Anda di halaman 1dari 4

Politik Uang Tuna Keadaban

Nurlia Dian Paramita

FENOMENA pembagian uang, terutama pada masyarakat kurang mampu dari


kalangan petani, nelayan, pedagang kecil, dan lain-lain, yang dilakukan para peserta
pemilu baik pimpinan partai politik maupun calon anggota legislatif, calon presiden,
calon wakil presiden, atau tim suksesnya masing-masing, sudah dianggap lumrah.
Bahkan, ada yang mengeklaim sebagai bentuk kedermawanan yang tidak patut
dipersoalkan.

Ini ironis, di tengah upaya-upaya yang serius dari para penegak hukum melakukan
pemberantasan korupsi, politik uang justru marak terjadi. Padahal, politik uang ialah
bagian yang tak terpisahkan dari korupsi. Maraknya korupsi yang dilakukan pejabat
negara, terutama yang berasal dari partai politik, disinyalir sebagai bagian dari
upaya mengembalikan atau bahkan mengambil keuntungan, dari modal (politik
uang) yang sebelumnya sudah dibagi-bagikan pada sebagian masyarakat.

Maraknya korupsi yang dilakukan pejabat negara, terutama yang berasal dari partai
politik, disinyalir sebagai bagian dari upaya mengembalikan atau bahkan mengambil
keuntungan, dari modal (politik uang) yang sebelumnya sudah dibagi-bagikan pada
sebagian masyarakat.

Hari ini publik sedang dihadapkan dengan masa sosialisasi dan pendidikan politik di
internal partai politik yang kondisinya sudah layaknya seperti kampanye pemilu. APK
(alat peraga kampanye) terasa sesak memenuhi ruang publik. Segala macam
kegiatan dikerahkan untuk mampu menarik simpati dukungan elektoral ke depan.

Fenomena politik uang masih sangat pelik untuk dapat ditindak. Perilaku
membagikan uang sangat erat kaitannya dengan korupsi politik. Hasil Corruption
Perception Index (CPI) 2022 menunjukkan penurunan indeks, yang skornya turun
menjadi 34/100 dan berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. KPK
dalam rilisnya (14/7/2023) menegaskan mengenai “Hajar Serangan Fajar” untuk
menyerukan kepada seluruh masyarakat untuk menolak, menghindari, dan
membentengi diri dari praktik politik uang dalam menghadapi Pemilu 2024.

Lemahnya penegakan hukum


Jerat tindak pidana praktik politik uang akan sangat berkaitan dengan waktu dan
siapa yang bisa ditindak. UU 7/2017 mengenai Pemilu Pasal 280 ayat (1) huruf j
mengatakan bahwa, “Pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.”

Pasal 284 juga memberikan penegasan bahwa dalam hal terbukti “pihak di atas
memberikan uang atau materi lainnya sebagai bentuk imbalan kepada peserta
kampanye pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk tidak menggunakan
hak pilihnya, menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan
cara tertentu sehingga suaranya tidak sah, memilih pasangan calon tertentu,
memilih partai politik peserta pemilu tertentu dan/atau memilih calon anggota DPD
tertentu.”
Kemudian juga mendapatkan ancaman pidana Pasal 515, yakni “Setiap orang yang
dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan, atau memberikan uang
atau materi lain tidak menggunakan hak pilihnya…”

Melansir gatra.com (29/5/19), Lambang Purnomo, caleg DPRD II Kabupaten


Wonogiri, mendapatkan vonis hukuman 1,5 bulan penjara juga denda uang senilai
Rp6 juta subsider satu bulan karena melakukan kampanye 2019 dengan
membagikan amplop berisi uang Rp50 ribu kepada 30 peserta kegiatan yang
dibagikan di rumah salah satu warga.

Kemudian, Hamsir, caleg DPRD Kota Palu juga mendapatkan hukuman 4 bulan
penjara juga denda uang senilai Rp10 juta subsider satu karena membagikan
barang berupa dua karung beras kemasan 5 kg pada masa tenang di salah satu
panti asuhan. Melihat dua kasus di atas dapat dianalisis waktu penanganan politik
uang sangat terbatas, yakni pada masa kampanye, masa tenang, dan pemungutan
dan penghitungan suara.

Sementara itu, dengan problem regulasi hari ini, yakni Perppu Nomor 1/2022 yang
menyebutkan dalam Pasal 276 “Kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam
pasal 267 dan 275 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf h, huruf i
dilaksanakan sejak 25 (dua puluh lima) hari setelah ditetapkan daftar calon tetap
anggota….”

Aturan yang termaktub menegaskan bahwa hari ini belum memasuki masa
kampanye. Tidak ada calon yang bisa dikenai sanksi. Pengaturan politik uang
sangat longgar, seseorang yang memberikan uang di luar masa kampanye apalagi
yang bersangkutan bukan pelaksana, peserta, ataupun tim kampanye tidak
mendapatkan hukuman.

Kasus ketua umum salah satu peserta pemilu tersebut menjadi sangat kontradiktif.
Yang bersangkutan juga ialah menteri sehingga sangat mungkin anggaran negara
yang basisnya ialah ditujukan kepada masyarakat, menuai risiko menjadi anggaran
yang dibagi-bagikan secara pribadi. Kontrol secara kelembagaan kementerian harus
efektif dan tepat guna untuk memantau pejabat negara baik tingkatan nasional
maupun pejabat daerah.

Kajian Fitriani, Karyadi, dkk (2019) mengungkapkan bahwa sebagai mekanisme


untuk mendekatkan kepada pemilih, perilaku ini jika pada kasus-kasus serupa
sebelumnya tidak didahului dengan hukuman yang setimpal, justru akan
memungkinkan pengulangan dari aktor politik yang lain, mereka menganggap
enteng dalam melihat model hukuman yang akan diterima.

Upaya menarik pemilih


Tindakan politik uang, menurut kajian Birch dalam Gaffar (2020), dapat dikatakan
sebagai salah satu upaya manipulasi terhadap pilihan pemilih, yakni mengarahkan
atau mengubah pilihan pemilih dengan berbagai cara yang bersifat manipulatif-
ilegal. Hal tersebut akan sering terjadi sejak awal tahapan pemilu sampai sebelum
pemberian suara di TPS.
Survei LIPI terhadap politik uang pada pelaksanaan Pemilu 2019, menyebutkan
bahwa 40% menerima uang, tetapi tidak mempertimbangkan untuk memilih,
sedangkan 30% lagi mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan
si pemberi untuk dipilih.

Indonesia sebagai negara bangsa masih rawan dengan pemberian iming-iming ala
hadiah dalam bentuk fresh money. Masyarakat menganggap pemberian uang ialah
bagian dari rezeki yang tidak boleh ditolak sehingga tidak semua merasa hal
tersebut sebagai upaya intimidasi ataupun membeli suara pemilih. Mendapatkan
uang bagian dari rezeki tak terduga.

Bawaslu RI (16/4/19) pada temuan masa tenang (14 April-16 April 2019)
menyebutkan bahwa ditemukan 25 kasus politik uang yang dilakukan peserta pemilu
dan tim pemenangannya. Barang bukti yang ditemukan cukup beragam, yakni uang
tunai, detergen, hingga sembako. Hal Itu membuktikan bahwa perilaku masyarakat
pemilih cenderung pemisif terhadap pemberian sesuatu.

Harjanto (2021) menyebutkan bahwa partai politik sebagai entitas demokrasi justru
rapuh akibat lemahnya ikatan antara parpol, kandidat, dan pemilih, sosok individu
yang menjadi kandidat akhirnya jauh lebih menjadi incaran pemilih jika dibandingkan
dengan performa parpol yang tidak tampak. Besarnya pembiayaan atas kompetisi
elektoral mendorong partai politik untuk melakukan politik uang.

Indonesia masih berpusat pada candidacy-centered. Sistem pemilu memberikan


insentif yang kuat bahwa dana yang bersumber dari pribadi menjadi sesuatu yang
dilegalkan, maka politik uang menjadi salah satu mekanisme yang paling mungkin
dilakukan untuk meraup suara pemilih. Sistem tersebut ialah proporsional terbuka,
yakni rakyat dapat langsung menentukan pilihan.

Demokrasi sebagai sebuah pilihan sistem menghadirkan pemilihan umum yang


bebas dan kompetitif. Di Indonesia, kemajuan itu diperoleh dari praktik pilkada
langsung yang sudah berlangsung sejak 2004. Namun, seiring perkembangan
demokrasi yang dipraktikkan cenderung menghadirkan rezim yang korup.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 176 pejabat
daerah, 22 gubernur, dan 154 wali kota/bupati terjerat kasus korupsi sepanjang
periode 2004-2022.

Munculkan sanksi sosial


Pemilihan Umum 2024, yang akan digelar 14 Februari 2024 nanti telah menetapkan
maskot dua burung jalak Bali yang mengandung makna suara rakyat (sura) dan
suara pemilu (sulu). Itu menandakan bahwa rakyat seharusnya ialah pemenang
kedaulatan tertinggi dalam penghelatan regenerasi kekuasaan.

Kajian Burhanudin Muhtadi (2019) menegaskan akuntabilitas pemilu harus


diselamatkan dari daulat uang. Bahkan pemilu, menurut Kerkvliet dalam Muhtadi
(2019), menjadi peluang yang jarang orang biasa miliki untuk mampu “menghukum”
dan mengambil kembali hak atau dana publik yang diambil politisi.

Semakin mendekati jadwal pemilihan, semakin besar tekanan untuk membeli suara.
Pemilih perempuan terdaftar di DPT sejumlah 102.588.719 jiwa sekitar 50,3% dari
total 204.807.222 jiwa. Anak muda (gen Z dan millenial) yang jumlahnya hingga
56,4% dari DPT, yakni 113 juta jiwa. Jangan sampai politisi semakin melegalkan
pembagian uang berkedok sedekah, zakat, ataupun sumbangan yang erat
maknanya dengan praktik politik uang.

Perempuan tentu menjadi kelompok sasaran yang rentan, juga anak muda yang
cenderung labil dalam menentukan pilihan. Perlu untuk menginisiasi langkah
bersama. Politik uang hanya dapat dicegah dengan kesadaran bersama. Boleh jadi
sebagian masyarakat pemilih mulai abai dengan siapa yang melakukan korupsi,
yang penting dalam kontestasi, mereka mendapatkan ‘jatah preman’, seperti timses,
calo pemilih, dan cash money.

Perlu ‘juru selamat’ yang mengingatkan sekaligus sebagai pihak yang senantiasa
konsisten berdiri tegak bersama para pemilih Indonesia. Keberanian dan ketekunan
untuk menjalin komunikasi intensif oleh para politikus ialah sesuatu yang harus
dilakukan. Bawaslu sebagai institusi pengawas pemilu harus membuktikan kapasitas
penanganan pada terjadinya tindak pidana politik uang.

Perlu pendekatan teknis yang lebih taktis dalam PKPU 15 2023 mengenai
Kampanye. Pelaksanaan kampanye metode tatap muka di ruang tertutup dibolehkan
dengan pemberian uang dengan alasan untuk keperluan transportasi sehingga akan
lebih mudah diukur. Bawaslu, ketika hadir juga akan mudah untuk melihat sekaligus
menerima salinan bukti transaksi antara kontestan dan peserta pemilu.

Perlu adanya kesepakatan pada masa kampanye yang akan berlangsung 28


November 2023-10 Februari 2024, utamanya pada saat kampanye rapat umum
dengan panggung terbuka dilarang bagi-bagi atau melakukan penyebaran uang di
ranah publik. Di sisi lain, penting untuk memulai kontrak politik sekaligus
memberikan sanksi sosial menjadi pilihan yang harus ditegakkan.

Kelemahan pemilih pascaritual pemilihan ialah tidak menjalin lagi komunikasi yang
baik dengan para wakil rakyat. Akibatnya menjadi lalai sehingga fungsi kebijakan
publik tidak mampu berjalan dengan baik. Masih ada waktu untuk melakukan
capaian kebijakan yang lebih baik. Memahami dengan cermat terkait dengan track
record kapasitas calon anggota dewan, diperlukan sebagai sarana pencegahan
terhadap anggota dewan yang tidak menjual gagasan, tetapi bermodalkan finansial
yang melimpah.

Perlu sistem aplikasi modern dengan model detektor yang bisa mendeteksi getaran
politik uang. Pemberantasan politik uang menggunakan pendekatan TI juga menjadi
salah satu solusi. Ayo berani tolak politik uang sebagai bagian dari gerakan dan
kontrol publik terhadap cita pembangunan yang beradab dan substantif bagi masa
depan Indonesia.

Nurlia Dian Paramita, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk


Rakyat–JPPR, anggota Bidang Advokasi Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah.

Anda mungkin juga menyukai