Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN MINI RISET

MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


FENOMENA MONEY POLITIC DAN VOTE BUYING SEBELUM PELAKSANAAN
PEMILU YANG MELUNTURKAN NILAI DEMOKRASI
BAGI MASYARAKAT

Kelompok 5 :
1. Eis Thiara Nepa (19/441972/KU/21518)
2. Faiz Indra Musyafa' (19/441975/KU/21521)
3. Farah Alifa Putri (19/441976/KU/21522)
4. Fatyannisa Gita Nurul Ihsanti (19/441977/KU/21523)
5. Hanifayanti Luthfi Harjanto (19/441979/KU/21525)
6. Hasna Nur Nabila (19/441980/KU/21526)

Dosen Pengampu
Dr. Supartiningsih

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum merupakan suatu wujud nyata dari demokrasi yang menjadi
sarana bagi rakyat dalam menyatakan kedaulatannya terhadap negara dan pemerintah.
Pemilihan umum di Indonesia merupakan suatu cara untuk memilih presiden dan wakil
presiden, anggota DPR, DPD, DPRD secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, dalam
hal ini partisipasi rakyat sangat penting. Berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum pasal 1 ayat 1, pemilu adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kampanye merupakan salah satu prosedur yang dilakukan sejalan dengan


diselenggarakanya pemilu. Menurut Roger (2020) kampanye dilakukan untuk
memperkenalkan profil para calon atau kandidat sebelum pelaksanaan pemilu dengan
tujuan menciptakan efek tertentu pada masyarakat. Melalui kegiatan tersebut, aktor
politik juga bisa dengan leluasa dalam mencari seluruh segmen pemilih untuk
mendapatkan dukungan nantinya. Para kandidat tentunya akan berkompetisi untuk
mendapatkan pemilih yang sebanyak mungkin, karena itulah timbul suatu persaingan dan
tak jarang dari mereka melakukan berbagai cara untuk memperoleh suara terbanyak
dalam kampanye, sehingga dapat menimbulkan pelanggaran yang bertentangan dengan
pelaksanaan demokrasi.

Salah satu contoh pelanggaran yang masih saja terjadi dari pemilu ke pemilu
adalah money politic. Money politic ini dilakukan secara sengaja oleh seseorang atau
kelompok dengan cara memberikan sejumlah uang atau materi lain dengan tujuan untuk
memperoleh suara dari rakyat agar mereka memilih calon yang bersangkutan. Di
Indonesia, money politic telah terjadi berulang kali dan membudaya dalam setiap periode
pemilu. Apabila kasus seperti ini terus dibiarkan, maka cita - cita untuk mendapatkan
pemimpin yang amanah, adil, berintegritas akan sulit dicapai. Hal ini tentu berdampak
pada tatanan demokrasi yang sedang dibangun oleh pemerintah. Tindakan money politic
selalu mendapatkan rintangan dalam penegakan aturan hukum, salah satu penyebabnya
masyarakat sudah menganggap tindakan money politic adalah tindakan yang wajar
dilakukan dalam pemilihan umum. Berdasarkan Survei Charta Politika tahun 2019,
ditemukan sebanyak 45,6 persen responden menyatakan memaklumi praktik politik uang.
Kondisi yang seperti inilah yang akan menghambat pengembangan nilai demokrasi, azas
jujur dan adil serta melunturkan nilai demokrasi bagi masyarakat (Muchtar, 1999).

Selain itu, salah satu penyelewengan demokrasi yang marak terjadi di Negara
Indonesia ialah vote buying atau pembelian suara. Istilah tersebut sering digunakan dan
berakibat pada penyalahgunaan praktik demokrasi politik. Beberapa partai politik atau
orang yang berkepentingan melakukan strategi “kotor” tersebut untuk memenangkan
kontestasi politik. Biasanya masyarakat awam, penduduk, dan warga biasa akan diiming
imingi atau dibujuk untuk memberikan hak suaranya untuk orang berkepentingan
tersebut. Untuk memobilisasi proses vote buying dan memudahkan praktik pembelian
hak suara seringkali kandidat atau partai menggunakan jasa broker yang berperan sebagai
penengah antara kandidat dan pemilih dalam melakukan distribusi pembayaran terhadap
target sasaran yakni masyarakat luas.

Penyalahgunaan atau penyelewengan proses demokrasi di Negara Indonesia


semakin hari semakin meningkat seiring mendekati pesta/kontestasi politik, seperti
pilkada, pilwakot, pilpres, dan pemilihan umum lainnya. Beberapa oknum atau pihak
berkepentingan yang memiliki agenda menduduki kursi/posisi seringkali melakukan
praktik ilegal untuk mendapatkan hak suara masyarakat luas. Praktik penyalahgunaan
dengan money politic dan vote buying diproyeksikan dapat mempengaruhi transparansi
proses demokrasi serta dapat berakibat buruk pada tatanan bangsa dan negara. Oleh
karenanya, kami sebagai penulis ingin mencari tahu lebih lanjut dan mempelajari lebih
dalam terkait analisis “Fenomena Money Politic dan Vote Buying Sebelum Pelaksanaan
Pemilu yang Melunturkan Nilai Demokrasi” dengan tujuan mengurangi angka praktik
penyelewengan proses demokrasi dalam sistem pemerintahan NKRI serta agar
masyarakat lebih bijak dalam menghadapi proses demokrasi/kontestasi politik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi terjadinya penyelewengan proses demokrasi,
seperti money politic dan vote buying dalam kontestasi politik di Negara Indonesia?
2. Apa saja sebab dan latar terjadinya penyelewengan proses demokrasi, seperti money
politic dan vote buying di Negara Indonesia?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya money politic dan vote
buying terhadap keberlangsungan proses demokrasi dan tatanan pemerintahan di
Negara Indonesia?
4. Bagaimana langkah/strategi konkret yang bisa dilakukan untuk mengurangi praktik
penyelewengan proses demokrasi di Negara Indonesia ?
5. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan pihak masyarakat & pemerintah untuk
mengantisipasi terjadinya praktik ilegal dalam proses demokrasi tersebut?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Money Politics


1. Kebiasaan (Kebudayaan)
Kebiasaan dari masyarakat yang menjadikan pemilu adalah sebuah kondisi
dimana mereka, dan para elit politik saling berbagi dan bantu membantu untuk
mencapai target yang mereka inginkan. Selain itu, ada beberapa kebiasaan yang
sudah menjadi budaya di Indonesia, yakni tidak pantas jika seseorang menolak
pemberian dan terbiasa membalas pemberian. Hal kultural ini dimanfaatkan oleh
politisi untuk menjalankan politik uang. Akibatnya masyarakat memahami money
politic, diartikan dalam bentuk pemberian uang yang dilakukan oleh calon atau
tim sukses untuk meminta suara mereka pada saat pemilu.
2. Tingkat Pendapatan Rendah (Ekonomi)
Tingkat pendapatan rendah adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan
dan pekerjaan. Kondisi tingkat pendapatan rendah pemilih tersebut seperti
menekan sebagian masyarakat untuk segera mendapatkan uang, money politic pun
menjadi ajang para rakyat untuk berebut uang. Mereka yang menerima uang tanpa
memikirkan konsekuensi yang akan diterima yaitu tindakan jual beli suara
merupakan tindakan pelanggaran hukum. Hal yang terpenting bagi masyarakat
adalah bahwa mereka mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Tentang Politik
Tidak semua orang tau apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang
ditimbulkan dari politik, hal itu semua bisa disebabkan karena kurangnya
pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah secara mendalam atau
masyarakat sendiri yang memang acuh terhadap politik di Indonesia.
Ketidaktahuan masyarakat ini terlihat dari mudahnya masyarakat dalam menerima
sejumlah imbalan yang diberikan, kemudian sangat mudah dipengaruhi oleh
pihak-pihak tertentu untuk memilih calon atau kontestan politik, hingga adanya
sikap pragmatis dalam diri masyarakat membuat mereka semakin memiliki
ketidakpedulian terhadap pelanggaran yang terjadi, dan akhirnya berdampak pada
rendahnya kesadaran politik hingga partisipasi politik yang masih sangat rendah.
4. Faktor Lemahnya Pengawasan
Praktik politik uang juga akan sulit untuk dihentikan jika kerja sama antara
masyarakat dengan pihak-pihak terkait masih kurang dalam melakukan
pengawasan dari praktek politik uang, terutama mendekati hari pemilihan.
Lemahnya pengawasan ini lebih menitikberatkan kepada adaptasi individu
terhadap peraturan yang mengawasi praktek politik uang itu sendiri, dimana
karena faktor rendahnya pendidikan juga berpengaruh kepada pola pikir
masyarakat, sehingga belum mampu memahami dan menginternalisasi dengan
baik terkait peraturan pengawasan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
praktik politik uang di masyarakat.

B. Penyebab dan Latar Timbulnya Penyelewengan dalam Demokrasi (Money Politics


dan Vote Buying)
1) Anggapan bahwa uang adalah “modal wajib” dalam Pemilu

Sudah merupakan rahasia umum bahwa terjun dalam arena politik


membutuhkan modal yang cukup banyak, seperti diantaranya harus cerdas,
kredibel, akuntabel, memiliki jaringan yang luas, dan memiliki cukup banyak uang.
Namun demikian, perihal uang sering menjadi tantangan tersendiri bagi calon
kader, terutama bagi mereka yang baru terjun dalam dunia politik dan tidak
mempunyai cukup bekal untuk bersaing. Hal inilah yang menyebabkan munculnya
anggapan bahwa bagi mereka yang ingin terjun dalam dunia politik, mereka harus
mempunyai uang yang cukup untuk bisa maju dan bersaing.

2) Rakyat sudah memaklumi adanya penyelewengan demokrasi dalam Pemilu

Dalam pelaksanaan Pemilu, baik untuk memilih kepala desa, bupati/walikota,


gubernur, maupun presiden, penggunaan uang sebagai modal bersaing sudah sangat
sering terjadi. Sebagian besar rakyat sudah terbiasa dengan politik uang, bahkan
praktik tersebut sudah dianggap sebagai hal yang lumrah. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan
mekanisme politik dengan politik uang. Sehingga terbangunlah pandangan umum
bahwa politik uang merupakan sebuah keharusan dalam setiap kompetisi politik.

3) Keterbatasan SDM yang unggul

Partai politik dianggap tidak siap dalam menyediakan kader-kader handal,


baik sebagai calon maupun sebagai relawan. Dengan demikian, calon-calon yang
maju dalam Pemilu kemudian melakukan cara-cara instan dan praktis untuk
menggerakkan rakyat agar memberikan hak pilihnya. Hal ini yang kemudian
menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab, seseorang dipilih
menjadi pejabat politik bukan karena kapasitas dan kemampuannya, melainkan
lebih karena memberikan uang kepada para pemilih menjelang saat Pemilu.

4) Rendahnya kesadaran hukum Masyarakat Indonesia

Dalam upaya mencegah adanya penyelewengan dalam Pemilu, berbagai


peraturan perundang-undangan telah dibuat untuk mencegah timbulnya praktik
kotor dalam memilih calon pemimpin, termasuk melarang adanya money politics
dan vote buying. Dalam hal ini, sudah seharusnya masyarakat dan calon kader
menyadari sepenuhnya bahwa Pemilu harus berjalan sesuai dengan aturan yang
berlaku. Namun pada kenyataannya, peraturan perundang-undangan yang ada
seolah-olah dibuat hanya untuk dilanggar. Oleh karena itu berbagai persoalan
penyalahgunaan uang dalam pesta demokrasi hendaknya dikembalikan kepada
masyarakat dan kejujuran para calon yang akan mencalonkan diri, dengan juga
diiringi penegakan hukum yang tegas. Penegakan hukum terhadap berbagai
pelanggaran dalam Pemilu haruslah dilakukan tanpa ada diskriminatif dan tidak
pandang bulu terhadap status sosial masyarakat, sehingga penegakan tersebut
berlaku untuk semua orang yang melakukan pelanggaran dalam pilkada tanpa ada
batas ras, jenis kelamin, suku, dan kekayaan.

C. Dampak Terjadinya Money Politic dan Vote Buying Terhadap Keberlangsungan


Proses Demokrasi dan Tatanan Pemerintahan di Indonesia
Money politic tidak hanya diberikan kepada mereka (masyarakat) yang memiliki
hak suara, tetapi juga diberikan kepada pemegang kekuasaan rakyat. Ini yang
menyebabkan kekuasaan sudah bukan di tangan rakyat melainkan di tangan “uang”,
sehingga kedaulatan bukan untuk rakyat melainkan untuk “pemilik uang”. Dampak
dengan adanya money politic dapat merusak bangsa. Misalnya dalam praktek money
politic dapat merusak sistem demokrasi di Indonesia, ini dapat menyebabkan demokrasi
yang sakit atau tidak stabil, demokrasi yang harusnya “bebas” menjadi tidak bebas hanya
karena pembelian hak suara tersebut. Kedaulatan yang seharusnya milik semua orang,
sekarang hanya menjadi pemilik uang. Selain itu, praktek money politic disini juga dapat
merusak moral demokrasi, karena rakyat memilih pemimpin bukan karena asas
kepemimpinan nya, bukan karena kinerja nya, bukan karena visi dan misinya, melainkan
karena uang yang diberikan untuk menambah hak suara demi kepentingan oknum-oknum
tersebut.

Berjalannya praktik money politic dapat menimbulkan implikasi-implikasi fatal


bagi prospek demokrasi bangsa :

1. Pertama, dominasi pemilik modal dan uang. Kursi-kursi para pembuat kebijakan
dan keputusan publik yang dihasilkan melalui pemilu akan diduduki oleh
orang-orang kaya, atau orang-orang yang dibiayai oleh kelompok-kelompok kaya
atau kelompok-kelompok yang menguasai asset ekonomi berskala besar.
2. Pada tingkat internal partai politik, adanya money politic membuat partai menjadi
milik beberapa orang saja yang memperoleh sejumlah keistimewaan dalam proses
pengambilan keputusan yang bentuknya tentu saja memiliki kesenjangan dengan
aspirasi rakyat yang diwakilinya. Keputusan partai yang penting akan
mencerminkan kepentingan para penyuplai dana, hal ini sangat rentan terhadap
terputusnya keterkaitan antara apa yang dikehendaki oleh rakyat yang menjadi
pendukungnya, dengan apa yang dikehendaki elit partai yang memakai uang
untuk mendesakkan kepentingan - kepentingannya. Dalam jangka panjang seiring
dengan kesadaran politik konstituen yang semakin cerdas praktik politik uang
mendorong mereka untuk meninggalkan partai yang sebelumnya telah
didukungnya. Akibat lain yang ditimbulkan money politic ialah, tubuh partai akan
rentan terhadap penyakit konflik internal antar elit akibat persaingan yang tidak
sehat diantara pengurus yang sangat mungkin terbagi dalam beberapa faksi jika
partai yang demikian adalah partai yang besar.
3. Pada tingkat makro politik pemakaian money politic dalam proses politik akan
mengakibatkan, semakin suburnya praktik korupsi dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Para penyandang dana politik yang bertujuan jangka pendek
memandang bahwa aliran dana yang mereka berikan kepada suatu partai
merupakan investasi yang akan dipetik buahnya, ketika partai yang mereka
dukung menggenggam kekuasaan. Proses balas jasa seperti ini akan
mengakibatkan terpuruknya agenda agenda partai yang berkenaan dengan
kepentingan konstituennya dan rakyat pada umumnya. Akibat lainnya ialah,
hilangnya legitimasi pemerintahan secara berangsur-angsur seiring dengan
merajalelanya korupsi yang melibatkan dua aktor yakni pihak pemerintah dan
kalangan penyandang dana.

D. Langkah/strategi konkret yang bisa dilakukan untuk mengurangi praktik


penyelewengan proses demokrasi di Negara Indonesia
1. Strategi sosial

Hasbullah dalam Kurniawan, Roby tahun 2019 menjelaskan, modal sosial


sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat
atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh
nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling
mempercayai), keimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat
atau bangsa dan sejenisnya. Modal sosial ditransmisikan melalui
mekanisme-mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah.
Modal sosial perlu dijembatani untuk dapat ditransfer ke dalam kognitif
masyarakat. Beragamnya budaya dan norma masyarakat yang ada di Indonesia,
memerlukan pola transfer modal sosial yang lebih kecil dan mengikuti kebiasaan
kebiasaan yang ada di masyarakat dalam konteks lokal. Jembatan ini dapat
dilakukan melalui perantara kearifan lokal (local wisdom), yang dipatuhi oleh
masyarakat lokal berdasarkan norma agama, norma budaya lokal, dan nilai-nilai
lokal yang dijunjung oleh masyarakat tertentu.

Beberapa local wisdom di Indonesia yang dapat menunjang pola perilaku


masyarakat untuk menghindari politik uang antara lain sebagai berikut:

a. Huyula (gotong royong), sebagai karakter lokal Gorontalo yang


terwariskan secara turun temurun. Budaya Huyula dapat dipakai untuk
mereduksi politik uang khususnya dalam budaya masyarakat Provinsi
Gorontalo.
b. “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” dari Minangkabau yang
berarti "adat berdasarkan agama, agama berdasarkan kitab Allah".
Kearifan lokal berupa filsafat masyarakat Minangkabau di Provinsi
Sumatra Barat, sangat kental dengan nuansa ajaran Islam, sehingga politik
uang yang identik dengan suap dalam ajaran Islam adalah haram. Dosanya
sama antara yang memberi suap dan yang menerima suap, sehingga
perilaku politik uang dapat dicegah dengan pendekatan keagamaan
melalui pemahaman tentang ajaran-ajaran Islam dan juga filsafat
masyarakat Minangkabau.
c. Piil Pesenggiri dari masayarakat Lampung. Piil Pesenggiri adalah tatanan
moral, pedoman bersikap dan berperilaku masyarakat adat Lampung,
dalam segala aktivitas hidupnya. Piil (fiil=arab) artinya perilaku, dan
pesenggiri maksudnya bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, tahu hak
dan kewajiban. Piil pesenggiri merupakan potensi sosial budaya daerah,
memiliki makna sebagai sumber motivasi agar setiap orang dinamis dalam
usaha memperjuangkan nilai-nilai positif, hidup terhormat dan dihargai di
tengah-tengah kehidupan masyarakat
2. Strategi melalui pembentukan Desa Anti Politik Uang

Desa anti money politic adalah sebuah wilayah selanjutnya disebut desa yang
berkomitmen meneguhkan dirinya menjadi Kawasan wilayah yang siap untuk
menolak dan melawan segala praktek politik uang dalam penyelenggaraan sebuah
pemilihan umum, pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, dan pemilihan
kepala desa. Adanya pembentukan desa Murtigading sebagai desa anti politik
uang merujuk kepada konsep politic participation yang dilakukan oleh masyarakat
desa Murtigading guna mewujudkan proses politik yang sehat. Berdasarkan hal
tersebut tentunya dengan mengorganisasikan sumber daya yang ada dengan
dilandasi oleh pemahaman serta kesadaran bahwa adanya politik uang adalah
merusak demokrasi. Badan Pengawas Pemilu Daerah Istimewa Yogyakarta
mendorong masyarakat di setiap desa untuk ikut serta berpartisipasi mengawasi,
menolak dan melawan praktek politik uang dalam setiap hajatan berdemokrasi
seperti pemilihan umum, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah.
Adanya desa tersebut membuat masyarakat semakin paham dan mengerti
mengenai kepemiluan secara umum, pengawasan terhadap praktek politik uang
serta sanksi-sanksinya.

3. Strategi Hukum Tata Negara Progresif


a. Mengubah Progresif Sistem Pemilu Liberal ke Kompetitif.

Diperlukan adanya model sistem pemilu yang murah, efektif dan efesien
sehingga mendorong demokrasi kian produktif. Pilihan yang tersedia
kelak adalah merevisi UU Kepartaian dan UU Pemilu: merubah sistem
distrik dengan winner’s takes all atau kembali ke sistem proporsional
dengan nomor urut melalui rekayasa perbaikan sistem kepartian yang
kompetitif, mengakar dan terlembagakan. Tentu dengan merancang model
seleksi Caleg di internal parpol secara terbuka, demokratis dan akuntabel.
Sehingga dapat memotong sistem oligarki dan patron-klien saat perekrutan
Caleg. (Agus Riwamto dalam Riewanto, 2019)

b. Pengaturan Progresif Pembatasan Sumber Dana Kampanye Calon dan


Parpol

Pengaturan yang nihil dalam pembatasan nominal dana kampanye di atas


telah menempatkan dana kampanye perorangan anggota parpol,
Capres/Cawapres, Caleg dan organisasi parpol berakibat pada tak
terkontrolnya sumber pendanaan kampanye. Implikasinya perorangan
anggota parpol, Capres/Cawapres, caleg dan organisasi Parpol akan
memberikan uang kampanye yang tak terbatas untuk aneka kegiatan
kampanye terutama mempengaruhi suara pemilih (vote buying). Inilah
penyebab utama mengapa parpol hanya dikuasai oleh mereka yang
memiliki sumbagan uang paling banyak pada parpolnya. Sehingga parpol
bukan lagi organisasi yang dikelola secara bersama oleh semua anggota,
melainkan hanya dikelola oleh segelintir kelompok elit politik. Di titik ini
parpol telah gagal menjadi institusi paling demokratis dalam pengelolaan
organisasi. Akibatnya tidak semua warga negara dan anggota dapat
berperan aktif dalam organisasi parpol sebagai wujud pengejawantahan
hak untuk berekspresi dan berasosiasi secara wajar dan alamiah.

c. Pengaturan Progresif Transaksi Elektronik Uang Kampanye.

Guna mencegah praktik politik uang dalam pemilu salah satu cara
progresif yang patut diupayakan adalah perlunya pengaturan transaksi
elektronik bagi Capres/cawapres, caleg dan organisasi parpol sebelum
kampanye hingga berakhirnya masa kampanye. Gagasan progresif ini
untuk memudahkan PPATK untuk mengendus sumber dana kampanye,
alirannya dan penggunaanya selama kampanye. memangkas penggunaan
uang tunai dalam pemerintahan mendatang

d. Pengaturan Progresif Larangan Caleg Koruptor.

Pengaturan progresif dalam pencegahan politik uang dapat dilakukan


dengan melarang caleg mantan narapidana kasus korupsi dalam pemilu.
Hal ini merupakan jalan tengah untuk menjembatani empat kepentingan
sekaligus dalam konteks pemilu yang adil dan berintegritas yaitu:

- Kepentingan pemilih agar dalam Pemilu 2019 mendatang tak


disuguhi Caleg-Caleg yang tak berintegritas, sehingga pemilih
terutama pemilih yang tinggal di pelosok-pelosok daerah yang tak
memiliki informasi cukup tentang Caleg tertentu tak perlu ragu
dalam memilih karena semua Caleg berintegritas.
- Mendorong Parpol untuk berhati-hati dalam menyeleksi dan
mengajukan Caleg ke KPU dan hanya akan mengajukan Caleg
yang benar-benar berintegritas. Denga
- Menjaga agar kelak lembaga legislatif di semua tingkatan menjadi
berwibawa dan aspiratif, karena para anggota legislatif yang
terpilih pada pemilu 2019 mendatang adalah mereka yang tak
tersandera oleh kasus-kasus kejahatan di masa lalu.
- Menjaga etika dan moralitas bangsa, karena dengan hadirnya
Caleg yang berintegritas ini menunjukkan pada komitmen bangsa
ini untuk membuka jalan bagi lahirnya pemimpin politik yang
beretika di negeri ini secara sistemik.
e. Pengaturan Progresif bagi Parpol Mencerdaskan Konstituen dan
Antipolitik Uang.

Pencegahan politik uang secara progresif dapat dilakukan dengan


melakukan pemberdayaan pemilih atau konstituen parpol agar menjadi
pemilih kritis. Ini bukan hanya tugas dan fungsi parpol, namun juga
menjadi kewajiban Parpol melalui tiga tahapan yaitu;

- Pertama, voters information (informasi dasar dan teknis


kepemiluan), semua pemangku kepentingan pemilu (stake holder)
memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan informasi
pengawasan dan penegakan hukum politik uang pada pemilih agar
berdaya dan memahaminya.
- Kedua, voters education (makna sosiologis dan filosofis
penyelenggaraan pemilu), dalam hal ini semua pihak harus
mengemban amanah untuk memberdayakan rakyat-pemilih agar
kritis dan tahu akan arti penting penyelengaraan Pemilu anti politik
uang.
- Ketiga, civic education (hak dan kewajiban warganegara dalam
proses politik dan penyelenggaraan pemerintahan), dalam hal ini
semua pihak perlu memiliki kepekaan sosial (social awarenes) dan
tanggungjawab moral-politik (political and moral responsibality)
untuk mencerdakan rakyat, betapa pentinya Pemilu demokratis dan
berintegritas dengan menghindari politik uang.
4. Strategi Pendidikan Politik

Pahlevi, M. E. T. P., & Amrurobbi, A. A. pada tahun 2020 menyebutkan bahwa


pendidikan politik dengan upaya pre-emtif ini dilakukan untuk meminimalisir
hubungan patronase yang kerap terjadi dalam proses pemilu. Hubungan patronase
ini tentu merugikan masyarakat jangka panjang. Upaya pre-emtif yang dilakukan
oleh Desa Sardonoharjo dan Desa Murtigading sebagai Desa APU yaitu:

a. Deklarasi.

Kegiatan ini bertujuan untuk menarik komitmen antara pemerintah desa,


penyelenggara pemilu, Caleg, dan tokoh masyarakat untuk melawan
praktik politik uang yang nantinya akan juga menghilangkan korupsi
politik.

b. Bimbingan Teknis (Bimtek).

Bimbingan teknis ini hanya terjadi di Desa Murtigading. Tujuannya untuk


memperkuat kapasitas tim Desa APU dalam memahami praktik politik
uang. Selain itu juga menyiapkan bekal untuk melakukan pendidikan
politik di masyarakat.

c. Aksi Bersama.

Bentuk-bentuk dari aksi bersama yaitu seperti kampanye anti-politik uang


di setiap kegiatan desa, penyebaran stiker tolak dan lawan politik uang,
senam sehat sekaligus sosialisasi bahaya politik uang, membunyikan
isyarat tanda bahaya apabila terjadi dugaan politik uang dengan
pemukulan kentongan Desa.

d. Workshop.

Kegiatan ini mengundang para ahli pemilu dan penyelenggara pemilu


untuk memberikan pendidikan terkait bahaya politik uang.
e. Melakukan literasi atau pendidikan politik berbasis forum warga.

Kegiatan ini dilakukan Desa Sardonoharjo dan Desa Murtigading. Edukasi


politik ini dilakukan setiap minggu dengan menumpang forum warga
seperti arisan RT/RW, pengajian, dan forum karang taruna. Komponen
materi yang disampaikan yaitu bahaya politik uang dan posisi masyarakat
di negara demokrasi.

E. Upaya yang dapat dilakukan pihak masyarakat & pemerintah untuk


mengantisipasi terjadinya praktik ilegal dalam proses demokrasi
1. Upaya pemerintah
a. Menggunakan lembaga pendidikan baik formal, informal maupun non
formal sebagai sarana edukasi politik untuk menolak praktik politik uang.
b. Memperkuat pengawasan praktik kampanye yang dilakukan para peserta
pemilu.
c. Melalui penyelenggara pemilu Komisi Pemilihan Umum (KPU)
melakukan sosialisasi di institusi pendidikan, membuat konten kreatif di
sosial media mengenai bahaya politik uang, membuat politics corner di
tempat publik sebagai pusat layanan informasi pemilu dan membuat buku
panduan oleh KPU (Abhipraya, F. A., Sadayi, D. P., & Putri, F. A., 2020).
d. Memperkuat Aturan Hukum Melalui Sanksi Pidana dan Administratif.
aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi hukum dan sanksi
administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar politik ataupun
politik uang. Aturan ini juga harus lebih mempermudah pengawas untuk
membuat alat bukti. (Delmana, 2020)
e. Meningkatkan Kapasitas dan Efektifitas Lembaga Pemerintahan
(Infrastruktur dan Suprastruktur)
- Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat harus membuat aturan terkait
yang jelas sanksi atas pelanggaran. Memberikan sanksi yang jelas,
tegas dan tidak pandang bulu bagi pelaku politik uang dan mahar
politik
- Kedua, Lembaga Yudikatif, menetapkan efektifitas penerapan
hukum melalui peningkatan keterpaduan kerja antar penegak
hukum, peningkatan kemampuan kerja antar aparat penegak
hukum, peningkatan kemampuan penguasaan hukum, keterampilan
yuridis, peningkatan integritas moral, profesionalisme, sarana dan
prasarana yang diperlukan. Melaksanakan
- Ketiga, meningkatkan efektifitas fungsi pers. Mengembalikan
peran pers sebagai media yang memuat informasi yang benar,
akurat dan seimbang yang tidak memihak dan mengkritisi setiap
temuan politik uang dan mahar politik sehingga informasi yang
ada dilapangan bisa cepat diketahui.
- Keempat, Meningkatkan peran Universitas dalam pendidikan
politik. Universitas bisa menjadi sarana untuk pendidikan moral
dan politik, sehingga masyarakat bisa membangun ideologi yang
tepat, tidak terpengaruh dengan mahar politik dan politik uang.
f. Meningkatkan efektifitas lembaga pengawasan internal (inspektorat),
pengawasan eksternal (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu. Ketiga lembaga ini berperan dalam mengendalikan proses tahapan
pemilu agar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
g. Meningkatkan integritas dan kompetensi lembaga penyelenggara Pemilu,
dengan cara menyusun peraturan teknis, penetapan keputusan strategis,
pelaksanaan tahapan pemilu, dan pilkada sesuai aturan dan kode etik yang
berlaku.
2. Upaya partai politik
a. Meningkatkan Kompetensi Peserta Pemilu melalui kaderisasi partai
politik. Membangun ideologi, visi, misi dan program kerja yang jelas,
terukur dan dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat.
b. Meningkatkan efektifitas peran partai politik, memiliki standar baku (SOP
atau peraturan) sistem kaderisasi ketua dan anggota Parpol, penilaian jelas
dan terukur dalam perekrutan anggota parpol, perekrutan dilakukan secara
berkesinambungan dan berjenjang.
3. Upaya masyarakat
a. Menumbuhkan kesadaran mengenai penegakan demokrasi yang bersih
tanpa politik uang melalui dibentuknya Desa Anti Politik Uang
b. Menginternalisasi dan mengamalkan nilai-nilai yang tumbuh di
masyarakat/local wisdom yang mengedepankan nilai kebaikan, keadilan,
kejujuran.
c. LSM kepemiluan dan demokrasi menyampaikan pesan moral atau
nilai-nilai kepemiluan kepada masyarakat umum
d. Masyarakat sipil dan organisasi berfungsi sebagai pengawas Pemilu dan
mengkritisi pemerintah, sehingga keganjalan yang terjadi dilapangan dapat
dilaporkan oleh masyarakat sipil. Selain itu masyarakat sipil perlu
dibentuk persepsinya sehingga memiliki ideologi pancasila, memiliki
integritas, kejujuran sehingga tidak tertarik dengan politik uang
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas yaitu, money politic dan vote
buying merupakan pelanggaran yang sering dilakukan menjelang dilaksanakannya
pemilu, money politic sekarang ini sudah dianggap sebagai hal yang wajib dilakukan bagi
sekelompok orang pendukung calon pemimpin dan dianggap oleh masyarakat sebagai hal
yang wajar untuk dilakukan, sehingga cita-cita Indonesia untuk memiliki pemimpin yang
amanah, adil, dan berintegrasi akan sulit untuk dicapai. Peraturan perundang-undangan
mengenai larangan melakukan money politic dan vote buying yang telah dibuat belum
ditegakkan. Upaya dan strategi pemerintah guna mencegah terjadinya kembali fenomena
money politic masih belum terlihat.

B. Saran
1. Pemerintah dapat menjalankan hukum yang ada untuk menangani kasus money
politic dan vote buying.
2. Pemerintah dapat melakukan upaya dan strategi untuk mencegah terjadinya
pelanggaran money politic dan vote buying.
3. Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan saat pelaksanaan pemilu.
4. Masyarakat dapat meningkatkan pemahamannya mengenai tindakan pelanggaran
money politic dan vote buying.
DAFTAR PUSTAKA

Abhipraya, F. A., Sadayi, D. P., & Putri, F. A. (2020). Peran Komite Independen Sadar Pemilu
(KISP) sebagai LSM Kepemiluan dalam Melawan Praktik Politik Uang. Politicon : Jurnal Ilmu
Politik, 2(2), 165–190. https://doi.org/10.15575/politicon.v2i2.8556

Ermawati, I.S. (2020, Agustus 26). Pengaruh, Dampak, dan Cara Penyelesaian dari Money
Politic Terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada Oleh Kaum Intelektual. KPU Kota
Tanjungpinang.https://kpu-tanjungpinangkota.com/2020/08/pengaruh-dampak-dan-cara-penyeles
aian-dari-money-politik-terhadap-partisipasi-masyarakat-dalam-pilkada-oleh-kaum-intelektual/
[Diakses pada 26 November 2021]

Fitriani, L. U., Karyadi, L. W., & Chaniago, D. S. (2019). Fenomena Politik Uang (Money
Politic) Pada Pemilihan Calon Anggota Legislatif di Desa Sandik Kecamatan Batu Layar
Kabupaten Lombok Barat. RESIPROKAL: Jurnal Riset Sosiologi Progresif Aktual, 1(1), 53-61.

Kurniawan, Roby. (2019). Strategi Sosial Pencegahan Politik Uang di Indonesia. Jurnal
Integritas KPK 2019, 5(1), 29–41.

Lati praja delmana. (2020). Problematika Dan Strategi Penanganan Politik Uang Pemilu
Serentak 2019 Di Indonesia. Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia, 1(2),
1–20. https://doi.org/10.46874/tkp.v1i2.61

Marlinda, M., Tarifu, L., & Asriani, A. (2019). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya
Money Politic pada Pemilu Legislatif Kabupaten Muna Barat Tahun 2019. CALGOVS (Local
Politic and Government Issues), 1(02), 1-13.

Nugraheny, Dian. 2019. Cerita Caleg Terpilih Berjuang Melawan Politik Uang. URL:
https://nasional.republika.co.id/berita/pwzxbl428/cerita-caleg%02terpilih-berjuang-melawan-poli
tik-uang

Pahlevi, M. E. T. P., & Amrurobbi, A. A. (2020). Pendidikan Politik dalam Pencegahan Politik
Uang Melalui Gerakan Masyarakat Desa. Jurnal Antikorupsi Integritas, 6(1), 141–152.
Pranata, Nanang. (2019). STRATEGI MENCEGAH MONEY POLITIC MELALUI DESA
ANTI POLITIK UANG (Studi Kasus Pada Gerakan Desa Anti Politik Uang Murtigading
Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul).

Prasetyo, Mujiono. 2020. Kejahatan Politik Uang (Money Politics) Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah Terhadap Konstruksi Pemerintahan. URL:
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/alj/article/download/9533/4870.

Priestnall, S. L., Okumbe, N., Orengo, L., Okoth, R., Gupta, S., Gupta, N. N., Gupta, N. N.,
Hidrobo, M., Kumar, N., Palermo, T., Peterman, A., Roy, S., Konig, M. F., Powell, M., Staedtke,
V., Bai, R. Y., Thomas, D. L., Fischer, N., Huq, S., … Chatterjee, R. (2020). In Endocrine (Vol.
9, Issue May).
https://www.slideshare.net/maryamkazemi3/stability-of-colloids%0Ahttps://barnard.edu/sites/def
ault/files/inline/student_user_guide_for_spss.pdf%0Ahttp://www.ibm.com/support%0Ahttp://w
ww.spss.com/sites/dm-book/legacy/ProgDataMgmt_SPSS17.pdf%0Ahttps://www.nep

Riewanto, A. (2019). Strategi Hukum Tata Negara Progresif Mencegah Politik Uang Pemilu
Serentak. Integritas : Jurnal Antikorupsi, 5(1), 111–125.

Anda mungkin juga menyukai