Anda di halaman 1dari 8

Revolusi Pendidikan

Posted January 21, 2008 Comments(0)

Pada zaman kolonial, R.A. Kartini pernah merasakan begitu pilunya dirajam diskriminasi dalam
pendidikan akibat balutan narasi gender. Kini, diksriminasi dalam pendidikan kian muncul bukan
dengan wajah gender tapi akibat sistem pendidikan itu sendiri.Seiring berputarnya waktu, kian
membuktikan bahwa pendidikan di negeri ini semakin diskriminatif. Hal ini dapat terlihat dari
beberapa hal berikut ini. Pertama, komersialisasi pendidikan. Praktek komersialisasi pendidikan
begitu nyata dan meragasukma di dunia pendidikan kita.

Taruhlah proses Penerimaan Siswa Baru (PSB) setiap tahunnya. Banyak sekolah yang disinyalir
melakukan pungutan atas nama dana pembangunan yang besaranya mencekik leher. Hal ini
diperparah dengan berbagai biaya untuk kebutuhan sekolah si anak, seperti seragam, tas dan lain-
lain yang terus merangkak naik. Walhasil banyak anak manusia yang terjeram rasa pilu
menangisi nasib yang amburadul karena tak mampu menggapai cita meretas asa untuk
bersekolah.

Indikator kedua adalah pendidikan kita yang seringkali tidak mengakomodir kaum difabel
(differentiation able). Keinginan eksistensial mereka seringkali tertolak tembok terjal pendidikan
dalam ranah orang normal. Padahal dari segi kemampuan mereka memenuhi syarat untuk
mengikuti proses pendidikan di institusi pendidikan umum. Praktek ini mungkin cukup
memilukan bagi Untung seorang difabel yang berniat melanjutkan pendidikan ke tingkatan SMK
di Jakarta. Ia ditolak dengan dalih SMK tersebut terikat perjanjian dengan perusahaan affiliate-
nya untuk mensyaratkan sehat fisik.

Indikator ketiga adalah kebijakan pendidikan yang hanya pro kota dan mengabaikan desa. Takdir
memang telah menggariskan adanya dikotomi antar desa dan kota. Dua wilayah yang seringkali
bertolak belakang dalam hal modernitas. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya kota dan desa
seringkali terjerembab dalam disparitas signifikan yang pada akhirnya memarjinalkan desa.

Kondisi ini berimplikasi terhadap kondisi pendidikan di desa dan Kota. Pendidikan di kota jauh
lebih maju baik itu dari sarana-prasarana atau pun elemen-elemen penunjang pendidikan seperti
aksesibilitas, koneksi internet dan lainnya. Di desa yang terjadi sebaliknya, seringkali
pemenuhan sarana vital pendidikan seperti sekolah atau pun tenaga pendidik terabaikan.

Di Jabar saja sekitar 67% dari total 191.704 bangunan sekolah rusak (PR, 25/04/06). Angka ini
cukup memiris hati karena membuat Jabar menjadi provinsi terbanyak dalam hal sekolah yang
tidak memadai. Ironis di tengah pencanangan provinsi termaju di Indonesia dan menjadi mitra
terdepan ibu kota justru menghadapi situasi pelik dalam aksesibilitas dunia pendidikan.

Maka logis apabila kemudian terjadi konsekuensi tingginya angka putus sekolah di desa. Kita
pun patut melontarkan beragam tanya, wajarkah semua ini?

The Most Powerfull Things


Secara sosiologis pendidikan berfungsi sebagai sosial elevator, sarana sosial yang dapat
mengubah nasib seseorang berkebalikan dari sebelumnya. Karena pendidikan ini sangat penting
jugalah yang membuatnya dicantumkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) tahun 1966 sebagai hak dasar setiap manusia.

Gayatri Spivak pernah berpendapat bahwa pendidikan adalah the most powerfull things dalam
konteks kontrol sosial masyarakat. Dalam kehidupan bernegara mutlak adanya kontrol sosial
masyarakat terhadap penguasa negeri. Karena itu semua praktek diktatorisasi ataupun
keberpemimpinan sepihak gaya orde baru akan dapat dicegah. Problemnya akankah efektif
aktifitas kontrol sosial itu manakala dihadapkan pada tingkat pemerataan kesempatan dan
kualitas pendidikan itu sendiri di ujung tanduk?

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 60% penduduk Indonesia adalah lulusan SD
ke bawah. 19 % lulusan SMP dan sekitar 18% lulusan SMA. Sisanya adalah kaum-kaum
beruntung yang berhasil merasakan indahnya bangku kuliah.

Data ini diperkuat hasil rapid assessment yang dilakukan oleh Depdiknas, Bappenas dan Bank
Dunia pada tahun 2001. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 akan berjumlah sekitar
254, 2 juta jiwa. Dari jumlah ini kelompok usia 19-25 tahun diperkirakan berjumlah 25 juta jiwa
yang sekitar 25% nya diperkirakan mengenyam pendidikan tinggi.

Perkiraan ini tentu jauh tertinggal dari Negara-negara maju yang jumlah prosentase masyarakat
yang mengenyam pendidikan tinggi sudah menyentuh bahkan lebih dari 50%.

Tapi dalam pandangan saya yang harus dikhawatirkan adalah angka 25% ini milik siapa?
Taruhlah mahasiswa UI, ITB, atau UNPAD yang hampir 90 persen warga Jakarta atau Bandung.
Dengan kata lain,p emerintah saat ini terjebak dalam penilaiaan semu bernada partisipasi tapi
yang lebih penting adalah pemerataan dalam pendidikan tinggi itu sendiri.

Kondisi ini memperparah dunia pendidikan kita saat ini. Fakta sosial menunjukkan sekitar 15
juta jiwa Indonesia masih terjerembab dalam jurang kenistaan bernama buta huruf. Bagaimana
mungkin dengan kondisi seperti ini pendidikan mampu menjadi the most powerfull things seperti
yang dicita-citakan Spivak?

Revolusi Pendidikan

Anggaran pendidikan dalam APBN masih berada dibawah 15 persen. Padahal konstitusi
mengamanatkan 20%. Pemerintah berdalih masih banyak bidang lain yang membutuhkan dana
besar sehingga dana pun harus dialokasikan secara merata.

Pemerintah seharusnya berani untuk mengubah mainstream pembangun bangsa. Pendidikan


harus menjadi tolok ukur kemajuan bangsa. Usaha untuk ini adalah dengan pemenuhan anggaran
pendidikan dalam APBN sebesar 20%.

Pemenuhan anggaran ini akan bermanfaat dalam peningkatan pemerataan partisipasi pendidikan
di negeri ini. Dengan dana yang cukup tinggi pemerintah bisa melakukan upaya rehabilitasi dan
penyediaan sarana dan prasaran pendidikan dengan leluasa. Selain itu pemerintah pun dapat
mengalokasikan dana untuk pendidikan kaum miskin. Walaupun sekarang sudah dijalankan
program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), masih banyak anak manusia di Indonesia yang
gagal mengenyam bangku sekolah akibat ketiadaan dana untuk memenuhi kebutuhan logistik
sekolah seperti seragam dan lainnya.

Selain itu pemerintah juga harus proaktif dalam meningkatkan aksesibilitas kaum difabel dalam
pendidikan. Institusi pendidikan umum harus dirancang ramah bagi kaum difabel ini. Misalkan
dengan pembangunan sarana sekolah yang accessible bagi pengguna kursi roda, disediakannya
komputer bagi tuna netra atau lainnya. Tapi yang lebih penting adalah regulasi yang ketat dalam
menjamin hak-hak kaum difabel dalam mendapatkan dan menjalani proses pendidikan di
pendidikan umum.

Masyarakat pun dituntut untuk bersama-sama melakukan pengikisan diskriminasi dalam


pendidikan. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi penting di sini. LSM memiliki
peran sebagai articulator keinginan sosial masyarakat kepada pemerintah. Tapi bisa juga
berperan sebagai eksekutor pendidikan di masyarakat. Dalam rangka mengikis diskriminasi
pendidikan akibat disparitas pembangunan pedesaan dan perkotaan, LSM bersama pemerintah
harus proaktif dalam mengusahakan pendidikan di desa-desa terpencil yang tertinggal dalam
aksesibilitas.

Taruhlah Kuba dengan program University of All-nya. Pemerintah Kuba bersama LSM proaktif
menyambangi desa-desa untuk memberantas buta huruf. Efeknya angka buta huruf di Kuba
menurun drastis hampir mendekati 0%.

Seiring datangya tahun 2008 ini, selayaknyalah kita memupuk asa untuk menuju pada usaha
revolusi pendidikan. Sebuah kerugian besar jika pendidikan justru menjadi the most powerless
things di Negara yang kita cintai ini.

Pendidikan adalah (seharusnya) menjadi skala prioritas bagi agenda pembangunan pemerintah daerah.
Akselerasi pembangunan pendidikan yang sedang dilaksanakan saat ini merupakan bagian dari upaya
perbaikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Melalui percepatan pembangunan
pendidikan yang menyentuh segala aspek dan dinamika pendidikan diharapkan akan mampu
mengangkat kualitas pendidikan di daerah. Sehingga dengan sendirinya akan terjadi agregasi positif
terhadap kondisi kualitas pendidikan secara nasional.

Pembangunan pendidikan di daerah harus bersifat adil, partisipatif dan terintegrasi, sehingga
kesenjangan mutu yang ada saat ini dapat diatasi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Aneka kebijakan
dan program kerja yang telah dan sedang diluncurkan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat,
semuanya itu bermuara pada upaya pencapaian tingkat kualitas pendidikan. Walaupun di satu sisi,
untuk mengatasi ketertinggalan mutu pendidikan suatu daerah menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah itu sendiri, namun pemerintah pusat lebih berperan untuk melakukan fasilitasi dan koordinasi.

Dapat dipahami bahwa kondisi geografis ternyata menjadi salah satu penghambat ketercapaian akses
dan pemerataan pendidikan. Kesenjangan akses pendidikan antara desa dan kota atau daerah terpencil
dengan daerah perkotaan merupakan salah satu penyebab tidak meratanya mutu pendidikan. Guru
yang tinggal di daerah perkotaan mendapat akses yang lebih baik terhadap hal-hal yang berhubungan
dengan peningkatan mutu guru seperti informasi dan fasilitasi pendidikan, sementara guru di
pedalaman atau bahkan di daerah terpencil tidak seberuntung itu.

Ditambah lagi rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan yang berakibat
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di daerah turut menjadi faktor penyebab ketimpangan
mutu. Disamping adanya keterbatasan prasarana dan sarana yang menyebabkan masyarakat pendidikan
kesulitan untuk melakukan aktifitas pendidikan.

Guru di daerah tertinggal


Di Provinsi Sumatera Utara terdapat 6 kabupaten yang masuk kategori daerah khusus atau daerah
tertinggal. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor
001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal bahwa terdapat 6
(enam) daerah di Sumatera Utara yang masuk kategori tersebut. Keenam daerah itu adalah kabupaten
Nias Selatan, Nias, Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat, Dairi, dan Samosir.

Berdasarkan update data NUPTK per Nopember 2010 yang dikelola oleh Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan (LPMP) Provinsi Sumatera Utara, saat ini terdapat 5.029 guru di kabupaten Nias Selatan;
2.787 guru di Nias; 5.250 guru di Tapanuli Tengah; 1.402 guru di Pakpak Bharat; 4.626 guru di Dairi; dan
2.463 guru di Samosir.  Data ini belum termasuk kepala sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan
lainnya. Sedangkan data hasil monitoring Dewan Pendidikan Provinsi Sumatera Utara 2010 dari jumlah
guru di Sumatera Utara sebanyak 186.663 guru yang tersebar di 33 kab/kota mencakup seluruh jenjang
pendidikan mulai dari TK/RA hingga SMA/MA sederajat  diperoleh sebanyak 105.715 (56,63%) guru yang
belum S1.
Pada hakikatnya, secara kuantitas jumlah guru yang mengabdi di daerah yang terkategori daerah
tertinggal ini merupakan aset daerah. Hanya saja, tinggal polesan-polesan khusus untuk meningkatkan
kualitas mereka secara merata dan berkelanjutan. Sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah
peluang yang dalam transformasinya berubah menjadi sebuah kekuatan tersendiri dalam upaya
perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di daerah.

Saat ini terjadi ketimpangan kompetensi yang cukup mencolok pada guru di daerah tertinggal. Banyak
guru yang mengajar di sekolah-sekolah terpencil dengan tidak terstruktur dan mengabaikan teori-teori
pembelajaran efektif. Fenomena ini dapat dimengerti karena memang upaya peningkatan kompetensi
guru tidak dijadikan sebagai salah satu solusi yang diprioritaskan khususnya dalam pembangunan
pendidikan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh pelatihan atau upaya-upaya
peningkatan mutu guru itu sendiri, sehingga ini berkorelasi erat dengan kemampuan mengajarnya di
sekolah. Jika hal ini tidak diberi perlakuan khusus tentu saja akan semakin memperburuk kualitas proses
belajar mengajar di sekolah.

Pemerintah daerah dengan keterbatasan anggaran dan sumber daya lainnya dapat saja bekerja sama
dengan berbagai institusi atau lembaga yang memiliki komitmen untuk kemajuan pendidikan. Secara
bertahap, merata dan berkelanjutan berupaya untuk meningkatkan kompetensi guru. LPTK dan LPMP
misalnya, yang merupakan lembaga atau institusi yang selama ini terus aktif berkecimpung dalam
perbaikan mutu dapat diajak bekerja sama secara lebih intensif. Terlepas dari itu, LPMP saat ini terus
mengembangkan program-program pemetaan kompetensi guru secara optimal, baik melalui uji
kompetensi guru maupun quality mapping (pemetaan mutu).
 
GARAP daerah tertinggal
Untuk mendukung program pembangunan dalam rangka percepatan pemenuhan akses dan pemerataan
mutu pendidikan, ada beberapa program strategis yang seharusnya kita lakukan bersama, baik antara
pemerintah, pemerintah daerah, dan stakeholders pendidikan lainnya. Dengan meng-GARAP
pembangunan pendidikan di daerah tertinggal diharapkan sinergis dengan pencapaian dan pemenuhan
hak masyarakat dalam mengenyam pendidikan yang berkualitas.

Program GARAP yang dimaksud di sini adalah akronim dari Gateway, Acceleration, Rearrangement,
Accessibility, dan Professional Teacher. Pertama; Gateway (kemitraan). Tidak bisa dikesampingkan
bahwa dalam proses pembangunan pendidikan di daerah dibutuhkan pola kemitraan yang solid. Pola
kemitraan dikembangkan tidak saja dengan sesama institusi pemerintah yang bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan pendidikan, namun juga dengan institusi atau lembaga lainnya, misalnya
dengan dunia usaha atau bisnis.

Penguatan kemitraan di tingkat sekolah dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas diperankan oleh kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua dengan masyarakat atau
dunia usaha. Untuk tingkat institusi pendidikan penguatan dikembangkan secara legal formil dengan
UPT Pusat Kementerian Pendidikan Nasional, Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK), akademisi
dan praktisi pendidikan dengan dunia usaha.

Kemitraan solid sangat diperlukan, terutama dalam upaya pemerataan pendidikan untuk menopang
pembangunan masyarakat berkualitas di daerah. Dengan pola kemitraan yang terbangun dan didasari
oleh komitmen tinggi akan memunculkan sense of crisis dan sense of belonging antara para pelaku
pendidikan itu sendiri.

Contoh kecil dan sederhana adalah pemanfaatan tanggung jawab sosial (CSR) dari BUMN/BUMD.
Misalnya membangun pola kemitraan dengan provider telekomunikasi atau sejenisnya untuk
melaksanakan pelatihan literasi ICT dasar untuk peningkatan kompetensi guru seta mengupayakan
terwujudnya penerapan pembelajaran berbasis TIK di sekolah, sehingga dapat meningkatkan kualitas
dan daya saing sekolah di daerah penggiran/tertinggal. Pola kemitraan ini telah pernah dilakukan oleh
LPMP Provinsi Sumatera Utara di beberapa daerah, dan itu tergolong sukses untuk peningkatan
kemampuan guru dalam mengoperasikan media pendidikan, komunikasi, dan informasi.
Pola Kemitraan dapat juga dibangun melalui kerjasama dengan LPMP, LPTK dan Stakeholder lain berupa
penguatan pengelolaan sekolah melaui peningkatan kompetensi kepala sekolah dan pengawas untuk
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kerjasama ini bertujuan untuk peningkatan efisiensi dan
efektifitas pengelolaan sekolah sebagai satuan pendidikan yang dapat diunggulkan sehingga tidak ada
lagi ketimpangan di daerah yang dikategorikan tertinggal atau daerah pedalaman.

Kedua; Acceleration (Percepatan). Dengan kondisi geografis yang cukup sulit, tentu saja akses informasi
dan implementasi program kerja pendidikan akan terhambat. Akibatnya tidak semua satuan pendidikan
dapat secara cepat dan optimal menerima, mengadopsi atau melaksanakan program-program stategis
pendidikan yang dikeluarkan baik oleh kementerian maupun oleh dinas pendidikan sendiri.

Untuk itu harus dilakukan akselerasi distribusi informasi dan pendampingan secara maksimal berbagai
upaya percepatan pembangunan kualitas pendidikan di daerah. Seperti halnya dilakukan pendampingan
langsung pada satuan pendidikan-satuan pendidikan yang berada di daerah tertinggal dalam hal
implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan (SPMP). Di mana, pendampingan tersebut difokuskan
pada upaya peningkatan kualitas pengelolaan dan layanan pendidikan melalui akselerasi penerapan
SPMP.

Begitu juga termasuk di dalamnya adalah evaluasi diri sekolah (EDS) yang pada dasarnya merupakan
bagian integral dari otonomi sekolah menuju perbaikan kualitas sekolahnya sendiri. Akselerasi ini tentu
saja melibatkan guru-guru di satuan pendidikan dimaksud karena mereka lah yang selama ini berperan
cukup besar dalam menentukan kualitas pendidikan. Sehingga akhirnya diharapkan dapat mengeliminir
ketertinggalan satuan pendidikan daerah tertinggal atau pedalaman dengan satuan pendidikan yang ada
di daerah perkotaan.

Ketiga; Rearrangement (Penyusunan kembali pola penempatan guru). Salah satu penyebab lambatnya
perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan di daerah pedalaman atau pelosok adalah kesenjangan
tenaga pendidik. Kesenjangan ini tidak saja dari sisi kuantitas namun juga diperparah dari sisi kualitas
pendidik. Cukup banyak satuan pendidikan di daerah tertinggal atau pedalaman yang kekurangan guru.
Bahkan masih ada ditemui satu guru di satuan pendidikan yang mengampu beberapa mata pelajaran
dan mengajar lebih dari satu rombongan belajar pada saat yang bersamaan.

Sementara itu, di daerah perkotaan malah terjadi kelebihan jumlah guru. Dan bahkan ada beberapa
guru yang hanya kebagian sedikit jam mengajar karena harus berbagi dengan guru lainnya. Padahal di
satu sisi mereka dituntut oleh aturan jumlah jam wajib mengajar. Ini lah paradoks dalam dunia
pendidikan yang kerap menggelitik rasa humanistis kita.

Solusi yang efektif dalam mengatasi permasalahan ini adalah pemerataan penyebaran guru di daerah-
daerah pelosok atau pedalaman. Penyusunan kembali penempatan guru-guru di daerah tersebut harus
dilakukan secara tepat, dan disesuaikan dengan kebutuhan satuan pendidikan. Guru-guru berkualitas
yang dianggap mampu mendongkrak kualitas pendidikan dapat saja di drop ke daerah terpencil atau
pedalaman. Dan di saat bersamaan, guru-guru yang selama ini mengajar di daerah tersebut terus di
tingkatkan kualifikasi dan kompetensinya.

Penyusunan kembali pola dan strategi penempatan guru-guru untuk mengabdi di daerah tertinggal
harus dilakukan. Pemenuhan dan penempatan guru di daerah dapat saja menggunakan pola teacher
supply, demand, and quality. Ketimpangan penyebaran guru bisa berakibat buruk laksana sebuah
epidemi pendidikan yang dapat menggerogoti secara lebih luas sumber daya manusia di daerah
tersebut. Pemeratan penyebaran guru dengan kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan serta kualitas
guru yang berimbang diharapkan akan terwujud pemerataan kualitas pendidikan antara daerah
pedalaman dengan perkotaan.

Keempat; Accessibility (Aksesibilitas). Untuk dapat berhasil dalam proses pembangunan setiap daerah
memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas, generasi yang mempunyai tingkat pendidikan yang
memadai serta kemampuan yang cukup untuk menunjang proses pembangunan di daerah. Demi
tercapainya sumber daya manusia yang berkualitas tersebut diperlukan upaya-upaya untuk
mempermudah akses pendidikan.

Terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan yang terjadi di suatu daerah tidak hanya berhubungan
dengan pelaku pendidikan semata-mata. Kesenjangan itu juga merupakan cerminan dari ketidak-
terpenuhinya aksesibilitas fisik dan non fisik. Artinya, kesenjangan kualitas pendidikan juga dengan
sendirinya bermakna kesenjangan terhadap akses pendidikan.

Accessibility of education sepertinya masih merupakan tantangan terbesar dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan. Pemenuhan akses fisik berupa ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan yang
memadai mutlak dilakukan di saat kita berupaya untuk pemerataan mutu pendidikan. Disamping itu
pemenuhan akses non fisik yang menunjang pembangunan pendidikan tidak kalah pentingnya, seperti
upaya peningkatan dan pengembangan kompetensi guru. Paradoks, jika sebuah sekolah kecil di desa
terpencil yang tidak memiliki fasilitas memadai, dan gedung sekolah yang tidak layak untuk dilaksanakan
proses belajar mengajar serta guru yang tidak pernah di upgrade, dituntut untuk meningkatkan mutu
sejajar dengan daerah lainnya. Ini lah permasalahan klasik yang selalu menggerogoti dunia pendidikan
kita.

Kelima; Proffesional teacher. Lemah dan lambatnya upaya peningkatan mutu pendidikan salah satunya
disebabkan oleh ketidak-profesionalan guru. Padahal kedudukan guru sebagai tenaga profesional
berperan sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan. Guru sebagai ujung tombak
dalam proses pencerdasan dan pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas harus membangun
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas pula.

Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa guru harus memiliki keahlian, kemahiran, dan
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma yang berlaku. Standar mutu yang ada merujuk
pada aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dan secara umum guru profesional harus memiliki
bakat, komitmen, kualifikasi akademik, kompetensi, dan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas
keprofesionalannya. Disamping itu, guru harus memiliki kesempatan untuk mengembangkan
keprofesionalannya secara berkelanjutan.

Ada banyak contoh program yang dapat dikembangkan dalam rangka asistensi pembentukan guru
sebagai tenaga profesional, baik yang diterapkan pada individu maupun kelompok. Diantaranya adalah
menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan minat, inovasi, dan kreatifitas para guru melalui program
pengembangan profesional berkelanjutan; serta membangun jaringan komunikasi dan kerja sama antar
profesi guru, baik di daerah tertinggal maupun daerah lain yang lebih maju. Sehingga untuk mengejar
ketertinggalan kualitas pendidikan di daerah tertinggal atau pedalaman ditempatkan tenaga guru yang
berkualitas dan profesional.

Penutup
Pada dasarnya secara moril pembangunan pendidikan di daerah tidak saja menjadi tugas pemerintah
daerah tetapi merupakan tanggung jawab seluruh stakeholder pendidikan. Dengan pola GARAP
pendidikan di daerah tertinggal, kita bisa mewujudkan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan
dalam rangka melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, khususnya di daerah tersebut.

Dengan terbangunnya kerjasama antara semua pihak tentu saja bermanfaat dalam memudahkan alur
komunikasi dan informasi untuk melaksanakan pembangunan pendidikan. Dengan percepatan distribusi
informasi juga kita dapat mengelola pola penyusunan dan penempatan guru-guru di daerah tertinggal
agar dapat mereduksi kesenjangan mutu yang disebabkan oleh penempatan guru yang tidak
proporsional.

Terbangunnya kemitraan yang solid baik antara pemerintah, pemerintah daerah, pihak swasta dan
masyarakat akan mempermudah terwujudnya pemenuhan aksesibilitas pendidikan. Prasarana dan
sarana atau aksesibilitas fisik dan non fisik minimal tidak lagi menjadi kendala utama dalam
pembangunan pendidikan menuju pendidikan yang berkualitas. Dengan demikian tidak akan sulit lagi
menuntut tanggung jawab keprofesionalan guru dalam memajukan pendidikan di daerah terpencil atau
terbelakang, disamping sebelumnya guru-guru tersebut terus mendapatkan kesempatan untuk
mengembangkan keprofesionalannya secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.

Anda mungkin juga menyukai