Oleh: Redaksidpnspri
Kota mengabarkan banyak hal. Di samping kemegahannya, sebuah kota juga bicara
tentang kemiskinannya. Di kota kita bisa melihat gedung-gedung pencakar langit, mobil
mewah membelah jalanan, orang-orang berlalu lalang di pusat-pusat perbelanjaan. Di
kota pula kita bisa melihat jembel kedinginan di samping MCDonal, gubuk-gubuk
kumuh di sepanjang bantaran sungai, atau manusia-masuia gerobak yang berkeliaran.
Batas antara yang kaya dan miskin amat tipis. Terabaikannya rakyat miskin bisa terjadi
dalam segala aspek, salah satunya pendidikan. Dalam gelimang serba kekurangan,
rakyat miskin tidak bisa menikmati pendidikan dengan layak. Sekolah ada, tapi biaya
tidak ada. Akibatnya, masih banyak dari rakyat miskin yang buta huruf. Kenyataan ini
bisa dilansir dari berita Harian Kompas berikut ini:
"Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta tahun 2022 mencatat, sebesar 0,78
persen atau sekitar 64.566 penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami buta huruf.
Persentase tersebut tergolong sebagai hard rock atau sulit untuk diturunkan dan
cenderung naik turun di sekitar angka tersebut."
Di Ibu Kota Negara, pusat dari segala hal, ternyata ada waarganya yang buta huruf.
Sekitar 64 ribu lebih penduduka Jakarta tidak bisa membaca dan menulis. Sekitar
0,78% tidak mengenal dan tidak bisa menata huruf. Inilah tentu membuat ironi. Padahal
program pendidikan sudah sejak lama dicanangkan wajib belajar 9 tahun, dan di
Jakarta masih ada butu huruf yang sulit diturunkan dan cenderung bisa bertambah.
Kenyataan ini tentu membuat kita bertanya-tanya, apa yang dilakukan Pemprov DKI
Jakarta selama ini sehingga hal tersebut bisa terjadi. Mari kita simak lagu berikut ini:
Lirik lagu di atas sangat jelas. Siapapun mempunyai hak untuk mendapatkan
pendidikan yang merata. Namun bagaimana bisa rakyat miskin bisa "tekunlah belajar"
kalau ternyata tidak ada fasilitas yang mendukunya? Bagimana bisa memberantas
kebodohan dan memerangi kemiskinan kalau di Ibu Kota Negara masih ada yang buta
huruf? Bagaimana bisa meraih keadilan dan kemakmuran yang mera ketika rakyat
miskin masih menjadi paria di negeri sendiri? Inilah yang patut kita renungkan. Di pusat
ekonomi kapitalis seperti Jakarta, masih ada warganya yang butu huruf. Padahal dana
dan fasiltas tersedia, namun tidak ada tangan yang terurur kepada mereka.
Orang bisa membaca dan menulis sudah menjadi kewajiban di era modern saat ini. Kita
tidak hidup lagi di era kolonial dimana warganya dibiarkan dalam kehidupan buta huruf
agar mudah dijajah. Kita hidup di era yang segala sesuatunya berkaitan dengan kata-
kata. Bila kita buta terhadap kata-kata, maka akan berada di lorong gelap peradaban
dunia. Hidup kita setiap waktu dibentuk oleh rangkain kalimat demi kalimat yang
beranak pinak. Tanpa kemampuan mencerna, kita akan mudah menngalami tipu daya.
Contoh saja Undang-Undang. Semuanya berisi kata-kata dari halaman pertama dan
terakhir. Bila kita buta huruf sehingga tidak bisa membaca dan memahami
Undang_Undang tersebut, kita akan dikecoh dengan mudah. Oleh karena itu,
kemampuan membaca dan menulis merupakan kemampuan dasar yang harus kita
miliki.
Lantas apa yang bisa dilakukan organisasi rakyat miskin melihat kondisi masih adanya
warga Jakarta yang buta huruf?
Pertama, tentu saja langkah pertama adalah melakukan pendataan. Sebagai kader
organisasi miskin kita harus proaktif dalam mencari siapa saja di wilayah sekitar kita
yang masih buta huruf. Benar kita harus mendata warga yang belum mendapatkan BLT
maupun PKH, namun jangan lupakan juga untuk mendata siapa saja yang belum bisa
membaca dan menulis. Aktivitas ini bisa kita lakukan bersamaan dengan aktivitas yang
lain.
Kedua, setelah data terkumpul, maka disetiap lokasi dimana kader rakyat miskin perlu
membuka Sekolah Rakyat. Salah satu aktivitas Sekolah Rakyat tersebut adalah
mengajarkan membaca dan menulis. Kita bisa mencotoh dua pendiri Republik,
Semoaen dan Tan Malaka dalam membangun Sekolah Rakyat sebagaimana ditulis
oleh kompas.com:
Dalam buku berjudul SI Semarang dan Onderwijs (1921), Tan Malaka menulis:
“Bukan saja karena ongkos buat uang sekolah adalah lebih enteng, dan pengajaran
ternyata lebih baik seperti keterangan anak-anak sendiri yang datang dari sekolah-
sekolah partkulier, tetapi yang terutama sekali, karena hawa di sekolah SI lebih sehat
dan lebih dekat pada watak dan sifat anak asal dari Timur.”
Sekolah Rakyat yang didirikan oleh organisasi rakyat miskin selain mengajarkan
bahasa, menulis, berhitung, dan menggambar, peserta sekolah baca tulis juga
diajarkan tentang pokok-pokok perjuangan SPRI. Dengan begitu mereka mau
bergabung dengan organisasi kita.
Kita tidak bisa membiarkan nasib kaum miskin yang masih buta huruf. Nasib tersebut
harus kita ubah. Perjuangan kita tidak hanya membuat rakyat miskin kenyang di perut,
tapi juga kenyang akan ilmu pengetahuan.***