TUGAS MAKALAH
SOSIOLOGI HUKUM
Nama
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM
UNIVERSITAS INDONESIA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilu (pemilihan umum) adalah instrument paling krusial bagi negara yang
menjunjung tinggi demokrasi. Melalui sistem pemilu, rakyat diberikan kedaulatan
secara penuh untuk memilih para calon wakil rakyat di kursi pemerintahannya.
Indonesia sendiri telah melaksanakan pemilu sejak tahun 1955 untuk memilih
para wakil rakyat di kursi legislatif dan eksekutif seperti yang telah di atur dalam
UUD 1945 pasal 1 Ayat 2, pasal 6A (1), pasal 19 Ayat 1 dan pasal 22 (1). Selain
itu, berdasarkan amandemen konstitusi tahun 2001 terdapat prinsip yang harus
dijalankan ketika melaksanakan pemilu di Indonesia yakni prinsip LUBER
JURDIL - Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil1.
Dalam pelaksanaannya, pemilu di Indonesia menghadapi berbagai tantangan,
salah satunya adalah masalah politik uang. Sebenarnya permasalah ini bukan
sesuatu yang baru di Indonesia. Burhanudin Muhtadi, seorang pengamat politik
menjelaskan bahwa kegiatan politik uang sudah mengakar di Indonesia. Bahkan
praktiknya sudah ada sejak pemilu tahun 1955 yang dilakukan oleh Partai
Nasional Indonesia (PNI) sebagai salah satu partai tertua di Indonesia. Dimana
Soekarno sebagai pimpinan partai kala itu membagikan sejumlah uang kepada
para tokoh di tingkat lokal agar dapat memenangkan pemilu. Hingga sekarang,
praktik ini terus berlanjut di tengah masyarakat, bahkan ironisnya hal ini sudah
dianggap lumrah dan tidak tabu oleh masyarakat Indonesia. Adapun beberapa
strategi yang biasanya dilakukan para politikus dalam melakukan politik uang
yaitu melalui ‘serangan fajar’ – istilah yang digunakan untuk menjelaskan
pemberian uang, sembako ataupun benda materiil lainnya oleh peserta pemilu
kepada para warga yang ditargetkan untuk menjadi calon pemilihnya. Serangan
fajar umumnya dilakukan ketika menjelang pelaksanaan pemilu, baik sejak masa
tenang hingga pemungutan suara. Strategi lain yang dilakukan adalah dengan
1
Republik Indonesia, Pasal 22E Ayat 1 UUD 1945
mobilisasi massa, yakni dengan memberikan uang terhadap sekelompok
masyarakat agar menghadiri kampanye yang diadakannya2.
Suburnya praktik politik uang di Indonesia ini menyulitkan proses demokrasi
yang sehat dan sekaligus menghambat terbentuknya pemerintahan yang bersih.
Karena tanpa kita sadari, budaya politik uang ketika pemilu menjadi bibit bagi
mental korupsi di Indonesia. Selain itu, hadirnya politik uang juga membuat
esensi demokrasi menjadi luntur karena hubungan antara pemilih dan peserta
pemilu menjadi hanya sebatas formalitas dan transaksional saja, artinya hubungan
keduanya hanya bersandar pada jumlah uang yang ditransaksikan. Selain itu
praktik ini juga secara langsung mencederai prinsip LUBER JURDIL dalam
pemilu dan jika dibiarkan budaya semacam ini akan membuat kompetisi elektoral
menjadi tidak sehat.
Menyikapi fenomena tersebut Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melarang praktik politik uang ini, yang
dijelaskan pada pasal 523 ayat 1,2, dan 3, berbunyi3:
Ayat 1: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan
sengaja menjanjikan atau memberikan uang ataupun materi lainnya kepada
peserta kampanye secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j akan dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).
Ayat 2: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan
sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau
materi lainnya kepada pemilih secara langsung maupun tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) akan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00
(empat puluh delapan juta rupiah).
2
Nail, Muhammad Hoiru, “Kualifikasi Politik Uang dan Strategi Hukum dan Kultural atas
Pencegahan Politik Uang dalam Pemilihan Umum”, Jurnal Yuridis, Vol. 5, Nomor 2, Desember
2018, hlm 246-251.
3
Republik Indonesia, Pasal 523 UU No. 7 Tahun 2017
Ayat 3: Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk
tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Meskipun telah dilarang oleh hukum dan bahkan dikategorikan sebagai
tindakan pidana, namun praktik ini masih marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan
survei nasional yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia pada Desember
2018, terjadi peningkatan jumlah pemilih yang mengaku ditawari uang selama
proses kampanye dan pemilu berlangsung. Pada pemilu 2014, terdapat 21,2%
pemilih yang ditawari politik uang, lalu angka ini meningkat menjadi 29,5% di
Februari 2019. Lebih lanjut survei ini menjelaskan pada Pemilu 2019 19% hingga
33,1% dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang mencapai sekitar 192 juta terpapar
praktik politik uang4, selain itu survei yang dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) menyebutkan bahwa 37% dari masyarakat mengaku
menerima uang ketika pemilu dan mempertimbangkan untuk memilih mereka.
Ironisnya dari banyaknya jumlah orang yang terpapar praktik uang belum ada
satupun politikus yang tertangkap dan dihukum atas tindakan tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa makin hari praktik uang makin dianggap sebagai suatu
“kebiasaan” oleh masyarakat umum.
Dalam konteks politik, perilaku politik uang seringkali mengatasnamakan
bantuan dan lain-lain. Hal ini yang membuat polarisasi pemahaman di masyarakat
ketika berhadapan dengan poltik uang. Perubahan istilah politik uang menjadi
bahasan moral secara langsung berimplikasi terhadap perlindungannya secara
sosial melalui norma budaya karena masyrakat melazimlkan tindakan ini untuk
terjadi di masyarakat. Ketika masyrakat telah mengaggap ini sebagai tindakan
yang lumrah, maka akan sulit untuk menjangkaunya secara kekuatan legal formal
hukum.
4
Muhtadi, Burhanuddin, “Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru”, Jurnal
Antikorupsi Integritas, Vol. 5, Nomor.1, 2019, hlm. 55.
Sehingga dalam mewujudkan demokrasi yang berlandaskan LUBER
JURDIL tanpa politik uang, diperlukan suatu lembaga hukum yang memiliki
integritas, mandiri, dan jauh dari pengaruh pemerintah 5. Maka dari itu dibentuklah
Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) yang bertugas untuk mengawal jalannya
pemilu dan berwenang unuk melaksanakan tindakan preventif terhadap
pelanggaran Pemilu dan sengketa ketika proses Pemilu6. Selain itu lembaga ini
juga yang bertanggungjawab memberikan pengetahuan kepada masyrakat luas
terkait praktik uamg sebagai bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu.
Kehadiran Bawaslu sebagai upaya preventif dalam praktik jual beli suara
ketika masa pemilu sekaligus menjadi alat bagi hukum dalam melakukan tugasnya
sebagai kontrol sosial di masyarakat - artinya hukum ada untuk dapat menetapkan
tingkah laku manusia agar tidak menyimpang 7, dalam hal menyimpang yang
dimaksud adalah praktik politik uang yang melanggar aturan hukum. Sehingga
berdasarkan permasalahan di atas, penulis ingin membahas “Sikap Masyarakat
Dan Peran Bawaslu Dalam Menyikapi Praktik Politik Uang Ketika Pemilu”.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana sikap masyrakat dalam menyikapi praktik politik uang
ketika pemilu?
2. Bagaimana peran bawaslu dalam menyikapi praktik politik uang ketika
pemilu?
5
Republik Indonesia, Pasal 22E Ayat 5 UUD 1945
6
Republik Indonesia, Pasal 93 b Undang-undang No. 7 Tahun 2017
7
Suadi, Amran, Sosiologi Hukum Penegakan, Realitas Dan Nilai Moralitas Hukum, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2017), hlm. 185.
BAB II
PEMBAHASAN
10
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum & Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta,
hlm. 244-245
11
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta,
Rajawali Press, 1985, hlm. 225
lebih rentan untuk disusupi kepentingan-kepentingan politis sebab apabila
ada seseorang (dari pihak partai misalnya) bisa menjamin bahwa orang
yang diberinya uang akan dilindungi dan tidak akan terkena sanksi hukum
maka bisa saja orang tersebut berubah pikiran, sebab prinsipnya didasarkan
pada sanksi bukan kepada aturan ataupun moralitas.
3. Kepatuhan tahap konvensional – yang memiliki alasan karena merugikan
pihak lain dan sadar hal tersebut merupakan perbuatan yang curang.
Kepatuhan jenis ini lebih menekankan kepada aspek untung dan rugi,
artinya apabila ada seseorang yang dirugikan akibat perbuatannya dalam
melakukan praktik politik uang namun kemudian dia diuntungkan oleh hal
tersebut, orang tersebut akan merasa perbuatan ini adalah perbuatan yang
tidak sepatutnya dilakukan karena merupakan perbuatan curang dan tidak
berada pada prinsip-prinsip moralitas yang ada dalam masyarakat. Jika
dibandingkan dengan poin pertama, kepatuhan tahap konvensial bisa dinilai
lebih baik karena lebih melihat apa yang berada dibalik aturan tersebut,
bukan apa yang ada di atas kertas, jadi apabila larangan politik uang tidak
diatur sekalipun, orang tersebut kemungkinan besar akan tetap menolak
politik uang tersebut sebab prinsipnya terletak pada hal tersebut merugikan
orang lain bukan hanya karena aturan tersebut ada dan memiliki sanksi.
Dari ketiga alasan ini kita dapat melihat bahwa terdapaat beberapa perbedaan
cara masyarakat dalam menyikapi praktik politik uang dari aturan-aturan yang
ada.
13
Ibid.
mengesampingkan pertimbangan rasionalitas mereka terhadap moralitas umum
dari masyarakat yang menganggap politik itu sebuah kecurangan dan kejahatan.
15
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017
tiap ibu kota negara, provinsi, kota/kabupaten di Indonesia 16. Namun untuk
panitia pengawas pemilu (Panwaslu) sendiri berada di tiap kecamatan dan
kelurahan bahkan juga di luar negeri. Untuk anggota bawaslu sendiri
dipilih oleh para anggota bawaslu itu sendiri.
2) Tugas
Tugas dari Bawaslu diatur dalam pasal 93 UU No. 7 Tahun 2017 huruf a-
m, dijelaskan tugas Bawaslu mulai dari menyusun tata pelaksanaan pengawasan
Pemilu, melakukan pencegahan dterjadinya pelanggaran selama proses Pemilu,
mengawasi mulai dari tahap persiapan pemilu hingga pelaksanaan pemilu,
melaporkan jika terdapat tindak pidana pemilu, dan mengevaluasi pengawasan
pemilu17.
Pada tahap persiapan tugas Bawaslu meliputi: menentukan jadwal Pemilu;
merencanakan pengadaan kebutuhan oleh KPU; sosialisasi kepada masyarakat;
dan melaksanakan tugas pengawasan lain sesuai yang telah diatur undang-undang.
Sedangkan pada tahap pelaksanaan Pemilu, Bawaslu bertugas untuk: menetapkan
peserta Pemilu; mengurusi para caleg mulai sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan; mengatur pelaksanaan kampanye, pengadaan logistik
Pemilu dan pendistribusiannya; mengawasi jalannya pemungutan suara dan
melakukan penghitungan suara hasil Pemilu dari tiap TPS; menginformasikan
hasil suara sementara dari tiap KPU dan merekapitulasi hasil perhitungan suara;
melaksanakan pengulangan dalam perhitungan suara ulang pada Pemilu susulan;
dan menetapkan hasil Pemilu.
Bawaslu juga bertugas untuk mengawasi para aparatur sipil untuk tidak
memberikan suaranya dan melaporkan dugaan terkait pelanggaran kode etik
ketika Pemilu kepada DKP lalu menyampaikan dugaan tindak pidana Pemilu
kepada Gakkumdu.
3) Wewenang
16
Republik Indonesia, Pasal 71 UU Nomor 7 Tahun 2017
17
Republik Indonesia, Pasal 93 UU Nomor 7 Tahun 2017
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya ini, Bawaslu juga diberikan
kewenangan oleh undang-undang. Diantaranya18:
i. Menerima setiap laporan yang berisi tentang dugaan pelanggaran
dalam pelaksanaan Pemilu;
ii. Menerima laporan terkait dugaan pelanggaran administrasi Pemilu
dan mengkaji laporan/temuan, serta merekomendasikannya kepada
yang berwenang;
4) Kewajiban
Bawaslu memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi yakni: berlaku
adil dalam menjalankan tugas serta wewenangnya; melakukan penegakan dan
pengawasan tugas Pengawas Pemilu di tiap tingkatan; mengkoordinasikan setiap
laporan hasil pengawasan kepada Presiden dan DPR sesuai dengan tahapan
Pemilu; mengawasi pembaharuan dan pemeliharaan data pemilih secara
berkelanjutan; dan menjalankan kewajiban lain sesuai undang-undang.
Berdasarkan amanat dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (Pemilu), sebagai lembaga yang memiliki kewenangan besar,
Bawaslu tidak hanya mengemban satu peran, di mana selain berperan sebagai
pengawas, tetapi juga memegang peran sebagai eksekutor, dan hakim pemutus
perkara/ sengketa pidana pemilu dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas
berdasarkan asa-asas demokrasi. Hal ini karena melalui pemilu masa depan
bangsa Indonesia akan diberikan kepada para pemimpin yang terpilih nantinya,
18
Republik Indonesia, Pasal 95 UU Nomor 7 Tahun 2017
sehingga untuk memastikan para wakil rakyat terpilih sesuai prinsip LUBER
JURDIL peran Bawaslu sebagai lembaga kontrol sosial sangat dibutuhkan19.
Disamping perannya sebagai pengawas sekaligus eksekutor
hukum, kehadiran Bawaslu juga menjadi angin segar bagi budaya hukum
di Indonesia karena bagaimanapun upaya penegakan hukum tidak dapat
lepas dari kondisi suatu masyarakat (realitas sosial) yang ada. Hukum
berkaitan erat dengan aktor yang menjalankannya yang dalam hal ini
adalah masyarakat. Hukum memiliki fungsi sebagai alat untuk mengatur
masyarakat agar hukum dapat diterapkan dengan sebaik mungkin20.
Sehingga Bawaslu hadir sebagai penyambung diantara keduanya.
24
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2020
Dalam melaksanakan pengawasannya, Bawaslu selalu melibatkan dukungan
dari berbagai lapisan masyarakat untuk turut mengawasi jalannya pemilu dan
mendeteksi potensi terjadinya pelanggaran aturan pemilu maupun upaya
kecurangan dalam pelaksanaan pemilu yang dapat meruntuhkan proses demokrasi
pemilu. Lebih daripada itu, Bawaslu juga mendorong masyarakat untuk terlibat
aktif dalam pengawasan proses pemilu dengan mengajak mereka untuk tidak ragu
dalam melaporkan segala bentuk kecurangan maupun pelanggaran yang dilakukan
baik itu oleh peserta dan penyelenggarap pemilu kepada Bawaslu. Dengan begitu,
pengawasan dalam proses pemilu akan lebih maksimal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam mematuhi hukum masyarakat dihadapkan oleh berbagai realitas yang
melekat di dalam ataupun sekitar dirinya. Dalam pandangan Soerjano Soekanto
kepatuhan seseorang digerakan berdasarkan sikap fundamental dan sikap
instrumental. Sikap fundamental berarti seseorang mematuhi hukum bukan karena
kepentingan pribadinya sedangkan sikap instrumental hadir ketika seseorang takut
akan sanksi hukum yang menantinya. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan
beberapa alasan masyarakat menolak praktik politik uang ketika pemilu diantanya
kepatuhan purna konvensional (yakni keyakinan bahwa praktik uang adalah
sesuatu yang dilarang negara dan haram hukumnya dalam agama), kepatuhan pra
konvensional (yakni keyakinan bahwa politik uang telah diatur dalam undang-
undnag dan terdapat sanksi yang menyertai jika melanggar), dan kepatuhan
konvensional (yakni menekankan pada untung-rugi, sesorang tidak mengambil
bagian dari politik uang karena meyakini hal curang dan hanya akan merugikan
orang lain). Kepatuhan akan hukum ini berbeda di tiap orangnya karena mereka
juga memiliki level kesadaran hukum yang berbeda. Meskipun manusia telah
dilengkapi dengan kesadaran hukum dimana dapat membedakan yang baik dan
buruk, namun dalam politik uang seringkali masyrakat dihadapkan dengan
keadaan yang dilematis karena di satu sisi mereka menyakini hal tersebut buruk
namun di sisi lain terdapat kebutuhan yang harus mereka penuhi. Sehingga dalam
teori tindakan sosial, Max Weber menjelaskan bahwa sikap masyarakat terhadap
praktik politik uang tidak dapat disamaratakan, karena faktor lingkungan dan
budaya tempat mereka tinggal lebih memberikan pengaruh terhadap keputusan
mereka ketika berhadapan dengan praktik ini.
Sehingga untuk menciptakan pemilu yang sesuai dengan prinsip LUBER
JURDIL dibentuk Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) yang berperan sebagai
pengawas sekaligus esekutor hukum khusunya dalam menegakkan UU No.7
Tahun 2017 tentang pelaksanaan pemilu. Akan tetapi dalam pelaksanannya
Bawaslu ini mengalami berbagai tantangan dan hambatan baik dari internal
maupun eksternal lembaga itu sendiri. Pada internal, hambatan yang dihadapi
ialah kurangnya dana dari pusat yang membuat program sosialisasi pemilu kepada
masyrakat belum dilaksanakan secara maksimal selain itu juga Bawaslu masih
kekurangan SDM dalam menjalankan tugas pengawasannya. Sedangkan dari
faktor eksternal tantangan datang dari kondisi masyarakay itu sendiri, dimana
kondisi ekonomi masyarakat Indonesia masih tergolong rendah yang membuat
praktik politik uang laris di tengah masyarakat, kurangnya pendidikan hukum juga
menjadi hambatan lain yang dihadapai Bawaslu dimana hal ini membuat budaya
politik parokial di tengah masyarakat ketika pemilu berlangsung. Dan hambatan
lainnya adalah budaya masyarakat Indonesia yang menganggap politik uang
sebagai bagian dari sikap slaing membantu dari caleg kepada masyarakat. Dalam
menghadapi hambatan-hambatan tersebut, terdapat beberapa upaya yang
dilakukan oleh Bawaslu diantaranya dengan mengintensifkan pengawasan melalui
pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakummdu) yang melibatkan
beberapa aktor pengak hukum lainnya untuk mengawasi dan mencegah terjadinya
praktik uang ketika pemilu, selain itu Bawaslu juga terus melaksanakan sosialisasi
terhadap masyarakat dengan harapan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat
akan undang-undang pelaksanaan pemilu serta melibatkan masyarakat dalam
pengawasan praktik politik uang ketika pemilu melalui dibukakannya kesempatan
bagi siapapun untuk melapor jika mendapati praktik ini di tengah masyarakat.
B. Saran
Bagi masyarakat untuk dapat menilai hukum dari sisi yang objektif dan tidak
terbelenggu oleh sikap instrumental yang menjalankan hukum hanya berdasarkan
pada ketakutan terhadap sanksinya. Karenanya masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran hukum ketika berhadapan dengan politik uang dan
memiliki keberanian untuk menolak praktik ini.
Bagi pemerintah untuk dapat memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat yang
masih beradi di bawah rata-rata kesejahteraan, karena sulit unutk mengakkan
hukum khususnya dalam hal ini menuntaskan praktik politik uang di tengah
masyarakat yang kelaparan. Karena tuntutan untuk bertahan hidup bagi mereka
lebih penting dibandingkan terpilih atau tidaknya caleg yang berkualitas. Selain
itu saran lain untuk pemerintah adalah untuk daoat meningkatkan anggaran
kepada Bawaslu sehingga Bawaslu dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal
tanpa terhambat oleh biaya.
Dan untuk Bawaslu sebagai lembaga hukum yang mengontrol sosial
disarankan untuk terus melakukan sosialisasi tentang pentingnya menegakkan
hukum selama melaksanakan pemilu yang di dalannya dan menolak politik uang
dalam bentuk apapun. Selain itu juga dapat terus melibatkan masyarakat dalam
mengawasi pencegahan politik uang ketika pemilu berlangsung.