Anda di halaman 1dari 10

buta aksara dan cara penanggulangannya

Detectivetomboyz.multiply.com
Buta aksara fungsional adalah sebutan yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan membaca
dan menulis yang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini sama
dengan buta aksara dalam arti terbatas, yang berarti ketidakmampuan untuk membaca atau
menulis kalimat sederhana dalam bahasa apapun.
Hak dari seperlima populasi orang dewasa di seluruh dunia untuk melek huruf hingga kini masih
terabaikan.
Setidaknya, sebanyak 771 juta orang usia 15 tahun ke atas hidup tanpa memiliki keterampilan
keaksaraan dasar.
Sebagian besar dari mereka, khususnya berada di sub Sahara Afrika, Asia Barat, Selatan, Timur,
dan Pasifik, dengan kondisi kaum perempuan yang melek aksara lebih rendah dari pada laki-laki.
Laporan Pengawasan Global Pendidikan Untuk Semua (PUS) 2006 menyebutkan, terdapat 88
perempuan dewasa buta huruf pada setiap 100 laki-laki dewasa yang sudah melek huruf.
Jumlah yang lebih kecil ditemui di negara yang berpendapatan rendah seperti Bangladesh (62
dari 100 laki-laki) dan Pakistan (57 dari 100 laki-laki).
Laporan itu menyebutkan, masalah buta aksara menjadi persoalan yang terjadi hampir di semua
negara, khususnya negara berkembang yang erat kaitannya dengan kondisi kemiskinan,
keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakberdayaan masyarakatnya.
Namun demikian, masalah pemberantasan buta aksara di banyak negara masih terganjal oleh
rendahnya komitmen para pemimpin politik untuk memasukkan pembiayaan program
keaksaraan tersebut sebagai prioritas.
Dalam kenyataannya, banyak negara mengaloksikan hanya satu% anggaran dari anggaran negara
untuk pembiayaan pembangunan pendidikan.
Laporan PUS 2006 menekankan tentang pentingnya para pemimpin politik pada tingkat tertinggi
berkomitmen untuk membuat kebijakan yang jelas tentang keaksaraan, khususnya pada tingkat
pendidikan dasar dan lanjutan pertama.
Kondisi jumlah penduduk buta aksara yang tinggi itu kemudian mendorong negara-negara yang
tergabung dalam forum Dakar-Senegal, tahun 2000, menetapkan satu poin penting untuk

pengurangan sebesar 50% tingkat buta aksara orang dewasa tahun 2015.
Selain upaya pengurangan yang dilakukan negara-negara forum Dakar, dukungan juga datang
dari badan dunia seperti Unesco, Unicef, WHO, World Bank dan badan-badan internasional
lainnya untuk melakukan kampanye dan sosialisasi pentingnya pemberantasan buta huruf di
seluruh dunia.
Kampanye tentang melek aksara itu diarahkan pada pemahaman bahwa peningkatan kemampuan
keaksaraan dapat memberikan manfaat lebih luas, termasuk berpikir kritis, perbaikan kesehatan,
keluarga berencana, pencegahan HIV/AIDS, pendidikan anak, pengentasan kemiskinan, dan hakhak kewarganegaraan.
UNDP menjadikan angka melek aksara sebagai variabel dari empat indikator untuk menentukan
Indeks Pembangunanan Manusia (IPM) suatu negara, di samping rata-rata lama pendidikan, ratarata usia harapan hidup (indeks kesehatan) serta indeks perekonomian berupa pengeluaran per
kapita.
Karena alasan tersebut, banyak negara khususnya di negara berkembang berlomba-lomba
meningkatkan jumlah penduduk melek aksara.
Di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka buta aksara tinggi; Indonesia masuk
dalam jajaran 34 negara di dunia yang jumlah penderita buta aksaranya tinggi.
Menurut Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Ace
Suryadi mengatakan, jumlah buta aksara saat ini mencapai 15,4 juta.
Depdiknas menargetkan angka buta aksara bisa diturunkan hingga 50% dari 15.414.211 orang
menjadi 7.707.105 orang pada akhir tahun 2009.
"Dengan asumsi bahwa setiap tahun kita bisa memelekkan 1,5 juta penderita buta aksara.
Dengan demikian, pada akhir 2009 diperkirakan angka buta aksara di Indonesia tinggal
separuhnya," kata Ace optimis.
Sekarang ini, kata dia, gerakan pemberantasan buta aksara masih difokuskan pada sembilan
provinsi dengan penduduk buta aksara terbanyak, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, Papua, NTB, Kalimantan Barat, NTT, dan Banten.
"Provinsi-provinsi ini merupakan daerah kantong buta aksara. Sehingga kalau sembilan propinsi
ini bisa tergarap dengan baik, maka Human Development Indeks (HDI) Indonesia akan langsung

membaik," katanya.
Usaha penuntasan buta aksara di Indonesia dilakukan secara terus-menerus sejak tahun 1997
meski pada kenyataannya gerakan tersebut bahkan sudah dimulai sejak 50 tahun lalu.
Beberapa persoalan yang mendorong tingginya jumlah penduduk buta aksara antara lain
disebabkan adanya penduduk yang sejak awal memang tidak sekolah karena berbagai alasan
seperti keadaan ekonomi keluarga dan kondisi geografis tempat tinggal mereka.
Selain itu, terjadinya buta aksara juga akibat tingginya angka putus sekolah, sementara warga
belajar yang telah mengikuti program pemberantasan buta aksara tidak memperoleh
pemeliharaan secara intensif.
Program wajib belajar sembilan tahun saat ini menjadi salah satu pendekatan yang dilakukan
pemerintah untuk mengatasi buta aksara pada anak-anak usia sekolah; data menyebutkan setiap
tahun hampir satu juta anak sekolah dasar terancam putus sekolah.
Komitmen pemerintah dalam pemberantasan buta aksara ditunjukkan melalui serangkaian
kegiatan kunjungan kerja Mendiknas Bambang Sudibyo ke daerah-daerah yang masih memiliki
angka buta aksara tinggi.
Dalam setiap kesempatan kunjungannya, Mendiknas selalu mengingatkan mengenai pentingnya
pemberantasan buta aksara yang hingga kini, bagia dia, masih menjadi "aib" di tengah pesatnya
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
"Pemberantasan buta aksara perlu strategi atau model pembelajaran baru," katanya.
Pendekatan baru itu, kata dia, dengan mengubah model pembelajaran paket A setara SD dan
paket B setara SLTP yang semula hanya menggunakan bahasa Indonesia, ditambah dengan
bahasa Ibu.
"Harus dibalik menjadi 2-3 bulan pertama menggunakan bahasa Ibu, kemudian, bulan keempat
menggunakan bahasa Indonesia," katanya.
Selain itu, dalam waktu dekat pemerintah berencana menerbitkan instruksi presiden (Inpres)
mengenai pemberantasan buta aksara.
Inpres itu sebagai penguatan komitmen pemerintah untuk menuntaskan buta aksara yang
ditargetkan selesai pada 2009.

Desa Cerdas
Tingginya angka buta aksara di suatu daerah dapat menjadi cermin bagaimana suatu daerah
mengelola dan memajukan sektor pendidikannya.
Apalagi seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah maka sebagian besar dari pengelolaan
dan kebijakan sektor pendidikan telah menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Beberapa provinsi memang telah menempatkan pemberantasan buta aksara sebagai salah satu
program prioritas di sektor pendidikan.
Tengok saja provinsi Jawa Barat dengan "Desa Cerdas"- nya.
Program "Desa Cerdas" dilaksanakan di 700 desa tertinggal dalam upaya mengurangi angka
putus sekolah, pemberantasan buta aksara melalui pelaksanaan program wajib belajar sembilan
tahun dan program kesetaraan kelompok belajar paket A setara SD dan B setara SLTP.
Program "desa cerdas" meniru langkah Departemen Kesehatan melalui program desa sehatnya.
Program tersebut diharapkan mampu mengurangi angka putus sekolah, angka mengulang siswa
dan buta aksara.
Sementara itu di Bondowoso, Jawa Timur, program pemberantasan buta aksara dilaksanakan
melalui pendekatan "kekuasaan", yakni melibatkan aparat pemerintahan daerah, mulai dari
pamong desa, guru dan sebagainya untuk menuntaskan buta aksara dengan membina satu
penduduk buta aksara mampu membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Di daerah lain, seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan sejumlah provinsi lain seperti di
Manado digunakan pendekatan penuntasan buta aksara melalui Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM).
Belajar membaca, menulis dan berhitung dilaksanakan dengan memberikan daya tarik atau
"iming-iming" kursus keterampilan gratis seperti menjahit, memasak, sablon, bengkel bubut dan
sebagainya.
Dhejemuhammad.blog.friendster.com
Kapan Bebas Buta Aksara?
Ada kabar buruk! Sekitar 14,8 juta orang Indonesia adalah penyandang buta aksara. Ada
sembilan provinsi yang memiliki kantong-kantong penduduk buta aksara besar di Indonesia,
peringkat tiga besar ditempati Jawa Timur (29,32 %), Jawa Tengah (21,39 %), dan Jawa Barat

(10,66 %), sedangkan yang lain Banten, Kalbar, Sulsel, NTB, NTT dan Papua. Sembilan provinsi
ini menyumbang 81 persen lebih warga buta aksara di Indonesia. Selebihnya (19 %) berada di
22 provinsi lain di tanah air.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sudah merangkul beberapa organisasi yang
dikenal memiliki jaringan hingga lapis bawah. Ini untuk turut melaksanakan Gerakan Nasional
Pemberantasan Buta Aksara Intensif dam Perluasan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini di
seluruh Indonesia.
Tentu angka yang disebut Mendiknas adalah jumlah penduduk, remaja usia kerja (10 tahun
lebih). Angka ini lebih baik daripada tahun sebelumnya (2004), dimana penduduk usia kerja
yang buta aksara tercatat 3.333.092 orang atau 10,40 persen dari jumlah penduduk di Jawa
Tengah.
Suatu daerah dinyatakan bebas buta aksara, kalau Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka
Partisipasi Murni (APM) mencapai 100 persen atau lebih. Dua indikator ini terkait dengan
jumlah remaja usia sekolah yang menempuh jenjang pendidikan tertentu, terutama sekolah
dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah lanjutan tingkat pertama/madrasah tsanawiyah
(SLTP/MTs), serta sekolah lanjutan tingkat atas/madrasah aliyah (SLTA/MA).
Sejak tahun ajaran 2004/2005, APK untuk jenjang pendidikan SD/MI di Jawa Tengah khususnya
sudah mencapai 100 persen lebih. Tetapi APM pada jenjang pendidikan yang sama masih 89,72
persen. Angka APK dan APM makin rendah di tingkat SMP/MTs. Kalau kedua jenjang
pendidikan dasr ini digabung, hasilnya pun masih jauh dari kategori bebas buta aksara, yaitu
98,47 persen untuk APK dan 80,57 persen untuk APM.
Maka ancangan yang dibuat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Jawa Tengah perlu
dijadikan pegangan kita bersama. Instansi ini menargetan APK pendidikan dasar sudah di atas
100 persen pada akhir tahun ajaran 2005/2006. sedangkan APM baru dapat terealisasi pada tahun
2008. melihat kondisi terkini yang diwarnai berbagai kenaikan harga da penurunan daya beli
masyarakat yang ikut mempengaruhi, Dinas P dan K hanya menargetkan APM sebesar 92,55
persen hingga tahun ajaran 2006/2007.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah mempercepat penuntasan Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Dinas P dan K akan melakukan penambahan ruang kelas
baru, pembangunan TK/SD satu atap dan SD/SMP satu atap, program inklusi, membuka SMP
Terbuka, dan Kelompok Belajar (Kejar) Paket B setar dengan SMP.
Menurut Kepala Dinas P dan K Jawa Tengah, Drs. Rodjikin MM., sudah mulai dikembangkan
Program Desa Tuntas Aksara, meningkatkan pemberian beasiswa bagi siswa dari keluarga
kurang mampu, serta memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus
Murid (BKM)
Japarde.multiply.com
Menumbuhkan Motivasi, Menggali Potensi yang Tersembunyi

Oleh : James P. Pardede

Tidak mudah untuk mewujudkan target Indonesia menurunkan angka buta aksara hingga 5
persen pada 2009 mendatang, diperlukan komitmen semua elemen bangsa dan inovasi-inovasi
yang kreatif oleh para tutor dalam memelekaksarakan warga belajar buta aksara di beberapa
daerah di Indonesia. Terutama daerah yang angka buta aksaranya masih tergolong sangat tinggi.

Dalam sebuah kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengemukakan


bahwa untuk menuntaskan masalah buta aksara agar lebih cepat dan efisien perlu dikeroyok
ramai-ramai. Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), swasta, perusahaan, LSM
maupun organisasi kemasyarakatan.
Memang, siapa pun mengakui kalau potret masyarakat buta huruf atau buta aksara identik
dengan kantong kemiskinan pengetahuan, keterampilan, dan keterbelakangan. Oleh karena itu,
fenomena daerah tertinggal memang senantiasa bersentuhan langsung dengan karakteristik
masyarakatnya yang bercirikan keterbatasan sumber daya baik sumber daya alam apalagi sumber
daya manusianya.
Untuk menetapkan daerah miskin beberapa variabel dominannya dirujuk dari pendapatan
penduduk, kecukupan kebutuhan dasar, dan derajat kesehatan. Hasilnya menunjukkan bahwa
kantong kemiskinan bagi masyarakat Indonesia tersebar di ribuan kecamatan dan ribuan desa
tertinggal. Adapun ukuran kemiskinan pengetahuan, khususnya masyarakat yang dikategorikan
buta huruf dan buta aksara, dilihat dari sensus penduduk yang datanya menunjukkan bahwa
masyarakat tersebut (baca: usia 15-44 tahun) mengidap penyakit tiga buta, buta aksara, buta
pengetahuan umum/pendidikan dasar, dan buta bahasa Indonesia.
Selain itu, tingginya angka putus sekolah di tingkat SD terutama kelas 1,2,dan 3 juga berpotensi
menciptakan buta aksara. Jika melihat perkembangan penurunan buta aksara hingga 2006,
hasilnya sangat menggembirakan. Tapi semakin sedikit jumlah penduduk buta aksara, maka akan
semakin sulit memberantasnya. Karena, penduduk buta aksara yang tersisa adalah yang termasuk
dalam golongan hardrock (sangat sulit dimelekaksarakan).
Mengatasi permasalahan masih tingginya angka buta aksara, diperlukan kerja sama berbagai
pihak seperti dipaparkan di atas. Misalnya, lembaga atau instansi pemerintah seperti perguruan
tinggi, pemerintah daerah, dan unit pelaksana teknis. Selain itu, juga diperlukan peran swasta
seperti perusahaan, BUMN, perbankan, serta organisasi masyarakat dan keagamaan.
Menumbuhkan Motivasi

Jika mengamati kondisi buta aksara di Indonesia, maka pola pembelajaran bagi penduduk buta
aksara harus dilaksanakan secara utuh dan terpadu. Bila perlu, upaya-upaya dengan pendekatan
psikologis dan profesi perlu diterapkan, antara lain menumbuhkan motivasi warga belajar yang
terdeteksi dalam kategori warga buta aksara.
Motivasi warga belajar adalah dorongan yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan atau
tindakan tertentu. Belajar terjadi karena adanya motivasi yang mendorong seseorang untuk
melakukan perbuatan belajar. Dorongan itu dapat timbul dari diri warga belajar yang bersumber
dari kebutuhan tertentu yang ingin mendapat pemuasan; atau dorongan yang timbul karena
rangsangan dari luar diri warga belajar, sehingga ia melakukan kegiatan belajar.
Motivasi yang timbul dari dalam diri warga belajar akan lebih baik dibandingkan dengan
motivasi yang disebabkan oleh rangsangan dari luar, namun dalam prakteknya seringkali
motivasi dari dalam sulit ditemui bahkan cenderung tidak ada. Keadaan demikian memerlukan
rangsangan dari luar sehingga timbul motivasi belajar.
Rangsangan atau upaya menumbuhkan motivasi warga belajar sebenarnya masih memerlukan
cara-cara yang inovatif dan kreatif. Apakah itu lewat pendekatan kekeluargaan, keagamaan atau
lewat pekerjaan. Pendekatan lewat kekeluargaan dan keagamaan mungkin tidak terlalu sulit.
Yang sulit adalah pendekatan lewat pekerjaan. Berdasarkan fakta di lapangan, para pekerja
termasuk petani di beberapa daerah sangat sulit membagi waktu untuk belajar dan bekerja.
Kreatifitas dari tutor dalam menggiring dan menumbuhkan motivasi warga seperti ini sangat
menentukan. Sebab, warga belajar yang ingin diberdayakan kebanyakan dari kalangan orang
dewasa (usia antara 15 - 44 tahun) yang telah banyak makan asam dan garam kehidupan.
Dalam pertumbuhan seseorang sampai masa dewasa, dia banyak memperoleh pengalaman dalam
hidupnya, dan telah banyak belajar dari pengalaman hidup tersebut. Hasil dari pengalaman itulah
yang menentukan sikap hidup, pendirian, jalan pikiran, nilai dan sebagainya dari orang
bersangkutan.
Apabila sikap hidup, pikiran, ide, pengalaman, informasi dan sebagainya yang terdapat pada diri
warga belajar dipupuk dan dikembangkan, maka akan membantu perkembangan atau kemajuan
belajarnya. Sebaliknya, apabila hal itu ternyata menghalangi kemajuan belajar yang
bersangkutan, maka menjadi kewajiban tutor untuk mengadakan usaha untuk merubah sikap
hidup, pendirian atau jalan pikiran tersebut, sehingga dapat membantunya ke arah kemajuan
yang dicita-citakan.
Perlu diketahui, bahwa sikap dan pendirian yang menjadi penghalang antara lain: Pertama, lekas
merasa puas dengan hasil yang telah dicapai (tidak ingin mencapai hasil yang lebih baik). Kedua,
tidak suka memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan-kegiatan yang sebenarnya memberi

manfaat positif. Ketiga, tidak suka mengadakan penelitian atau perhitungan sebelum melakukan
sesuatu pekerjaan. Keempat, kurang tekun dan disiplin dalam melakukan sesuatu. Kelima,
mengabaikan aturan-aturan atau norma-norma yang berdasar ilmu pengetahuan. Keenam, tidak
percaya pada kemampuan diri sendiri dan ketujuh, tidak suka bekerjasama dengan orang lain.
Karena sikap hidup dan pendirian tersebut, merupakan hasil pengalaman masa lampau, maka
untuk mengubahnya harus diberikan pengalaman-pengalaman baru dan motivasi-motivasi positif
yang pada akhirnya menimbulkan pengertian, kesadaran dan keyakinan bahwa mereka memiliki
potensi yang tersembunyi. Bahwa mereka memiliki potensi yang harus digali agar memiliki rasa
percaya pada diri sendiri, membuang rasa gengsi yang tinggi, meninggalkan sikap mau menang
sendiri dan mengedepankan kebersamaan dalam menyelesaikan sebuah persoalan.
Upaya menumbuhkan motivasi kepada warga belajar dan calon warga belajar harus dapat
menyadarkan dan meyakinakan warga belajar bahwa mereka yang cepat merasa puas dengan
hasil pekerjaannya akan jauh ketinggalan dengan mereka yang selalu ingin mencapai hasil yang
lebih baik. Memberi pengalaman baru dan menumbuhkan motivasi warga belajar harus
dilaksanakan sebagai tindakan sosial edukatif dalam program keaksaraan fungsional terhadap
warga belajar.
Dengan memperhatikan hal-hal seperti dikemukakan di atas, para pengelola program keaksaraan
fungsional senantiasa harus berusaha untuk dapat mengenal dan memahami berbagai segi
kehidupan orang dewasa. Dengan demikian, kita dapat mengenal dan memahami unsur-unsur
kehidupan orang dewasa itu yang benar-benar membawa keuntungan dan manfaat lahir bathin
bagi setiap individu dan masyarakat secara keseluruhannya. Unsur-unsur yang mengandung
kegunaan inilah yang harus dijadikan bahan dalam menyusun materi pembelajaran.
Menggali Potensi
Setelah upaya penyadaran dan motivasi dari warga belajar tumbuh dengan baik dan dengan
memperhatikan tingkat kecerdasan serta kemampuan belajar pada orang dewasa sebagaimana
dikemukakan di atas, maka dalam program keaksaraan fungsional kita perlu berpedoman pada
konsep : materi pembelajaran menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, materi
pembelajaran dengan contoh-contoh dari kehidupan sehari-hari, mengajak mereka mencari
contoh dari kehidupan mereka sendiri, mengajak mereka memahami tentang sesuatu hal sebab
akibat, mempraktekkan hal-hal yang telah diajarkan, jangan bebani mereka dengan hafalan dan
berikan mereka rangsangan untuk berfikir dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dapat menggali kemampuan berfikir mereka.
Sebenarnya, yang paling penting dalam penuntasan warga buta aksara adalah bagaimana cara
menggali potensi yang tersembunyi di dalam diri mereka. Dengan menggali potensi tersebut kita
akan mengetahui ke arah mana minat dan kemampuan mereka dalam meningkatkan taraf

hidupnya di kemudian hari.


Lantas, kenapa pemberantasan buta aksara begitu penting sampai pemerintah meluncurkan
program nasional yang diberi nama Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara (GNPBA) ?
Karena pemberantasan buta aksara merupakan bagian dari Education for All dan Millenium
Development Goals (MDGs). Maka pelaksanaannya bukan cuma bertujuan agar warga buta
aksara menjadi melek huruf latin atau bisa berhitung. Tapi lebih dari itu, warga buta aksara juga
harus didorong untuk bisa meningkatkan kualitas hidupnya.
Upaya-upaya lainnya yang bisa dilakukan untuk memberdayakan warga buta aksara setelah
mendapat dukungan motivasi dan penyadaran dari berbagai elemen sebenarnya masih sangat
beragam.
Misalnya, melalui program bekerja sambil belajar yang merupakan pola pembelajaran dan
pemberdayaan penduduk secara terpadu antara upaya pembinaan pengetahuan dan keterampilan
upajiwa dan mencari nafkah (vokasional). Inilah yang dinamakan pendekatan bekerja dan
belajar, yang dapat diterapkan dalam memberdayakan penduduk usia dewasa (baca: buta aksara)
melalui pendekatan andragogi dan integratif.
Pendekatan dengan bahan ajar yang langsung bersentuhan dengan profesi warga belajar
diharapkan akan lebih memudahkan mereka dalam menyerap pelajaran yang disampaikan.
Jaringan Belajar
Disamping itu, ada beberapa konsekuensi logis dalam pendekatan tutorial terpadu ini khususnya
dalam konteks percepatan pemberantasan buta aksara sambil bekerja. Pertama
, kegiatan pemberdayaan penduduk dewasa (15-44 tahun) dalam upaya memberantas kemiskinan
pengetahuan dan ketunaan keterampilan ini hendaknya bermula dari upaya menggenjot
kesadaran dari warga belajar itu sendiri (inner consciousness) bahwa belajar sambil bekerja pada
hakikatnya merupakan suatu kebutuhan di samping kewajiban.
Melalui program tutorial terpadu ini diharapkan dapat ditingkatkan dan diberdayakan kemauan
dan potensi setiap penduduk atau warga belajar untuk berbuat yang terbaik termasuk belajar
untuk melek huruf, menambah pengetahuan dan keterampilan.
Kedua
, pola tutorial terpadu hendaknya diikuti dengan pembangunan jaringan belajar (learning
network) yang dapat mengondisikan setiap penduduk/warga belajar untuk senantiasa melek ilmu

pengetahuan dan keterampilan. Ini berarti warga belajar tidak berhenti seusai mengikuti program
pendidikan keaksaraan dan sekadar memperoleh surat keterangan melek aksara (Sukma).
Melalui jaringan belajar masyarakat ini seperti dibangunnya perpustakaan desa, taman bacaan
masyarakat, pusat sumber belajar masyarakat, dan lain-lain diharapkan masyarakat/warga belajar
diajak untuk terus belajar sepanjang hayat (life long education) dalam rangka peningkatan
kualitas hidupnya.
Ini perlu ditindaklanjuti keberadaannya mengingat pada beberapa kasus pelaksanaan pendidikan
keaksaraan, banyak warga belajar yang tadinya sudah mulai melek aksara/huruf, mereka kembali
menjadi masyarakat yang "lupa huruf". Alasannya, antara lain tidak adanya kesinambungan
program pembelajaran setelah mengikuti pendidikan keaksaraan karena tidak dibinanya jaringan
belajar di antara kelompok masyarakat/warga belajar itu sendiri.
Pada akhirnya, dukungan dan partisipasi masyarakat sangat mutlak dibutuhkan untuk menunjang
program pengentasan buta aksara yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Melibatkan seluruh
komponen masyarakat bertujuan untuk menggalakkan kerja sama dan menumbuhkan rasa
tanggungjawab moral untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, menghilangkan
kebodohan dan mengurangi angka kemiskinan. Jika semua elemen masyarakat memiliki
komitmen untuk ikut menumbuhkan motivasi dan menggali potensi yang tersembunyi dari warga
buta aksara di negeri ini, target pemerintah ke depan untuk membebaskan Indonesia dari buta
aksara bisa terealisasi. Semoga

Anda mungkin juga menyukai