Anda di halaman 1dari 8

A.

Kajian Tentang Budaya kewarganegaraan


1. Pengertian Budaya Kewarganegaraan (Civic Culture)

Istilah budaya kewarganegaraan atau civic culure pertama kali diciptakan oeh
Gabriel Almond dan Sidney Verba pada tahun 1963 dalam bukunya The Civic
Culture untuk menjelaskan perilaku hubungan politik dan sosial yang dianggap
penting bagi keberhasilan demokrasi modern. Lebih lanjut Bridges (1994, hlm. 20)
menerangkan bahwa:

“What is true of the sphere of culture in general has special application to the
specific form of culture I have called civic culture. A very special kind of
persuasive process is required to gain and retain adherence to the norms
proper to the standpoint of liberal democratic citizenship. As I have noted, a
civic culture is a type of countervailing culture. Liberal democracy as a form
of political association is defined by the rather unusual assumption that the
citizens of any particular liberal democracy will disagree fundamentally in
their concepts of the good life. As members of the civic community, citizens
will also be members of one or more particularistic cultural communities”.
Yang berarti, apa yang benar dari bidang budaya pada umumnya memiliki
aplikasi khusus untuk bentuk spesifik budaya yang saya sebut budaya warga negara
atau civic culture. Semacam jenis yang sangat istimewa, proses persuasif diperlukan
untuk mendapatkan dan mempertahankan kepatuhan terhadap norma-norma yang
tepat untuk sudut pandang kewarganegaraan demokratis liberal . Seperti yang saya
catat, budaya warga negara atau civic culture adalah jenis budaya tandingan.
Demokrasi liberal sebagai bentuk asosiasi politik didefinisikan oleh asumsi yang agak
tidak biasa bahwa warga setiap demokrasi liberal tertentu tidak akan setuju
fundamental dalam konsep mereka tentang kehidupan yang baik . Sebagai anggota
masyarakat sipil, warga juga akan menjadi anggota dari satu atau lebih komunitas
budaya partikularistik. Lebih lanjut Bridges (1994, hlm. 21) menerangkan bahwa:
A civic culture, then, has a very special sort of persuasive task and must have
a very special sort of persuasive force. A civic culture consists of a set of
institutional, representational, and discursive means of persuasion. As such, it
must be conceived of in terms of its rhetorical intention and effect. As in the
case of all efforts of persuasion, the persuasive means available to any civic
culture are addressed to a specific audience, an audience defined by a specific
set of historical, economic, and social circumstances. But, generically, the
sort of audience that any civic culture must address is one composed of
persons who already adhere to some specific concept of the good, some
specific totalizing world view or way of life.

Penjelasan diatas mengandung makna bahwa budaya warga negara atau civic
culture, memiliki jenis yang sangat khusus sebagai suatu proses persuasif yang harus
dimiliki. Civic culture terdiri dari satu set alat kelembagaan, representasi, dan
diskursif cara persuasi. Karena itu, harus dipahami dalam hal niat dan efek retoris
nya. Seperti dalam kasus semua upaya persuasi, sarana yang tersedia untuk setiap
civic culture yang ditujukan kepada audiens yang spesifik, penonton didefinisikan
oleh serangkaian sejarah, ekonomi , dan sosial tertentu. Tapi, secara umum bahwa
setiap civic culture harus mengatasi h salah satu yang terdiri dari orang-orang yang
sudah mengikuti beberapa konsep tertentu, baik dari beberapa spesifik pandangan
dunia total atau cara hidup. Lebih lanjut Thomas Bridges (1994, hlm 22),
menyatakan:
Inquiry about civic culture, however, can never be properly understood as an
exercise in pure theory. Civic culture itself, like every other form of culture, is
created, transformed, and reproduced by processes of persuasion. The norms
proper to civic life must be embraced and internalized by citizens as a matter
of conviction, a conviction produced by the rhetorical power of the persuasive
resources available to some specific form of civic culture. The truth claims
asserted in any inquiry about civic culture must not be understood as
asserting audience-independent truths about an audience-independent subject
matter. The "is" proper to inquiries about civic culture is not the hard
metaphysical "is" of pure theoretical discourse, but rather the soft
metaphorical "is" of rhetoric. 

Yang berarti, bagaimanapun, civic culture tidak pernah dapat dipahami


sebagai latihan dalam teori murni. Civic culture sendiri, seperti setiap bentuk lain dari
budaya, dibuat, diubah, dan direproduksi oleh proses persuasi. Norma-norma yang
tepat untuk kehidupan sipil harus dirangkul dan diinternalisasi oleh warga sebagai
masalah keyakinan, keyakinan yang dihasilkan oleh kekuatan retoris sumber daya
persuasif yang tersedia untuk beberapa bentuk spesifik civic culture. Klaim kebenaran
menegaskan dalam penyelidikan tentang civic culture tidak harus dipahami sebagai
pernyataan kebenaran penonton-independen tentang materi pelajaran penonton-
independen. "Adalah" yang tepat untuk pertanyaan tentang budaya masyarakat tidak
hard metafisik "adalah" wacana teoritis murni, melainkan lembut metafora "adalah"
retorika.
Udin Saripudin (2012, hlm. 56) menegaskan bahwa: Civic culture merupakan
budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan seperangkat ide-ide yang
dapat diwujudkan secara efektif dalam refresentasi kebudayaan untuk tujuan
pembentukan identitas warganegara. Secara spesifik civic culture merupakan budaya
yang menopang kewarganegaraan yang berisikan a set of ideas that can be embodied
effectively in culture representations for the purpose of shaping civic identities atau
seperangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam representasi
kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas warganegara. Sehingga, dapat
diartikan bahwa budaya dalam civic culture ini berfungsi sebagai penopang atau
penyokong dalam hal pembentukan identitas warga negara. Dengan demikian civic
culture sangat berkaitan erat dengan civic education, democratis civic society, civic
virtue, serta civic community atau civic society.

Identitas warganegara yang bersumber dari civic culture perlu dikembangkan


melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan latar. Elemen civic
culture yang paling sentral dan sangat perlu dikembangkan adalah civic virtue.
Quigley dalam Udin (2013, hlm. 78), menyatakan yang dimaksud dengan civic virtue
merupakan domain psikososial individu yang secara substantif memiliki dua unsur
yaitu civic dispositions dan civic commitments. Civic dispositions adalah those
attitude and habit of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning
and common good of the democratic system atau sikap dan kebiasaan berfikir warga
negara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan
kepentingan umum dari sistem demokrasi. Sedangkan civic commitment adalah the
freely given, reasoned commitment of the citizen to the fundamental value and
principles of constitutional democracy atau komitmen warganegara yang menopang
berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem
demokrasi. Tugas dari setiap civic culture adalah untuk memenangkan kepatuhan
penonton untuk serangkaian norma sekunder yang harus berdiri dalam hubungan
ketegangan dengan serangkaian norma utama yang penontonnya tetap berkomitmen.
Seperti yang disampaikan oleh Bridges (1994, hlm. 21) “The task of any civic culture
is to win the adherence of that sort of audience to a secondary set of norms that must,
necessarily, stand in a relationship of tension with the primary set of norms to which
the audience remains committed.”

Semua negara memiliki tujuan yang sama yakni mendidik masyarakatnya


menjadi masyarakat madani atau civil society. Untuk mencapai masyarakat yang
madani, hal utama yang harus dilakukan adalah membentuk masyarakat yang
demokratis atau democratis civic society. democratis civic society atau masyarakat
demokratis dapat dibentuk melalui civic culture yang ada pada suatu negara tersebut,
melalui civic education atau pendidikan kewarganegaraan. dengan demikian tujuan
negara dalam mencapai masyarakat madani akan lebih mudah tercapai. Karena
dengan mengembangkan civic culture yang hidup dan tumbuh pada kelompok
masyarakat tertentu biasanya merupakan budaya yang sudah ada sejak jaman dahulu
dan diwariskan dari generasi terdahulu dan masih tetap dipertahankan sampai saat ini,
sehingga nilai-nilai luhur yang ada didalamnya menjadi sangat kuat.

Sesuai yang disampaikan Udin Saripudin (2012, hlm. 56), yaitu Konsep civic
culture terkait erat dengan perkembangan democratic civic society atau masyarakat
madani yang mempersayaratkan warganya untuk melakukan proses individualisasi,
dalam pengertian setiap orang harus belajar bagaimana melihat dirinya dan orang lain
sebagai individu yang merdeka dan sama tidak lagi terikat oleh atribut-atribut khusus
dalam konteks etnis, agama, atau kelas dalam masyarakat. Masyarakat sipil yang
demokratis tidak mungkin berkembang tanpa perangkat budaya yang diperlukan
untuk melahirkan warganya. Karena itu pula negara harus mempunyai komitmen
untuk memperlakukan semua warga negara sebagai individu dan memperlakukan
semua individu secara sama.

Civic culture dalam hal ini hendaknya tidak diartikan secara sempit sebagai
nilai-nilai golongan tertentu yang dipakai pada kelompok tertentu saja, melainkan
merupakan gambaran dari karakter kewarganegaraan seorang warga negara.
Sehingga, yang terlihat hendaknya bukanlah karakter golongan atau kesukuan. Udin
Saripudin (2012, hlm. 58) civic culture memberikan kontribusi dalam membangun
identitas kewarganegaraan atau ke-Indonesiaan setiap warga negara, secara substansif
dan praksis menggambarkan karakter ke-Indonesiaan, bukan karakter komunitarian
suku, agama, golongan dan partai politik. Sehingga negara harus mempunyai
komitmen untuk memperlakukan semua warga negara sebagai individu dan
memperlakukan semua individu secara sama.

Secara teoritik konsep civic culture atau budaya Pancasila untuk Indonesia,
terkait erat pada perkembangan civic society atau masyarakat madani Pancasila yang
mempersyaratkan warganya untuk melakukan proses individualisasi, dalam
pengertian setiap orang harus belajar bagaimana melihat dirinya dan orang lain
sebagai individu yang merdeka dan sama tidak lagi oleh atribut-atribut khusus dalam
konteks etnis, agama, atau kelas dalam masyarakat. Masyarakat sivil yang demokratis
tidak mungkin berkembang tanpa perangkat budaya yang diperlukan untuk
melahirkan warganya. Karena itu pula negara harus mempunyai komitmen untuk
memperlakukan semua warganegara sebagai individu dan memperlakukan semua
individu secara sama. (Winataputra & Budimansyah, 2012, hlm. 233)

Secara spesifik civic culture merupakan budaya yang menopang


kewarganegaraan yang berisikan a set of ideas that can be embodied effectively in
cultural representations for the purpose of shaping civic identities atau seperangkat
ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam representasi kebudayaan untuk
tujuan pembentukan identitas warganegara. Civic culture memberikan kontribusi
dalam membangun identitas kewarganegaraan atau ke-Indonesiaan setiap
warganegara, termasuk para pelaku politik dalam berbagai latar. Dengan demikian
prilaku politik dari para pelaku politik seperti anggota dewan perwakilan rakyat, para
pejabat negara, dan praksis menggambarkan karakter keindonesiaan, bukan karakter
komunitariaan suku, agama, golongan dan partai politik. (Winataputra &
Budimansyah, 2012, hlm. 248)

2. Karateristik Civic Culture

Menurut Nader dalam Islamudin (2015, hlm 35) budaya kewarganegaraan


(civic culture) dapat ditegaskan sebagai totalitas atau keseluruhan pola perwujudan
prilaku masyarakat demokratis yang tercermin dalam partisipasi masyarakat sebagai
pelaku demokrasi dalam masyarakat yang berbentuk sebagai sikap dan prilaku
warganegara yang demokratis dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Nilai dalam kewarganegaraan


b. Sikap dan pegalrilaku warga negara
c. Civic virtue (akhlak kewarganegaraan) meliputi legaliter, saling percaya
dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat
kemasyarakatan.
d. Adanya budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan
seperangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam
representasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas warganegara.
e. Berkenaan dengan proses adaptasi psikologi individu dari kaitan budaya
kominiter (keluarga, suku, masyarakat lokal) dalam sebuah ikatan
kewarganegaraan.

Berkenaan dengan civic culture menurut Thomas Bridge (1994, hlm. 23),
menerangkan bahwa:
As we have seen, a civic culture is a body of narratives, representations, and
discourses that serve to render intelligible and support the effective
internalization of the norms proper to liberal democratic citizenship. The
norms themselves clearly belong to the sphere of culture (i.e., they belong to
the sphere of personal and shared collective conviction). When a civic culture
is effective, large numbers of nominal citizens actually develop the capacity to
adopt the standpoint of citizenship, the capacity to treat themselves and others
effectively as free and equal individuals. On the other hand, a civic culture is
a countervailing culture. It is a culture that requires citizens at least
occasionally and temporarily to step out of the perspectives from which they
normally view the world, and to see things from a different point of view. The
narratives, representations, and discourses that make up the civic culture of a
particular historical period provide a specific interpretation of that shift of
viewpoint. In offering this interpretation of the standpoint of citizenship, a
civic culture also provides a particular set of resources for motivating citizens
effectively to assume that standpoint. This clearly involves a persuasive
process.

Penjelasan diatas mengandung makna, sebagaimana telah kita lihat, civic


culture adalah tubuh narasi, representasi, dan wacana yang berfungsi untuk membuat
dimengerti dan mendukung internalisasi efektif dari norma-norma yang tepat untuk
kewarganegaraan demokratis liberal. norma-norma sendiri jelas milik lingkup budaya
(yaitu, mereka milik lingkup keyakinan kolektif pribadi dan berbagi). Ketika civic
culture efektif, sejumlah besar warga nominal benar-benar mengembangkan kapasitas
untuk mengadopsi sudut pandang kewarganegaraan, kapasitas untuk memperlakukan
diri mereka sendiri dan orang lain secara efektif sebagai individu bebas dan setara. Di
sisi lain, civic culture adalah budaya countervailing. Ini adalah budaya yang
memerlukan warga setidaknya sesekali dan untuk sementara untuk melangkah keluar
dari perspektif dari mana mereka biasanya melihat dunia, dan untuk melihat sesuatu
dari sudut pandang yang berbeda. Narasi, representasi, dan wacana yang membentuk
civic culture dari periode sejarah tertentu memberikan interpretasi spesifik bahwa
pergeseran sudut pandang. Dalam menawarkan interpretasi ini dari sudut pandang
kewarganegaraan, civic culture juga menyediakan satu set tertentu dari sumber daya
untuk memotivasi warga secara efektif untuk menganggap sudut pandang itu. Ini jelas
melibatkan proses persuasif.
3. Pengembangan Civic Culture

Anda mungkin juga menyukai