Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan sumber daya manusia merupakan salah satu dari tujuan nasional.
UNDP menetapkan kemajuan suatu negara dapat ditentukan oleh tiga indikator indeks
pembangunan manusia, yaitu indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks
perekonomian. Angka melek aksara adalah salah satu variabel dari indikator indeks
pendidikan.

Tercatat oleh BPS terjadi penurunan buta aksara tiap tahunnya, namun angka buta
aksara perempuan tetap tinggi daripada angka pada laki-laki, khususnya pada kelompok
usia tua. Dengan demikian pemberantasan buta aksara menjadi nilai strategis mengurangi
angka kebutaaksaraan, terutama kebutaaksaraan pada perempuan. Peningkatan kemelek-
aksaraan pada taraf global telah tercetus pada tujuan PUS (Pendidikan Untuk Semua)
tahun 2000 yang mendukung adanya visi holistik pendidikan hingga pencapaian melek
aksara sebesar 50 persen pada tahun 2015, khususnya bagi perempuan dan akses
pendidikan yang adil bagi mereka (UNESCO, 2006). Pada RPJM 2004-2009, Indonesia
menargetkan kemelekaksaraan pada orang dewasa menjadi 95 persen pada tahun 2009
(Jalal&Sardjuni, 2006). Upaya pemberantasan buta aksara Indonesia telah dimulai sejak
kemerdekaan hingga kini (Swasono, 2007).

Dukungan terhadap penurunan buta aksara perempuan telah dilakukan dengan


dibuatnya peraturan bersama antara Menteri Departemen Pendidikan Nasional, Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Menteri Dalam Negeri pada tahun 2005 mengenai
percepatan pemberantasan buta aksara perempuan. Selain itu dikeluarkan pula Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Penuntasan Wajib Belajar/Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA).

Program pemberantasan buta aksara perempuan usia dewasa secara praktik di


lapangan dijalankan melalui kelompok-kelompok belajar yang lebih dikenal dengan
Keaksaraan Fungsional (KF). Program ini secara kelembagaan diusungkan oleh
Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dikmas) dan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar
Sekolah (Ditjen PLS) melalui Unit Pelaksanaan Teknis Daerah Pendidikan Luar Sekolah
(UPTD PLS) dan dilaksanakan oleh Pusat Kegiatan Belajar (PKBM) kabupaten/kota dan
1
propinsi. Selain itu dapat pula melalui jalur kelembagaan lain seperti LSM atau
organisasi masyarakat yang juga melaksanakan program Pemberantasan buta aksara.

Strategi pembelajaran pada program KF berbeda dengan program pemberantasan


buta aksara yang lain seperti Kejar Paket A, Paket B dan Paket C, karena sasaran pada
program ini adalah kelompok usia dewasa (15-45 tahun) dan menekankan pada fungsi
program secara fungsional dengan strategi membaca, menulis, berhitung dan aksi
(Calistungdasi) serta diskusi yang proses belajarnya disesuaikan oleh konteks warga
belajar (Depdiknas, 2006). Program KF juga merupakan langkah pemberdayaan
perempuan melalui pendidikan, membuatnya lebih berdaya baik bagi diri sendiri, bagi
keluarga maupun bagi masyarakat (Saidah, 2001). Keberhasilan program KF menjadi
cara terwujudnya pemberdayaan khususnya bagi penduduk buta aksara.

Berdasarkan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) beberapa daerah tentang


pelaksanaan program KF yang tidak efektif dilaksanakan, bahkan banyaknya laporan
fiktif atas terselenggaranya program kelompok belajar KF (Aminullah, 2006).

Kurangnya anggaran pemerintah, sibuknya tenaga pendidik, kurangnya motivasi


dan kesibukan warga belajar, serta ketidakberlanjutan program menjadi alasan masalah
buta aksara belum tentu tuntas dilaksanakan, dan masalah buta aksara kembali (replaced
illiterate) dapatlah terjadi. Permasalahan yang terjadi di beberapa wilayah belum tentu
pula terjadi di wilayah lain, karena terdapat pula kelompok-kelompok belajar pada
program KF yang mengentaskan buta aksara perempuan atau meningkatkan kemampuan
melek aksara warga belajarnya.

Penelitian keberhasilan program KF ini dilakukan pada KF yang berada di bawah


naungan Dinas Pendidikan, PKBM Permata Hati 059 yang berada di Desa Tamansari
Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo. Kabupaten Probolinggo yang masih
memiliki penduduk buta aksara sekitar 4.565 orang atau 1,55 persen dari jumlah
penduduk berusia diatas 15 tahun di Kabupaten Probolinggo, juga telah melakukan upaya
pemberantasan buta aksara yang diselenggarakan antara lain oleh beberapa Dinas
Pendidikan yang ada di Kabupaten Probolinggo.

Dinas Pendidikan, PKBM Permata Hati 059 adalah salah satu yang saat ini masih
konsisten menyelenggarakan program pemberantasan buta aksara (KF) dan telah cukup
dikenal oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Probolinggo. Pengalaman pada program
pemberantasan buta aksara di Dinas Pendidikan, PKBM Permata Hati 059 diharapkan

2
mampu menjelaskan keberhasilan pelaksanaan program KF yang mempengaruhi
peningkatan kemampuan melek aksara warga belajarnya.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

1. Bagaimana pelaksanaan program KF di PKBM Permata Hati 059 ?


2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan program KF tersebut?

1.3 Batasan Masalah

Seberapa jauhkah keberhasilan yang dilaksanakan pada program Keaksaraan


Fungsional di PKBM Permata Hati 059 Desa Tamansari Kecamatan Dringu Kabupaten
Probolinggo?

1.4 Maksud dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan masalah penelitian


antara lain:

1. Mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan program KF yang ada di PKBM Permata


Hati 059.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program KF yang ada
di PKBM Permata Hati 059.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori

2.1.1 Konsep Buta Aksara dan Melek Aksara

Pengertian buta aksara menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)


tahun 2006, yaitu ketidakmampuan yang dimiliki seseorang untuk membaca dan
menulis dengan huruf latin dan angka arab dalam bahasa Indonesia, serta tidak memiliki
keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Terdapat pula pengertian buta aksara fungsional menurut Depdiknas, yang berarti
ketidakmampuan melakukan kegiatan yang memerlukan kecakapan keaksaraan,
misalnya membaca, menulis dan berhitung untuk bidang usaha yang menjadi mata
pencaharian. Sebaliknya pengertian melek aksara fungsional adalah kemampuan
seseorang paling tidak dapat membaca dan menulis dengan huruf latin dan berhitung
dengan angka arab dalam setiap kegiatannya yang memerlukan kecakapan tersebut dan
juga memungkinkannya untuk melanjutkan pemanfaatan kecakapan membaca, menulis
dan berhitung untuk pengembangan diri dan masyarakat.

Buta aksara menurut Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP)


(2007) terbagi menjadi dua bentuk, yaitu buta aksara murni dan buta aksara praktis.
Buta aksara murni yaitu dimana penduduk sama sekali tidak dapat membaca, menulis
dan berhitung dengan aksara apapun. Sedangkan buta aksara praktis dialami penduduk
yang tidak dapat membaca, menulis dan berhitung dengan aksara latin dan angka arab,
buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar.

Pada konferensi UNESCO tahun 1978, pengertian melek aksara merupakan


penggunaaan keaksaraan dalam seluruh aktivitas seseorang dan berfungsi efektif bagi
kelompoknya dan masyarakat, yang juga memberi kemungkinan bagi dia untuk
menggunakannya dalam membaca, menulis dan berhitung bagi perkembangan dirinya
sendiri maupun masyarakat. Setelah tahun 1980-an dan 1990 keaksaraan atau melek
aksara diperluas maknanya untuk mengakomodasi tantangan globalisasi termasuk
dampak teknologi baru dan media informasi serta pengetahuan ekonomi (UNESCO,
2006). Secara mantap digariskan bahwa keaksaraan adalah hak dan kunci menuju hak

4
yang lain, serta memberikan bukti tentang multipersonal, manfaat sosial dan ekonomi
(UNESCO, 2006).

Pengukuran melek aksara seseorang yang digunakan dalam sensus nasional adalah
kemampuan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana tentang keaksaraannya
sehari-hari (Djalal, 2006). Melek aksara di Indonesia memainkan peranan penting dalam
meningkatkan kehidupan perekonomian individu yang aman dan kesehatannya bagus
serta memperkaya masyarakat dengan pembangunan modal manusia, pengembangan
identitas budaya dan toleransi, serta mempromosikan partisipasi warga negara (Djalal,
2006).

2.1.2 Hakekat Pemberdayaan

Menurut Meriam Webster dan Oxford English Dictionary dalam Zarida (2000),
kata empower mempunyai dua arti, yaitu pertama, to give power or authority to dan
kedua, to give ability to or enable. Pengertian pertama diartikan sebagai memberi
kekuasaan, mengalihkan kekuasaan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain.
Sedangkan hal yang kedua diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau
keberdayaan.

Pemberdayaan masyarakat juga diartikan sebagai upaya mempersiapkan


masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat
mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan
sosial yang berkelanjutan (Sumodiningrat, 1999). Menurutnya upaya pemberdayaan
merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang
dalam kondisi tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan, dengan kata lain pemberdayaan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat.

Selain itu, strategi pemberdayaan masyarakat erat kaitannya dengan penciptaan


kesempatan kerja dan peluang berusaha yang memberikan pendapatan yang memadai
bagi masyarakat. Pemberdayaan tidak hanya menyangkut pendanaan tetapi juga
peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan kelembaagaan. Suatu
pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait
dengan diri mereka untuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam
5
melakukan tindakan (Nasdian, 2003). Konsep dan gerakan pemberdayaan menurut
Pranarka (1996) memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa manusia atau
sekelompok manusia dapat mengalami kendala dan hambatan dalam proses dan gerak
aktualisasi eksistensinya.

Dengan demikian, pemberdayaan dalam hal ini adalah berusaha untuk


menciptakan kondisi yang memberikan kemungkinan bagi setiap manusia untuk dapat
menunaikan tugas aktualisasi eksistensinya seluas-luasnya dan setinggi-tingginya
(Zaridah, 2000). Pengukuran keberhasilan dari suatu pemberdayaan dapat dilakukan
dengan melihat dari adanya indikator keberhasilan dari program pemberdayaan
masyarakat.

Menurut Sumodiningrat (1999) terdapat lima indikator keberhasilan dari program


pemberdayaan masyarakat, antara lain:

1. Berkurangnya jumlah penduduk miskin;


2. Berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk
miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia;
3. Meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan
keluarga miskin di lingkungannya;
4. Meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya
usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok,
makin rapinya sistem administrasi, serta makin luasnya interaksi kelompok dengan
kelompok lain di dalam masyarakat;
5. Meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh
peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok
dan kebutuhan sosial dasarnya.

2.1.3 Program Keaksaraan Fungsional (KF)

Keaksaraan Fungsional sesungguhnya merupakan suatu bentuk pendekatan dalam


strategi belajar dalam upaya pemberantasan buta aksara (Depdiknas, 2006). Aktivitas
belajar secara fungsional berarti mengkaitkan proses belajar pada situasi atau kondisi
warga belajar yang merupakan pola pembelajaran dan pemberdayaan penduduk secara
terpadu bagi penduduk usia dewasa melalui pendekatan andragogi dan integratif. Pada
pendekatan ini, ada konsekuensi logis bagi warga belajar, mereka sadar bahwa bekerja
6
sambil belajar merupakan suatu kebutuhan di samping kewajiban. Pola pembelajaran
lain juga perlu diikuti, seperti pembangunan jaringan belajar, agar warga belajar
senantiasa melek ilmu pengetahuan dan keterampilan, warga belajar tidak berhenti
seusai mengikuti program KF.

Pelaksanaan program KF tidak serta merta hanya belajar membaca, menulis dan
menghitung, namun dilengkapi pula dengan tahapan lanjutan lainnya yang bertujuan
memandirikan kemampuan melek aksara warga belajar. KF merupakan bagian dari
lingkup kegiatan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang dilaksanakan oleh Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang dipusatkan pada suatu wilayah sehingga
mudah diakses oleh masyarakat setempat (Sihombing, 1999).

Selain itu KF juga dapat dibentuk oleh beberapa organisasi masyarakat seperti
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), PKK, SKB (Sanggar Kegiatan Belajar),
Perguruan Tinggi, Aissyiyah, GOW/BKOW, Muslimah NU, atau Wanita Islam.

Untuk menyelenggarakan program KF dibutuhkan delapan prinsip utama


pemahaman penyelenggaraan program ini (Depdiknas, 2006), yaitu:

1. Konteks lokal, program dikembangkan berdasarkan konteks lokal yang mengacu


pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus pada setiap warga belajar dan
masyarakat sekitarnya
2. Desain lokal, merupakan rancangan kegiatan belajar yang dirancang oleh tutor dan
warga belajar berdasarkan minat, kebutuhan, masalah, kenyataan dan potensi
/sumber-sumber setempat
3. Proses partisipatif adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan
program keaksaraan fungsional harus dilakukan berdasarkan strategi partisipatif
4. Fungsionalisasi hasil belajar. Hasil belajar diharapkan warga belajar dapat
memfungsikan keaksaraannya untuk menganalisis dan memecahkan masalah
keaksaran yang dihadapi warga belajar
5. Kesadaran. Proses pembelajaran keaksaraan hendaknya dapat meningkatkan
kesadaran dan kepedulian warga belajar terhadap keadaan dan permasalahan
lingkungan untuk melakukan aktivitas kehidupannya
6. Fleksibilitas, program KF harus fleksibel, agar memungkinkan untuk dimodifikasi
sehingga responsif terhadap minat dan kebutuhan belajar serta kondisi lingkungan
warga belajar yang berubah dari waktu ke waktu

7
7. Keanekaragaman, hendaknya bervariasi dilihat dari segi materi, metode, maupun
strategi pembelajaran sehingga mampu memenuhi minat dan kebutuhan belajar
warga belajar di setiap daerah yang berbeda-beda
8. Kesesuaian hubungan belajar, dimulai dari hal-hal yang telah diketahui dan dapat
dilakukan oleh warga belajar, sehingga pengalaman, kemampuan, minat dan
kebutuhan belajar menjadi dasar dalam menjalin hubungan yang harmonis dan
dinamis antara tutor dan warga belajar.

Selain itu terdapat tiga tahapan kompetensi dalam menyempurnakan pelaksanaan


program KF (Depdiknas, 2006). Tahapan tersebut terdiri dari:

1. Tahap pemberantasan, atau merupakan tingkat keaksaraan dasar Terdapat beberapa


metode pada tahap ini, antara lain:
a. Metode Dasar. Metode pembelajaran bagi warga belajar buta aksara permulaan
untuk meningkatkan kecakapan membaca dan menulis permulaan terutama pada
keterampilan pemenggalan kata, suku kata, dan huruf demi huruf untuk disusun
kembali menjadi kalimat yang bermakna
b. Metode Drill. Belajar dengan cara melakukan latihan berulang-ulang baik
membaca, menulis dan berhitung
c. Metode Kata Kunci. Pembelajaran ini merupakan penerapan pendekatan tematik
dimana kata-kata kunci yang dipelajari harus sesuai dengan tema yang
dikembangkan. Metode ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan warga
belajar membuat kata baru dari suku kata yang telah dikenal
d. Metode Bahasa Ibu. Ditujukan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa
Indonesia melalui bahasa ibu.
2. Tahap Pembinaan atau Lanjutan, atau sudah berada pada tingkat keaksaraan
fungsional. Tahap ini memiliki tiga bentuk model pembinaan, antara lain:
a. Model belajar sambil bekerja
b. Model belajar sambil beraksi
c. Model kelompok belajar usaha.
3. Tahap Pelestarian atau Mandiri, atau telah berada pada tingkat mandiri. Terdapat pula
bentuk model pembinaan pada tahap ini, yaitu:
a. Model taman bacaan masyarakat
b. Model arisan bersama
c. Model paguyuban.

8
Ketiga tahapan di atas dilaksanakan secara berkelanjutan guna mencapai tujuan
program KF yang optimal. Hasil belajar melalui program KF juga dilakukan melalui
mekanisme yang disesuaikan dengan SKK (Standar Kompetensi Keaksaraan). Warga
belajar yang diperbolehkan mengikuti penilaian hasil belajar adalah mereka yang aktif
mengikuti proses pembelajaran secara sistematis dan kontinu. Mereka juga berhak
mendapatkan Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA).

Berdasarkan Laporan Akhir Penyusunan Data Buta Aksara Perempuan oleh


Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) tahun 2005, terdapat
beberapa kendala yang mempengaruhi penerimaan warga belajar terhadap ketiga
pelaksanaan tahapan tersebut. Kendala penerimaan warga belajar atas program lanjutan
KF antara lain rendahnya motivasi masyarakat, kesibukan pada pekerjaan domestik atau
publik, dan masih melekatnya pengaruh budaya patriarki dengan anggapan-anggapan
diskriminasi perempuan dalam pendidikan (Meneg PP, 2005).

Adanya kendala-kendala tersebut menjadi tantangan bagi strategi pelaksanaan KF


dalam keefektifannya memberantas buta aksara. Dilaporkan juga oleh Depdiknas (2006)
bahwa peserta program KF sebanyak 36,2 persen dari kelompok tua di atas 45 tahun,
yang mengindikasikan masih besarnya minat buta aksara kelompok tua untuk mengikuti
program KF.

9
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan


menggunakan metode survei, yaitu metode penelitian melalui pengumpulan informasi
berupa data primer dari suatu sampel dengan menanyakan melalui kuesioner atau
interview supaya menggambarkan berbagai aspek dari populasi (Fraenkel dan Wallen,
1990) dalam (Wahyuni dan Mulyono, 2006).

Penggunaan metode survei pada penelitian ini memanfaatkan uji tes kemampuan
keaksaraan dan kuesioner, yang kemudian dilakukan analisis statistik untuk mengetahui
hubungan antar variabel bebas (faktor internal dan eksternal) terhadap variabel
dipengaruhi (kemampuan keaksaraan). Metode kualitatif juga digunakan sebagai
pendukung pendekatan kuantitatif melalui teknik wawancara mendalam pada responden
dan informan untuk melengkapi kebutuhan data primer penelitian.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada di kawasan Dusun Budagan Desa Tamansari Kecamatan


Dringu Kabupaten Probolinggo. Dengan mengambil responden dari warga belajar (WB)
program Keaksaraan Fungsional (KF) yang berada di bawah naungan PKBM Permata
Hati 059. Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai Oktober 2013. Waktu
penelitian dilaksanakan pada Bulan September setiap hari Selasa jam 18.00 WIB sampai
selesai, karena disesuaikan dengan waktu luang yang dimiliki oleh warga belajar
Keaksaraan Fungsional.

3.3 Metode Pengambilan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari responden yaitu warga belajar program KF dengan menggunakan tes
kemampuan keaksaraan dasar dan dipandu dengan wawancara terstruktur. Data primer

10
juga didapatkan melalui wawancara kepada tutor KF, pengelola PKBM, dan perangkat
Desa Tamansari Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo. Sementara data sekunder
berupa dokumentasi dari PKBM Permata Hati 059, Desa Tamansari Kecamatan Dringu
Kabupaten Probolinggo.

3.4 Target Hasil Penelitian

Sesuai dengan definisi dari program keaksaraan fungsional, adalah strategi upaya
pemberantasan buta aksara (Depdiknas, 2007). Maka keberhasilan program ini
didasarkan pada :

1. Terlaksananya program KF bagi masyarakat/warga belajar yang masih buta aksara


sehingga mampu membaca, menulis dan menghitung dalam konteks kegiatan sehari-
hari pada level dasar dan lanjutan sehingga memperoleh SUKMA, bekerjasama
dengan PKBM, PKK, Majelis Ta’lim.
2. Keberhasilan program KF diharapkan mampu mencapai target minimal 50 persen
dari seluruh warga belajar yang mengikuti program berhasil memiliki kemampuan
keaksaraan atau masih memiliki kelanggengan kemampuan tersebut.
3. Terdapatnya solusi mengenai persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat,
khususnya yang berhubungan dengan Program Keaksaraan Fungsional.
4. Meningkatnya pelayanan pendidikan untuk semua melalui gerakan penyuluhan,
pembinaan, pendampingan, dan publikasi KF pada lembaga organisasi sosial
fungsional.
5. Terdapatnya swadaya, partisipasi masyarakat di dalam meningkatkan pendidikan
masyarakat melalui kegiatan terpadu kelembagaan yang ada, seperti PKK, Majlis
Taklim, PKBM dan Kegiatan pemuda Karang taruna.

11
3.5 Diagram alir Penelitian

Pelepasan Kuliah Kerja Pelaksanaan Pengurusan Ijin


Nyata Universitas Survei Lokasi Penempatan Pada
Panca Marga Desa Tamansari Pihak Yang Terkait
Probolinggo

Pelaksanaan Program Silahturahmi ke Perencanaan


Posdaya Bebas Buta Pusat Kegiatan Program dan
Aksara (Keaksaraan Belajar Mengajar Posdaya Bebas
Fungsional) (PKBM) Buta Aksara

Gambar 1: Diagram Alir Penerangan

3.5.1 Berikut merupakan Struktur Organisasi Posdaya Kejar Paket A

STRUKTUR ORGANISASI POSDAYA

KEJAR PAKET A

KETUA
BU ELI
SULINAWATI

WAKIL
PAK SANAWI

SEKERTARIS BENDAHARA
ERVINA SAMINI

KOORDINATOR GURU / PENGAJAR


PELAKSANAAN TITIN SUBAIDA
SUTIK HANDAYANI

Gambar 2: Struktur Organisasi Posdaya


12
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Data

Data primer yang diperoleh, diklasifikasikan berdasarkan jenis variabel dan diolah.
Hasil pengisian tes kemampuan keaksaraan dasar digunakan untuk mengetahui
kemampuan keaksaraan warga belajar yang masih ia miliki. Skoring juga digunakan pada
hasil pengisian tes kemampuan keaksaraan dasar, variabel penilaian program KF oleh
warga belajar, varibel teknik pembelajaran oleh tutor, tingkat pendidikan keluarga,
dukungan keluarga dan penerapan kemampuan keaksaraan. Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan tabulasi silang yang kemudian dijelaskan secara deskriptif
analitis.

Hipotesis diuji menggunakan analisis Chi-square untuk mengetahui hubungan


antara variabel internal dan variabel eksternal terhadap kemampuan keaksaraan WB.
Selain itu hubungan antara kemampuan keaksaraan terhadap dampak atau manfaat tidak
langsung dari program diuji pula menggunakan metode yang sama.

4.2 Pembahasan

Keaksaraan fungsional terdiri dari dua konsep yaitu “keaksaraan” dan “fungsional”.
Keaksaraan (literacy) secara sederhana diartikan sebagai kemampuan untuk membaca,
menulis, dan berhitung. Istilah “keaksaraaan” didefinisikan sebagai pengetahuan dasar
dan keterampilan yang diperlukan oleh semua warga Negara dan salah satu pondasi bagi
penguasaan kecakapan-kecakapan hidup yang lain. Sedangkan terminologi “fungsional”
(functional) dalam keaksaraan berkaitan erat dengan fungsi dan atau tujuan dilakukannya
pembelajaran dalam program pendidikan keaksaraan, serta adanya jaminan bahwa hasil
pembelajarannya benar-benar fungsional (bermakna dan bermanfaat) bagi peningkatan
mutu dan taraf hidup warga belajar dan masyarakatnya.

Keaksaraan fungsional merupakan suatu pendekatan ataupun bentuk pemberdayaan


masyarakat buta aksara melalui peningkatan kemampuan membaca, menulis, berhitung,
berfikir, mengamati, mendengar, dan berbicara yang berorientasi pada peningkatan harkat
dan martabat kehidupan warga belajar dari belenggu kebodohan, kemiskinan,
keterbelakangan, dan ketidakberdayaan.

13
Dengan demikian penuntasan buta aksara melalui kelompok belajar keaksaraan
fungsional yang merupakan bentuk pelayanan Dinas Pendidikan (Pendidikan Luar
Sekolah) tidak hanya berhenti pada kecakapan melek aksara, melainkan lebih jauh pada
peningkatan kemampuan memanfaatkan kecakapan melek aksara untuk membangun
kepercayaan diri dan pengembangan daya nalar praktis (fungsional), yang pada gilirannya
mampu mengembangkan potensi diri guna memenuhi hajat hidupnya sehingga tetap exist
dan survive dalam menghadapi perkembangan kehidupan masyarakat di lingkungan
sekitarnya.

4.2.1 Pelaksanaan program KF di PKBM Permata Hati 059

Dinas Pendidikan, PKBM Permata Hati 059 adalah salah satu yang saat ini masih
konsisten menyelenggarakan program pemberantasan buta aksara (KF) dan telah cukup
dikenal oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Probolinggo. Pengalaman pada program
pemberantasan buta aksara di Dinas Pendidikan, PKBM Permata Hati 059 diharapkan
mampu menjelaskan keberhasilan pelaksanaan program KF yang mempengaruhi
peningkatan kemampuan melek aksara warga belajarnya.

Keberhasilan program KF ini didasarkan pada pencapaian jumlah warga belajar


yang masih memiliki kelanggengan kemampuan keaksaraan setelah program selesai
selama 6 bulan, terhitung sejak bulan Juni 2013. Keberhasilan program KF diharapkan
mampu mencapai target minimal 50 persen dari seluruh warga belajar yang mengikuti
program berhasil memiliki kemampuan keaksaraan atau masih memiliki kelanggengan
kemampuan tersebut.

Partisipasi masyarakat Desa Tamansari sangatlah besar dalam mengikuti kegiatan


belajar di PKBM Permata Hati 059 Dusun Budagan. Banyak juga dari mereka yang
datang sendiri untuk mendaftarkan diri mereka agar dapat mengikuti kegiatan tersebut,
karena memang sebagian dari mereka belum terdaftar di Dinas Pendidikan sebagai
penduduk buta aksara yang memerlukan pembelajaran. Keingintahuan mereka untuk
segera bisa membaca dan menulis memotivasi diri mereka sendiri untuk lebih giat dan
bersemangat dalam belajar. Bahkan kekecewaan akan muncul apabila kegiatan belajar
tersebut diliburkan.

Akan tetapi, disamping banyaknya minat belajar dari masyarakat di Desa


Tamansari, khususnya Dusun Budagan, tetap saja ada beberapa masyarakat yang
14
mengeluh dan enggan untuk mengikuti kegiatan belajar di PKBM Permata Hati 059.
Responden yang kemampuan keaksaraannya rendah mengaku mereka telah banyak lupa
dan mereka sudah banyak yang tidak belajar lagi.

Meskipun ada 40 persen dari mereka yang memiliki motivasi tinggi belajar
kembali namun tidak intens dilakukan. Kegiatan mengurus anak dan keluarga serta
bekerja menjadi alasan mereka tidak mampu mengingat pelajaran. Seperti beberapa
pernyataan mereka: ”...Mau belajar lagi juga capek. Kerja saja sampai sore, di rumah
juga belum beres” (Akmani, 55 tahun). ”...Susah kalau punya anak kecil. Apalagi saya
punya bayi, repot. Paling di rumah saja” (Siti Ani, 45 tahun).

Selain itu, sebagian masyarakat merasa malas untuk belajar kembali dan merasa
sia-sia karena sangat sulit mengingat pelajaran. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa
dari warga belajar: ”...Memang udah bodoh banget neng, lupa melulu. Jadi malas belajar
lagi, sudah pada lupa dulu menghafal apa aja” (Sayu, 50 tahun). Demikian pernyataan
dari beberapa responden.

Selain itu mereka juga mengeluhkan waktu yang diberikan selama program (6
bulan) yang dirasakan masih kurang bagi sebagian dari mereka yang mempunyai
motivasi tinggi untuk belajar. Keberhasilan program KF berdasarkan hasil tes
kemampuan keaksaraan terbilang gagal karena hanya terdapat 17,1 persen warga yang
kemampuan keaksaraannya tinggi. Hal ini jauh dari syarat keberhasilan program yaitu
minimal 50 persen warga belajar yang harusnya kemampuan keaksaraannya tinggi.
Keberhasilan program KF diharapkan dapat dilihat dari langgengnya kemampuan
keaksaraan dasar yang masih dimiliki warga belajar.

Berdasarkan penuturan pihak penyelenggara program, yakni PKBM Permata Hati


059, target pencapaian kelanggengan kemampuan keaksaraan warga belajar memang sulit
untuk diharapkan karena selain faktor kelupaan yang dialami oleh warga belajar dan
hanya mengandalkan program KF yang telah dilaksanakan (program keaksaraan dasar),
pihak PKBM juga belum mampu merealisasikan tahap lanjutan pembelajaran setelah
program keaksaraan dasar selesai, sehingga sangat rentan warga belajar kembali buta
aksara ( replaced illiterate).

15
4.2.2 Kendala yang Dihadapi dalam Upaya Pemberantasan Buta Aksara

Tidak ada gading yang tak retak. Semua program pasti mempunyai kendala.
Demikian juga dengan program pemberantasan buta aksara ini. Meskipun Indonesia
mampu mengurangi angka penyandang buta aksara, namun ternyata dibalik itu semua
para subjek pelaksana teknis menghadapi banyak kendala. Diantaranya adalah:

1. Kurangnya anggaran dari pemerintah


2. Kesibukan tenaga pendidik
3. Kurangnya motivasi
4. Masih melekatnya pengaruh budaya patriarki dengan anggapan-anggapan
diskriminasi perempuan dalam pendidikan
5. Banyak masyarakat penyandang buta aksara sudah terlalu tua sehingga kemampuan
menyerap ilmu lebih lambat, belum lagi yang menderita gangguan penglihatan
karena usia mereka yang sudah tidak muda lagi.
6. Adanya data yang tidak valid atau peserta fiktif. Hal ini dikarenakan mungkin
karena tidak ada peminat untuk mengikuti diklat dalam upaya pemberantasan buta
aksara. Mereka yang tidak ikut kebanyakan telah mempunyai kesibukan sendiri
seperti bekerja di sawah sebagai petani/pekebun, buruh tani, ataupun menjadi ibu
rumah tangga.
7. Dalam pelaksanaan program, terlalu memakan waktu sehingga tidak efisien bagi
mahasiswa yang mempunyai kesibukan sendiri.

4.2.3 Upaya Pencapaian Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional di Dusun


Budagan Desa Tamansari

Rendahnya jumlah warga belajar yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi


mengindikasikan kurang berhasilnya program KF PKBM Permata Hati 059 dalam
mempertahankan kemampuan kelanggengan kemampuan keaksaraan warga belajarnya.
Perlu upaya nyata dalam program ini, khususnya upaya dalam bentuk pelanggengan
kemampuan keaksaraan warga belajar.

Upaya pelanggengan kemampuan keaksaraan warga belajar sebenarnya telah


direncanakan oleh PKBM Permata Hati 059, yaitu perencanaan akan dibentuknya
kelompok belajar tahap lanjutan atau pembinaan, yaitu penekanan pembelajaran melalui
bekerja, beraksi dan belajar usaha.
16
Pencapaian keberhasilan program KF dapat saja dilakukan melalui
memperpanjang jadwal belajar bagi warga belajar yang masih ingin melancarkan
kemampuannya dengan membuka kelas yang dapat didatangi oleh warga belajar atau
memberikan kesempatan warga belajar untuk memberikan saran agar mereka tetap
dapat belajar. Dengan demikian warga belajar yang masih memiliki motivasi tinggi
untuk belajar dapat melanjutkan atau melancarkan kemampuannya.

Selain itu, jika terdapat rencana pembentukan kelompok belajar tahap lanjutan
segera dibentuk sehingga kemampuan keaksaraan warga belajar tidak banyak yang
hilang atau kelanggengan kemampuan keaksaraan dapat segera dipelihara dengan
kegiatan-kegiatan yang menerapkan kemampuan keaksaraan.

Program KF dinyatakan kurang berhasil karena hanya 17,1 persen responden yang
kemampuan keaksaraannya tinggi atau hanya 6 orang yang mampu membaca dan
menulis, namun semangat dari warga belajar masih tetap tinggi untuk mengikuti
Progrsm keaksaraan fungsional. Sebagian responden lainnya masih buta aksara atau
kembali buta aksara karena telah lupa pada pelajaran. Salah satu penyebabnya yaitu
ketidakberlanjutan program menjaga kemampuan keaksaraan WB.

4.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Program KF di Desa Tamansari

1. Adanya kesadaran tinggi dari masyarakat Desa Tamansari khususnya dusun


Budagan untuk belajar
2. Adanya dukungan dari berbagai pihak seperti tim penggerak PKK, tim penggerak
muslimatan, dan para tutor yang kreatif
3. Adanya dukungan dan keterlibatan Mahasiswa yang sedang melaksanakan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) di Desa Tamansari
4. Adanya tekad kuat dari Pemkab untuk membebaskan masyarakat di daerahnya dari
buta aksara

17
4.2.5 Daftar Peserta Keaksaraan Fungsional Permata Hati 059

Dusun Budagan Desa Tamansari

Kecamatan Dringu

Kabupaten Probolinggo

N NAMA TTL ALAMAT PEKERJAAN


O
1. Samini Probolinggo, Dsn. Sumber Kepok, Petani/
02-07-1997 RT/RW: 002/007 Tamansari Pekebun
2. Buani Probolinggo, Dsn Budagan RT/RW:005/006 Mengurus
01-07-1961 Tamansari Rumah Tangga
3. Akmani Probolinggo, Dsn Budagan RT/RW;005/006 Petani/
12-03-1942 Tamansari Pekebun
4. Siti Ani Probolinggo, Dsn, Budagan RT/RW:005/006 Petani/
12-10-1968 Tamansari Pekebun
5 Enek Probolinggo, Dsn. Budagan RT/RW:005/006 Petani/
05-02-1965 Tamansari Pekebun
6. Ervina Probolinggo, Dsn. Budagan RT/RW:005/006 Petani/
05-09-1971 Tamansari Pekebun
7. Senenti Probolinggo, Dsn. Budagan RT/RW:005/006 Petani/
05-03-1946 Tamansari Pekebun
8. Sarinti Probolinggo, Dsn. Budagan RT/RW:005/006 Buruh Tani/
03-05-1950 Tamansari Perkebunan
9. Nia Probolinggo, Dsn. Budagan RT/RW:005/006 Petani/
07-08-1985 Tamansari Pekebun
10. Sayu Probolinggo, Dsn. Budagan RT/RW:005/006 Petani/
03-10-1963 Tamansari Pekebun
11. Misnasi Probolinggo, Dsn. Budagan RT/RW:005/006 Perdagangan
22-11-1968 Tamansari
12. Tina Probolinggo, Dsn. Budagan RT/RW:005/006 Belum/tidak
13-07-1960 Tamansari bekerja

18
N NAMA TTL ALAMAT PEKERJAAN
O
13. Arsi Dsn. Budagan RT/RW:005/006
Tamansari
14. Rusmina Dsn. Budagan RT/RW:005/006
Tamansari
15. Butohir Dsn. Budagan RT/RW:005/006
Tamansari
16. Satia Dsn. Budagan RT/RW:005/006
Tamansari
17. Nemo Dsn. Budagan RT/RW:005/006
Tamansari
18. Rumi Dsn. Budagan RT/RW:005/006
Tamansari
19. Senemi Dsn. Budagan RT/RW:005/006
Tamansari
20. Saiha Dsn. Budagan RT/RW:005/006
Tamansari

19
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Dinas Pendidikan, PKBM Permata Hati 059 adalah salah satu yang saat ini masih
konsisten menyelenggarakan program pemberantasan buta aksara (KF) dan telah
cukup dikenal oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Probolinggo. Partisipasi masyarakat
Desa Tamansari sangatlah besar dalam mengikuti kegiatan belajar di PKBM Permata
Hati 059 Dusun Budagan Desa Tamansari. Program KF masih kurang berhasil karena
hanya sedikit responden yang kemampuan keaksaraannya tinggi atau yang mampu
membaca dan menulis, namun semangat dari warga belajar masih tetap tinggi untuk
mengikuti Program keaksaraan fungsional.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Program KF di Desa Tamansari
a. Adanya kesadaran tinggi dari masyarakat Desa Tamansari khususnya dusun
Budagan untuk belajar
b. Adanya dukungan dari berbagai pihak seperti tim penggerak PKK, tim penggerak
muslimatan, dan para tutor yang kreatif
c. Adanya dukungan dan keterlibatan Mahasiswa yang sedang melaksanakan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) di Desa Tamansari
d. Adanya tekad kuat dari Pemkab untuk membebaskan masyarakat di daerahnya
dari buta aksara

5.2 Saran

Masalah ketidakberlanjutan pada program memerlukan upaya tindak lanjut


segera terhadap pelaksanaan program ke tahap lanjutan setelah tahap dasar dilaksanakan,
sehingga warga belajar yang telah melek aksara dapat mempertahankan kemampuannya.

Upaya ini dapat dilakukan dengan membuat Taman Bacaan Masyarakat yang
berada di sekitar tempat tinggal warga belajar atau membekali mereka dengan life-skile
atau Kelompok Belajar Usaha secara berkelompok agar mereka dapat termotivasi
sekaligus menjaga kemelekaksaraan serta memandirikan diri mereka.

20
Upaya ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak PKBM karena masalah
keterbatasan sumber daya pada PKBM menjadi hambatan utama, maka dari itu dapat pula
dilakukan oleh masyarakat sekitar warga belajar untuk ikut berpartisipasi mendukung
penuntasan masalah kebutaaksaraan penduduk. Pelaksanakan pembelajaran pada tahap
dasar pemberantasan sebaiknya lebih dari enam bulan, karena masih banyak warga
belajar yang membutuhkan tambahan waktu pembelajaran khususnya bagi mereka yang
masih rendah kemampuan keaksaraannya.

Selain itu diperlukan pula sistem monitoring dan evaluasi baik pada masa
pemberantasan maupun setelah program selesai, dapat dilakukan oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten Probolinggo bekerjasama dengan penyelenggara program, dan mitra
kerjasama Program KF agar penyelengaraan program KF dapat dipertanggungjawabkan.

21
DAFTAR PUSTAKA

 Aksara. 2007. Pengembangan Program Pendidikan Keaksaraan, hal 13-18 edisi Mei-Juni
2007. Dit Dikmas & Ditjen PLS Depdiknas: Jakarta.
 Aminullah. 2007. Akan Berhasilkah Pemberantasan Buta Huruf di Indonesia?. BPPLSP
Regional V: Bandung.
 Saidah. 2001. Pendidikan Non Formal dengan Program Keaksaraan Fungsional (PKF).
Studi Pendidikan Luar Sekolah. Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri
Jakarta: Jakarta
 Sihombing Umberto, Gutama. 1999. Profil PKBM di Indonesia Pada Masyarakat
Perintisan. PD. Mahkota: Jakarta.
 UNDP. 2005. Tujuan: Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Millenium Indonesia. Http://undpdoc.undp.org/report.mill/0016/0045655IND.pdf Diakses
pada tanggal 11 Agustus 2013
 UNESCO. 2006. Laporan Global PUS (Pendidikan Untuk Semua) 2006: Keaksaraan Bagi
Kehidupan. Http://unesdoc.unesco.org/images/0014/0014427IND.pdf Diakses pada
tanggal 11 Agustus

22
LAMPIRAN 1 :

DOKUMENTASI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL


PERMATA HATI 059
DUSUN BUDAGAN DESA TAMANSARI

23
24
LAMPIRAN :

DOKUMENTASI KEGIATAN PEMASANGAN PAPAN KEAKSARAAN


FUNGSIONAL PERMATA HATI 059
DUSUN BUDAGAN DESA TAMANSARI

25

Anda mungkin juga menyukai