Anda di halaman 1dari 7

Isu Perbatasan Thailand-Kamboja: Sengketa Wilayah Candi Preah Vihear

Alisa Deliana
alisa.deliana01@gmail.com

Pendahuluan
Thailand dan Kamboja dalam hubungan diplomatik memiliki latar belakang
sejarah yang panjang bersama, mulai dari masa pra-kolonial, kolonial hingga pasca-
kolonial. Setelah berakhirnya era Perang Dingin, Thailand dan Kamboja menikmati
hubungan yang baik menuju kerjasama dan normalisasi. Pada tahun 1991, faksi
Kamboja setuju untuk meletakkan senjata mereka dan merumuskan penyelesaian damai
yang dikenal dengan Perjanjian Perdamaian Paris. Delapan belas negara bagian,
termasuk Thailand, merupakan negara penandatangan kesepakatan yang mengarah pada
pemilihan nasional yang bebas dan adil yang diawasi oleh PBB (UNTAC) pada 1993.
Munculnya Taksin Shinawatra di Thailand pada akhir 1990-an dan Perdana Menteri
Hun Sen di Kamboja pada 1998 menyebabkan hubungan dekat antara kedua negara.
Namun hubungan itu memburuk pada tahun 2003, ketika seorang aktris Thailand yang
diwawancarai oleh sebuah surat kabar Thailand menyatakan bahwa “dia akan menerima
undangan untuk tampil di Kamboja jika Kuil Angkor Wat yang terkenal dikembalikan
ke Thailand.” Hal ini kemudian menyulut kemarahan di Kamboja dan menyebabkan
kerusuhan. Kedutaan Thailand dibakar dan bisnis Thailand seperti restoran dan bisnis
terpaksa berhenti berdagang. Hubungan diplomatik hanya dapat dipulihkan ketika
perjanjian perdagangan bilateral dihidupkan kembali pada tahun 2002 dan perdagangan
mencapai $445 juta, kemudian mencapai $1 miliar pada tahun 2006 (Deth, 2017: 35-
36).
Namun, pada Januari 2008, hubungan antara Thailand dan Kamboja kembali
memburuk karena perselisihan lain mengenai kuil Preah Vihear. Pemerintah Kamboja
mengajukan agar Kuil Preah Vihear masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO.
Namun Thailand memprotes bahwa Kamboja juga memasukkan wilayah di sekitar kuil
yang diklaim Thailand sebagai miliknya. Thailand kemudian meminta agar daftar
warisan dunia Preah Vihear harus atas nama bersama Thailand dan Kamboja. Namun,
pemerintah Kamboja menyatakan bahwa pendaftaran candi tersebut mengecualikan
wilayah di sekitarnya, sehingga tidak mungkin melanggar kedaulatan proses pencatatan.
Ketidaksepakatan ini menyebabkan kedua belah pihak mengerahkan pasukan
militer di sekitar wilayah yang disengketakan (Dewi, 2013: 2). Hal ini terjadi karena
kedua belah pihak tidak dapat menemukan jalan keluar dari perselisihan ini, meskipun
telah ada beberapa upaya yang dilakukan melalui negosiasi bilateral. Itulah sebabnya
Samdech Techo Hun Sen, Perdana Menteri Kamboja, mencoba menyelesaikan konflik
melalui arbitrase internasional, terutama melalui Mahkamah Internasional yang
tergambarkan dari pidato Samdech Techo Hun Sen pada KTT ASEAN ke-18,
“Cambodia has shown the best way by seeking a peaceful settlement through the
negotiations and finding all kinds of mechanisms at all levels. However,
bilateral negotiation has not settled the matters, but have further increased the
conflict. Thus, the Royal Government of Cambodia submitted a request to the
ICJ to provide its interpretation of the 1962 judgment on Preah Vihear Temple.”
(ASEAN Summit, 2011)

Namun menurut Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva, sengketa


perbatasan antara Thailand dan Kamboja dapat diselesaikan melalui proses bilateral
seperti banyak perselisihan lain yang sudah berlangsung lama. Sehingga tulisan ini
berusaha menjawab bagaimana upaya penyelesaian sengketa perbatasan Thailand dan
Kamboja di wilayah candi Preah Vihear ini, menggunakan penelitian deskripstif.

Upaya Bilateral
Dalam hubungan internasional terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan
untuk menyelesaikan suatu sengketa, termasuk upaya bilateral yang merupakan
negosiasi antara dua negara merdeka dalam menyelesaikan berbagai sengketa. Upaya
ini ditandai oleh hubungan antara satu pihak dan pihak lain yang memiliki kepentingan
bersama dalam kerja sama, baik dalam tingkat perusahaan, individu, ataupun
pemerintah (Li dan Giampapa, 2003: 1). Thailand dan Kamboja telah menjalin
hubungan bilateral sejak tahun 1950 dan dalam perjalanannya mereka telah
mengumumkan pembatalan hubungan diplomatik sebanyak dua kali, pertama di
pemerintahan Sarit Thanarat pada tahun 1958, namun hubungan keduanya megalami
perbaikan di tahun yang sama. Pembatalan hubungan diplomatik yang kedua terjadi di
pemerintahan Thanom Kittikachorn pada 23 Oktober 1961, lalu dipulihkan kembali
pada tahun 1966. Kedua pembatalan diplomatik tersebut mempermasalahkan hal yang
sama yakni sengketa Kuil Preah Vihear.
Thailand dan Kamboja telah berusaha untuk mengakhiri konflik perbatasan,
terutama sejak Kamboja memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1953. Namun,
setelah keputusan International Court of Justice (ICJ) pada 1962 yang memberikan
Kamboja kedaulatan penuh atas seluruh wilayah tanjung Preah Vihear dan sebagai
akibatnya mewajibkan Thailand untuk menarik pasukan militer, polisi, dan penjaga
lainnya yang ditempatkan di kuil atau di sekitarnya (International Court of Justice (IJC),
2013:1-2). Sejak keputusan ini tidak ada negosiasi bilateral diantara kedua negara yang
mampu menangani sengketa perbatasan hingga awal 1990-an. Akan tetapi pada
pertengahan tahun 1990-an, Thailand dan Kamboja membentuk General Border
Committee (GBC) dan Regional Border Committee (RBC), sebagai sebuah demarkasi
batas tanah antara kedua belah pihak yang ditandatangani oleh menteri luar negeri
Thailand dan Kamboja pada tahun 1994 dan 1997. Kesepakatan ini membukakan jalan
bagi kedua negara dalam membentuk Komisi Bersama untuk Batas Tanah.
Selanjutnya, dengan tujuan untuk mencegah ketegangan perbatasan dan
memfasilitasi perjalanan serta kerjasama antara kedua belah pihak, kedua negara
menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Survey dan Demarkasi Batas
Tanah pada tahun 2000 yang menghasilkan pembentukan Joint Boundary Commission
(JBC) diketuai oleh penasehat pemerintah Urusan Perbatasan Negara Kamboja, dan
Wakil Menteri Luar Negeri Thailand. Akan tetapi hubungan keduanya kembali
dipertaruhkan ketika terjadi peristiwa pembakaran kantor kedutaan besar Thailand di
Phnom Penh, Kamboja pada tahun 2003 (Voaindonesia, 2003). Butuh waktu 6 tahun
untuk memperbaiki hubungan mereka, perbaikan ini ditandai dengan kembalinya
kedutaan Thailand di Kamboja pada tahun 2009 dan diadakannya pertemuan JBC di
tahun 2008 dan 2009. Namun di tahun berikutnya yakni 2010 pertemuan tidak dapat
terlaksana hingga tahun 2011 pertemuan JBC terlaksana di Bogor dan dipimpin oleh
Ketua ASEAN saat itu yakni Indonesia. Pertemuan tersebut terjadi karena Kamboja
menuntut agar catatan dari tiga pertemuan JBC sebelumnya harus diadopsi oleh
Thailand sebelum diadakannya pertemuan JBC selanjutnya (Tun, 2011: 31-33). Namun,
pada akhirnya Thailand dan Kamboja gagal melanjutkan negosiasi bilateral mengenai
konflik perbatasan, khususnya mengenai konflik kuil Preah Vihear.
Upaya Internasional : PBB dan ASEAN
Upaya negosiasi lain yang dilakukan dalam menyelesaikan sengekta wilayah
antara Thailand dan Kamboja di kuil Preah Vihear adalah melalui negosisasi
internasional yang dilakukan oleh aktor internasional, selain negara. Thailand dan
Kamboja adalah negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan
telah menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara atau
Treaty of Amity and Cooperation (TAC) tahun 1976 yang mencegah mereka melakukan
tindakan yang mengakibatkan cedera dan kematian manusia serta menghindarkan
keberlanjutan konflik antara negara-negara anggota di masa depan (Iseas, 2011).
Perselisihan antara Thailand dan Kamboja atas Preah Vihear Temple menjadi begitu
serius pada tahun 2008, sehingga pada KTT APEC di Singapura pada tahun 2009,
Thailand meminta Indonesia untuk membantu menyelesaikan perselisihan dengan
Kamboja. Namun Indonesia menyatakan bahwa Thailand dan Kamboja masih memiliki
peluang untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi bilateral, meskipun menteri luar
negeri Indonesia akan menjaga komunikasi antara mitra Thailand dan Kamboja
mengenai masalah tersebut. Indonesia tidak ingin membawa sengketa Thailand-
Kamboja ke forum ASEAN. Namun, karena perselisihan tentang kuil berlanjut, kedua
pemimpin membuat pernyataan tentang mekanisme yang akan mereka pilih untuk
penyelesaian perselisihan. Perdana menteri Thailand percaya bahwa perselisihan ini
dapat diselesaikan melalui negosiasi bilateral, sedangkan perdana menteri Kamboja
lebih menyukai negosiasi multilateral.
Pada tahun 2011, perselisihan antara kedua belah pihak menjadi lebih buruk.
Thailand mengerahkan pasukan militer ke perbatasan yang melanggar kedaulatan
Kamboja. Oleh karena itu, pemerintah Kamboja mengirim surat kepada DK PBB untuk
mengerahkan militernya sendiri di wilayah yang disengketakan. Dalam pertemuan
tersebut, DK PBB memutuskan untuk mengembalikan tanggung jawab kasus ini kepada
ASEAN. DK PBB mengalihkan kasus tersebut ke ASEAN karena kedua negara yang
bertikai tersebut merupakan negara anggota ASEAN. Pasal 22-23 Piagam ASEAN
menyatakan bahwa negara-negara anggota yang bersengketa memiliki pilihan untuk
meminta Ketua ASEAN atau Sekretaris Jenderal, dalam kapasitas ex-offico, untuk
memberikan jasa-jasa, baik secara konsiliasi ataupun mediasi untuk menyelesaikan
suatu perselisihan dalam batas waktu yang telah disepakati (Dewi, 2013: 8-9). Hal ini
menandai untuk pertama kalinya DK PBB meminta ASEAN untuk memastikan dialog
yang efektif dalam mencari solusi yang langgeng. Namun, ASEAN gagal untuk
mempromosikan solusi damai pada deputi perbatasan antara Thailand dan Kamboja.
Indonesia, selaki tuan rumah KTT ASEAN ke-18 di Jakarta pada tahun 2011, tidak
dapat menemukan solusi untuk sengketa perbatasan pada akhir KTT dan ASEAN tidak
dapat membawa penyelesaian damai. Selain itu, kedua belah pihak tidak mencapai
kesimpulan yang pasti.
Sebagai negara anggota ASEAN, Thailand dan Kamboja harus mematuhi aturan
Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa semua
anggota ASEAN harus secara damai menyelesaikan perselisihan antar negara dan
menghindari penggunaan ancaman kekuatan antar negara. Oleh karena itu, anggota
ASEAN gagal untuk mematuhi prinsip mekanisme penyelesaian sengketa secara damai
(Saikia, 2012: 6). Namun TAC dianggap sebagai mekanisme penting untuk menentukan
pendekatan penyelesaian sengketa. Prinsip-prinsip dasar TAC adalah saling
menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah dan identitas
nasional semua bangsa; tidak campur tangan dalam urusan internal satu sama lain;
penyelesaian perbedaan atau perselisihan dengan cara damai; reunifikasi setelah
ancaman atau penggunaan kekuatan; promosi kerja sama di antara anggota, termasuk
pedoman untuk menyelesaikan perselisihan secara damai melalui fungsi Dewan Tinggi
untuk memperkuat perdamaian dan kepercayaan di kawasan (Chareonwongsak, 2017).
Dengan demikian, ASEAN tampaknya gagal dalam menyelesaikan perselisihan kedua
negara melalui prinsip-prinsip ini.
ASEAN telah mencoba untuk ]mengakhiri perselisihan tersebut. Namun konflik
militer antara Thailand dan Kamboja telah menjadi konflik paling serius yang pernah
terjadi antara dua negara anggota ASEAN, dan ini dianggap sebagai ujian kemampuan
organisasi untuk menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan. Pertempuran antara
Thailand dan Kamboja juga menyangkut negara-negara anggota ASEAN lainnya dan
menantang salah satu tujuan inti ASEAN, yaitu menjaga perdamaian dan stabilitas di
kawasan (Padden, 2018). Prinsip utama ASEAN yang tampaknya gagal adalah prinsip
non-intervensi, ASEAN mendorong prinsip non-intervensi untuk menghormati
kepentingan masing-masing negara. Dalam dokumen pendirian ASEAN, prinsip non-
intervensi merupakan hak prerogatif utama dan dalam Deklarasi Bangkok (1967),
ASEAN menyatakan tekadnya untuk menjamin keamanan dan stabilitas negara-negara
anggota dari campur tangan eksternal dalam bentuk apapun.
Berdasarkan Deklarasi Zona Damai, Kebebasan, Netralitas ASEAN menyatakan
bahwa setiap negara, terlepas dari ukurannya (besar atau kecil) memiliki hak untuk
menikmati kadaulatan nasionalnya yan bebas dari campur tangan luar dalam urusan
internalnya. Dalam TAC, ASEAN berkomitmen pada prinsip-prinsip tertentu, termasuk
saling menghormati kemerdekaan, persamaan, kedaulatan, keutuhan wilayah dan
identitas nasional semua bangsa, hak setiap negara untuk menjalankan eksistensi
nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, paksaan dan non- campur tangan
dalam urusan internal satu sama lain. Prinsip ini diabadikan lagi dalam Deklarasi
ASEAN Concord pada tahun 1976 sebagai: “negara-negara anggota harus dengan penuh
semangat mengembangkan kesadaran akan identitas regional dan mengerahkan semua
upaya untuk menciptakan komunitas ASEAN yang kuat, dihormati oleh semua dan
menghormati semua bangsa atas dasar saling menguntungkan. hubungan, dan sesuai
dengan prinsip-prinsip penentuan nasib sendiri, persamaan kedaulatan dan non-
intervensi dalam urusan internal bangsa-bangsa.” Pasal 2 Piagam ASEAN menyatakan
prinsip non-intervensi sebagai penghormatan terhadap kemerdekaan, kedaulatan,
persamaan, keutuhan wilayah dan identitas nasional semua Negara Anggota ASEAN;
penolakan agresi dan ancaman atau penggunaan kekuatan atau tindakan lain dengan
cara apa pun yang tidak sesuai dengan hukum internasional; tidak mencampuri urusan
dalam negeri Negara Anggota ASEAN; menghormati hak setiap Negara Anggota untuk
memimpin eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi dan
paksaan (Tuyen, Sehungga ASEAN lebih memilih Thailand dan Kamboja untuk
mencari solusi atas sengketa perbatasan melalui negosiasi bilateral.
Kesimpulan
Perselisihan antara Thailand dan Kamboja berubah menjadi kekerasan berkali-
kali antara tahun 2008 dan 2011 ketika Thailand tidak berhasil dalam protesnya
terhadap Kamboja karena secara sepihak menominasikan kuil itu sebagai situs warisan
dunia ke UNESCO pada tahun 2008. Pasukan dari kedua belah pihak terlibat baku
tembak atas kepemilikan kuil tersebut yang memberebutkan wilayah candi dan daerah
sekitar candi. Thailand dan Kamboja saling menyalahkan karena memulai konfrontasi.
Dengan demikian, mengikuti permintaan Kamboja kepada UNESCO untuk
mendaftarkan Kuil Preah Vihear sebagai situs Warisan Dunia pada tanggal 8 Juli 2008,
Komite Warisan Dunia setuju untuk menambahkan kuil tersebut ke dalam daftar
Warisan Dunia sebagai milik Kamboja, meskipun ada beberapa protes dari pemerintah
Thailand.
Pada tahun 2013, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa tanah yang
disengketakan di sekitar kuil adalah milik Kamboja. Menyusul putusan Mahkamah
Internasional atas Kuil Preah Vihear, masing-masing pihak telah berjanji untuk bekerja
sama dengan cara damai. Sejauh ini, belum ada kemajuan, meskipun kedua belah pihak
menjaga stabilitas dan perdamaian di perbatasan. Namun, sebelum Thailand dan
Kamboja dapat menyusun putusan pengadilan bersama, Thailand membutuhkan waktu
untuk mengkonsolidasikan reformasi domestiknya dan membentuk kebijakan luar
negerinya. Juga, Samdech Techo Hun Sen memiliki pemahaman yang baik tentang
politik Thailand dan telah belajar bagaimana menghadapi para pemimpin Thailand.
Setelah kudeta militer Thailand pada tahun 2104, Thailand dan Kamboja dengan cepat
menormalkan kembali hubungan mereka. Dua keputusan kebijakan utama mendukung
perbaikan ini. Pertama, kedua negara sepakat untuk menghindari kontroversi atas Kuil
Preah Vihear dan mereka terus menunda negosiasi yang sulit tentang bagaimana
menerapkan penilaian ICJ pada tahun 2013 tentang demarkasi pedalaman di sekitar Kuil
Preah Vihear. Kedua, kedua negara menempatkan tujuan ekonomi di jantung agenda
kebijakan regional mereka. Perdana Menteri Hun Sen menginginkan lebih banyak
investasi dari negara-negara Asia Tenggara, dan Thailand adalah salah satu negara
dengan investasi besar di Kamboja.
Daftar Pustaka
Chareonwongsak, K. Asean’s Limits in Conflict Resolution in the Region.
Massachusetts, Harvard University.
Cipto, B. (2013). Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Teropong Terhadap
Dinamika , Realitas, dan Masa Depan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Deth, S. U. (2017). Cambodia’s Foreign Relations in Regional and Global Contexts.
Phnom Penh, Konrad-Adenauer-Stiftung.
Dewi, R. (2013). Territorial Issues in Asia Drivers, Instruments, Ways Forward.
Berlin, Konrad Adenauer Stiftung.
Iseas, K. K. (2011). ASEAN and the Cambodia-Thailand Conflict [daring]. Dapat dilihat
di http://www.eastasiaforum.org/2011/03/01/asean-and-the-cambodia-thailand-
conflict/ (diakses pada 05 Desember 2021).
Li, C. & Giampapa, J. (2003). A Review of Research Literature on Bilateral
Negotiations. Pennsylvania, Carnegie Mellon University.
Saikia, P. (2011). The Dispute Over Preah Vihear: Seen Problems, Unseen Stakes. New
Delhi, Institute of Peace and Conflict Studies.
Sambath, T. (2009). Thai Soldier Loses Leg, Triggers Gunfight After Stepping on Mine
[daring]. Dapat dilihat
https://www.phnompenhpost.com/index.php/National-news/Thai-soldier-loses-
legtriggers-gunfight-after-stepping-on-mine.%20html
Shoffan, S.I. (2006). ASEAN Way Sebagai Managemen Konflik Negara-Negara Asia
Tenggara. Tesis Program studi Ilmu Politik Konsentrasi Studi Hubungan
Internasional. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Tun, K. M. (2011). Toward a Peaceful Settlement of the Preah Vihear Temple Dispute.
Stockholm, Institute for Security and Development Policy.

Profil Penulis
Alisa Deliana lahir di Sukabumi, 26 Oktober 2002. Penulis pernah
menempuh pendidikan di SDN 014 Tanah Grogot, kemudian
melanjutkan studi ke SMPN 13 Banjarbaru dan SMA Doa Bangsa
Sukabumi. Saat ini, penulis sedang menempuh pendidikan sarjana di
Universitas Mulawarman program studi Hubungan Internasional.
Aktivitas dan hobi yang dilakukan oleh penulis adalah nonton dan
makan. Penulis pernah mengikuti beberapa organisasi yakni TEDx
Unmul, Sketsa Unmul, dan sekarang menjadi pengurus Dewan
Pengawas Organisasi (DPO) HIMAHI Unmul. Untuk mengetahui
lebih lanjut tentag penulis, dapat lihat akun sosial instagram
@colosal_

Anda mungkin juga menyukai