Disusun oleh:
Nama
Nim : 13102241066
PLS 4 B 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tantangan manusia Indonesia memasuki abad millennium ini semakin kompleks, mulai
dari kebodohan, keterbelakangan, penindasan, dan kemiskinan yang mulai menjadi fenomena
yang mendunia hingga ke Indonesia. Fenomena tersebut tak hanya terjadi di Negara-negara
berkembang, tapi juga di Negara maju, dan predikat tersebut sangat dekat dan melekat pada
orang-orang buta huruf. Disisi lain banyak yang beranggapan bahwa orang buta hurf itu ibarat
nyamuk dan penyakit yang menular yang harus cepat diberantas, sebagaimana tersirat dalam
istilah pemberantasan buta aksara. Buta aksara juga diibaratkab seperti bisul yang harus segera
diobati. Akibatnya buta aksara menjadi ukuran ketidakberdayaan suatu masyarakat, kebodohan,
dan beban yang selalu menghantui dan menggagnggu masyarakat berdaya (melek huruf) lainnya.
Upaya pemberantasan buta aksara sudah lebih dari 50 tahun dilaksanakan, namun masih
banyak sekali masyarakat yang mengalami buta aksara, terlebih untuk usia 10 tahun ke atas,
yang ditambah dengan tingginya angka putus SD yang setiap tahunnya mencapai 2,29%.
Semakin banyak anggota dalam suatu masyarakat yang buta aksara, maka semakin pula
masyarakat tersebut dikatakan masyarakat tak berdaya. Sampai pada saat ini dalam usaha
meningkatkan sumber daya manusia Indonesia , peremerintah menitikberatkan kepada dua hal,
yakni menaikkan kualitas keterampilan, dan memperkuat mental ideologis manusianya. Untuk
menaikkan kualitas keterampilan, pemerintah menggencarkan dengan program keaksaraan
fungsional. Karena pada kenyataannya aksara tersebut memang sangat diperlukan dalam
kehidupan kita sehari-hari. Ia bukan alat komunikasi yang mutlak, melainkan hanya suatu
pelengkap. Sedangkan untuk memperkuat mental ideologis manusianya melalui pendidikan
karakter yang dicanangkan dalam setiap kurikulum disekolah-sekolah. Untuk itu, secara tidak
langsung program keaksaraan yang ada membantu dalam memberdayakan masyarakat yang ada.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan program keaksaraan fungsional.
2. Apa saja tujuan dari program keaksaran fungsional.
3. Apa yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat.
4. Bagaimana kontribusi pendidikan keaksaraan dalam pemberdayaan masyarakat.
C. Tujuan penulisan
1. Menjelaskan pengertian dari program keaksaraan fungsional.
2. Menjelaskan tujuan dari program keaksaran fungsional.
3. Menjelaskan pengertian dari pemberdayaan masyarakat.
4. Menjelaskan kontribusi pendidikan keaksaraan dalam pemberdayaan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Dasar Keaksaraan Fungsional
Secara Ideologis, keaksaraan merupakan jiwa dari suatu program pendidikan dan
budaya yang memberikan serangkaian nilai yang bermanfaat unutuk membuat berbagai
pilihan yang bijak.
Keaksaraan menurut H.S. Bhola (1982,21) adalah sebagai instrumental yang sangat
terkait dengan peradaban menusia berupa kemampuan baca tulis sebagai induk bahasa yang
digunakan oleh setiap bangsa di dunia.
memahami
pengertian
keaksaraan
fungsional
secara
integral
dan
komprehensif, perlu memahami beberapa istilah yang terkait dengan program keaksaraan
fungsional, yakni:
1. Buta aksara murni, adalah penduduk yang sama sekali tidak bisa membaca, menulis dan
berhitung dengan sistem keaksaraan apapun juga.
2. Buta aksara, dalam konteks Indonesia diasumsikan sebgai buta bahasa Indonesia dan buta
pengetahuan dasar.
3. Melek aksara, ditafsirkan sebagai melek aksara latin dan angka arab, melek bahasa
Indonesia, dan pengetahuan dasar.
4. Tutor adalah seseorang yang karena keterpanggilannya dan pemikiran kemampuan
bertindak sebagai pembimbing dan pendamping kaum buta huruf dalam belajar aksara
dan pengetahuan dasar yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan.
5. Warga belajar pendidik keaksaraan adalah seseorang yang belum mampu membaca dan
menulis
mengembangkan pendidikan dasar yang bersedia ikut serta dalam program pendidikan
keaksaraan.
Tujuan dari program keaksaraan fungsional sendiri adalah membantu warga belajar
mencari dan menggunakan calistung sendiri untuk membantu mengembangkan kemampuan
dan keterampilan membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia yang dilengkapi
dengan keterampilan fungsional sesuai dengan kehidupannya sehari-hari. Untuk mewujudkan
upaya tersebut, tutor tiak hanya membantu warga belajar membaca, menulis, dan berhitung
saja tetapi tutor juga membantu mereka pergi ke TBM mencari buku yang diminatinya dan
memberikan bekal keteranpilan fungsional.
Selain itu, ada juga beberapa alasan mengapa orang buta aksara perlu belajar
keaksaraan, yaitu:
1. Untuk mendapatkan status dan / dihormati oleh orang lain;
2. Untuk mempelajari kemampuan/keterampilan baru yang belum dimiliki;
3. Untuk mendapatkan posisi tertentu sesuai dengan tanggungjawabnya sebagai anggota
masyarakat;
4. Untuk mempertahankan statusnya semula;
5. Untuk memulai usaha baru;
6. Untuk menulis dan membaca surat-surat yang sifatnya resmi;
7. Untuk membantu PR anak;
8. Untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan hal tertentu;
9. Untuk membaca aturan pakai berbagai produk barang dan jasa;
10. Untuk membaca media cetak;
11. Untuk mengetahui label di pestisida dan pupuk;
12. Untuk mencatat perkembangan vaksinasi anak;
13. Untuk menghindari penyontekan;
14. Untuk mendapatkan pekerjaan;
15. Untuk membaca buku keagamaan;
16. Untuk memperoleh hiburan, dll.
C. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa
mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an.
Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang
belakangan.
Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua
kecenderungan, antara lain : pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses
yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan
(power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi
pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian
mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang
menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan (pada titik
ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer
harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.
Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat, antara lain sebagai berikut:
(Ife, 1996:59):
1. Struktural, pemberdayaan merupakan upaya pembebasan, transformasi structural secara
fundamental, dan eliminasi struktural atau sistem yang operesif.
2. Pluralis, pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan daya sesorang atau sekelompok
orang untuk dapat bersaing dengan kelompok lain dalam suatu rule of the game tertentu.
3. Elitis, pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliniasi dengan elitelit tersebut, serta berusaha melakukan perubahan terhadap praktek-praktek dan struktur
yang elitis.
4. Post-Strukturalis,
pemberdayaan
merupakan
upaya
mengubah
diskursus
serta
Konsep pemberdayaan
masyarakat ini muncul karena adanya kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang
kemampuan keaksaraan dan keterampilan atau bermata pencaharian saja, tetapi juga dapat
survive dalam dunia kehidupannya. Definisi keaksaraan mengacu pada hasil deklarasi dari
seminar di Toronto tentang literasi di negara-negara industri, seperti yang diungkapkan oleh
Gillespie (1990:17), yang merumuskan:
1. Keaksaraan adalah hak asasi manusia untuk memajukan manusia di seluruh dunia
2. Keaksaraan adalah masalah utama yang tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi
juga di negara industri. Hal ini menandai dan mempengaruhi kemiskinan, pengangguran,
keterasingan, dan struktur sosial, individu dan masyarakat
3. Keaksaraan lebih dari sekedar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.
Kebutuhannya tercipta dari kemajuan teknologi yang membutuhkan tingkat pengetahuan,
keterampilan,
dan pemahaman
menguasai
keaksaraan dasar.Keaksaraan
berarti
rangka agar warga belajar dapat memiliki kemampuan yang bermanfaat bagi diri dan
masyarakat disekitarnya. Asumsi ini menekankankan pada peningkatan kualitas hidup dan
pemberdayaan masyarakat, disertai harapan bahwa melalui pendidikan keaksaraan akan
dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan warga belajar, selanjutnya dapat
digunakan untuk memecahkan masalah kehidupannya sendiri dan kehidupan masyarakat di
sekitarnya, membuka jalan untuk mendapatkan sumber-sumber kehidupannya, melaksanakan
kehidupan sehari-hari secara efektif dan efisien, mengunjungi dan belajar pada lembaga yang
dibutuhkan, dan menggali, mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap pembaharuan
untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Konsep baru tentang keaksaraan juga
dikemukakan oleh David Archer dan Sara Cottingham (1996: 15) dalam bukunya Reflect
Mother Manual menyatakan bahwa metode pendekatan ideologi sebaiknya: lebih
menitikberatkan pada penulisan dibandingkan membaca teks yang ada secara pasif;
menitikberatkan keterlibatan kreatif dan aktif para peserta; membangun pengetahuan para
peserta yang sudah ada, menghargai tradisi lisan dan keaksaraan lainnya; berfokus pada
bahan belajar yang dihasilkan warga belajar (bukan teks yang telah disiapkan) menjamin
adanya proses yang responsif dan relevan dengan konteks lokal; melaksanakan, kegiatan
keaksaraan dalam lingkungan yang lebih luas daripada sekedar menganggap keaksaraan
sebagai kegiatan di kelas semata.
Berdasarkan pengertian di atas, memberikan kejelasan kepada kita bahwa konsep
baru tentang keaksaraan terus berkembang dan harus memiliki pendekatan sebagai berikut:
(a) menekankan menulis daripada membaca pasif dari teks yang sudah ada, (b) menekankan
pada keterlibatan warga belajar secara aktif dan kreatif, (c) membangun pengetahuan,
pengalaman, dan memperhatikan tradisi lisan warga belajar, dan keaksaraan lain, (d)
memusatkan pada bahan belajar yang dihasilkan warga belajar sendiri bukan pada buku
paket, (e) menjamin bahwa proses belajar berwawasan dan relevan dengan konteks sosial,
dan (f) tempat belajar, akan lebih baik jika ada di lingkungan warga belajar daripada aktivitas
di dalam kelas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keaksaraan fungsional merupakan suatu pendekatan untuk mengembangkan
kemampuan belajar seseorang dalam menguasai dan menggunakan ketrampilan menulis,
membaca, berhitung, mengganti, dan menganalisa yang berorientasi pada kehidupan seharihari serta memanfaatkan potensi yang ada dilingkungan sekitarnya. Beberapa istilah yang
terkait dengan program keaksaraan fungsional, yakni: buta aksara murni, buta aksara, melek
aksara, tutor, dan warga belajar pendidik.
Tujuan dari program keaksaraan fungsional sendiri adalah membantu warga belajar
mencari dan menggunakan calistung sendiri untuk membantu mengembangkan kemampuan
dan keterampilan membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia yang dilengkapi
dengan keterampilan fungsional.
Pemberdayaan diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai
abad pertengahan, terus berkembang. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide
pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain: kecenderungan primer, dan
kecenderungan sekunder. Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat, antara lain
sebagai berikut: Struktural, Pluralis, Elitis, dan Post-Strukturalis. Pemberdayaan masyarakat
adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Dengan
kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam upaya
memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ; Pertama, menciptakan suasana
atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering), dan ketiga,
memberdayakan mengandung pula arti melindungi.