bersikap dan mengambil keputusan.
4. Tindakan tradisional, yakni tindakan yang berdasar pada kebiasaan yang
muncul dan dinilai lazim di masyarakat. Politik uang yang sudah menjamur di
Indonesia bahkan menjadi kebiassan sejak lama ketika pemilu berlangsung
membuat anomaly jika terdapat caleg yang tidak melakukan pemilu akan
dinilai sebagai caleg yang “pelit oleh masyarakat.
Dari keempat tindakan ini dapat dilihat bahwa tindakan seorang pemilih ketika
pemilu banyaknya dipenagruhi oleh nilai atau kebiasaan yang sudah dijalankan
oleh masyarakat di sekitarnya. Jika praktik ini terus dilanjutkan dengan alasan
tradisi maka kekuatan hukum akan terkalahkan oleh moralitas yang tertanam di
masyarakat. Sehingga untuk dapat merubah persepsi dan keputusan masyarakat
diperlukan transformasi dalam memahami politik uang di masyarakat itu sendiri.
Salah satu caranya adalah dengan melibatkan masyarakat dalam mewujudkan
pemilu yang bersih dari pelanggaran utamanya praktek politik uang. Agar menjadi
pembelajaran hukum bagi mereka dan sekaligus memperkuat pemahaman
masyarakat tentang pelaksanaan pemilu yang baik dan benar sesuai undang-
undang.

B. Peran Bawaslu dalam mencegah praktik politik uang ketika Pemilu


a. Profil Bawaslu
Sebagai lembaga pengawas penyelenggara Pemilu, Bawaslu adalah lembaga
yang mandiri, bebas dan tidak berafiliasi dengan intervensi pihak manapun.
Adapun penjelasan mengenai kedudukan, Tugas, Wewenang, dan Kewajiban
Bawaslu adalah sebagai berikut15:
1) Kedudukan
Pada pasal 71 dijelaskan bahwa Bawaslu merupakan sebuah
lembaga Penyelenggara Pemilu yang memiliki sifat rigid dan bertempat di

15
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017
tiap ibu kota negara, provinsi, kota/kabupaten di Indonesia 16. Namun untuk
panitia pengawas pemilu (Panwaslu) sendiri berada di tiap kecamatan dan
kelurahan bahkan juga di luar negeri. Untuk anggota bawaslu sendiri
dipilih oleh para anggota bawaslu itu sendiri.
2) Tugas
Tugas dari Bawaslu diatur dalam pasal 93 UU No. 7 Tahun 2017 huruf a-
m, dijelaskan tugas Bawaslu mulai dari menyusun tata pelaksanaan pengawasan
Pemilu, melakukan pencegahan dterjadinya pelanggaran selama proses Pemilu,
mengawasi mulai dari tahap persiapan pemilu hingga pelaksanaan pemilu,
melaporkan jika terdapat tindak pidana pemilu, dan mengevaluasi pengawasan
pemilu17.
Pada tahap persiapan tugas Bawaslu meliputi: menentukan jadwal Pemilu;
merencanakan pengadaan kebutuhan oleh KPU; sosialisasi kepada masyarakat;
dan melaksanakan tugas pengawasan lain sesuai yang telah diatur undang-undang.
Sedangkan pada tahap pelaksanaan Pemilu, Bawaslu bertugas untuk: menetapkan
peserta Pemilu; mengurusi para caleg mulai sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan; mengatur pelaksanaan kampanye, pengadaan logistik
Pemilu dan pendistribusiannya; mengawasi jalannya pemungutan suara dan
melakukan penghitungan suara hasil Pemilu dari tiap TPS; menginformasikan
hasil suara sementara dari tiap KPU dan merekapitulasi hasil perhitungan suara;
melaksanakan pengulangan dalam perhitungan suara ulang pada Pemilu susulan;
dan menetapkan hasil Pemilu.
Bawaslu juga bertugas untuk mengawasi para aparatur sipil untuk tidak
memberikan suaranya dan melaporkan dugaan terkait pelanggaran kode etik
ketika Pemilu kepada DKP lalu menyampaikan dugaan tindak pidana Pemilu
kepada Gakkumdu.

3) Wewenang

16
Republik Indonesia, Pasal 71 UU Nomor 7 Tahun 2017
17
Republik Indonesia, Pasal 93 UU Nomor 7 Tahun 2017
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya ini, Bawaslu juga diberikan
kewenangan oleh undang-undang. Diantaranya18:
i. Menerima setiap laporan yang berisi tentang dugaan pelanggaran
dalam pelaksanaan Pemilu;
ii. Menerima laporan terkait dugaan pelanggaran administrasi Pemilu
dan mengkaji laporan/temuan, serta merekomendasikannya kepada
yang berwenang;

iii. Memverifikasi, meninjau, dan memutuskan pelanggaran pemilu


yang berhubungan dengan politik uang;

iv. Memperoleh, memonitor, melakukan mediasi, dan menetapkan


resolusi pada sengketa Pemilu;
v. Memilih dan menurunkan anggota Bawaslu Provinsi,
kota/kabupaten; dan
vi. Menjalankan wewenang lainnya sesuai dengan undang-undang.

4) Kewajiban
Bawaslu memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi yakni: berlaku
adil dalam menjalankan tugas serta wewenangnya; melakukan penegakan dan
pengawasan tugas Pengawas Pemilu di tiap tingkatan; mengkoordinasikan setiap
laporan hasil pengawasan kepada Presiden dan DPR sesuai dengan tahapan
Pemilu; mengawasi pembaharuan dan pemeliharaan data pemilih secara
berkelanjutan; dan menjalankan kewajiban lain sesuai undang-undang.
Berdasarkan amanat dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (Pemilu), sebagai lembaga yang memiliki kewenangan besar,
Bawaslu tidak hanya mengemban satu peran, di mana selain berperan sebagai
pengawas, tetapi juga memegang peran sebagai eksekutor, dan hakim pemutus
perkara/ sengketa pidana pemilu dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas
berdasarkan asa-asas demokrasi. Hal ini karena melalui pemilu masa depan
bangsa Indonesia akan diberikan kepada para pemimpin yang terpilih nantinya,
18
Republik Indonesia, Pasal 95 UU Nomor 7 Tahun 2017
sehingga untuk memastikan para wakil rakyat terpilih sesuai prinsip LUBER
JURDIL peran Bawaslu sebagai lembaga kontrol sosial sangat dibutuhkan19.
Disamping perannya sebagai pengawas sekaligus eksekutor
hukum, kehadiran Bawaslu juga menjadi angin segar bagi budaya hukum
di Indonesia karena bagaimanapun upaya penegakan hukum tidak dapat
lepas dari kondisi suatu masyarakat (realitas sosial) yang ada. Hukum
berkaitan erat dengan aktor yang menjalankannya yang dalam hal ini
adalah masyarakat. Hukum memiliki fungsi sebagai alat untuk mengatur
masyarakat agar hukum dapat diterapkan dengan sebaik mungkin20.
Sehingga Bawaslu hadir sebagai penyambung diantara keduanya.

b. Hambatan dan upaya Bawaslu dalam mencegah politik uang


a) Hambatan Bawaslu dalam mencegah politik uang
Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya terdapat beberapa hambatan dan
tantangan yang dihadapi oleh Bawaslu selama pemilu berlangsung diantaranya
luas wilayah, perbedaan kebudayaan, dan masih kurangnya Sumber Daya
Manusia (SDM) dipihak Bawaslu sehingga menghambat kinerja dari sektor
pengawasan yang terjadi dilapangan. Selain dari masih kuranganya SDM, dana
anggaran yang terbatas juga menjadi tantangan tersendiri bagi pelaksanaan
sosialisasi anti politik uang kepada masyarakat, padahal anggaran ini jumlahnya
besar dan sifatnya penting.
Di Yogyakarta misalnya terdapat usaha pencegahan terhadap praktik politik
uang Bawaslu Kota Yogyakarta yang dilaksanakan melalui program AMPUH
(Aksi Menolak Politik Uang dan Ujaran Kebencian dan Hoaks). Program ini
merupakan sosialisasi yang ditujukkan untuk masyarakat dan merupakan program
rancangan Bawaslu pusat yang kemudian diimplementasikan ke daerah masing-
masing. Dalam melaksanakan program ini Muhammad Muslimin, S.H., S.Ag
selaku Koordinator Divisi SDM, Organisasi dan Data Informasi Bawaslu Kota
Yogya menjelaskan akan memfokuskan kegiatan pada program pendidikan politik
19
Hamimah, Siti, “Memperkuat Peran dan Fungsi Bawaslu dalam Pengawasan dan Penegakan
Hukum Pemilu”, Jurnal Unnes.Co.Id, Vol. 4, Nomor 3, 2018, hlm. 806.
20
Shalilah, Fithriatus, Sosiologi Hukum, (Depok: Rajawali Pers, 2017). Hlm 64.
pada tahun 2020 bekerjasama dengan Pemerintah Kota melalui program Jaga
Warga untuk meminimalisasi politik uang, ujaran kebencian dan penyebaran
hoaks.
Namun karena adanya keterbatasan anggaran dari pusat, program AMPUH
ini masih di tahap mensosialisasikan program dengan mengundang perwakilan-
perwakilan ke dalam forum seperti program Jaga Warga, karena pendekatan ke
tiap sekolah membutuhkan dana yang lebih besar daripada program Jaga Warga.21
Selain faktor internal, terdapat pula tantangan eksternal yang dihadapi oleh
bawaslu yakni kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang masih rendah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2021 jumlah
penduduk miskin di Indonesia masih adalah 9,71% atau 26,50 juta jiwa yang
tersebar di seluruh kota di Indonesia. Kondisi ekonomi masyarakat yang masih
rendah ini cenderung mendorong masyarakat menerima politik uang dari para
caleg demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dalam hal ini menyulitkan
Bawaslu dalam memberikan pemahaman kepada mereka jika kondisi ekonominya
maish di bawah rata-rata22. Tantangan lain yang dihadapi Bawaslu ialah budaya
masyrakat Indonesia itu sendiri yang memaknai politik uang sebagai bagian dari
sikap gotong royong dan saling membantu. Ditambah pengetahuan hukum pemilu
masyarakat kita yang masih tergolong rendah menjadi katalisator bagi para caleg
dalam melancarkan aski politik uangnya23. Kondisi masyarakat yang seperti inilah
yang sebenarnya menjadi penghambat utama bagi pelaksanaan tugas Bawaslu
dalam mencegah praktik politik uang ketika pemilu.
b) Upaya Bawaslu dalam mencegah praktik politik uang ketika Pemilu
Dalam mewujudkan Pelaksanaan Pemilu yang bersih tanpa diiringi oleh
praktik jual beli suara, maka Bawaslu menjalin kerjasama dengan penegak hukum
lain untuk membuat Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakummdu) yang
bertugas setiap pemilihan pemimpin eksekutif daerah. Sentra Gakkumdu hadir
21
Nugrahary, “Tinjauan Sosiologi Hukum Persepsi Calon Pemilih Pemula Terhadap Politik Uang
di Kota Yogyakarta”, Skripsi Sarjana Hukum, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2016,
108.
22
Sarifuddin, Sawal, Strategi Badan Pengawas Pemilu Dalam Pengawasan Politik Uang Pada
Pemilihan Serentak 2019 Di Kabupaten Mamuju, skripsi, program studi ilmu pemerintahan,
universitas muhammadiyah Makassar, 2019.
23
ibid
sebagai tumpuan utama dalam menegakkan hukum pemilihan umum yang
keanggotaanya terdiri dari Bawaslu dari tiap tingkatan, Kepolisian RI, Kepolisian
Daerah, dan Kejaksaan.
Adapun tujuan dibentuknya Sentra Gakkumdu beriringan dengan upaya
menyamakaan pengetahuan dalam menangani tindak pidana pemilu diantara para
lembaga penegak hukum. Dalam menjalankan kerjanya, Sentra Gakkumdu
memiliki asas dan prinsip, sebagai berikut24:
1. Penanganan Tindak Pidana Pemilihan dilaksanakan dalam satu atap
secara terpadu oleh Sentra Gakkumdu.
2. Penanganan Tindak Pidana Pemilihan dilaksanakan berdasarkan asas-
asas meliputi: persamaan di muka hukum, praduga tidak bersalah, dan
legalitas (berdasar pada hukum).
3. Penanganan Tindak Pidana Pemilihan dilaksanakan berdasarkan prinsip-
prinsip kejujuran, keadilan, kebermanfaatan secara hukum, netral,
sederhana, dan efisien.
Berdasarkan hasil kesepakatan. organisasi Sentra Gakkumdu hadir di tiap
tingkat pemerintahan. Sentra Gakkumdu juga berwenang dalam menuntaskan
permasalahan pelanggaran hukum Pemilihan di seluruh Wilayah NKRI bagi
tingkat Pusat, wilayah Provinsi dan wilayah Kota. Artinya dalam kondisi tertentu
Sentra Gakkumdu Pusat berwenang untuk menungaskan Sentra Gakkumdudi
tingkat Provinsi maupuun Kabupaten/Kota untuk menangani dugaan pelanggaran.
Dalam upayanya ini, Bawaslu tetap membutuhkan partisipasi aktif dan masif dari
masyarakat untuk mengawal demokrasi secara bersama-sama dalam rangka
menegakkan hukum pemilu, khusunya pada praktik politik uang.
Fungsi pencegahan tindak pidana pemilu dilaksanakan melalui pencegahan
secara Preemptive dan Preventif. Dalam hal ini, pencegahan preemptive
merupakan pencegahan yang dilakukan melalui penciptaan kondisi untuk
mencegah terjadinya pelanggaran. Sedangkan pencegahan preventif dibuat untuk
mendukung pencegahan preempative melalui berbagai program kegiatan dan
pembuatan kebijakan.

24
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2020
Dalam melaksanakan pengawasannya, Bawaslu selalu melibatkan dukungan
dari berbagai lapisan masyarakat untuk turut mengawasi jalannya pemilu dan
mendeteksi potensi terjadinya pelanggaran aturan pemilu maupun upaya
kecurangan dalam pelaksanaan pemilu yang dapat meruntuhkan proses demokrasi
pemilu. Lebih daripada itu, Bawaslu juga mendorong masyarakat untuk terlibat
aktif dalam pengawasan proses pemilu dengan mengajak mereka untuk tidak ragu
dalam melaporkan segala bentuk kecurangan maupun pelanggaran yang dilakukan
baik itu oleh peserta dan penyelenggarap pemilu kepada Bawaslu. Dengan begitu,
pengawasan dalam proses pemilu akan lebih maksimal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam mematuhi hukum masyarakat dihadapkan oleh berbagai realitas yang
melekat di dalam ataupun sekitar dirinya. Dalam pandangan Soerjano Soekanto
kepatuhan seseorang digerakan berdasarkan sikap fundamental dan sikap
instrumental. Sikap fundamental berarti seseorang mematuhi hukum bukan karena
kepentingan pribadinya sedangkan sikap instrumental hadir ketika seseorang takut
akan sanksi hukum yang menantinya. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan
beberapa alasan masyarakat menolak praktik politik uang ketika pemilu diantanya
kepatuhan purna konvensional (yakni keyakinan bahwa praktik uang adalah
sesuatu yang dilarang negara dan haram hukumnya dalam agama), kepatuhan pra
konvensional (yakni keyakinan bahwa politik uang telah diatur dalam undang-
undnag dan terdapat sanksi yang menyertai jika melanggar), dan kepatuhan
konvensional (yakni menekankan pada untung-rugi, sesorang tidak mengambil
bagian dari politik uang karena meyakini hal curang dan hanya akan merugikan
orang lain). Kepatuhan akan hukum ini berbeda di tiap orangnya karena mereka
juga memiliki level kesadaran hukum yang berbeda. Meskipun manusia telah
dilengkapi dengan kesadaran hukum dimana dapat membedakan yang baik dan
buruk, namun dalam politik uang seringkali masyrakat dihadapkan dengan
keadaan yang dilematis karena di satu sisi mereka menyakini hal tersebut buruk
namun di sisi lain terdapat kebutuhan yang harus mereka penuhi. Sehingga dalam
teori tindakan sosial, Max Weber menjelaskan bahwa sikap masyarakat terhadap
praktik politik uang tidak dapat disamaratakan, karena faktor lingkungan dan
budaya tempat mereka tinggal lebih memberikan pengaruh terhadap keputusan
mereka ketika berhadapan dengan praktik ini.
Sehingga untuk menciptakan pemilu yang sesuai dengan prinsip LUBER
JURDIL dibentuk Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) yang berperan sebagai
pengawas sekaligus esekutor hukum khusunya dalam menegakkan UU No.7
Tahun 2017 tentang pelaksanaan pemilu. Akan tetapi dalam pelaksanannya
Bawaslu ini mengalami berbagai tantangan dan hambatan baik dari internal
maupun eksternal lembaga itu sendiri. Pada internal, hambatan yang dihadapi
ialah kurangnya dana dari pusat yang membuat program sosialisasi pemilu kepada
masyrakat belum dilaksanakan secara maksimal selain itu juga Bawaslu masih
kekurangan SDM dalam menjalankan tugas pengawasannya. Sedangkan dari
faktor eksternal tantangan datang dari kondisi masyarakay itu sendiri, dimana
kondisi ekonomi masyarakat Indonesia masih tergolong rendah yang membuat
praktik politik uang laris di tengah masyarakat, kurangnya pendidikan hukum juga
menjadi hambatan lain yang dihadapai Bawaslu dimana hal ini membuat budaya
politik parokial di tengah masyarakat ketika pemilu berlangsung. Dan hambatan
lainnya adalah budaya masyarakat Indonesia yang menganggap politik uang
sebagai bagian dari sikap slaing membantu dari caleg kepada masyarakat. Dalam
menghadapi hambatan-hambatan tersebut, terdapat beberapa upaya yang
dilakukan oleh Bawaslu diantaranya dengan mengintensifkan pengawasan melalui
pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakummdu) yang melibatkan
beberapa aktor pengak hukum lainnya untuk mengawasi dan mencegah terjadinya
praktik uang ketika pemilu, selain itu Bawaslu juga terus melaksanakan sosialisasi
terhadap masyarakat dengan harapan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat
akan undang-undang pelaksanaan pemilu serta melibatkan masyarakat dalam
pengawasan praktik politik uang ketika pemilu melalui dibukakannya kesempatan
bagi siapapun untuk melapor jika mendapati praktik ini di tengah masyarakat.

B. Saran
Bagi masyarakat untuk dapat menilai hukum dari sisi yang objektif dan tidak
terbelenggu oleh sikap instrumental yang menjalankan hukum hanya berdasarkan
pada ketakutan terhadap sanksinya. Karenanya masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran hukum ketika berhadapan dengan politik uang dan
memiliki keberanian untuk menolak praktik ini.
Bagi pemerintah untuk dapat memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat yang
masih beradi di bawah rata-rata kesejahteraan, karena sulit unutk mengakkan
hukum khususnya dalam hal ini menuntaskan praktik politik uang di tengah
masyarakat yang kelaparan. Karena tuntutan untuk bertahan hidup bagi mereka
lebih penting dibandingkan terpilih atau tidaknya caleg yang berkualitas. Selain
itu saran lain untuk pemerintah adalah untuk daoat meningkatkan anggaran
kepada Bawaslu sehingga Bawaslu dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal
tanpa terhambat oleh biaya.
Dan untuk Bawaslu sebagai lembaga hukum yang mengontrol sosial
disarankan untuk terus melakukan sosialisasi tentang pentingnya menegakkan
hukum selama melaksanakan pemilu yang di dalannya dan menolak politik uang
dalam bentuk apapun. Selain itu juga dapat terus melibatkan masyarakat dalam
mengawasi pencegahan politik uang ketika pemilu berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai