Anda di halaman 1dari 59

BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menyajikan secara rinci dan sistematis hasil-hasil penelitian yang
diperoleh sesuai dengan fokus permasalahan yang diajukan. Diantaranya, meliputi;
gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi, dan pembahasan hasil penelitian, yang
diperoleh dari hasil observasi, wawancara mendalam dan studi dokumentasi.

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian


4.1.1 Keadaan Geografis
Kabupaten Karangasem merupakan satu dari sembilan kabupaten/kota yang terdapat
di Provinsi Bali.Sejarah asal mula terbentuknya Kabupaten Karangasem sebagai daerah
otonom diawali saat terbentuknya Negara Indonesia Timur dimana muncul daerah-daerah
yang dikenal dengan istilah swapraja, salah satunya adalah swapraja Karangasem. Swapraja
Karangasem merupakan bagian dari wilayah Provinsi Bali, sesuai dengan Peraturan
Pembentukan Negara Indonesia Timur (Staatblad 1946 No.143). Setelah lahirnya undang-
undang No. 1 Tahun 1957 pada tanggal 18 Januari 1957 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, dibentuklah undang-
undang No. 69 Tahun 1958 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II dalam wilayah
daerah-daerah tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1655).
Substansi undang-undang ini, keberadaan daerah swapraja Karangasem secara
resmi dibubarkan dengan pembentukan daerah-daerah tingkat II, Karangasem termasuk
dalam daerah tingkat I Bali, dengan wilayah sebagai berikut; Daerah Tingkat II Buleleng,
Daerah Tingkat II Jembrana, Daerah Tingkat II Badung, Daerah Tingkat II Tabanan,
Daerah Tingkat II Gianyar, Daerah Tingkat II Klungkung, Daerah Tingkat II Bangli,
Daerah Tingkat II Karangasem.Undang-undang No. 69 Tahun 1958 menjadi dasar hukum
keberadaan daerah otonom Kabupaten Karangasem. Sesuai dengan perkembangan
peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah, kini Daerah Tingkat II Karangasem
disebut sebagai Kabupaten Karangasem. Sehingga, dalam setiap produk hukum baik
peraturan daerah maupun peraturan bupati, selalau merujuk pada Undang-undang Nomor
69 Tahun 1958.
Secara astronomis, Kabupaten Karangasem berada pada posisi80 00’ 00”- 80 41’ 37,
8” Lintang Selatan, dan 1150 35’ 9,8” – 1150 54’ 8,9” Bujur Timur. Kabupaten Karangasem
terletak di ujung timur Pulau Bali, sebagian besar wilayah Kabupaten Karangasem dikenal
sebagai daerah yang kering dan tandus yang mencapai 768, 14 km2 (91,50%), sementara
sisanya merupakan lahan basah berupa persawahan sebesar 71,4 km2 (8,50%) karena itu
Kabupaten Karangaem mendapat julukan sebagai daerah lahar yaitu akibat sisa-sisa letusan
Gunung Agung (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Karangasem). Adapun
batas-batas Wilayah Kabupaten Karangasem adalah sebagai berikut:
1) Sebelah utara berbatasan dengan Laut Bali
2) Sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia
3) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Klungkung
4) Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Lombok
Secara topografis, daratan Kabupaten Karangasem umumnya berupa perbukitan
dimana 43,5 % wilayahnya memiliki ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan
laut. Garis pantai yang ada di Kabupaten Karangasem cukup panjang, yang mencapai 87
kilometer. Hal ini dikarenakan letak Kabupaten Karangasem yang berada di Ujung Timur
Pulau Bali dan dikelilingi dengan lautan dari sisi utara, timur, dan selatan. Posisi Kabupaten
Karangasem yang berada pada ujung timur Pulau Bali menjadikan daerah ini menjadi salah
satu akses utama transportasi barang antara Pulau Bali dan Pulau Lombok melalui akses di
pelabuhan Padangbai.
Secara administrasi kewilayahan Kabupaten Karangasem dengan luas wilayah
mencapai 839,54 km2 terbagi menjadi 8 (delapan) kecamatan yaitu; Kecamatan Rendang,
Kecamatan Sidemen, Kecamatan Manggis, Kecamatan Abang, Kecamatan Bebandem,
Kecamatan Selat, Kecamatan Kubu dan Kecamatan Karangasem. 3 (tiga) kelurahan dan 75
desa, termasuk didalamnya Desa Pakraman Seraya (Sumber: majalah Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Karangasem Tahun Anggaran 2015).
Secara demografis, Kabupaten Karangasem memiliki potensi penduduk yang
strategis dengan jumlah penduduk yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Akibat pertumbuhan penduduk yang pesat menjamin tersedianya tenaga kerja potensial
bagi peningkatan produktivitas Kabupaten Karangasem. Akan tetapi akan menjadi beban
bagi pemerintah Karangasem apabila pertumbuhan penduduk yang pesat tersebut tidak
dimbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan dan produksi pangan serta lahan yang
cukup. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Karangasem
Tahun 2015, pertumbuhan penduduk Kabupaten Karangasem dalam periode Tahun 2010
sampai dengan Tahun 2014 mengalami fluktuasi dengan lonjakan terbesar yakni, 16,45%
yang terjadi pada Tahun 2012.
Persebaran penduduk per kecamatan di Kabupaten Karangasem mengalami masalah
persebaran yang tidak merata dengan tingkat kepadatan penduduk terendah sejumlah 407
jiwa per kilometer persegi di Kecamatan Kubu, sementara kepadatan tertinggi berada di
Kecamatan Sidemen dengan tingkat kepadatan mencapai 1.234 jiwa per kilometer persegi.
Adanya persebaran penduduk yang tidak merata tersebut menyebabkan timbulnya
permasalahan baru diantaranya pemukiman yang kumuh, kesenjangan sosial, kemiskinan
dan berbagai permasalahan lainnya.
Dunia pendidikan di Kabupaten Karangasem termasuk dalam kategori
tertinggal.Sebagian besar masyarakat Karangasem hanya tamat pendidikan sekolah dasar
(SD) dengan presentase mencapai 31, 89 %. Sementara masyarakat yang mengenyam
pendidikan tinggi, termasuk diploma hanya mencapai angka 2,61% atau sejumlah 14.815
jiwa. Selain tingkat pendidikan yang rendah, tingkat kemisikinan di Kabupaten
Karangasem juga tinggi. hal ini berimplikasi pada rendahnya pendapatan daerah serta
migrasi yang tinggi.
Potensi unggulan di Kabupaten Karangasem yakni; sektor pertanian yang mencakup
perkebunan, peternakan dan perikanan. Dengan kondisi wilayah yang sebagian besar
merupakan lahan kering dengan luas mencapai 768,14 km2 (91,50%), maka potensi
perkebunan menjadi salah satu kontribusi bagi PDRB Kabupaten Karangasem. Komoditi
hasil perkebunan yang potensial dikembangkan dan memiliki peluang pasar komersial
adalah tanaman kelapa, kakao, jambu mete, kopi, vanili, cengkeh, kapok, tembakau dan
jarak pagar serta salak dengan berbagai jenis varietas. produk olahan. Hasil perkebunan
tersebut sebagian dipasarkan secara langsung, sebagian lainnya dilakukan pengolahan
sebagai oleh-oleh dan souvenir khas Karangasem seperti wine-salak dan kacang mete. Dari
sektor peternakan, beberapa potensi yang menjadi andalan antara lain; peternakan sapi bali,
babi dan ayam ras petelur. Sedangkan pada sektor kelautan, keberadaan pantai sepanjang
87 kilometer menjadikan Kabupaten Karangasem memiliki potensi laut yang cukup besar,
dengan luas areal budidaya perikanan air tawar seluas 40 hektar.
Selain sektor pertanian, sektor lainnya yang menjadi andalan bagi Kabupaten
Karangasem adalah sektor pariwisata. Sektor pariwisata menjadi industry yang berkembang
dan memberikan dampa yang signifikan bagi perkembangan perekonomian Bali dan
Karangasem pada khususnya. Potensi pariwisata di Kabupaten Karangasem lebih
menonjolkan pada adat tradisi, serta atraksi pariwisata budaya, yaitu antara lain; atraksi
mageret pandan, atraksi magebug, keberadaan Pura Besakih, Desa wisata Tenganan, Pantai
Candidasa, Taman wisata Desa Ujung, Pantai Amed, Taman Tirta Gangga, dan berbagai
aktivitas yang dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

4.1.2 Topografi Desa Pakraman Seraya


Secara administratif Desa Pakraman Seraya terbagi menjadi tiga desa dinas, yaitu
Desa Seraya Timur, Desa Seraya Tengah dan Desa Seraya Barat. Desa Pakraman Seraya
merupakan salah satu desa yang berada di Provinsi Bali, Kabupaten Karangasem, tepatnya
di wilayah Kecamatan Karangasem. Desa Pakraman Seraya memiliki topografi tinggi yang
terletak diantara 250 meter di atas permukaan laut, memiliki luas wilayah 28.000 Ha,
bersuhu sedang (270C), dan beriklim tropis yang pada umumnya terdiri dari dua musim,
yaitu musim hujan yang berlangsung pada bulan Oktober sampai bulan Maret dan musim
kemarau yang berlangsung dari bulan April sampai September. Wilayah ini termasuk
kedalam salah satu desa paling tandus di Kabupaten Karangasem, hal ini dikarenakan
lokasi dari desa ini yang berada pada topografi tinggi yang terletak diantara 250 meter di
atas permukaan laut.
Wilayah ini memiliki curah hujan yang rendah yaitu rata-rata hanya 1250 mm,
selain curah hujan yang rendah, keadaan tanah di desa ini termasuk tipe tanah vulkanis,
sehingga termasuk kedalam jenis tanah yang kering dan kurang subur. Keadaan ini
membuat masyarakat setempat sangat sulit mengembangkan sektor pertanian dan
perkebunan, hal tersebut karena minimnya sumber air yang digunakan sebagai pengairan
serta keadaan tanah yang tandus. Batas-batas wilayah administratif Desa Pakraman Seraya,
yaitu:
1) Di sebelah utara berbatasan dengan Bukit Bis-bis atau Gunung Seraya
2) Di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Lombok
3) Di sebelah timur berbatasan dengan Tukad Batu Manak
4) Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Ujung.

Secara orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan), letak Desa Pakraman Seraya cukup
jauh dari pusat-pusat pemerintahan atau pusat keramaian. Adapun jarak orbitasi Desa
Pakraman Seraya terhadap pusat-pusat pemerintahan yaitu:
1) Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan : 16 km
2) Jarak dari Pusat Pemerintahan Kabupaten
Kota Administratif :-
3) Jarak dari Ibu Kota Kabupaten/Kota Madya
Daerah Tingkat II : 16 km
4) Jarak dari Ibu Kota Propinsi
Daerah Tingkat I : 96 km
5) Jarak dari Ibu Kota Negara : 1200 km

Jarak Desa Pakraman Seraya ke pusat-pusat pemerintahan tersebut, baik menuju ke


kecamatan, ibu kota daerah tingkat I, II dan ibu kota negara maupun ke desa-desa tetangga
yang menjadi batas-batasnya dihubungkan dengan jalan aspal, sehingga jalur transportasi
menjadi sangat lancar. Hal tersebut menjadi pendorong bagi kemajuan perekonomian
masyarakat di Desa Pakraman Seraya, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat.

4.1.3 Sejarah Singkat Desa Pakraman Seraya


Sampai dengan sekarang ini, belum pernah ditemukan dalam berbagai prasasti atau
cacatan sejarah yang menyatakan sejarah awal mula munculnya Desa Pakraman Seraya,
sehingga sangat sulit untuk merumuskan sejarah keberadaan Desa Pakraman Seraya. Oleh
sebab itu dalam penyusunan sejarah Desa Pakraman Seraya dilakukan melalaui penggalian
informasi dari para tokoh serta masyarakat yang mengetahui sejarah keberadaan Desa
Pakraman Seraya. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari para pengelingsir Desa
Pakraman Seraya, serta para tokoh masyarakat, dijelaskan bahwa Desa Pakraman Seraya
yang berada di Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali merupakan
salah satu desa tua yang sudah ada sebelum Provinsi Bali dan Negara Republik Indonesia
berdiri.
Desa Pakraman Seraya sudah ada sejak 1343 Masehi, yaitu dari zaman Kerajaan
Bedahulu dibawah kepeminpinan Sri Kresna Natha Bumi yang dibantu oleh para mentri
atau patih yang berjumlah 7 (tujuh) orang yang merupakan penjaga kedaulatan wilayah
Bali. Salah satu dari tujuh patih tersebut yaitu Patih Kikopang yang merupakan seorang
warga dari Desa Pakraman Seraya yang bertugas menjaga kedaulatan dari sisi timur Pulau
Bali. Akan tetapi dalam perjalanannya Kerajaan Bedahulu tersebut ditaklukan oleh
kerajaan Majapahit yang berada di wilayah jawa, dalam pertempuran tersebut
menyebabkan gugurnya para patih pmbantu kerajaan Bedahulu, termasuk Patih Kikopang.
Sejak saat itu Pulau Bali berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit dibawah kepeminpinan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah
Mada, melakukan perubahan tatanan pemerintahan di Pulau Bali setelah berhasil
menaklukan Kerajaan Bedahulu. Dibawah kekuasaan Majapahit, para tokoh-tokoh agama,
seni, dan budaya dikirimkan dari Majapahit ke Pulau Bali untuk menamkan kekuasaan
Kerajaan Majapahit di Bali pada saat itu. Selain itu Majapahit juga membagi pemerintahan
di Bali menjadi beberapa kerajaan, termasuk Kerajaan Karangasem yang menguasai
wilayah timur Pulau Bali. Wilayah Desa Pakraman Seraya termasuk salah satu daerah
kekuasaan bagi Kerajaan Karangasem. Masyarakat Desa Pakraman saat itu dikenal sebagai
bala tentara bagi kerajaan Karangasem saat menaklukan beberapa kerajaan lain seperti
kerajaan mataram di Lombok. Masyarakat Desa Pakraman Seraya dikenal kebal serta
pandai berperang, sehingga Raja Karangasem saat itu memilih masyarakat dari Desa
Pakraman Seraya saat itu menjadi bala tentara Kerajaan Karangasem. Sampai saat ini
sebagian wilayah di Mataram diberi nama sama seperti wilayah di Karangasem serta dihuni
oleh masyarakat dari Karangasem, sehingga banyak adat-tradisi dan budaya Mataram yang
dipengaruhi oleh budaya Bali. Sedangkan nama Desa Seraya dari sejak zaman kerajaan
sampai dengan saat ini tetap disebut sebagai Desa Adat Seraya atau Desa Pakraman Seraya.
Sebelum Tahun 1908, ketika Raja Karangasem terakhir Ida AA Gd Jelantik berkuasa
di Karangasem. Desa Pakraman Seraya merupakan sebuah distrik yang dipimpin oleh
seorang punggawa I Gusti Gede Sembur, dengan wilayah bagian yaitu:
1) Desa Tukad Hitem yang dipimpin oleh Perbekel I Gusti Sibetan, meliputi wilayah 2
Banjar yaitu; Banjar Kangin dan Banjar Tinjalas.
2) Desa Seraya, dipimpin oleh Perbekel I Nengah Gengsoh, meliputi wilayah 6 Banjar
yaitu :Banjar Tenggang, Banjar Celagi, Banjar Pauman, Banjar Gambang, Banjar
Kaler dan Banjar Belubuh.
3) Desa Selalang, dipimpin oleh Perbekel I Nyoman Rasman, meliputi wilayah 2 Banjar
yaitu :Banjar Kalanganyar dan Banjar Selalang.
Tahun 1909, Distrik tersebut dihapus dan digabung menjadi satu desa dengan nama
Desa Seraya dengan kepala desa atau Perbekel I Nengah Gengsoh dari Desa Pakraman
Seraya. Kemudian pada Tahun 1942 beliau digantikan oleh I Gusti Gede Dangin dari Jero
Kaler Kauh Karangasem. Pada Tahun 1949 kepeminpinan Desa Pakraman Seraya diganti
oleh I Gusti Gede Rai dari Jero Kaler Kauh Karangasem. Kemudian pada Tahun 1951
beliau diganti oleh I Made Rai yang berasal dari Desa Seraya, beliau menjabat sampai
Tahun 1968. Setelah masa jabatannya selesai, posisi Kepala Desa Seraya kemudian
digantikan oleh I Ketut Jineng yang merupakan putra asli yang berasal dari Desa Seraya.
Beliau menjabat sebagai kepala Desa selama kurang lebih 36 Tahun.
Dengan wilayah yang amat luas, perkembangan penduduk semakin bertambah,
perkembangan pembangunan semakin meningkat maka permasalahanpun semakin
kompleks. Untuk memudahkan pelaksanaan, pengawasan serta percepatan pembangunan,
maka kepala Desa saat itu I Ketut Jineng mengambil kebijakan memekarkan kembali Desa
Pakraman Seraya menjadi 3 Desa Dinas, dengan masa persiapan sejak 1 September 1981
( difinitif 21 Juni 1986 ). Ketiga Desa tersebut yaitu :
1) Desa Seraya Timur, dengan Kepala Desa I Gede Rukia, meliputi wilayah :Banjar
Tinjalas, Banjar Tukad Tiis, Banjar Kangin, Banjar Tanah Barak, dan Banjar Tukad
Buah.
2) Desa Seraya, dengan Kepala Desa I Ketut Jineng, meliputi wilayah :
BanjarTenggang, Banjar Celagi, Banjar Pauman, Banjar Kecag Balung, Banjar Kaler,
Banjar Belubuh, Banjar Gambang.
3) Desa Seraya Barat, dengan Kepala Desa I Made Putu Suarsha, meliputi wilayah :
Banjar Bungkulan, Banjar Pasiatin, Banjar Dauh Pangkung, Banjar Selalang, Banjar
Gerobog, Banjar Kalanganyar.

4.1.4 Penduduk Desa Pakraman Seraya


Berdasarkan registrasi penduduk tahun 2011 menunjukan bahwa jumlah penduduk
Desa Pakraman Seraya kurang lebih berjumlah 20.828 jiwadengan 10.593 penduduk laki-
laki dan 10.235 penduduk perempuan, dimana terdapat 4.675 RT.

Tabel 4.1 Jumlah penduduk Desa Pakraman Seraya


No. Nama Banjar Perempuan Laki-laki Jumlah KK
1. Banjar Dauh Pangkung 425 450 316
2. Banjar Kaler 440 422 191
3. Banjar Yeh Kali 416 403 192
4. Banjar Pasiatin Kaler 234 244 166
5. Banjar Merajan 392 457 264
6. Banjar Kalanganyar Kaler 250 286 250
7. Banjar Kalanganyar Kelod 279 324 185
8. Banjar Pasiatin Kelod 208 233 159
9. Banjar Taman 310 348 147
10 Banjar Bukit Catu 234 280 177
11 Banjar Kecag Balung 443 446 188
12 Banjar Tanah Barak 537 563 257
13 Banjar Ijo Gading 369 346 158
14 Banjar Gambang 348 325 154
15 Banjar Biok 142 162 87
16 Banjar Selalang 362 391 226
17 Banjar Pauman 310 275 139
18 Banjar Tukad Tiis 495 535 277
19 Banjar Batu Kori 309 325 142
20 Banjar Tukad Buah 807 349 209
21 Banjar Peninggaran 288 213 89
22 Banjar Tukad Item 401 327 131
23 Banjar Bungkulan 418 424 292
24 Banjar Tinjalas 245 310 132 Sumber:
25 Banjar Gerobog 198 193 117
26 Banjar Kangin 485 631 265 Data
27 Banjar Bena Sari 341 408 186
28 Banjar Celagi 310 308 161
29 Banjar Belubuh 360 355 157
30 Banjar Tenggang 316 312 146
31 Banjar Delod Sema 304 318 156
32 Banjar Gili Selang 377 422 168
JUMLAH 10.235 10.593 4.675
Monografi Desa Pakraman Seraya Tahun 2011

4.1.5 Sistem Kepercayaan/Agama


Dari faktor religi, masyarakat di Desa Pakraman Serayamerupakan masyarakat yang
homogen karena hampir seluruh masyarakat di Desa Pakraman Seraya beragama Hindu,
walaupun masyarakatnyahomogen, masyarakat Desa Pakraman Seraya sangat toleran. Hal
ini terbukti dengan sikap warga setempat yang memiliki empati sangat tinggi terhadap
pemeluk agama lain, serta adanya rasa saling menghargai antar umat beragama lainnya
yang terimplementasi dalam berbagai kegiataan keagamaan yang ada di wilayah
Karangasem. Karena keseluruhan masyarakat setempat beragama Hindu, sehingga tidak
ada tempat ibadah yang terlihat di Desa Pakraman Seraya selain Pura. Sebagian besar Pura
tersebar merata di seluruh wilayah Desa Pakraman Seraya. Pengaruh Hindu sangat kental
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Pakraman Seraya. Demikian juga dengan
sikap dan prilaku yang mereka jalankan sangat kental dengan nilai budaya dan agama.
Walaupun demikian, kehidupan adat tradisi dan budaya di Desa Pakraman Seraya tidak
menutup diri terhadap perubahan-perubahan yang datang, masyarakat setempat sangat
terbuka dengan segala perubahan asalkan tidak merubah nilai-nilai fundamental norma dan
agama yang ada diwilayah tersebut.
Mayoritas penduduk Desa Pakraman Seraya yang berjumlah 20.828 jiwamenganut
Agama Hindu. Sehingga sepanjang wilayah Desa Pakraman seraya akan banyak ditemui
Pura, baik Pura Desa maupun Pura Keluarga. Jika dilihat dari aspek arkeologis dan
semiotika, selain kahyangan tiga terdapat cukup banyak peninggalan tempat suci di Desa
Pakraman Seraya. Pura tersebut merupakan Pura Kahyangan Desa yang letaknya tersebar
di wilayah Desa Pakraman Seraya, diantaranya yaitu:Pura Peraja Pati,Pura Bale
Sanghyang,Pura Selonding,Pura Ruwa Bineda,Pura Mas Pait,Pura Majapahit, Pura Buar-
Buaran,Pura Puncak Sari, atau Pura Puncak Bisbis,Pura Gili Selang,Pura Melanting,Pura
Pemaksan Selalangdan Pura Tinjalas.
Lokasi Pura Kahyangan Tiga (Puseh, Pura Dalem dan Bale Agung) tepat berada di
pusat Desa Pakraman Seraya, sedangkan Pura Dalem dan Prajapati berada di bagian
Selatan (teben) dari uluning desa, karena keberadaan Pura Dalem juga harus disertai adanya
setra (kuburan), Desa Pakraman Seraya memiliki satu setra (kuburan) yang terletak di Desa
Dinas Seraya, yang letaknya ditengah-tengah antara Desa Dinas Seraya Timur dan Seraya
Barat. Kehidupan masyarakat sehari-hari sangat kental dengan pelaksanaan upacara
keagamaan yang bercorakan Hindu, hal tersebut terlihat dalam pelaksanaan
persembahyangan maupun upacara yadnya yang berlangsung setiap hari. Sehingga, sangat
mudah untuk melestarikan adat tradisi dan kebudayaan yang sebagian besar bernuansa
Hindu, hal ini diperkuat dengan terbentuknya seka-seka yang ada di Desa Pakraman
Seraya, seperti seka gong, seka angklung, seka truna, pecalang dan yang lainnya.
Desa Pakraman Seraya dibangun dengan konsep tri hita karana, yaitu menjaga
keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan
Tuhan. Desa Pakraman Seraya terdiri dari tiga puluh dua banjar adat, dan sebelas dadia,
serta seratus lima puluh satu karang jineng yang tersebar di seluruh wilayah Desa
Pakraman Seraya. Ketiga jenis komunitas sosial tersebut yaitu; banjar adat, dadia, dan
karang jineng merupakan ciri khas dari desa yang berbasis adat di Bali. Masing-masing
kelompok komunitas sosial tersebut memiliki tata cara pemilihan anggota serta aturan
tersendiri yang apabila dilanggar akan terdapat sanksi yang diberlakukan kepada
anggotanya,mulai dari sanksi dalam bentuk materi,sanksi sosial sampai pada pemecatan
dari anggota atau dikeluarkan dari desa. eksistensi masyarakat Desa Pakraman Seraya
sangat bergantung dari pengelolaan dan aktivitas dari komunitas-komunitas sosial tersebut.

4.1.6 Mata Pencaharian


Mayoritas mata pencaharian penduduk Desa Pakraman Seraya adalah petani.
Tercatat pada tahun 2011,struktur penduduk menurut mata pencaharian menunjukan bahwa
sebagian besar penduduk Desa Pakraman Seraya menggantungkan sumber kehidupannya di
sektor pertanian dan peternakan, yaitu sejumlah 97%, sektor lain yang menonjol dalam
penyerapan tenaga kerja adalah wiraswasta sebesar 1%, sektor lain yang menunjang yaitu
nelayan, sopir, perdagangan, industri rumah tangga, perkebunan,dan PNS, TNI/POLRI, dan
lain-lain. Dalam hal bertani, masyarakat di Desa Pakraman Seraya menggunakan tata cara
kerta masa, yaitu menggunakan waktu masa tanam yang disesuaikan dengan jenis tanaman
yang ditanam, biasanya bergantung pada perkiraan cuaca menggunakan patokan bintang.
Peternakan yang banyak dikembangkan warga adalah beternak sapid dan babi.
Biasanya setiap rumah tangga di Desa Pakraman Seraya memelihara 2 (dua) sampai 3 (tiga)
sapi tergantung jumlah anggota keluarga. Pemeliharaan sapi masih dilakukan secara
tradisional dengan sistem perkawinan yang konvensional. Masyarakat Desa Pakraman
Seraya sangat serius dalam menjaga lingkungan sekitar. Keseriusan tersebut dapat dilihat
dari aturan-aturan adat yang tertuang dalam awig-awig desa yang disertai aturan ketat serta
sanksi yang berat. Hal tersebut karena Desa Pakraman seraya mrupakan desa berbasis Tri
Hita Karana, yang menjaga keharmonisan antara alam, manusia dan Sang Pencipta.

4.1.7 Tingkat Pendidikan


Pemerintah Desa Pakraman Seraya senantiasa berupaya meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Salah satunya dengan membangun2 (dua) buah SMP yakni SMP
Negeri3 Amlapura dan SMP Negeri 6Amlapura, puluhan Sekolah Dasar,  serta beberapa
TK dan Kelompok Bermain PAUDyang tersebar di beberapa dusun. Hal ini juga
dimaksudkan dalam rangka menunjang program pemerintah dalam memberantas buta
aksara. Perubahan ini terlihat semenjak Tahun 2011-an, sebelum Tahun 2000, Desa
Pakraman Seraya dikenal sebagai daerah yang memprihatinkan dalam hal pendidikan, citra
tersebut muncul akibat tingkat pendidikan masyarakat yang sangat rendah. Selain adanya
lembaga pendidikan tersebut, Desa Pakraman Seraya juga kerap kali di datangi oleh
mahasiswa-mahasiswa dari berbagai Universitas di Bali yang melaksanakan KKN maupun
instansi pendidikan nasional seperti DIKTI, dalam menunjang pendidikan di Desa
Pakraman Seraya. Meski begitu, hingga saat ini Desa Pakraman Seraya masih termasuk
kedalam desa tertinggal, hal tersebut karena ingginya angka buta huruf serta sebagian besar
penduduk hanya tamat Sekolah dasar. Hal tersebut diakibatkan oleh rendahnya pemahaman
masyarakat tentang pentingnya pendidikan. Para orang tua lebih senang apabila anak
mereka bekerja mencari uang ketimbang pergi kesekolah. Akibatnya banyak anak yang
baru tamat Sekolah Dasar (SD) dikirim orang tuanya untuk bekerja ke Denpasar baik
sebagai kuli bangunan maupun sebagai pembantu rumah tangga. Kondisi ini sangat
memprihatinkan karena banyak anak-anak usia sekolah tapi menjadi pekerja di luar kota.

4.1.8 Sarana Kesehatan


Dalam bidang kesehatan, masyarakat Desa Pakraman Seraya juga mengalami
hambatan dalam hal sarana-prasarana maupun tenaga medis. Tidak adanya tenaga
kesehatan seperti dokter dan bidan menyebabkan banyak kasus medis yang tidak mendapat
penanganan segera, akibat minimnya sarana dan tenaga medis. Sehingga, apabila ada warga
yang sakit biasanya akan dirujuk kerumah sakit yang lokasi nya berjarak 21 kilo meter dari
Desa Pakraman Seraya. Saat ini, keadaan di Desa Pakraman Seraya sudah berangsur
membaik. Pembangunan puskesmas terus dilakukan semenjak Tahun 2010. Saat ini,
masyarakat Desa Pakraman Seraya sudah dilayani oleh 3 (tiga) buah Puskesmas yang
tersebar di masing-masing desa dinas. Salah satu diantara puskesmas tersebut sudah dapat
melayani rawat inap layaknya pelayanan rumah sakit pada umumnya, walaupun masih
terbatas dalam hal sarana-prasarana. Dari segi tenaga medis, seperti; bidan, perawat, dokter
dan tenaga medis lainnya, saat ini di Desa Pakraman Seraya sudah terdapat beberapa tenaga
medis yang melayani masyarakat, baik layanan dipuskesmas maupun ditempat praktek.

4.1.9Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Desa Pakraman Seraya masih dijalankan dengan sistem
adat. Pemerintahan Desa Pakraman Seraya dipimpin oleh seorang pemimpin adat atau yang
biasa disebut Bendesa Adat.Bendesa asat dibantu oleh beberapa kepala divisi atau yang
biasa disebut Petajuh. Petajuh ini menaungi masalah pawongan atau masyarakat, masalah
Palemahan atau lingkungan serta masalah Parhyangan atau masalah pemujaan kepada
Tuhan. Mengenai susunan organisasi Pemerintah Desa Pakraman Seraya, dapat dilihat pada
bagan berikut.
Bagan 4.1. Bagan/Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Pakraman Seraya
BENDESA ADAT
I Nyoman Matal, SH

PETENGEN PENYARIKAN
I Gede Pageh I Wayan Merta
I Wayan Pura I Gede

Petajuh I Petajuh II Petajuh III


(Bhaga (Bhaga Pawongan) (Bhaga
Prahyangan) I Nyoman Ginantra Palemahan)
Pengabih I Pengabih II Pengabih III
(Bhaga (Bhaga Pawongan) (Bhaga
Prahyangan) I Gede Bendesa Mas Palemahan)
I NengahSeperti
Nisti halnya wilayah lain di Bali,Putra,
I Wayan pada S.Pd
umumnya pemerintahan di Provinsi Bali
I Wayan Sulandra,
I Gede Semirna, S.Pd I Gede Suastawa, S.Pd
dijalankan oleh dua instansi, yaitu pemerintahan adat dan pemerintahan dinas.Dandri
Keberadaan
I Wayan
pemerintahan adat tersebut dilindungi dan diakui oleh Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sesuai dengan bunyi pasal 18 UUD 1945, khususnya pasal 18 B yang mengatur
secara spesifik tentang keberadaan masyarakat hukum adat yang dihormati keberadaanya
sebagai bagian terkecil substansi pemerintahan di daerah. Dalam UUD 1945 pasal 18 B
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pemerintahan adat dan dinas memiliki wilayah kerja yang berbeda. Pemerintahan
dinas mengurus masalah administrasi yang berkaitan dengan pemerintahan,sedangkan
pemerintahan adat mengurus permasalahan adat dan budaya di masyarakat. Berdasarkan
hal tersebut keberadaan pemerintahan adat Desa Pakraman Seraya yang diminpin oleh
seorang bendesa adat. Bendesa adat bertugas meminpin pemerintahan adat serta mengawal
kebijakan-kebijakan adat yang telah disetujui dalam rapat paruman. Bendesa adat dipilih
setiap 5 (lima) tahun sekali oleh seluruh pengurus desa adat secara musyawarah mufakat.
Dalam menjalankan pemerintahannya, bendesa adat dibantu oleh dua
Sampai dengan saat ini, sudah banyak kemajuan yang berhasil dicapai oleh Desa
Pakraman Seraya. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari sumber daya manusianya yang
semakin meningkat, maupun sarana-prasarana dan fasilitas umum yang semakin
berkembang pesat, seperti jalan raya sebagai akses menuju Desa Pakraman Seraya sebagian
besar di aspal, sehingga dapat mempermudah akses masyarakat dalam memasarkan hasil
pertanian dan kelautan, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Selain itu,
kemajuan lain yang terlihat diantaranya, semakin banyaknya rumah-rumah penduduk yang
layak huni, bahkan sudah sangat bagus. Hal ini menggambarkan semakin majunya
perekonomian masyarakat Desa Pakraman Seraya.
Dalam perjalanannya Desa Pakraman Seraya mengalami banyak perkembangan,
berdasarkan data rekapitulasi,secara administrasi hingga saat ini Desa Pakraman Seraya
terbagimenjadi 3(tiga) desadinasdan32 (tiga puluh dua) banjar dinas, namun
tetaptergabungmenjadisatudesaadatataudesapakraman. Ketiga desa dinas tersebut, yaitu;
Desa Seraya Timur, Desa Seraya Tengah, Desa Seraya Barat. Secara lebih rinci berkenaan
dengan jumlah penduuk dan batas wilayah Desa Pakraman Seraya dapatdirinci sebagai
berikut:
A. Desa Dinas Seraya Barat
4.1 Gambar Peta Desa Seraya Barat
Gambar 4.1

Secara tofografi, Desa Seraya Barat, Kecamatan Karangasem, Kabupaten


Karangasem merupakan daerah kering dengan ketinggian 0 s/d 300 meter diatas
permukaan laut, curah hujan relatif rendah, dengan batas wilayah administratif sebagai
berikut :
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bukit.
2) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Seraya.
3) Sebelah Selatan adalah laut ( Selat Lombok ).
4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tumbu.
Desa Seraya Barat memiliki jalan sepanjang 39 km, dengan rincian : Jalan Provinsi
3 km dan Kabupaten12 km kondisi rusak 5 km, Jalan Desa sepanjang 24 km dengan
kondisi yang belum diaspal 9 km dan yang sudah diaspal sepanjang 15 km. Penggunaan
lahan di wilayah Desa Seraya Barat, sekarang dipilah menjadi daerah pemukiman 30,5 ha,
tanah sawah 25 ha, Tanah Tegalan 848,11 Ha, Tanah Perkantoran 2,85 ha, Jalan 32 ha,
Tanah Pertokoan / Sekolahan 5,57 ha, Tanah Kuburan dan lainnya 3,78 ha. Luas wilayah
Desa Seraya Barat, 947,75 Km2/ Ha yang terdiri dari :
Tabel 4.1 Luas Tanah di Desa Dinas Seraya Barat
No Jenis Tanah Luas
1 Tanah Pekarangan/Pemukiman 30,5 Ha
2 Tanah Tegalan 848,11 Ha
3 Tanah Persawahan 25 Ha
4 Tanah Perkantoran 2,85 Ha
5 Jalan 32 Ha
6 Pertokoan/Sekolahan 5,57 Ha
7 Kuburan 1 Ha
8 Lainnya 2,72Ha

Jumlah penduduk Desa Seraya Barat berdasarkan data Penduduk tahun 2012, adalah
sebanyak 5.738 yang terdiri dari laki – laki 2990 jiwa dan Perempuan 2748 jiwa
Sedangkan Tahun 2013 Jumlah Penduduk 5.768 yang terdiri dari laki – laki 3002 dan
perempuan 2766 Sedangkan jumlah RTM sabanyak 471 RTM.Struktur penduduk menurut
pendidikan menunjukkan kualitas sumber daya manusia yang dipunyai Desa Seraya Barat,
yaitu yang berusia pada usia pendidikan dasar 7 tahun s/d 16 tahun (pendidikan sekolah
dasar dan menengah) yang belum pernah sekolah 0 %, sedang mengikuti pendidikan 81 %
dan sisanya 19 % tidak bersekolah lagi. Sedangkan yang berusia diatas 16 tahun (diatas
usia pendidikan dasar) yang belum pernah sekolah 0 %, sedang mengikuti pendidikan 75 %
dan sisanya 25 % tidak bersekolah lagi, baik pada tingkat lanjutan dan perguruan tinggi.
Struktur penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan bahwa sebagian besar
penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di sektor pertanian (64,1%), sektor lain
yang menonjol dalam penyerapan tenaga kerja adalah perdagangan (4,4 %), sektor industri
rumah tangga dan pengolahan (20%), sektor jasa (4,6%) dan sektor lainnya seperti pegawai
negeri, karyawan swata dari berbagai sektor (6,9%). Struktur penduduk menurut Agama
menunjukkan Seluruh penduduk Desa Seraya Barat adalah beragama Hindu (100 %).
Kebudayaan daerah Desa Seraya Barat, tidak terlepas dan diwarnai oleh Agama Hindu
dengan konsep “Tri Hita Karana” (hubungan yang selaras, seimbang dan serasi antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan
lingkungannya).Secara administrasi Desa Seraya Barat terbagi menjadi 9 Banjar Dinas
dengan jumlah penduduk yaitu 5.768 orang, yang dirinci sebagai berikut;
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Desa Dinas Seraya Barat
Jumlah Jumlah Penduduk
No Nama Banjar Dinas KK Jumlah
Laki Perempuan
1 Dauh Pangkung. 316 450 425 875
2 Merajan 264 457 392 849
3 Gerobog. 117 193 198 391
4 Bungkulan 292 424 418 842
5 Pasiatin. 159 233 208 441
6 Pasiatin Kaler. 166 244 234 478
7 Selalang. 226 391 362 753
8 Kalanganyar 185 324 279 603
9 Kalanganyar Kaler 165 286 250 536
Jumlah 1.884 3.002 2.766 5.768
Sumber: Data Monografi Desa Seraya Barat Tahun 2015

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur


NO INDIKATOR JUMLAH
2012 2013
1 0-12 Bulan 121 103
2 >1 - < 5 Tahun 283 291
3 >5 - <7 Tahun 168 172
4 >7 - <15 Tahun 913 927
5 >15-56 Tahun 2.829 2.855
6 >56 Tahun 1.396 1.420

Table 4.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis kelamin


NO INDIKATOR JUMLAH TAHUN JUMLAH
2012 TAHUN 2013
1 Jumlah Penduduk 5.710 5.768
2 Jumlah Laki-laki 2.974 3.002
3 Jumlah Perempuan 2.736 2.766
4 Jumlah Kepala Keluarga 1.883 1.884

Bagan 4.2 Bagan/Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Dinas Seraya Barat

PERBEKEL

BPD LPM

SEKDES

KASI KASI KASI


PEM PEMB. KESR KAUR. KAUR. KAUR.
A ADMINI KEUANGAN UMUM
STRASI

KELDI KELDI KELDI KELDI KELDIS. KELDI KELDI KELDIS.


S. S. S. S. S. S. KALANG
DAUH PASIA PASIATI SELA KALA ANYAR
PANG TGER BUNG TIN N KALER LANG NGAN KALER
KUNG OBOG KULA YAR

B. Desa Dinas Seraya


Desa Seraya Tengah atau Desa Seraya merupakan salah satu bagian wilayah dari
Desa Pakraman Seraya. Desa tersebut berlokasi di bagaian tengah, yangdiapit oleh Desa
Seraya Barat di sebelah barat dan Desa Seraya Timur di sebelah timur.Jarak Desa Seraya
dari pusat Kota Denpasar dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam 30 menit dengan
menggunakan transportasi darat, kecepatan rata-rata 60 Km/Jam dengan jarak tempuh
kurang lebih 83 KM. Jalan dari pusat Kota Denpasar menuju wilayah ini cukup baik,
terlebih saat ini sebagian besar di wilayah tersebut sudah diaspal, dipermudah lagi dengan
dibangunnya jalan Baypass Ida Bagus Mantra dari Kabupaten Badung sampai dengan
Kabupaten kelungkung, sehingga hambatan untuk menuju Desa Seraya relatif tidak ada.
Desa Seraya memiliki jalan sepanjang 39 km, dengan rincian : Jalan Provinsi 3 km
dan Kabupaten12 km kondisi rusak 5 km, Jalan Desa sepanjang 24 km dengan kondisi
yang belum diaspal 9 km dan yang sudah diaspal sepanjang 15 km.Penggunaan lahan di
wilayah Desa Seraya, sekarang dipilah menjadi daerah pemukiman 49,89 ha, tanah sawah
25 ha, Tanah Tegalan 995,350 Ha, Tanah Perkantoran 3 ha, Jalan 35 ha, Tanah Pertokoan /
Sekolahan 8,57 ha, Tanah Kuburan dan lainnya 3,78 ha. Adapun batas-batas wilayah
administratif Desa Pakraman Seraya, yaitu:
1) Sebelah Utara berbatasan Kecamatan Abang.
2) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Seraya Timur.
3) Sebelah Selatan adalah laut ( Selat Lombok ).
4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Seraya barat.
4.2 Gambar Peta Desa Seraya

Desa Seraya memiliki luas wilayah 1398,250 Km2/ Ha yang terdiri dari :

Tabel 4.5 Luas Tanah Desa Seraya Tengah


No Jenis Tanah Luah
1 Tanah Pekarangan/Pemukiman 43,150 Ha
2 Tanah Tegalan 995,350 Ha
3 Tanah Persawahan 25 Ha
4 Tanah Perkantoran 2,85 Ha
5 Jalan 32 Ha
6 Pertokoan/Sekolahan 5,57 Ha
7 Kuburan 1 Ha
8 Lainnya 2,72Ha

Secara administratif Desa Dinas Seraya terbagi atas 15 (lima belas) banjar dinas
yang meliputi;
Tabel 4.6 Jumlah Penduduk Desa Seraya Tengah
No. Nama Banjar Perempuan Laki-laki Jumlah KK
1. Banjar Kaler 440 422 191
2. Banjar Yeh Kali 459 439 252
3. Banjar Taman 310 348 147
4 Banjar Pejongan 288 298 178
5 Banjar Kecag Balung 443 446 188
6 Banjar Ijo Gading 369 346 158
7 Banjar Gambang 348 325 154
8 Banjar Pauman 310 275 139
9 Banjar Bena Sari 341 408 186
10 Banjar Celagi 310 308 161
11 Banjar Belubuh 360 355 157
12 Banjar Tenggang 316 312 146
13 Banjar Delod Sema 304 318 156
14 Banjar Peninggaran 235 241 132
15 Kayu Wit 254 246 149
JUMLAH 3837 3811 1661
Sumber: Data Monografi Desa Seraya Tengah Tahun 2011
Pendidikan di Desa Seraya Tengah masih belum dapat dikatakan maju. Hal ini
dapat dilihat data jumlah tingkat pendidikan penduduk di Seraya Tengah yaitu;

Tabel 4.6 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Seraya Tengah


No Lulusan Jumlah
1 Tamat Perguruan Tinggi 141 orang
2 Tamat SMA/SLTA 292 orang
3 Tamat SMP/ SLTP 573 orang
4 Tamat SD/sederajat 1973 orang
5 Tidak sekolah 957 orang
6 Penduduk Buta buta huruf 66 orang
7 Anak yang masih sekolah usia 7-15 thn 927 orang
8 Anak putus Sekolah usia 7-15 thn 696 orang

Data tersebut menunjukan bahwa tingkat pendidikan di Desa Seraya Tengah masih
sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya angka putus sekolah serta jumlah
penduduk yang hanya tamat sekolah dasar.Tingginya angka putus sekolah serta besarnya
jumlah anak yang tidak bersekolah dan buta huruf menyebabkan rendahnya kualitas sumber
daya manusia di wilayah tersebut. Hal tersebut dikarenakan cara pandang masyarakat yang
rendah terhadap pendidikan, pendidikan dianggap sebagai pelengkap saja dimasyarakat.
Hal ini mengakibatkan desa ini menjadi salah satu desa yang terbelakang dalam urusan
pendidikan serta masuk dalam salah satu desa miskin nasional. Karena itu, pemerintah
pusat maupun daerah sering mengirimkan bantuan baik materi maupun pelatihan serta
bantuan modal bagi pengusaha kecil dan menengah. Hal tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat setempat serta kemandirian warga.
Mata Pencaharian Penduduk Struktur perekonomian Desa Seraya, masih bercorak
agraris yang menitik beratkan pada sektor pertanian. Hal ini didukung oleh penggunaan
lahan pertanian masih mempunyai porsi yang terbesar sebanyak 64,2 % dari total
penggunaan lahan desa. Selain itu, 62,1 % mata pencaharian penduduk menggantungkan
hidup pada sektor pertanian. Pada sektor ini komoditi yang menonjol sebagai hasil andalan
adalah Jagung, ketela pohon dengan luas lahan pertanian adalah 648 ha.Hasil alam Desa
Seraya merupakan daerah yang kekurangan air, sebab desa ini termasuk desa penghasilan
musiman, jagung, Singkong, kacang tanah serta pala wija dan pala bungkah. Kebun-kebun
yang menghasilkan buah musiman. seperti mangga, pisang yang dimiliki oleh Desa Seraya.
Selain tanaman pertanian dan perkebunan yang merupakan hasil alam Desa Seraya , desa
ini juga merupakan desa yang memiliki potensi Sumber daya manusia yang terampil, yaitu
dapat dilihat dengan adanya hasil kerajinan berupa Anyaman, yaitu; (Ate, ini bahan ini
didapatkan langsung dari luar Desa Seraya ) (ingka, bahanya langsung dari rontal yang ada
di Desa Seraya ) Bordir dan kerajinan perak yang ditempa menjadi aksesoris
Fasilitas pasar yang ada di Desa Seraya, yaitu Pasar Desa 1 buah, namun belum
berfungsi maksimal. Pada sektor industri rumah tangga dan pengolahannya adalah
kerajinan, Tikar Rontal, ukir, kayu, batako, anyaman ate, ingka dll. Pada sektor jasa, yang
menonjol adalah tumbuhnya lembaga/istitusi keuangan mikro berupa Koperasi, BUMDES,
UP2K, UED, dan Kelompok Kelompok Simpan Pinjam yang ada di semua Banjar sebagai
pendukung ekonomi Desa. Hal ini diharapkan akan membawa dampak positif dalam
perkembangan ekonomi Desa secara keseluruhan. Disamping itu sektor jasa yang lain
adalah buruh bangunan, buruh tani dan buruh angkutan. Sektor industri pariwisata yang
berkembang di Desa Seraya juga diharapkan mampu mendorong perkembangan ekonomi
desa secara keseluruhan. karena sektor ini sangat mempengaruhi perkembangan sektor-
sektor yang lainnya.
Desa Seraya di pimpin oleh seorang Kepala Desa yang di koordinasi oleh Badan
Perwakilan Desa (BPD). Kepala Desa membawahi Sekretaris Desa dan Kelian-kelian
BanjarSekretaris Desa membawahi kaur pemerintahan, kaur keuangan, kaur umum, kaur
pembangunan, dan kaur kesra.

Bagan 4.3. Bagan/Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Dinas Seraya Tengah

PERBEKEL

BPD LPM

SEKDES

KASI KASI KASI


PEM PEMB. KESR KAUR. KAUR. KAUR.
A ADMINI KEUANGAN UMUM
STRASI

KELDIS. KELDIS KELDIS KELDIS KELDI KELDIS KELDIS KELDIS


. . . S.KEC . . .
KALER AG
YEH TAMAN PEJONG BALU IJO GAMB PAUMA
KALI AN NG GADIN ANG N
KELDIS. KELDIS. KELDIS. KELDIS. KELDIS. KELDIS. KELDIS.

BENA CELAGI BELUBU TENGGA DELOD PENING KAYU


H NG SEMA ARAN WIT
C. SARI
Desa Dinas Seraya Timur
Desa Dinas Seraya Timur merupakan salah satu bagian dari wilayah kesatuan Desa
Pakraman Seraya. Lokasi desa ini berada paling timur, sehingga tidak mengherankan
apabila wilayah desa ini terdapat banyak garis pantai yang kondisinya sangat indah dan
masih asri. Oleh karena letaknya yang berada paling timur serta garis pantai yang panjang
menyebabkan daearah ini memiliki cuaca yang relatif lebih panas dari dua desa yang
lainnya, dan menyebabkan kondisi desa ini menjadi kering dibandingkan dengan dua desa
lainnya yaitu Desa Dinas Seraya Tengah dan Desa Dinas Seraya Barat.
Secara tofografi, Desa Seraya Timur, Kecamatan Karangasem, Kabupaten
Karangasem merupakan daerah kering dengan ketinggian 0 s/d 300 meter diatas
permukaan laut, curah hujan relatif rendah, dengan batas wilayah administratif sebagai
berikut :
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Abang
2) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bunutan
3) Sebelah Selatan adalah laut ( Selat Lombok )
4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Dinas Seraya Tengah

Luas wilayah DesaSeraya Timur yaitu 936.234 ha, yang terbagi menjadi 9
(sembilan) banjar dinas atau dusun yang meliputi Banjar Dinas Kangin, Banjar Dinas
Tukad item, Banjar Dinas Tukad Buah, Banjar Dinas Tinjalas, Banjar Dinas Bukit Catu,
Banjar Dinas Tukad Tiis, Banjar Dinas Batu Kori, Banjar Dinas Tanah Barak, Banjar Dinas
Gili Selang. Penggunaan lahan di desa tersebut terbagi menjadi daerah pemukiman seluas
3.882 ha, pertanian lahan kering seluas 919.892 ha. Lahan perkebunan atau tegalan seluas
662 ha, perikanan dan peternakan seluas 3 ha, serta penggunaan lahan untuk keperluan lain
seperti; fasilitas umum, tempat ibadah, kuburan dan sebagainnya seluas 12 hektar. Desa
Seraya Barat memiliki jalan sepanjang 39 km, dengan rincian; Jalan provinsisepanjang 8
km jalan kabupaten sepanjang 16 km, jalan desa sepanjang 15 km, dengan kondisi belum
diaspal sepanjang 15km.
Struktur penduduk menurut pendidikan menunjukkan kualitas sumber daya manusia
yang dipunyai Desa Seraya Barat, yaitu yang berusia pada usia pendidikan dasar 7 tahun
s/d 16 tahun (pendidikan sekolah dasar dan menengah) yang belum pernah sekolah 0 %,
sedang mengikuti pendidikan 81 % dan sisanya 19 % tidak bersekolah lagi. Sedangkan
yang berusia diatas 16 tahun (diatas usia pendidikan dasar) yang belum pernah sekolah 0
%, sedang mengikuti pendidikan 75 % dan sisanya 25 % tidak bersekolah lagi, baik pada
tingkat lanjutan dan perguruan tinggi.
Struktur perekonomian Desa Seraya Timur, masih bercorak agraris yang
menitikberatkan pada sektor pertanian. Hal ini didukung oleh penggunaan lahan pertanian
masih mempunyai porsi yang terbesar sebanyak 80 % dari total penggunaan lahan desa.
Juga 80 % mata pencaharian penduduk menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Pada
sektor ini komoditi yang menonjol sebagai hasil andalan adalah Jagung, ketela pohon.
Beberapa sektor ekonomi yang tergolong economic base dan menonjol di samping sektor
pertanian adalah, Nelayan,perdagangan, industri rumah tangga dan pengolahan Lainya.
Pada sektor perdagangan trdapat usaha jual palen – palen dan hasil bumi. Pada sektor
industri rumah tangga dan pengolahan termasuk didalamnya adalah kerajinan Anyam Ate,
Tenun Bebali, percetakan kayu, paras batako dan sebagainya.Pada sektor jasa, yang
menonjol yaitu tumbuhnya lembaga/istitusi keuangan mikro berupa Koperasi, UED dan
BUMDes sebagai pendukung ekonomi desa. Hal ini diharapkan akan membawa dampak
positif dalam perkebangan ekonomi desa secara keseluruhan. Disamping itu sektor jasa
yang lain adalah buruh bangunan dan buruh angkutan.
Struktur penduduk menurut Agama menunjukkan Seluruh penduduk Desa Seraya
Barat adalah beragama Hindu (100 %). Oleh karena seluruh masyarakat di Desa ini
beragama Hindu maka sepanjang wilayah tersebut banyak terdapat tempat
persembahyangan Agama Hindu yang biasa disebut Pura. Sedangkan tempat ibadah agama
lain tidak ada di wilayah tersebut.Kebudayaan daerah Desa Seraya Timur, tidak terlepas
dan diwarnai oleh Agama Hindu dengan konsep “Tri Hita Karana” (hubungan yang
selaras, seimbang dan serasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan
manusia dengan lingkungannya). Kedua unsur ini yaitu agama dan budaya seperti dua sisi
mata uang yang tidak terpisahkan serta saling mempengaruhi satu sama lain.
Berdasarkan data yang dimiliki pemerintah Desa Seraya Timur Tahun 2015, Jumlah
penduduk di Desa Seraya Timur Tahun 2015 adalah sebanyak7.619. Jumlah ini terdiri dari
laki–laki yang berjumlah 3.737jiwa dan Perempuan berjumlah 3882 jiwa serta 1648 kepala
keluarga. Secara administrasi Desa Seraya Timur terbagi menjadi 9 Banjar Dinas, yang
dirinci sebagai berikut;
Tabel 4.7 Jumlah Penduduk Desa Seraya Timur
Jumlah Jumlah Penduduk
No Nama Banjar Dinas KK Jumlah
Laki Perempuan
1 Banjar Kangin 265 630 483 1.113
2 Tukad Hitam 131 327 401 728
3 Tukad Buah 209 349 806 1.155
4 Tinjalas 132 309 243 552
5 Bukit Catu 177 279 234 513
6 Tukad Tiis 227 533 294 1027
7 Batu Kori 142 324 309 633
8 Tanah Barak 257 564 536 1.910
9 Gili Selang 168 422 376 798
Jumlah 1.648 3.737 3.882 7.619
Sumber: Data Monografi Desa Seraya Timur Tahun 2015

Struktur kelembagaan di Desa Seraya Timur, disamping kelembagaan administratif


Pemerintahan Desa dan kelembagaan dari Desa Adat/Pekraman, juga kelembagaan yang
muncul atau yang didorong keberadaannya dari motif ekonomi, budaya, kesehatan,
pendidikan dan sosial politik. Kelembagaan dari pemerintahan Desa antara lain, Pemerintah
Desa, BPD, LPM, Karang Taruna, PKK desa, PKK dusun usaha kecil-kecilan misalnya
dagang. Dari ekonomi, misalnya, koperasi, kelompok usaha kecil, kelompok tani,
kelompok Subak, Adat dan Usahan Ekonomi Desa (UED) . Dari pendidikan seperti, komite
sekolah. Dari Kesehatan seperti posyandu, dll. Dari sisi budaya seperti seke gong, seke
santi, dlll. Dari sisi sosial dan politik seperti karang teruna, sekeha truna-truni lembaga
subak, subak abian.

Bagan 4.4 Bagan/Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Dinas Seraya Timur

PERBEKEL

BPD LPM

SEKDES

KASI KASI KASI


PEM PEMB. KESR KAUR. KAUR. KAUR.
A ADMINI KEUANGAN UMUM
STRASI

KELDI KELDI KELDI KELDI KELDIS. KELDI KELDI KELDIS. KELDIS.


S. S. S. S. S. S. TANAH GILI
KANG TINJA BUKIT TUKA BATU BARAK SELANG
IN TUKA TUKA LAS CATU D TIIS KORI
D D BUKIT

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian


Pada bagian ini peneliti akan memaparkan hasil temuan yang didapatkan melalui
kegiatan observasi, wawancara dan studi dokumen selama kegiatan penelitian ini
berlangsung. Wawancara dilakukan kepada tokoh adat, pejabat desa, tokoh masyarakat,
pemuda dan masyarakat Desa Pakraman Seraya. Narasumber yang diwawancarai diberikan
inisial meliputi: GC, NM, KW, WJ, NA, KS, WP, WG, WN, NR, GA, NG. Wawancara
dengan GC dilaksanakan pada 5 Januari 2016, Pukul 13.00 WITA, NM dilaksanakan pada
7 Januari 2016, Pukul 09.00 WITA, dengan KW dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 2016
pada pukul 16.30 WITA,dengan WJ dilaksanakan pada tanggal 13 Januari 2016 pada pukul
14.00 WITA, dengan NA dilaksanakan pada tanggal 19 Januari 2016 pada pukul 10.00
WITA, dengan KS dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2016 pada pukul 15.00 WITA,
dengan WP dilaksanakan pada tanggal 27 Januari 2016 pada pukul 15.00 WITA, dengan
WP dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 2016 pada pukul 14.00 WITA,dengan WN
dilaksanakan pada tanggal 5 Februari 2016 pada pukul 16.00 WITA, dengan NR
dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 2016 pukul 13.00 WITA, dengan GA dilakanakan
pada tanggal 15 Februari 2016 pada pukul 16.00 WITA dengan NG dilakanakan pada
tanggal 17 Februari 2016 pada pukul 16.00 WITA. Wawancara tersebut secara langsung
dilakukan sejak tanggal 5Januari 2016 sampai tanggal 17 Februari 2015. Beberapa kendala
yang ditemui saat melaksanakan proses wawancara yaitu; waktu dan tempat dilakukannya
wawancara ini harus disesuaikan dengan keinginanan narasumber. Sehingga, beberapa kali
jadwal wawancara batal dilaksanakan dan harus menyusun jadwal wawancara kembali
karena alasan kesibukan narasumber yang mendadak. Selain itu, kendala lainnya yaitu
luasnya daerah penelitian menjadi kendala dalam proses penelitian ini. Sehingga, peneliti
memerlukan waktu yang cukup lama dalam proses penelitian. Selanjutnya untuk
melakukan validasi dan kelengkapan data yang didapatkan dari wawancara, maka
dilakukan observasi, dokumentasi dan analisis dokumen. Data yang tidak terungkap dalam
proses wawancara, penelitian menggali dengan cara observasi dan dokumentasi.Guna
memudahkan penyebutan dalam penelitian ini, maka informasi-informasi yang
dikumpulkan dari informan sebagai berikut:
1). Nama: GC,Budayawan, Ahli Lontar
2). Nama : NM, Bendesa Adat Desa Pakraman Seraya
3). Nama : KW, Tetua/Panglingsir
4). Nama : WG, Kepala Desa Seraya Timur
5). Nama : KS, Dosen Agama dan Tokoh Masyarakat
6). Nama : NA, Ahli linguistik dan Budayawan
7). Nama : IWP, Tokoh Pemuda
8). Nama : WP, Dinas Pariwisata dan kebudayaan
9). Nama : NG, Masyarakat Desa Pakraman Seraya
10). Nama : GW, Warga berprofesi sebagai guru
11). Nama : KS, Warga berprofesi sebagai guru
12). Nama : WP, Kepala Desa Dinas Seraya Barat

Semua data hasil penelitian langsung dibahas, dan diuraikan sesuai dengan rumusan
masalah yang terdapat dalam pertanyaan peneliti sebagai berikut:

4.2.1 Nilai-nilai yang Terdapat dalam Tradisi Magibung di Desa Pakraman Seraya
sebagai civic culture
Dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk mengetahui akademisi, ahli budaya dan
tokoh masyarakat berkenaan dengan pengertian magibung, sejarah dilaksanakannya
magibung, syarat-syarat dalam melakukan magibung, karakteristik dari magibung,
keunggulan magibung dari makan pada umumnya, dan pendapat akademisi, ahli budaya
serta tokoh masyarakat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam dalam tradisi magibungdi
Desa Pakraman Seraya sebagai civic culture. Hal ini sangat penting diketahui terlebih
dahulu, agar kita bisa mengetahui tradisi magibungtersebut secara lebih spesifik.

4.2.1.1 Pengertian magibung


Berdasarkan hasil wawancara dengan Bendesa Adat Desa Pakraman Seraya, NM
menjelaskan bahwa magibungmerupakan sebuah tradisi makan bersama secara
berkelompok yang berisikan seperangkat aturan yang harus dipatuhi oleh para peserta
magibung. Pernyataan tersebut disederhanakan oleh KS (dosen Agama Hindu dan tokoh
masyarakat) menyatakan bahwa magibungmerupakan sebuah acara makan bersama,
warisan para leluhur yang diwariskan sampai dengan saat ini. Magibung biasanya
dilakukan dalam satu talan atau dulang (wadah) yang berjumlah enam sampai delapan
orang yang duduk bersama saling berbagi satu sama lain.
Guna mencari pengertian magibung yang lebih mendalam, maka peneliti mencari
informan dari kalangan budayawan. Menurut NA (ahli linguistik dan budayawan)
menjelaskan bahwa, kata magibung apabila dilihat dari struktur kata, magibung berasal dari
Bahasa Bali, yaitu dari kata gibung yang berarti bergabung, bersama atau berkumpul
menjadi satu. Kata gibungkemudian mendapat awalan –ma dan akhira, n –an, sehingga
menjadi magibung. Sehingga NA menyimpulkan bahwa magibung merupakan aktivitas
makan yang dilakukan secara bersama, dengan wadah yang sama, makanan yang sama,
serta dalam kondisi yang sama.Penjelasan mengenai magibung juga terdapat dalam Lontar
Dwi Jedra Tattwa yang menyatakan bahwa setelah selesai memuja, maka dihaturi hidangan
sang pendeta selesai bersantap, maka dipanggilah keenam putranya untuk makan bersama-
sama dalam satu hidangan. Akan tetapi, penjelasan mengenai tradisi magibung tidak
terdapat dalam awig-awig Desa Pakraman Seraya.
Berdasarkan hasil wawancara dan studi dokumentasi terhadap Lontar Dwi Jendra
Tatwa, dapat ditarik kesimpulan bahwa magibung berasal dari bahasa Bali dari dasar kata
gibung yang berarti gabung atau bergabung. Magibung merupakan suatu aktivitas makan
bersama, makan makanan yang sama yang dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari
enam sampai delapan orang dalam satu wadah, yang berisikan seperangkat aturan yang
mengikat.
4.2.1.2 Latar belakangsejarah dilaksanakannya magibung
Berdasarkan wawancara dengan KW (tetua/panglingsir) tradisi magibung dimulai
pertama kali saat Kerajaan Karangasem dipinpin oleh I Gusti Anglurah Ketut Karangasem.
Saat Nusantara ini masih berbentuk kerajaan, sering terjadi penyerangan yang dilakukan
kerajaan satu terhadap kerajaan lainnya. Sekitar Tahun 1614 Caka Kerajaan Karangasem
menyerang Kerajaan Seleparang, saat itu, pasukan Kerajaan Karangasem yang berasal dari
Desa Seraya, Bugbug, Timbrah, Asak dan jasri berhasil menaklukan Kerajaan Seleparang.
Dalam pertempuran tersebut, banyak menguras energi dari para prajurit. Setelah
peperangan selesai, sebelum pasukan kerajaan kembali ke Karangasem, Raja
memerintahkan para sipir (petugas pembawa makanan kerajaan) untuk membagikan
makanan kepada seluruh prajurit. Akan tetapi, peralatan yang akan digunakan untuk
membagi makanan tidak mencukupi karena banyaknya prajurit yang akan diberi makan.
Dalam situasi seperti itu, akhirnya sang raja memerintahkan kepada prajuritnya untuk
memakan makanan tersebut secara bersama-sama menggunakan peralatan perang yang ada
berupa tameng (ende) yang dibawa oleh prajurit tersebut sebagai alat berperang. Untuk
memudahkan pengecekan sisa pasukan yang selamat maka Raja saat itu memerintahkan
pada seluruh prajuritnya untuk makan secara berkelompok, dengan membentuk kelompok
makan dan mengelilingi tameng yang sudah ditaburi nasi dan lauk pauk di atasnya. Ketika
kembali dari Lombok makan berkelompok tersebut tetap dilakukan oleh Kerajaan
Karangasem sebagai bentuk syukur atas kemenangan dalam menaklukan Kerajaan
Seleparang. Semenjak saat itulah kegiatan makan berkelompok dikenal sebagai magibung
dan tetap dipertahankan sampai dengan saat ini.
Peneliti kemudian melakukan wawancara dengan NA untuk mencari latar belakang
dilaksanakannya magibung secara lebih faktual. Menurut beliau tradisi magibung lahir dari
kebiasaan masyarakat bali yang komunal. Di Bali sangat banyak terdapat perkumpulan adat
baik formal maupun nonformal, diantaranya; subak, sekeha, pecalang, banjar adat, desa
adat, paruman, dan berbagai macam perkumpulan adat lainnya. Satu kepala keluarga
biasanya mengikuti 6 (enam) sampai 10 (sepuluh) perkumpulan adat bahkan lebih. Dari
kebiasaan masyarakat Bali ini munculah tradisi magibung. Hal ini terkait dengan kebiasaan
masyarakat Bali yang menjamu para tamu dengan hidangan, serta prinsip masyarakat Bali
yakni saling asah-asih-asuh menyama braya, yang berarti saling saling menjaga, saling
mengasihi, dan saling menyayangi sesama masyarakat. Kebiasaan magibung muncul
karena kebiasaan masyarakat Bali menyuguhkan hidangan pada banyak tamu, serta
kebiasaan masyarakat Bali yang hidup berkelompok.
Sedangkan menurut KS yang juga seorang Dosen Agama Hindu, menyatakan
bahwa keberadaan tradisi magibungtidak dapat dilepaskan hubunganya dengan agama
Hindu.Hal tersebut dikarenakan praktek adanya makan magibung sangat masif dilakukan
oleh masyarakat Bali dalam berbagai kegiatan upacara Panca yadnya. yaitu; manusia
yadnya, Bhuta Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Tradisi magibung
ini, selain dilaksanakan dalam kesehariannya oleh masyarakat setempat, juga dilaksanakan
dalam berbagai bentuk upacara yang ditujukan sebagai persembahan kepada leluhur dan
para Dewa. Misalnya saat dilaksanakannya upacara dewa yadnya, yaitu persembahan yang
dilakukan oleh umat Hindu kepada para dewa yang berupa upacara ngejot. Ngejot yaitu
persembahan sesajen yang dihaturkan oleh umat Hindu kepada para leluhur dan para dewa.
Bentuk magibungdalam kegiatan ritual ini yaitu, satu sesajen yang ada dipersembahkan di
sanggah rong telu, yaitu tempat pemujaan yang diperuntukan untuk tiga dewa. Selain
upacara dewa yadnya, praktek magibung dalam umat Hindu juga terlihat dalam upacara
pitra yadnya. Upacara pitra yadnya yaitu upacara yang dilakukan umat Hindu dalam
prosesi mengubur mayat. Prosesi magibung ini terlihat saat dilaksanakanya ngaben masal
atau pemakaman masal menurut masyaarakat Hindu, dimana dalam prosesi ngaben masal
ini banten atau sesajen yang digunakan oleh umat Hindu tersebut merupakan satu sesajen
yang diperuntukan untuk semua abenan atau upakara pembakaran mayat.
Selain kedua bentuk upacara yadnya tersebut, praktek magibung juga terlihat dalam
prosesi ritual umat Hindu lainnya seperti upacara manusa yadnya. Upacara manusa yadnya
merupakan persembahan yang dilakuakan oleh umat Hindu kepada para tamu atau kerabat.
Praktek magibung dalam upacara ini bisa dilihat dalam upacara widi-widana atau
peresmian pernikahan menurut Hindu. Dalam upakara ini kedua mempelai bersama
keluarga dan calon besan melakukan makan bersama atau magibung. Proses ini
dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahmi antara kedua mempelai dengan keluarga
masing masing calon mempelai. Selain pada upacara pernikahan, praktek magibung juga
terlihat dalam upacara potong gigi. Yakni upacara yang dilakukan oleh umat Hindu saat
seorang anak beranjak dewasa. Upacara ini dimaksudkan sebagai simbol meminimalisir
sifat sifat negatif pada diri manusia yang biasa tumbuh saat mulai remaja melalui upacara
potong gigi. Dalam upacara potong gigi yang dilakukan secara masal ini juga hanya
digunakan satu banten atau sesajen untuk semua peserta potong gigi.
Sedangkan menurut GC (ahli membaca lontar), sampai dengan saat ini memang
tidak pernah ditemukan lontar atau prasasti yang secara khusus membahas mengenai tradisi
magibung tersebut. Kecuali sebuah Lontar Jendra Tattwa yang menjelaskan tentang
kebiasaan sang pendeta setelah selesai melakukan pemujaan, sang pendeta akan dihaturi
hidangan untuk bersantap kemudian tersebut akan dinikmati bersama anak-anak beliau
bersama ke empat anaknya.
Berdasarkan hasil wawancara dan studi dokumentasi dapat disimpulkan bahwa
tradisi magibung telah lahir sejak ratusan tahun lalu yaitu sejak Tahun 1614 Caka atau 1692
masehi, yaitu semenjak wilayah Nusantara masih berbentuk kerajaan. Ketika Kerajaan
Karangasem dibawah pimpinan Raja I Gusti Anglurah Ketut Karangasem menyerang
Kerajaan Seleparang, dan berhasil menaklukannya. Sebagai wujud syukur serta
mempermudah untuk menghitung sisa prajuritnya yang selamat, RajaI Gusti Anglurah
Ketut Karangasem memerintahkan prajuritnya untuk makan bersama mengitari tameng
yang digunakan sebagai alas. Kegiatan makan berkelompok tersebut kemudian disebut
magibung, berasal dari kata gibung yang artinya bergabung.
4.2.1.3 Karakteristik magibung
Terdapat beberapa karakteristik dalam pelaksanaan magibung. Berdasarkan
wawancara kepada WP menyatakan bahwa terdapat beberapa karakteristik dalam
magibung, yaitu;
A. Waktu dan tempat pelaksanaan magibung
Magibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan upacara
keagamaan khususnya Umat Hindu yang ada di Bali. Tradisi magibung biasa diadakan
dalam berbagai upacara upakara keagamaan, seperti; upacara pitra yadnyayaitu upacara
yang diperuntukan untuk para leluhur,seperti ngabenatau upacara penguburan mayat.
Upacara manusia yadnya, seperti;nyolasin (upacara ketika bayi berumur sebelas hari)
otonan (upacara untuk bayi berumur tiga bulan) upacara potong gigi, acara pernikahan.
upacara dewa yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada para Dewa,seperti;piodalan
yaitu upacara persembahan yang dilakukan di Pura, serta pemelaspasan yaitu upacara
penyuciantempat ibadah. Tempat pelaksanaan magibung tersebut biasanya dilakukan di
fasilitas-fasilitas umum yang luas agar mampu menampung semua orang yang hadir.
B. Kelompok magibung dalam sela (satu kelompok makan)
Para peserta yang akan magibung tidak boleh duduk dan makan dengan orang
seenaknyanya. Melainkan harus mengikuti aturan yang ada, antara pria, wanita, dan
anak-anak makan dikelompok yang berbeda sesuai jenis kelamin dan usia. Hal ini
dimaksudkan agar tidak mengganggu proses magibung, serta tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan antara pria dan wanita yang makan bersama. Selain kelompok makan,
posisi duduk juga diatur, wanita duduk dengan posisi bersimpuh, sementara pria duduk
bersila dengan posisi kaki kanan dibawah, lutut kanan menonjol kedepan dan lutut kiri
menonjol kebelekang. Seiring waktu aturan duduk ini mengalami pergeseran, terutama
posisi duduk wanita dari bersimpuh menjadi bersila, hal tersebut disesuaikan dengan
kenyamanan posisi saat makan. Sedangkan dalam komposisi makan, setiap sela terdiri
delapan orang. Jumlah delapan orang menggambarkan Dewata Nawa SangaSembilan
Dewa penjaga arah mata angin menurut Hindu.Dimana peserta magibung berjumlah
delapan sedangkan satu gibungan yang ditaruh ditengah lingkaran sebagai pusatnya.
Dalam satu kali proses magibung dapat berjumlah belasan sampai puluhan sela,
tergantung besarnya acara yang dilaksanakan.
C. Aturan makan
Makan adalah proses inti dari pelaksanaan magibung. dalam pelaksanaan makan
tersebut, seseorang tidak dapat makan seenaknya saja. Ada beberapa aturan yang harus
dilaksanakan ketika proses makan akan dilaksanakan. Adapun beberapa aturannya
yaitu; semua peserta magibung harus dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, hal
tersebut bertujuan mencegah penularan penyakit terhadap peserta magibung yang lain.
magibung harus menunggu komando dari pimpinan dalam sela, ketika ada perintah
untuk memulai makan barulah makan akan dimulai, hal ini bertujuan untuk keteraturan.
Dalam magibung tidak diperkenankan berebut makanan, ngobrol, sendawa, atau kentut.
Melakukan hal-hal tersebut dianggap tidak sopan dan tidak beretika. Peserta magibung
tidak boleh mengambil lauk sendiri, melainkan akan diambilkan oleh peminpin sela dan
ditaruh diwadah makan. Makanan yang dimakan biasanya berurutan yaitu dari makanan
yang paling sederhana sampai makanan yang dianggap yang paling enak. Hal tersebut
bertujuan agar semua makanan yang diberikan habis dan tidak terbuang, selain itu
urutan makan tersebut merupakan filosofi kehidupan. Peserta magibung wajib makan
menggunakan tangan kanan, sisa makan tidak boleh ditaruh kembali ditempat makan,
melainkan harus dihabiskan setiap suap atau sisanya dibuang keluar. Peserta magibung
tidak diperkenankan mengambil makanan orang lain disebelahnya karena dianggap
tidak sopan. Setelah selesai makan, peserta magibung tidak boleh langsung
meninggalkan tempat makan, melainkan harus menunggu peserta yang lain selesai.
Setelah seluruh peserta magibung selesai barulah semua peserta boleh berdiri dan
meninggalkan tempat magibung.
D. Komposisi hidangan yang disajikan dalam magibung
Hidangan yang wajib disajikan dalam proses magibung, minimal terdiri dari; nasi yang
ditempatkan pada klatkat (anyaman dari bahan bambu) yang beralaskan daun pisang.
Pada setiap sudut klatkat diisi dengan garam dan beberapa butir cabai yang beralaskan
daun pisang yang sudah dibentuk. Di atas nasi diisi dengan semangkuk komoh
(semacam kaldu yang terbuat dari olahan daging babi). Dalam satu sela, disediakan satu
kendi air sebagai tempat minum, satu baskom yang diisi air sebagai tempat mencuci
tangan. Adapun lauk pauk yang ada dalam gibungan yaitu; lawar putih (terbuat dari
parutan kelapa yang diisi olahan hati, paru-paru dan limpa), lawar merah (terbuat dari
parutan kelapa yang dicampur darah yang sudah diseduh minyak panas dan dicampur
potongan hati paru-paru dan limpa yang sudah dimasak), lawar blimbing (terbuat dari
olahan daun blimbing yang sudah direbus dan ditambahkan potongan daging dan
bumbu), lawar urab (terbuat dari olahan kacang panjang yang sudah direbus dicincang
dan ditambahkan bumbu). Selain lawar, dlaam gibungan juga ditambahkan beraneka
macam sate, baik sate daging maupun sate dari campuran parutan kelapa yang dicampur
daging halus. Selain sate juga terdapat pepesan daging, urutan (olahan dari cincangan
daging babi) dan kaldu ares (olahan sayur pisang yang dicampur daging).
Berdasarkan hasil studi dokumentasi terhadap buku-buku Agama Hindu, dapat
disimpulkan bahwa tradisi makan magibung memiliki karakteristik yang berbeda
dibandingkan makan secara umum maupun makan prasmanan. Adapun karakteristiknya
yaitu waktu pelaksanaanya pada hari-hari raya tertentu dan dilaksanakan di tempat-tempat
fasilitas umum agar mampu menampung seluruh peserta magibung. dalam hal pelaksanaan
makan juga memiliki perbedaan. Dalam magibung kelompok makan dibedakan
berdasarkan jenis kelamin serta usia. Antara perempuan dan laki-laki kelompok makannya
dibedakan, selain itu anak-anak juga dikelompokan dalam kelompok makan
tersendiri.selain perbedaan tersebut, dalam magibung juga terdapat karakteristik dalam
aturan makan yang ketat serta komposisi hidangan makan yang khusus terdapat dalam
magibung yang tidak terdapat dalam tradisi makan lainnya.
Seluruh pengaturan bentuk melingkar yang berjumlah delapan orang dan warna
serta bentuk olahan gibungan tersebut berkaitan dengan simbol Dewata Nawa Sanga
menurut konsep Hindu yaitu Sembilan Dewa penjaga arah mata angin, yaitu; Dewa Wisnu
(utara) Dewa Sambhu (timur laut) Dewa Iswara (timur) Dewa Maheswara (tenggara) Dewa
Brahma (selatan) Dewa Rudra (barat daya) Dewa Sangkara (barat laut) dan Dewa Siwa
sebagai poro ditengah.Orang yang duduk melingkar berjumlah delapan orang merupakan
simbol pengisi delapan penjuru mata angin serta tengah sebagai pusat. Hal ini
melambangkan adanya sifat sifat Dewa dalam diri manusia, sehingga ia menjadi manusia
yang baik dan bijaksana.

4.2.1.4 Keunggulan magibung


Berdasarkan hasil wawancara dengan warga peserta magibung menyatakan bahwa
makan dengan cara magibung menyebabkan pekerjaan yang berat menjadi lebih ringan
karena dikerjakan bersama-sama. Pihak keluarga yang memiliki upacara yadnya umumnya
akan sangat terbantu dengan konsep magibung karna seluruh pekerjaan yang berkaitan
dengan upacara yadnya tersebut dapat diselesaikan bersama dengan konsep gotong royong.
Menurut KW, magibung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan makan secara
umum. Keunggulan tersebut misalnya pihak keluarga penyelenggara tidak perlu
mengeluarkan biaya mahal untuk menyewa tempat pmakankarena dalam magibung seluruh
bahan makanan diolah dan dimasak sendiri oleh para undangan. Selain itu peralatan yang
diperlukan dalam proses memasak juga tidak perlu menyewa karena bisa dipinjam kepada
warga sekitar atau undangan. Pihak keluarga tidak perlu menyewa hoteluntuk
mempersiapkan acara. Karena dalam konsep magibung semua pekerjaan yang ada
disiapkan dan dilakukan oleh warga sekitar ataupun undangan, pihak keluarga hanya
menunggu dan tidak perlu ikut bekerja. Ha tersebut ditambahkan oleh WG, menurutnya
makan dengan cara magibung menjadi lebih praktis dan murah. Semua pekerjaan dilakukan
dengan sistem gotong royong, selain itu makan juga terasa lebih irit karena satu makanan
dimakan bersama oleh delapan orang. Magibung menjadikan warga masyarakat menjadi
lebih akur, lebih terbuka terhadap warga lainnya karena dalam proses magibung terjadi
interaksi antar anggota masyarakat. Adanya interaksi tersebut membuat kedekatan antar
warga menjadi lebih kuat.
Sementara itu menurut NM, magibung mengajarkan kepada warga untuk senantiasa
berprilaku sopan, dispilin, taat aturan, serta belajar menjadi peminpin. Karena dalaam
magibung banyak terdapat aturan-aturan yang mengikat apabila dilanggar akan diberikan
sanksi sosial, dikucilkan dari pergaulan serta dianggap tidak memiliki tata krama dan sopan
santun. Selain itu, magibung juga mendidik warga untuk serta merta menjaga hubungan
baik dengan sesama warga, saling menyayangi sesama makhluk, dan menjaga kelestarian
lingkungan serta tetap menjaga ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui
berbagai macam upacara dan upakara.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tradisi magibung memiliki beberapa keunggulan
yaitu; upacara yadnya yang dilaksanakan oleh pihak keluarga dapat diselesaikan berkat
bantuan dari peserta magibung. selain itu, pengeluaran biaya juga dapat ditekan karena
pihak keluarga penyelenggara tidak perlu menyewa tempat makan, hotel maupun petugas
kebersihan karena semua pekerjaan tersebut dikerjakan bersama oleh para undangan dan
warga sekitar. Dan yang lebih penting adanya peningkatan rasa kebersamaan serta ikatan
kekeluargaan yang terjalin berkat pelaksanaan magibung.

4.2.1.5 Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi magibung sebagai civic culture
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi yang dilakukan oleh
peneliti di Desa Pakraman Seraya terhadap beberapa sumber yang dianggap kompeten
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, didapatkan beberapa hasil seputar
nilai-nilai dalam tradisi magibung sebagai civic culture. Dari hasil penelitian terungkap
beberapa pendapat yang dipaparkan oleh informan serta dari hasil pengamatan peneliti
sebagai berikut.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada NM, beliau menyatakan bahwa
dipertahankannya tradisi magibung di Desa Pakraman Seraya oleh masyarakat setempat
karena dalam tradisi magibung terdapat nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur
Desa Pakraman Seraya. Nilai-nilai luhur tersebut yang menjadikan solidaritas serta rasa
kekeluargaan masyarakat di Desa Pakraman Seraya menjadi kuat. Menurut beliau dalam
tradisi magibung terkandungnilai-nilailuhur, yaitu;
A. Nilai Gotong Royong dan peduli lingkungan
Semangat gotong royong masyarakat dalam melaksanakan magibung terlihat dalam
setiap tahapan proses persiapannya. Semua calon peserta magibung bekerja dengan
sungguh-sungguh tanpa terkecuali. Mereka bekerja tanpa dikomando. Masing-masing
orang sudah sadar akan tugas dan kewajibanya masing-masing. Masing-masing orang
akan membagi diri, ada yang bekerja memasak nasi, memasak sayur, membuat sate,
membakar sate menyiapkan bumbu, memotong daging dan lain sebagainya. Satu
pekerjaan yang paling sulit dalam magibung, sehingga membutuhkan keahlian khusus
yaitu meracik bahan gibungan. Orang yang membuat dan meracik gibungan biasa
disebut tukang ebat, sedangkan proses membuat gibungan disebut mebat. Sikap peduli
lingkungan dapat terlihat pada proses pelaksanaan magibung. Misalnya ketika
magibung selesai dilaksanakan, sisa makanan magibung akan diberikan pada binatang
maupun hewan ternak. Selain itu bahan makanan dan perlengkapan yang digunakan
adalah bahan-bahan yang ramah lingkungan serta tidak mengandung bahan kimia yang
membahyakan.
B. Tolong-menolong dan cinta damai
Magibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan, diantaranya rasa saling menolong
antar manusia. masyarakat Bali terkenal sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas
yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari proses pelaksanaan magibung. Pada proses
persiapan magibung hampir semua jenis pekerjaan tidak dapat dikerjakan sendiri. satu
jenis pekerjaan harus dikerjakan lebih dari 2-3 orang, karena sifat pekerjaan yang
banyak serta membutuhkan tenaga yang besar. Seperti; memarut kelapa, memotong
daging, menanak nasi, meracik bumbu. Sehingga, untuk dapat menyelesaikan pekerjaan
tersebut membutuhkan orang lain. Dengan adanya saling tolong menolong tersebut
dapat meningkatkan kepdulian antar masyarakat.
C. Toleransi dan Emansipasi
Nilai toleransi terlihat saat para remaja dan masyarakat tidak memilih-milih teman
yang akan menjadi bagian kelompok magibung. selain itu, yang bertugas menjadi
pengayah untuk melayani para perempuan dan orang tua yang sedang magibung, jika
terdapat hal yang kurang, yang diminta oleh peserta magibung para pengayah dngan
sukarela akan memenuhi permintaan tersebut. selain itu, para orang tua anak-anak dan
wanita biasanya akan didahulukan dalam proses magibung.Nilai emansipasi dalam
magibung dapat dilihat dariproses pembagian kerja. Pekerjaan yang berat biasanya akan
dikerjakan oleh pihak pria. Para pria biasanya berangkat dari rumah pukul 04.00 dini
hari menuju lokasi pelaksanaan magibung dan bekerja mempersiapkan makanan sampai
pukul 09.00 pagi. Sedangkan pihak wanita datang pukul 08.30 dengan membawa
sembako yang akan diberikan kepada pihak keluarga yang mengadakan magibung.
pihak perempuan datang hanya untuk makan saja, sedangkan pekerjaannya sudah
dilakukan oleh pihak pria.
D. Melatih karakterpeminpin dan demokrasi
Magibung tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya peminpinm, baik peminpin
dalam sela maupun peminpin utama magibung yang biasa disebut tukang tarek. Dalam
pemilihan peminpin tersebut, akan dilakukan atas dasar demokrasi secara musyawarah
mufakat dan dilakukan secara spontan tanpa diatur sebelumnya. Sehingga para peserta
magibung masing-masing sela dari jumlah delapan orang akan dipilih satu orang
menjadi ketua yang bertugas meminpin jalannya magibung dimasig-masing sela.
Sehingga setiap orang yang terpilih secara musyawarah mufakat tersebut harus siap
untuk meminpin jalannya magibung. Pada tahap ini semua orang diberikan kesempatan
dan dilatih jiwa kepeminpinannya dalam masyarakat. Biasanya, peminpin sela
diutamakan kepada golongan muda yang belum memiliki pengalaman meminpin untuk
melatih jiwa kepeminpinannya.
Sejalan dengan pendapat NM, KW juga menyatakan pendapatnya, bahwa selama
pengalaamn beliau yang pernah menjadi Kepala Desa Seraya selama hampir 36 (tiga puluh
enam) tahun, tradisi magibung penuh dengan nilai-nilai sosial asli masyarakat Desa Seraya
yang termasuk dalam civic culture, yaitu;
1). Meningkatkan persaudaraan dan kepedulian sosial
Nilai kebersamaan sangat kuat terjalin dalam tradisi magibung. kebersamaan terjalin
sejak awal persiapan magibung, proses magibung, sampai selesainya pelaksanaan
magibung. magibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan, rasa kebersamaan
menyebabkan timbulnya rasa persaudaraan, cinta kasih antar sesama manusia.
kebersamaan menjadi penting dalam magibung, rasa kebersamaan dipupuk melalui
mengerjakan pekerjaan secara besama-sama, makan bersama-sama dengan lauk yang
sama. Hal tersebut menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Apabila terjadi perselisihan dimasyarakat hampir tidak pernah
konflik tersebut diselesaikan secara brutal, akan tetapi biasanya akan diselesaikan
secara musyawarah kekeluargaan dan apabila tidak menemukan jalan keluar maka akan
dimintakan bantuan kepada para pengurus atau pejabat pemerintahan.
2). Meningkatkankeberanian dan tangung jawab
Setiap orang dilatih untuk bertanggung jawab pada tugas dan kewajibannya. Jika
salah satu peserta magibung tidak menyelesaikan tugasnya maka akan mengganggu
proses magibung. misalnya saja contoh yang sederhana, sesorang yang bertugas
menanak nasi untuk semua peserta, apabila tidak menyelesaikan pekerjaanya, maka
akan sanagt mengganggu proses magibung. Apabila hal tersebut terjadi, orang tersebut
tidak lagi akan diberikan kepercayaan oleh masyarakat yang lain. Yang bersangkutan
akan dicemooh dan dianggap tidak bertanggung jawab oleh masyarakat yang lain,
sehingga akan dikucilkan dari pergaulan dimasyarakat. Oleh karenanya masing-masing
orang akan berusaha bertanggung jawab menyelesaikan semua tugas yang diberikan
kepadanya dengan maksimal berdasarkan rasa tanggung jawab yang tinggi, untuk tidak
mengecewakan peserta magibung lainnya.
3). Disipin dan taat aturan
Tradisi magibung penuh dengan aturan yang ketat, selain aturan yang ketat sanksi
bagi yang melanggar juga ditakuti masyarakat. sanksi yang ada umumnya bukan berupa
materi atau sanksi keras lainnya, melainkan sanksi sosial, seperti rasa malu karena
dicemooh, dikucilkan dari pergaulan, sampai pada sanksi teguran. Beberapa aturan
dalam magibung antara lain; mendahulukan wanita anak-anak dan orang tua, tidak
boleh merebut atau mengambil makanan bagian orang lain, tidak diperbolehkan makan
mendahului, atau selesai makan langsung berdiri mendahului yang lain, tidak boleh
bersendawa, kentut, atau berbicara keras saat makan, duduk harus mersila bagi pria dan
matimpuh bagi wanita. Lutut kanan agak menonjol ke depan dan lutut kiri menonjol
kebelakang. Saat makan tangan yang mencari mulut, tidak boleh berbalik mulut yang
mencari makanan. Sisa makanan tidak boleh ditaruh ditempat makan, tapi dibuang
ditempat yang telah disediakan. Yang boleh mengambil lauk dan menaruhnya diatas
gundukan nasi hanya ketua-ketua dimasing-masing kelompok magibung, kecuali atas
perintah ketua kelompok magibung. lauk yang dimakanpun harus dibagi secara merata,
tidak boleh satu orang mengambil dagingnya yang lain diberikan sayurnya saja atau
sebaliknya. Orang yang sedang sakit biasanya tidak akan di ikutkan dalam magibung,
karena dihawatirkan menularkan penyakit yang dideritanya. Setiap orang akan berusaha
semaksimal mungkin untuk menaati aturan magibung karena kesadaran serta takut akan
sanksi sosial yang diberikan bagi yang melanggar. Selain itu, para peserta magibung
biasanya akan datang tepat waktu yakni mulai pukul lima pagi, para peserta magibung
akan malu jika mereka datang terlambat. Setiap orang akan datang dengan pakaian yang
bersih dan rapi. Pakaian yang biasa digunakan adalah pakaian adat Bali dengan
menggunakan kain kamben, senteng dan udeng. Penggunaan pakaian adat karena
pelaksanaan magibung berbarengan dengan upacara keagamaan.
Guna mencari tahu niai-nilai dalam tradisi magibung sebagai civic culture yang
lebih mendetail, maka peneliti mencari informan dari kalangan intelektual.MenurutGC
menyatakan bahwa, selain mengandung nilai-nilai tersebut tradisi magibung yang masih
dipertahankan sampai dengan saat ini oleh masyarakat, terimplementasi adanya civic
culture Bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut dianggap sesuai dengan ideologi Bangsa
Indonesia yaitu Pancasila, nilai nilai terebut diantaranya;
a). Nilai Ketuhanan
Nilai Ketuhanan tercermin sebelum magibung dilaksanakan. Sebelum proses
magibung dilakukan biasanya akan didahului dengan ngejot gibungan, yaitu prosesi
menghaturkan makanan yang akan dipakai magibung kepada leluhur dan para Dewa.
Prosesnya, tuan rumah yang mengadakan upacara yadnya akan mengambil satu gibungan
beserta perlengkapan sesajen lainnya. Gibungan tersebut akan dihaturkan kepada para
Dewa yang bersemayam di sanggah, yaitu tempat pemujaan umat hindu yang berada pada
masing-masing rumah tangga. Tujuannya adalah sebagai wujud terimakasih kepada para
Dewa atas segala rejeki dan karunia yang diberikan sehingga pada hari itu bisa dilakukan
magibung. Setelah proses ngejot ini selesai barulah pelaksanaan magibung boleh
dilaksanakan. Biasanya magibung belum akan dilaksanakan sebelum ngejot selesai
dilakukan pihak penyelenggara upacara yadnya.
b). Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Nilai Keadilan tercermin di setiap proses pelaksanaan dan persiapan magibung. Pada
saat magibung dilaksanakan setiap orang akan mencari pasangan yang akan diajak
magibung. Satu gibungan (makanan yang akan dipakai magibung) dimakan oleh enam
orang, sehingga masing-masing peserta akan mencari enam orang untuk diajak magibung.
Disini terlihat adanya nilai keadilan, dimana orang yang diajak magibung diperlakukan
sama. Nilai keadilan lainnya dapat terlihat dari pemilihan ketua magibung. ketua yang
dipilih berdasarkan musyawarah mufakat tanpa melihat latar belakang ekonomi maupun
jabatan. Semua orang berhak untuk dipilih dan memilih. Selain itu apabila ada peserta yang
melanggar aturan-aturan magibung, seperti mendahului makan atau mendahului bangun
dari tempat duduk, bersendawa saat makan, mengambil bagian orang lain akan diberikan
sanksi teguran maupun sanksi sosial lainnya, tanpa pengecualain. Semua peserta yang
melakukan pelanggaran akan diberikan sanksi oleh peminpin atau ketua kelompok
magibung.
c). Nilai Persatuan
Nilai persatuan sangat kental tercipta dalam pelaksanaan magibung. Setiap orang yang
datang dalam proses magibung ini, secara sadar dan bertanggung jawab bahu-membahu
mengambil dan membagi pekerjaan untuk menyiapkan gibungan serta membantu keluarga
yang memiliki acara untuk menyelesaikan upacara yadnya yang dilaksanakan keluarga
tersebut. Biasanya para peserta akan datang dari jam 4 pagi. Setelah diberikan hidangan
oleh tuan rumah berupa kopi dan roti, para peserta yang umumnya adalah undangan dari
keluarga yang melaksanakan upacara yadnya, dengan inisiatif masing-masing untuk
mengambil pekerjaan. Diantaranya; memarut kelapa memotong daging, meracik dan
memasak bumbu, membuat olahan sayur dan sate, membakar sate, menanak nasi, dan
berbagai pekerjaan lainnya dikerjakan secara bersama-sama tanpa ada rasa keterpaksaan.
d). Nilai Permusyawaratan Perwakilan
Nilai permusyawaratan Perwakilan dapat dilihat dalam berbagai aktivitas magibung.
misalnya; saat segala persiapan magibung telah selesai disiapkan oleh pengayah, maka
beberapa orang akan berembug untuk memilih salah satu perwakilan yang akan meminpin
jalannya magibung. selain memilih peminpin magibung secara umum, sebelum proses
magibung dilaksanakan juga didahului dengan memilih peminpin di tiap kelompok kecil
pada peserta magibung. Pemilihan ini dilaksanakan secara musyawarah dan penuh rasa
kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Peminpin magibung bertugas menanyakan kesiapan
masing-masing kelompok magibung melalui ketua-ketua kelompok yang ada pada masing-
masing kelompok magibung. Setelah semuanya siap peminpin magibung tersebut bertugas
memulai dan mengakhiri prosesi magibung tersebut. sedangkan jalanya magibung masing-
masing kelompok magibung diserahkan pengaturanya kepada ketua masing-masing
kelompok magibung.
e). Nilai Keadilan sosial
Nilai keadilan sosial dalam pelaksanaan magibung dapat dilihat dari sikap
masyarakat dalam memperlakukan masing-masing individu. Dalam prosesi magibung
semua orang yang hadir diperlakukan secara sama, sama dalam hal pelayanan, serta sama
dalam hal pembagian tugas. Setiap individu akan menempati posisi yang sama secera
bergantian. Tidak ada perbedaan kelas sosial dalam pelaksanaan magibung. Semua orang
dipandang sama, walaupun orang yang akan diajak magibung tersebut lebih tinggi secara
ekonomi, pendidikan, jabatan, kasta maupun kelas-kelas sosial lainnya. Pada saat persiapan
nilai kemanusiaan terlihat saat beberapa orang bertugas menyiapkan proses magibung, yang
biasa disebut pengayah. Pengayah merupakan pelayan yang melayani keperluan atau
permintaan dari peserta magibung. Para peserta biasanya saat magibung biasanya minta
dibawakan nasi, lauk, sayur, air ataupun yang lainnya. Para pengayah ini akan secara
sukarela dan penuh keikhlasan melayani segala permintaan dari peserta magibung. Tugas
pengayah akan dilakukan secara bergilir, orang yang sudah dilayani saat magibung, setelah
selesai makan, secara sukarela ia akan mengganti posisi pengayah sebelumnya, serta
menawarkan pengayah tersebut untuk makan dan dilayani. Selain itu makanan yang
dimakan juga sama. Tidak ada yang lebih banyak atau lebih enak. Karena semua dibuat
bersama sehingga semua orang yang hadir dalam magibung tersebut memakan makanan
yang sama dalam kondisi yang sama.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam tradisi magibung terdapat beberapa nilai di
dalamnya yang teridentifikasi sebagai civic culture, yaitu; persaudaraan dan kepedulian
sosial,persaudaraan dan kepedulian sosial,keberanian dan tangung jawabdisipin, dan taat
aturan, sertanilai ketuhanan,nilai kemanusiaan yang adil dan beradab,nilai persatuan,nilai
permusyawaratan perwakilandan nilai keadilan sosial.

4.2.2. Aspek sosio-budaya yang terkandung dalam tradisi magibung, yang dapat
diwariskan serta dibelajarkan dari generasi kegenerasi.
Tradisi magibung mewariskan nilai sosio-budaya yang sangat kuat dan dijadikan
sebagai tolak ukur berprilaku oleh masyarakat Desa Pakraman Seraya. Berdasarkan hasil
wawancara dengan WJ, beliau menyatakan bahwa tradisi magibung merupakan kekayaan
yang tak ternilai harganya yang diwariskan oleh para leluhur bangsa Indonesia. Tradisi
tersebut menjadi warisan yang kaya akan nilai-nilai sosio-budaya yang dapat dibelajarkan
pada generasi ke generasi selanjutnya. Dalam setiap proses pelaksanaan dan persiapan
pelaksanaan magibung banyak terkandung nilai-nilai moral yang patut dijadikan sebagai
pola prilaku dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Pernyataan tersebut
ditambahkan oleh NA, yang menyatakan bahwa rahasia kuatnya solidaritas masyarakat di
Desa Pakraman Seraya, salah satunya dikarenakan masyarakat setempat yang masih kuat
memegang teguh tradisi magibung tersebut. Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa
tradisi magibung mengandung aspek-aspek sosio-budaya, yaitu; Menyama Braya, Paras-
Paros Sarpanaya dan Salulunglung Sabayantaka, Ngayah, Saling Asah-Asih-Asuh, Manut
Ring Awig-Awig.
a). Menyama Beraya
Menyama braya merupakan konsep bermasyarakat yang berada di Desa Pakraman
Seraya yang mengakui bahwa semua manusia bersaudara. Sebab, setiap manusia
diharapkan memperlakukan semua orang layaknya saudara sendiri. Konsep ini tumbuh
ditengah kesadaran manusia yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam setiap aktivitasnya,
manusia selalu membutuhkan bantuan manusia lainnya. Menyama braya merupakan
konsep ideal hidup bermasyarakat di Desa Pakraman Seraya sebagai filosofi yang
bersumber dari sistem nilai budaya dan adat istiadat masyarakat untuk hidup rukun.
Magibung sangat kental akan konsep Menyama Braya, yang bertujuan memupuk dan
mempererat rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Hal tersebut dapat dilihat dalam setiap
proses perencanaan dan persiapan magibung. Semua warga yang datang memperlakukan
para warga lain layaknya saudara mereka sendiri. Pada saat warga mulai datang pada saat
subuh, para kerabat atau anggota keluarga yang mengadakan acara akan membuatkan
hidangan berupa kopi dan beberapa kue sebagai sarapan. Contoh lainnya, ketika proses
magibung dimulai beberapa orang secara sukarela menjadi pengayah (pelayan). Pengayah
tersebut akan melayani semua keperluan yang dibutuhkan oleh para peserta yang sedang
magibung, seperti mengambilkan air, membawakan lauk dan menghidangkan makanan
yang akan digunakan pada acara magibung secara bergiliran. Para undangan akan saling
menawarkan makan kepada undangan lain. Di dalam acara tersebut, undangan maupun
para tetangga akan menjadi pengayah, yang siap diperintah untuk mengambil semua
keperluan dalam magibung. Tugas menjadi pengayah ini dilakukan secara bergantian,
tanpa paksaan dan tidak ada imbalan. Terwujudnya nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan,
peduli antar sesama, gotong royong, dan nilai-nilai lain dalam pelaksanaan magibung,
merupakan aplikasi masyarakat itu sendiri terhadap nilai yang terdapat di dalam aspek
menyama braya tersebut.
b). Paras-paros Sarpanay dan Salulunglung Sabayantaka
Paras-paros Sarpanaya dan Salunglung Sabayantaka berarti hidup susah dan
senang ditanggung bersama. Konsep inilah yang membuat rasa persaudaraan dan
kebersamaan masyarakat Bali menjadi kuat. Konsep Paras-paros Sarpanaya Salunglung
Sabayantaka sangat kuat tercermin dalam setiap aktivitas magibung. Dalam magibung
semua orang yang hadir larut dalam aktivitas kebersamaan, misalnya dalam membuat
gibungan semua orang ikut serta mengambil peran, setiap orang tanpa memandang status
sosial, gender, usia, jabatan, status ekonomi semua bekerja bersama saling membantu satu
sama lain. Semua pekerjaan dikerjakan bersama, mulai dari memarut kelapa, mengolah
bumbu, menyiapkan bahan, memasak bahan makanan, sampai menghidangkan makanan
semuanya dikerjakan bersama baik antara tuan rumah, tetangga sekitar maupun para
undangan dengan tanpa harus diperintah. Selain itu, dalam hal menyiapkan gibungan,
konsep Paras-paros Sarpanaya dan Salunglung Sabayantaka ini terlihat saat makan atau
magibung, semua makanan yang ada dibagi secara merata dan dimakan bersama. Semua
makan dengan kondisi dan situasi, ditempat, dan makanan yang sama. Dengan demikian,
di dalam masyarakat, tidak ada orang yang merasa dirinya lebih tinggi maupun lebih
rendah derajatnya. Hal ini disebabkan karena semua orang tanpa terkecuali diperlakukan
sama dan tanpa diskriminasi oleh anggota masyarakat.
c). Ngayah
Istilah ngayah menjadi kosa kata yang paling sering diungkapkan oleh masyarakat
Bali khususnya masyarakat di Desa Pakraman Seraya. Ngayah dalam bahasa bali berarti
bekerja dan melayani dengan tulus, ikhlas dan tanpa pamrih. Dalam proses magibung,
konsep ngayah tersebut sangat kental terlihat. Semua pekerjaan yang ada dikerjakan
dengan konsep ngayah. Dalam konsep ngayah ini, semua masyarakat terlibat, bekerja
tanpa merasa tertekan atau berat sebelah dalam menyelesaikan pekerjaan yang ada.
Biasanya setiap orang yang hadir akan menawarkan diri untuk mengerjakan pekerjaan
yang ada, mulai dari mempersiapkan bahan memasak hingga melayani warga lain yang
sedang makan. Sementara itu, setiap orang yang terlibat biasanya akan menyuruh orang
lain khususnya mereka yang lebih tua dan lebih senior untuk makan terlebih dahulu,
sedangkan sementara yang lain akan melayani semua kebutuhan yang diperlukan selama
makan sampai dengan selesai.
Berdasarkan hasil wawancara dengan GC, menyatakan bahwa terdapat aspek-
aspek sosio-budaya dalam tradisi magibung di Desa Pakraman seraya. Adapun aspek
sosio-budaya tersebut sangat sejalan dengan konsep hidup masyarakat Bali, yaitu;
a) Saling Asah-asih-asuh
Saling asah-asih-asuh dalam bahasa Bali berarti saling menjaga, saling
menyayangi dan saling mengasihi antar sesama makhluk. Dalam tradisi magibung,
masyarakat Desa Pakraman Seraya mengenal konsep saling asah-asih-asuh. Dalam
pengertian ini, masyarakat diharapkan saling mangayomi satu sama lain, saling menjaga
serta saling mengasihi. Perasaan yang timbul karena didasarkan pada hubungan
persaudaraan, menjadi landasan bagi penerapan konsep ini. Setiap anggota masyarakat
diharuskan untuk saling manjaga. Selain itu, setiap warga juga diharapkan menjaga
hubungan baik dengan semua orang, sebab dalam proses magibung diperlukan adanya
kerja sama antar semua pihak. Oleh karena itu, apabila ada salah satu warga atau
kelompok yang berselisih paham/ berbeda pendapat, otomatis akan sangat mengganggu
pelaksanaan magibung. Selain itu, ketika proses magibung dilaksanakan, setiap orang
dilarang untuk berebut makanan yang ada atau ribut ketika makan. Konsep ini yang
membuat rasa kemanusiaan dan toleransi di kalangan masyarakat Desa Pakraman Seraya
menjadi sangat kental dan kuat.
b) Manut Ring Awig-Awig
Manut ring awig-awig berarti patuh terhadap aturan. Meskipun magibung hanya
aktivitas makan yang dilakukan secara bersama-sama, akan tetapi pada tatanan
prakteknya tidaklah sesederhana itu. Setiap orang yang akan ber-magibung diharuskan
untuk menaati beberapa aturan yang ada dalam tradisi tersebut, sehingga setiap orang
mulai dari anak-anak, remaja, dewasa sampai pada orang tua harus menjalankan semua
aturan yang ada dalam magibung. Apabila ada orang yang melanggar aturan tersebut,
biasanya akan diberlakukan sanksi sosial, seperti dikucilkankan dari pergaulan, ataupun
digunjingkan oleh masyarakat karena dianggap tidak memiliki etika dan sopan santun.
Beberapa aturan yang ada dalam magibung, seperti; mulai dan mengakhiri makan secara
bersama-sama, makan tidak boleh berbicara, sendawa atau kentut. Makan harus
menggunakan tangan kanan, sisa makanan tidak boleh ditaruh ditempat makan tapi
harus dibuang. Makan harus berkelompok yang terdiri dari 6 sampai 8 orang, antara
laki-laki dan perempuan serta anak-anak harus dikelompokan berbeda. Oleh karena itum
dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam magibung ini, semua orang yang terlibat di
dalamnya dilatih untuk menjadi pribadi yang disiplin dan taat aturan.
c) Tri Hita Karana
Tri Hita Karana terdiri dari kata tri yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan,
dan karana berarti penyebab. Jadi, tri hita karana berarti tiga penyebab adanya
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Ketiga penyebab kebahagiaan tersebut yaitu,
menjaga hubungan baik antara manusia dengan Tuhan yang disebut Parahyangan,
menjaga hubungan baik antara manusia dengan manusia atau yang biasa disebut
Pawongan, dan menjaga hubungan baik antara manusia dengan alam atau Palemahan.
Magibung mengajarkan kepada masyarakat bahwa kehidupan membutuhkan
keseimbangan. Konsep Tri Hita Karana dapat dijumpai di dalam setiap tahapan dalam
pelaksanaan magibung. Konsep Parahyangan atau menjaga hubungan baik antara
manusia dengan Tuhan, terlihat sebelum proses makan dilakukan. Dalam kepercayaan
Hindu, segala sesuatu makanan sebelum dinikmati hendaknya dipersembahkan dahulu
kepada para Dewa serta leluhur, proses ini disebut Ngejot. Sebelum makan atau
magibung dilaksanakan biasanya diawali dahulu dengan Ngejot Gibungan. Persembahan
ini ditujukan kepada para Dewa dan leluhur sebagai wujud syukur atas rahmat yang
diberikan kepada keluarga, sehingga diharapkan dapat mengadakan dan melaksanakan
tradisi magibung. setelah proses Ngejot ini selesai barulah magibung tersebut dilakukan.
Konsep Pawongan atau menjaga hubungan baik antar manusia sudah diterapkan mulai
awal sampai selesai proses magibung dilaksanakan. Semua masyarakat yang datang
saling tegur sapa dan mengobrol walaupun hanya sekedar menanyakan kabar. Hal
tersebut dilakukan dengan sepenuh hati sebagai bentuk kepedulain sosial dan memiliki
rasa kekeluargaan/ persaudaraan di dalam masyarakat. Konsep Palemahan juga terlihat
dalam prosesi magibung tersebut, misalnya ketika selesai makan apabila terdapat sisa
makanan, maka sisa makanan tersebut tidak akan dibuang tetapi diberikan kepada
binatang yang ada disekitar tempat magibung. Selain itu, bahan-bahan yang digunakan
dalam magibung haruslah bahan yang ramah lingkungan. Jadi dapat disimpulkan bahwa,
terdapat nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat dalam tradisi magibung, yaitu; Menyama
Beraya, Paras-Paros Sarpanaya dan Salulunglung Sabayantaka, Ngayah, Saling Asah-
Asih-Asuh, Manut Ring Awig-Awig, Tri Hita Karana.
4.2.3 Peran Warga Masyarakat dalam Menjaga Eksistensi Tradisi Magibung
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi yang telah dilakukan
dalam penelitian di Desa Pakraman Seraya yang berhubungan dengan peran masyarakat
dalam menjaga eksistensi tradisi magibung, terungkap beberapa pendapat yang akan
dipaparkan sebagai informasi penelitian melalui wawancara yang telah dilakukan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap narasumber.
A. Peran Warga dalam Menjaga Eksistensi Magibung
Bertahannya tradisi magibung tidak lepas dari peran masyarakat Desa Pakraman
Seraya yang tetap mempertahankan tradisi magibung dari sejak ratusan tahun lalu
sampai dengan saat ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan IKS, seorang warga Desa
Pakraman Seraya, menyatakan bahwa seluruh warga di Desa Pakraman Seraya
melestarikan tradisi magibung dengan cara selalu melaksanakan dan menerapkan
magibung dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun
lingkungan masyarakat. Misalnya pada saat hari-hari keagamaan seperti Galungan,
Kuningan, dan berbagai kegiatan adat dan keagaman lainnya, keluarga IKS selalu
melaksanakan magibung bersama keluarganya. Beliau juga menambahkan bahwa
dengan melaksanakan magibung dapat meningkatkan keharmonisan dan kebersamaan di
dalam keluarga. Adanya interaksi mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan sampai akhir
acara magibung membuat kehidupan keluarga menjadi lebih harmonis. Masing-masing
anggota keluarga menjadi lebih terbuka kepada anggota keluarga lainnya terhadap
persoalan atau konflik yang mungkin dialami oleh salah satu anggota keluarga.
Sementara itu, menurut GW, sebenarnya dalam melaksanakan magibung dapat
dilaksanakan setiap hari khususnya ketika akan makan malam. Magibung menjadi
kebiasaan yang setiap hari beliau dan keluarganya laksanakan menjelang makan siang
atau makan malam. Beliau juga menambahkan kebiasaan menerapkan tradisi magibung
dalam keluarga sangat bermanfaat, seperti konflik dalam keluarga menjadi lebih jarang
terjadi. Hal tersebut dikarenakan magibung dapat meningkatkan keharmonisan antar
anggota keluarga. Selain itu, GW juga menyatakan kegiatan itu dilakukan, sebab beliau
ingin memperkenalkan tradisi magibung sejak dini kepada anggota keluarganya yang
lain, mengajarkan magibung kepada semua anak-anaknya serta untuk menjaga tradisi
magibung tersebut tetap berlangsung ke generasi selanjutnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di Desa Pakraman Seraya melestarikan
tradisi magibung berdasarkan kesadaran sendiri, tanpa imbalan dan tanpa adanya
paksaan melalui aplikasi langsung. Dalam melaksanakan magibung pada setiap acara
kekeluargaan maupun pada saat makan pada setiap harinya, dilakukan bertujuan untuk
mempererat hubungan antar anggota keluarga dan memperkenalkan tradisi magibung
pada anak sejak dini serta untuk melestarikan tradisi magibung agar tidak hilang di
makan zaman.
B. Peran Pemuda dalam Menjaga Eksistensi Magibung
Pemuda adalah agen penerus bangsa. Demi kelangsungan suatu tradisi, maka
pemuda harus dilibatkan dalam berbagai langkah penyelamatan tradisi agar regenerasi
tetap berlangsung. Berdasarkan hasil wawancara dengan WP, yang menyatakan bahwa
tradisi magibung banyak memberi manfaat, seperti mempererat persatuan di antara
pemuda dan tradisi ini juga merupakan icon seta menjadi kebanggaan tersediri bagi
masyarakat Desa Pakraman Seraya. Beliau juga menambahkan bahwa pemuda adalah
tonggak bagi keberlangsungan eksistensi magibung, oleh karenanya dalam hal
melakukan usaha-usaha untuk melestarikan tradisi magibung pemuda harus ikut
berpartisipasi. Adapun hal-hal yang sudah dilakukan oleh pemuda Desa Pakraman
Seraya untuk mempertahankan tradisi magibung diantaranya dengan melaksanakan
magibung disela-sela kegiatan kepemudaan. Selain mendirikan organisasi formal seperti
karang taruna, pemuda di Desa Pakraman Seraya juga mendirikan organisasi adat
bernama truna-truni. Organisasi truna-truni merupakan organisasi adat yang mewadahi
kegiatan-kegiatan pemuda dan pemudi dalam bidang kegiatan adat dan agama. Menurut
WP, dalam setiap kegiatan yang di isi dengan acara makan-makan biasanya akan
dilaksanakan dengan magibung. Makan dengan magibung dimaksudkan agar anggota
dari truna-truni lebih akrab serta untuk memupuk jiwa kekeluargaan. Di tengah
gempuran globalisasi yang membuat masyarakat menjadi lebih individual, para pemuda
di Desa Pakraman Seraya tetap mempertahankan tradisi magibung. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pemuda ikut serta dalam upaya pelestarian tradisi magibung tersebut
dengan cara mengadakan magibung pada setiap acara makan bersama antar pemuda
dalam organisasi baik dalam acara formal maupun acara non-formal.
C. Peran pemerintah adatdalam menjaga eksistensi magibung
Kelestarian tradisi magibung juga tidak dapat terlepas dari kebijakan-kebijakan
pemerintah adat dalam melindungi tradisi magibung. Menurut NG, menyatakan bahwa
selain dilingkup keluarga magibung juga bisa dilaksankan di lingkup banjar atau RT.
Magibung dilingkup banjar biasanya dilaksankan dalam beberapa kegiatan keagamaan
seperti; Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan untuk para leluhur, seperti Ngaben
dan lain-lain. Selain pitra yadnya, magibung juga biasa dilaksanakan pada saat acara
Bhuta Yadnya dan Dewa yadnya yaitu upacara yang dilakukan kepada para Dewa
sebagai wujud syukur atas berkah yang diberikan serta manusia yadnya yaitu upacara
yang dilakukan kepada sesama manusia sebagai wujud persaudaraan. Semua kegiatan
ini, biasanya diawali atau diakhiri dengan magibung. Semua anggota banjar akan bahu-
membahu bekerja sama untuk menyiapkan gibungan, kemudian gibungan tersebut akan
dinikmati bersama di banjar. Uang yang digunakan untuk magibung biasanya diambil
dari uang khas atau iuran anggota banjar.
Sementara itu, NM menyatakan bahwa berlangsungnya tradisi magibung hingga
saat ini karena peran aktif masyarakat dalam menjaga dan melestarikan tradisi
magibung. Masyarakat tertarik untuk melestarikan tradisi magibung, sebab tradisi ini
memiliki nilai-nilai luhur asli warisan para leluhur bangsa Indonesia. Beliau juga
menambahkan bahwa tidak ada satu pasalpun dalam aturan desa atau awig-awig Desa
Pakraman Seraya yang mengatur mengenai pelaksanaan tradisi magibung tersebut,
Pengurus desa tidak pernah membuatkan aturan mengenai pelaksanaan magibung untuk
melindungi kelestarian tradisi tersebut. Kelestarian tradisi magibung merupakan
kesadaran dari warga Desa Pakraman Seraya sendiri untuk melestarikan dengan cara
melaksanakannya setiap saat serta meneruskan tradisi tersebut kepada anak cucu. Beliau
menyampaikan bahwa tradisi magibung dapat dikatakan sebagai representasi dari sikap
prilaku masyarakat Desa Pakraman Seraya. Dalam pelaksanaan magibung mulai dari
proses persiapan sampai dengan akhir kegiatan menggambarkan sikap dan prilaku
masyarakat Desa Pakraman Seraya yang berjiwa sosial. Beberapa langkah yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Pakraman Seraya sehingga membuat tradisi ini tetap
bertahan yaitu melaksanakan magibung di lingkup Desa Pakraman. Magibung di
lingkup desa pakraman biasanya dilaksankan pada saat paruman atau rapat tahunan
yang melibatkan seluruh perwakilan pengurus yang berada di masing-masing banjar di
tiga desa dinas. Selain itu, dalam paruman, magibung juga biasa dilaksanakan pada saat
penyelenggaraan upacara yang dilakukan di pura.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemerintah adat, dalam hal ini desa
adat maupun banjar adat turut serta dalam upaya pelestarian tradisi magibung di Desa
Pakraman Seraya. Upaya yang dilakukan oleh desa adat maupun banjar adat di Desa
Pakraman Seraya, yaitu dengan melaksanakan magibung pada acara-acara rapat dan
pertemuan yang dilakukan oleh desa adat maupun banjar adat di lingkungan desa.
Selain itu, pemerintah adat juga turut serta dalam mempromosikan serta
menyosialisasikan mengenai pentingnya menjaga tradisi magibung tersebut.
D. Peran pemerintah daerah dalam menjaga eksistensi magibung
Menurut WG, pemerintah desa dinas telah melaksanakan langkah-langkah untuk
melestarikan tradisi magibung. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah desa dinas
dalam melestarikan tradisi magibung, yakni dengan melaksanakan magibung pada
acara-acara yang dilakukan di kantor desa, seperti acara tutup buku yang biasa dilakukan
di akhir tahun. Sebagai wujud syukur atas pekerjaan dan target yang berhasil dicapai
selama setahun, pimpinan desa akan mengajak para staf desa untuk makan bersama atau
magibung. Selain sebagai wujud syukur, kegiatan magibung yang dilakukan pihak desa
juga dimaksudkan untuk meningkatkan rasa persaudaraan antar staf desa, menumbuhkan
semangat kerja menghadapi awal tahun baru, dan bertujuan melestarikan tradisi
magibung itu sendiri. Selain pada acara tutup buku, magibung juga biasanya
dilaksanakan pada kegiatan-kegiatan akhir pekan, seperti kegiatan gotong royong atau
jumat bersih, acara 17 agustusan maupun untuk kegiatan-kegiatan adat serta kegiatan
keagamaan yang melibatkan staf desa. Langkah tersebut sangat efektif untuk tetap
melestarikan tradisi magibung, dengan melaksanakan magibung pada acara-acara kantor
secara tidak langsung telah melestarikan tradisi tersebut.
Lebih lanjut, WP menyatakan bahwa pemerintah kabupaten tidak berdiam diri
dalam tindakan pelestarian tradisi magibung. Pemerintah Kabupaten Karangasem ikut
ambil bagian dalam pelestarian tradisi magibung, Pemerintah Kabupaten di bawah
bimbingan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem terus melakukan
sosialisasi kepada masyarakat untuk tetap melestarikan tradisi magibung melalui
pelaksanaan tradisi magibung dalam setiap acara keagamaan, kegiatan pernikahan serta
kegiatan makan sehari-hari dalam keluarga. Kegiatan sosialisasi tersebut dilakukan
dengan mengumpulkan semua kelian banjar serta kelian adat dan kepala desa.
Sosialisasi tersebut dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
melestarikan tradisi magibung. Selain itu, Dinas Kebudayaan Karangasem sering
melakukan kampanye dengan membuka stan-stan, serta menjadikan magibung sebagai
icon pariwisata Karangasem, hal ini diharapkan agar masyarakat menjadi semakin
tertarik untuk terus melestarikan tradisi magibung.
Pemerintah Kabupaten Karangasem sudah sangat sering mengadakan magibung
untuk menyambut tamu-tamu internasional yang berkunjung ke Karangasem, kegiatan
tersebut dilaksanakan untuk melestarikan tradisi magibung serta untuk memperkenalkan
magibung kepada seluruh wisatawan mancanegara. Selain itu, pada tahun 2006
Pemerintah Kabupaten Karangasem melaksanakan magibung masal yang dilaksanakan
di Taman Sukasada Ujung. Magibung masal ini dilakukan oleh lebih dari 20.000 (dua
puluh ribu) orang dan berhasil memecahkan rekor MURI sebagai peserta magibung
masal terbanyak. Tradisi magibung ini telah banyak diadopsi oleh masyarakat lain yang
ada di Karangasem maupun di luar Karangasem, bahkan umat lain diluar umat Hindu
seperti umat Islam di Denpasar dan Karangasem, pada saat Idul Adha melakukan makan
bersama atau magibung di masjid-masjid. Hal tersebut menjadi kebanggaan karena
kebudayaan masyarakat lokal dapat diterima dan dilestarikan oleh masyarakat lain yang
memiliki kepercayaan yang berbeda.
Jadi, dapat disiimpulkan bahwa Pemerintah Kabupaten Karangasem turut serta
dalam pelestarian tradisi magibung melalui sosialisasi terhadap masyarakat dan
memperkenalkan tradisi magibung kepada turis manca negara yang berkunjung ke
Karangasem, serta dengan cara mengadakan magibung masal yang diadakan di
Karangasem dan berhasil memecahkan rekor MURI sebagai magibung masal terbanyak
menjadikan kebanggaan bagi masyarakat sekitar.

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian melalui teknik observasi, wawancara, analisis dokumen


dan studi literatur, diperoleh data berupa informasi baik secara lisan maupun tulisan. Dalam
sub-bab ini, akan disajikan/ dipaparkan pembahasan hasil penelitian tersebut yang disajikan
melalui empat sub-bab pokok permasalahan. Untuk lebih jelasnya, empat sub-bab pokok
permasalahan ini akan dianalisis dengan didukung oleh berbagai kajian kepustakaan,
penelitian terdahulu, serta artikel yang mendukung. Analisis pembahasan hasil penelitian
ini diharapkan dapat merefleksikan semua hasil penelitian.
4.3.1 Nilai-nilai yang Terkandung dalam Tradisi Magibung di Desa Pakraman Seraya
Sebagai Civic Culture
Berdasarakan hasil temuan penelitian di atas, nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisi magibung yang terdapat dalam masyarakat Desa Pakraman Seraya memiiki
kesamaan dari pada pengertian magibung itu sendiri. Magibung adalah sajian makan
bersama, berupa nasi dan lauk pauk serta berbagai macam olahan sayur dan daging
yang disajikan di atas wadah besar dan dimakan beramai-ramai (Suyadnya, 2006,
hlm. 70). Sementara itu, Ketut Seken (2013, hlm. 9) menjelaskan bahwa magibung
atau disebut bancakan, berasal dari kata gibung yang berarti kegiatan yang dilakukan
oleh banyak orang untuk saling berbagi satu dengan yang lainnya, sedangkan awalan
me-berarti melakukan sesuatu kegiatan.
Jika dikaitkan dengan pernyataan Agung (1991, hlm. 48) menyatakan bahwa
terciptanya tradisi makan magibung seperti yang masih tetap berlaku di Lombok dan
Karangasem sampai sekarang, merupakan kebanggaan masyarakat, sebab semakin
dipahami bahwa tradisi ini mengandung tata nilai demokrasi yang khas. Di dalam
kesempatan kerja adat di Lombok maupun Karangasem tradisi magibung ini tidak
pernah dilupakan. Sementara itu, dalam Dwi Jendra Tattwa (seken, 2014, hlm. 48)
disebutkan:
Wus amuja, Ida katuran bojan.
Sampun usan aneda bojana.
Anyarik sang putra kabeh.
Lor wetan kidul kulon.
Kalimat tersebut jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti;
setelah selesai memuja sang pendeta dihaturi hidangan santapan. Maka empat orang
putranya disuruh meneruskan menikmati sisa hidangan, ada yang menghadap utara,
timur, selatan dan barat. Sementara dilembar berikutnya disebutkan sebagai berikut;
Sampuning wus amuja
Ida katuran bojana
Sampuning wus aneda bojana
Inutus putara ira meneda bojana kenem diri atunggal wadah
Kalimat tersebut jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti;
Setelah selesai memuja sang pendeta dihaturi hidangan santapan. Maka dipanggilah
ke enam orang putranya, untuk makan bersama-sama dalam satu hidangan (PHDI
dalam Seken, 2013, hlm. 10). Selain Dwi Jendra Tattwa, kaitan magibung juga
terdapat dalam Manawa Dharmasastra, III.118 yang menyebutkan sebagai berikut;
Agham sa kevalam bhungkte
Yah pacaatyaatmakaranaat
Yadnyaasistaasanam hyeta tat
Sataam annam vidhiyate
Kalimat tersebut jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti; Orang
yang menyiapkan makanan hanya untuk dirinya sendiri, sebenarnya ia memakan
dosa. Karena sudah ditetapkan bahwa makanan orang yang bijaksana adalah makanan
yang telah dipersembahkan sebagai yadnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan deskripsi temuan tentang pengertian magibung dengan pengertian
magibung menurut para ahli tidak berbeda jauh. Magibung merupakan tradisi makan
bersama yang diwariskan oleh para leluhur sebagai bagian dari yadnya dan cerminan
karakter masyarakat yang berkemanusiaan dan religius.

A Latar belakang sejarah dilaksanakannya magibung


Berdasarkan atas deskripsi temuan diatas tentang latar belakang sejarah
dilaksanakannya magibung memiliki kesamaan dengan pendapat Seken (2014:29)
menyatakan bahwa magibung di Karangasem pertama kali diperkenalkan oleh Raja
Karangasem yaitu I Gusti Anglurah Ketut Karangasem melakukan ekspedisi untuk
menaklukan raja-raja di pulau Lombok (Raja Sasak). Bersamaan dengan pasukan-
pasukan hebat dari Karangasem akhirnya Kerajaan Karangasem berhasil menaklukan
Kerajaan-kerajaan yang ada di kawasan Lombok. Kerajaan-kerajaan yang berhasil
digempur yaitu; Kerajaan Pejanggi, Kerajaan Parwa, dan Kerajaan Seleparang.
Setelah selesai perang, raja memerintahkan prajuritnya untuk makan bersama dalam
posisi melingkar yang kemudian dikenal sebagai magibung. hal ini untuk
memudahkan sang raja untuk menghitung prajurit yang tersisa.
Tradisi magibung telah lahir dalam artikelnya yang berjudul magibung Tradisi
Makan Bersama Penuh Aturan Ketat, menyatakan bahwa Tradisi Magibung dimulai
dari tahun 1614 Caka (atau 1692 Masehi), ketika salah satu Raja Karangasem, I Gusti
Anglurah Ketut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak
(Lombok). Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan
bersama yang disebut magibung (Sunarta, 2009:27).
Sejarah lahirnya tradisi magibung sudah dikenal sebelum Dang Hyang Nirata
datang ke Bali pada Tahun 1489 sejak zaman pemerintahan Dalem Waturenggong di
Gelgel Klungkung. Kemudian pada majalah Warta Hindhu DDharma No. 148 (Dirdja
dalam Pasek, 2013:10) menyebutkan:
Konon dahulu sebelum lahirnya tradisi magibung itu, apabila diadakan upacara-
upacara adat, maka kepada tamu diberikan suguhan paket yang berisi nasi dan lauk
pauk yang dibagikan kepada tiap-tiap tamu yang hadir untuk dibawa pulang.
Kemudian karena hal ini dianggap tidak praktis dan ekonomis, maka tradisi dalam
pembagian paket ini diganti dengan makan bersama atau yang disebut dengan
magibung.

Berkaitan dengan sejarah lahirnya tradisi magibung, dalam sloka juga dijelaskan
sebagai berikut:
Yāt kārosi yād āsnāsi
Yāj juhosi dādasi yāt
Yāt tapasyāsi kaunteya
Tāt kuruswas madarpanām

Apabila diartikan kedalam bahasa Indonesia, kurang lebih berarti sebagai berikut :
Apapun yang kau kerjakan, engkau makan,
Engkau persembahkan, engkau dharmakan, dan disiplin diri
Apa pun yang engkau laksanakan, O Arjuna, laksanakan
Sebagai bhakti kepada Ku (Bhagavadgita, IX : 27).
B Karakteristik magibung
Berdasarkan deskripsi temuan tentang karakteristik magibung di atas,
memiliki kesamaan dengan karakteristik magibung yang disampaikan oleh Seken
(2013:28), yaitu;
a. Dalam beberapa acara yadnya para peserta magibung masyarakat biasanya
berpakaian adat Bali dan rapi.
b. Peserta magibung biasanya berjumlah delapan orang, dengan pembagian
kelompok menurut jenis kelamin perempuan, pria dan anak-anak.
c. Makanan dalam magibung biasanya terdiri dari; nasi, sate dan berbagai macam
sayur yang dicampur olahan daging babi dan ayam.
d. Orang yang magibung adalah orang yang sehat secara jasmani dan rohani
e. Peserta magibung dilarang: ribut, berebut makanan, mengambil makanan teman
disebelahnya, tertawa keras, sendawa atau kentut.
f. Peserta magibung makan harus menggunakan tangan kanan, dan wajib mencuci
tangan sebelum dan setelah selesai makan.
g. Peserta magibung tidak boleh saling mendahului makan karena harus menunggu
komando untuk makan bersamaan.
h. Setelah selesai makan peserta magibung dilarang berdiri sebelum semua peserta
yang lain selesai.

Selain itu, Suyadnya (2006:71) menyatakan magibung memiliki karakteristik


yang berbeda dibandingkan dengan makan pada umumnya. Jika dalam makan
prasmanan ciri khas yang ditampilkan cenderung individualis dan simple. Dalam
magibung mengutamakan kebersamaan, dan saling membantu sama lain. makanan
yang dimakan mengutamakan kebersihan dan sukla (kesucian). Sukla dalam konsep
Hindu adalah sesuatu yang belum pernah terpakai, atau masih baru dan bersih serta
disucikan. Peralatan yang digunakan haruslah ramah lingkungan, seperti penggunaan
anyaman dari bahan-bahan tradisional. Konsep pembuatan gibungan adalah konsep
makan lesehan dengan menyediakan wadah berupa dulang atau nare kemudian
diberikan alas berupa anyaman daun kelapa yang disebut aledan. Diatas aledan ini
ditaburi nasi yang berbentuk setengah bola.
C Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi magibung sebagai civic culture
Berdasarkan deskripsi temuan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisi magibung sebagai civic culture di atas, memiliki kesamaan dengan
karakteristik magibung yang disampaikan oleh Seken (2013:28) menyatakan bahwa
tradisi magibung mengandung nilai-nilai pembentukan karakter religius dan nilai
pembentukan karakter toleransi, karakter disiplin, nilai pembentukan karakter
bersahabat atau komunikatif, nilai pembentukan karakter peduli sosial, nilai
pembentukan karakter peduli lingkungan, nilai pembentukan karakter tanggung
jawab, dan nilai pembentuan karakter kebersamaan atau kekeluargaan. Seken
menyatakan, nilai pembentukan karakter religius dalam tradisi magibung terhadap
generasi muda di Karangasem dapat terlihat dari pengamalan widhi Sradha yang
merupakan bagian dari Panca Srada dalam bentuk mempersembahkan terlebih dahulu
makanan yang akan dimakan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, sebelum disuguhkan
kepada para tamu dan undangan. Hal tersebut sebagai wujud syukur atas karunia
Tuhan terhadap rizki yang diberikan kepada keluarga yang mengadakan magibung.
Nilai pembentukan karakter toleransi yang terkandung dalam tradisi magibung
diperlihatkan dalam bentuk tindakan menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari darinya. Tidak memilih-
milih teman yang akan diajak magibung juga merupakan cerminan toleransi. Selain
itu, sikap tidak adanya pengkotak-kotakan berdasarkan status sosial, tingkat
pendidikan, maupun status ekonomi juga merupakan cermin toleransi. Pembentukan
karakter berkaitan dengan nilai toleransi sesuai dengan ajaran Tat Twam ASi dalam
ajaran HIndu. Karakter disiplin dalam tradisi magibung dapat dilihat dalam
pengamalan berbagai aturan yang ada dalam magibung, seperti makan tidak bersuara,
tidak makan sebelum dipersilakan, dan lain sebagainya.
Nilai pembentukan karakter demokratis dapat dilihat dari sikap peserta
magibung terlihat saat pembagian makan, apabila ada yang ingin menambah nasi atau
lauk, maka semua peserta diberikan kesempatan yang sama untuk meminta tambahan
kepada pengayah. Nilai demokratis yang lain yaitu saat akan dimulai makan, karena
makanan yang satu dimakan secara bersama, maka akan timbul berbagide untuk
menikmati hidangan tersebut, oleh peminpin yang ada di kelompok tersebut semua
ide tersebut ditampung dan dilaksanakan bersama.
Secara spesifik civic culture atau budaya warganegara merupakan budaya
yang menopang kewarganegaraan yang berisikan seperangkat ide-ide yang yang dapat
diwujudkan secara efektif dalam representasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan
identitas warga negara (Udin Saripudin, 2012, hlm. 57) Melalui representasi
kebudayaan yang dimiliki suatu negara akan dapat membentuk karakter warga negara
suatu negara yang akan menjadi ciri pembeda dari warga negara lainnya, sehingga
menjadi identitas tersendiri bagi suatu negara.Pada konteks civic culture dalam nilai-
nilai yang terkandung dalam tradisi magibung ditandai dengan adanya sikap warga
negara, berupa; persaudaraan dan kepedulian sosial, Keberanian dan tangung jawab,
disipin dan taat aturan, nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab,
nilai persatuan, nilai permusyawaratan perwakilan, nilai keadilan sosial
Sejalan dengan hasil penelitian terdahulu, Sriwati (2015, 117) dalam
penelitiannya berjudul upaya pelestarian nilai-nilai budaya sebagai civic culture pada
perkawinan Suku Banjar di Kalimantan selatan, menyatakan bahwa, terdapat
beberapa nilai kearifan lokal sebagai civic culture pada perkawinan Suku Banjar di
Kalimantan Selatan. Nilai-nilai tersebut yaitu; nilai kekeluargaan, nilai kebersamaan,
nilai gotong royong, nilai religi, nilai budaya, nilai tradisi, nilai tanggung jawab, nilai
sosial, nilai kesadaran yang tinggi, musyawarah, sikap saling percaya, solidaritas,
nilai kerja sama, serta nilai kepercayaan. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam berbagai
proses perkawinan Suku Banjar di Kalimantan Selatan.
Berdasarkan dari konsepsi teori diatas dapat dikatakan bahwa hasil observasi,
wawancara dan dokumentasi yang telah dilakukan oleh peneliti. Maka tradisi
magibung di Desa Pakraman Seraya mengandung nilai-nilai sebagai civic culture
mengacu pada landasan teori yang telah dibahas.
4.3.2 Aspek sosio-budaya yang terkandung dalam tradisi magibung, yang dapat
diwariskan dan dibelajarkan dari generasi ke generasi.

Anda mungkin juga menyukai