Anda di halaman 1dari 3

Berantas Buta Aksara lewat Tutorial Terpadu

Belajar dari Kegagalan Masa Lalu Oleh Muhammad Ali

HINGGA kini, masih terdapat sekitar 12,8 juta penduduk Indonesia yang mengalami buta aksara. Padahal dari tahun ke tahun, pemerintah telah melakukan gerakan penanggulangannya. Kita sebagai bangsa sadar bahwa tingkat pendidikan terkait erat dengan tingkat kesejahteraan dan martabat sebuah bangsa. Secara historis, pemberantasan buta aksara sudah dimulai sejak awal kemerdekaan. Lebih dari 90% penduduk Indonesia waktu itu menyandang buta huruf. Progam penanggulangannya waktu itu dikenal dengan pemberantasan buta huruf (PBH) atau kursus ABC, yang ditangani oleh pemerintah melalui Bagian Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK). Pada tahun 1951, disusun program Sepuluh Tahun Pemberantasan Buta Huruf dengan harapan semua penduduk Indonesia akan melek huruf dalam jangka waktu sepuluh tahun berikutnya. Namun, pada tahun 1960, masih terdapat sekitar 40% orang dewasa yang buta huruf. Selanjutnya, tahun 1960 dikeluarkan Komando Presiden Soekarno untuk menuntaskan buta huruf sampai tahun 1964. Hasilnya, pada 31 Desember 1964 penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf. Namun, karena tidak ada pembinaan lanjutan dan langkanya bahan bacaan, ditambah anak usia SD yang tidak sekolah, maka persoalan buta aksara kembali muncul.Pada tahun 1970-an, Pemerintahan Orde Baru mulai merintis progam Kejar Paket A, yaitu program pemberantasan buta huruf dengan menggunakan bahan ajar buku Paket A yang terdiri atas Paket A1-A100. Waktu itu, jumlah penyandang buta huruf ada sekitar 30 juta orang. Upaya pemberantasan buta aksara terus dilakukan. Terakhir, pada Juni 2006 lalu, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar, Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Lewat Inpres ini, pemberantasan buta aksara tidak hanya dibebankan pada Departemen Pendidikan Nasional, tetapi juga pada departemen-departemen lain, yakni Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Agama, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Di samping itu, Kepala Badan Pusat Statistik; para gubernur, para bupati dan wali kota juga ikut dilibatkan. Mereka antara lain diinstruksikan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing dalam pelaksanaan gerakan nasional percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan pemberantasan buta aksara. Targetnya, pada akhir tahun 2009 nanti, terjadi penurunan persentase penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas sekurang-kurangnya menjadi 5% dari jumlah penduduk Indonesia. Kendala Memberantas buta aksara ternyata tak semudah membalikkan tangan. Sejak kemerdekaan bangsa ini diproklamasikan enam puluh dua tahun silam, kita tak pernah berhenti untuk memberantas buta aksara. Akan tetapi, angka kebutaan ini tampaknya tak pernah sirna dari negeri ini.

Pemerintah sendiri mengakui adanya kendala dalam pemberantasan buta aksara. Selain karena kemampuan pemerintah (dalam penyediaan dana) yang terbatas, minat baca masyarakat juga masih rendah. Kalau dirinci, ada empat faktor penghambat pemberantasan buta aksara. Pertama, masih adanya anak usia sekolah (6 hingga 7 tahun) yang tidak bersekolah, karena faktor geografi dan ekonomi. Kedua, terdapat 200.00 hingga 300.000 anak sekolah dasar kelas 1, 2, dan 3 yang putus sekolah setiap tahunnya. Ketiga, kurang intensifnya pemeliharaan kemampuan aksara. Hal ini menyebabkan banyak peserta didik yang selesai mengikuti program pemberantasan buta aksara kembali lagi tak bisa baca tulis pada beberapa tahun kemudian. Keempat, masih rendahnya kemampuan pemerintah membelajarkan penduduk buta aksara. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada acara pencanangan percepatan pemberantasan buta aksara di Kabupaten Bone, Provinsi Sulsel, 10 Maret 2006 lalu, mengakui pendanaan bagi pemberantasan buta aksara relatif masih kecil, hanya Rp175 miliar dari total alokasi anggaran pendidikan di APBN. "Idealnya kita membutuhkan dana Rp1 triliun per tahun untuk pemberantasan buta aksara,'' kata Mendiknas waktu itu. Hal di atas menunjukkan bahwa persoalan buta aksara tetap saja menjadi masalah serius yang harus ditangani penyelesaiannya secara terpadu dan komprehensif. Strategi Penanggulangan Ada beberapa strategi yang perlu dilakukan dalam upaya pemberantasan buta aksara. Pertama, mengurangi jumlah anak yang tidak bersekolah, baik yang diakibatkan oleh masalah ekonomi, maupun yang diakibatkan oleh masalah geografi. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan tindakan nyata dengan membangun gedung-gedung sekolah baru, baik di tempat-tempat yang terpencil, maupun di tempat-tempat yang makin padat penduduk. Kita baru saja menyaksikan bagaimana orang tua dan anak dibuat cemas pada penerimaan siswa baru beberapa minggu lalu. Di tempat-tempat yang padat penduduk, seperti di daerah Pedurungan, Semarang, tempat saya tinggal misalnya, terlihat ketimpangan yang sangat mencolok antara jumlah anak yang siap bersekolah dengan jumlah sekolah yang ada. Bayangkan, untuk masuk SD saja, anak harus menjalani tes, karena jumlah anak yang mendaftar tak sebanding dengan jumlah ruang yang tersedia, yakni sekitar 3 : 1. Untuk menanggulangi anak tak sekolah akibat masalah ekonomi, maka pemerintah perlu segera merealisasikan sekolah gratis, terutama bagi warga kurang mampu. Tidak seperti yang dipertontonkan pada akhir-akhir ini, di mana sekolah malah berlomba-lomba menarik uang gedung, yang jumlahnya relatif besar untuk ukuran mereka yang berekonomi lemah. Hanya orang kaya sajalah yang bisa menyekolahkan anaknya. Sementara mereka yang miskin, terpaksa rela anaknya tak bersekolah, karena tak mampu membayar uang gedung. Kedua, membuat inovasi-inovasi dan strategi baru dalam cara pembelajaran guna tetap menjaga kemampuan beraksara bagi peserta ajar. Misalnya dengan tutorial terpadu, yang memadukan antara program belajar dengan aktivitas mereka sehari-hari. Ada contoh menarik yang dilakukan oleh kelompok belajar Keaksaraan Fungsional (FK) Kuncup Mekar di Desa Pamotan, Kabupaten Rembang. Program pembelajarannya dikaitkan dengan aktivitas sehari-hari peserta didik dalam hal administrasi, seperti menabung di Bank Rakyat Indonesia (BRI), mengurus kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), atau surat-surat lain di kelurahan dan kecamatan. Mereka wajib datang dan menuliskannya sendiri. Pola tutorial terpadu itu perlu diikuti dengan pembangunan jaringan belajar (learning network) yang dapat mengondisikan setiap peserta ajar untuk senantiasa melek ilmu pengetahuan, seperti dibangunnya perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat, dan lain-lain. Dengan jaringan itu,

diharapkan mereka diajak untuk terus belajar sepanjang hayat (life long education) dalam rangka menjaga kemampuan beraksara, dan meningkatkan kualitas hidupnya. Ketiga, adanya niat baik (goodwill) dari pemerintah. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo dalam keberhasilannya memberantas buta aksara. Di daerah pegunungan ini, pada tiga tahun lalu masih terdapat 22.096 warga berusia 15-44 tahun yang belum melek aksara. Angka ini kemudian berhasil ditekan menjadi 21.800 orang pada akhir tahun 2005, dan pada tahun 2006 lalu tinggal separonya, 11.740 jiwa. Ada beberapa hal yang mendukung keberhasilan program ini. Di samping adanya kesadaran yang tinggi dari waganya, dukungan dari berbagai pihak, terutama tim penggerak PKK, dan para tutor yang kreatif, juga adanya tekad yang kuat dari Pemkab untuk membebaskan daerahnya dari buta aksara. Untuk itu, pada tahun 2006 lalu, disediakan dana Rp 640 juta, yang berasal dari bantuan Pemprov Jateng dan pemerintah pusat, serta APBD Wonosobo. Keempat, perlunya keterlibatan berbagai pihak dalam upaya percepatan pemberantasan buta aksara, seperti keterlibatan tim penggerak PKK, organisasi kemasyarakatan (ormas), mahasiswa yang sedang melakukan kuliah kerja nyata (KKN), dan anggota TNI dalam program TNI manunggal aksara. Keterlibatan tim penggerak PKK Wonosobo, misalnya, dapat dijadikan sebagai contoh. Meski daerah ini tidak termasuk kantong buta aksara di Jawa Tengah, namun Ketua Tim Penggerak PKK, Ny Hj Lusi Kholiq Arif SE terlihat aktif turun ke desa-desa untuk menjalankan misi mulia tersebut. Hasilnya kelihatan, angka jumlah buta aksara turun dari 21.800 orang pada akhir tahun 2005 menjadi 11.740 orang pada tahun 2006. Mahasiswa yang sedang KKN juga merupakan potensi besar dalam program penanggulangan buta aksara. Itulah sebabnya, Depdiknas pada tahun 2007 ini menjalin kerja sama dengan 52 perguruan tinggi, termasuk Universitas Terbuka (UT), dalam program tersebut. Selain itu, Depdiknas juga menjalin kerja sama dengan organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dan organisasi keagamaan. Pada tahun 2006 masih terdapat 8,87 % penduduk Indonesia yang masih menyandang buta aksara. Untuk mencapai target turun 5% pada 2009, setidaknya pemerintah harus memelekkan penyandang buta aksara sebesar 2,3 juta orang tiap tahunnya. Hal ini tentu tak mungkin ditangani sendiri oleh Depdiknas tanpa keterlibatan berbagai pihak. (24) -Muhammad Ali, wartawan Suara Merdeka di Semarang.

Anda mungkin juga menyukai