OLEH :
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
Sesuai dengan judul dari makalah ini, penulis harapkan makalah ini dapat
sebuah makalah, tentunya makalah ini tidak luput dari kekurangan. Kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca untuk
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat madani merupakan konsep yang mengalami proses yang sangat panjang.
Masyarakat madani muncul bersamaan dengan adanya proses modernisasi, terutama pada saat
transformasi menuju masyarakat modern. Dalam mendefinisikan masyarakat madani ini sangat
bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa. Dalam Islam masyarakat yang ideal adalah
masyarakat yang taat pada aturan Allah SWT, hidup dengan damai dan tentram, dan yang
tercukupi kebutuhan hidupnya.
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada
peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini.
Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun
persatuan dan kesatuan. Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi
adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik. Dalam rangka membangun “masyarakat
madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau
peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti
menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil
kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Berangkat dari hal di atas, maka penulis memutuskan untuk menyusun karya ilmiah yang
berjudul “Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat.”
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
Istilah masyarakat madani sering diartikan sebagai terjemahan dari civil society, tetapi
jika dilacak secara empirik istilah civil society adalah terjemahan dari istilah latin, civilis societas,
yang mula-mula dipakai oleh Cicero (seorang orator dan pujangga dari Roma), pengertiannya
mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai
sebuah masyarakat politik (Political Society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar hidup.
Masyarakat yang demikian kerap disebut masyarakat sipil (Civil Society), namun beberapa
cendikiawan Muslim di Asia Tenggara lebih suka menggunakan istilah masyarakat madani
sebagai gantinya. Dan ada beberapa karakteristik mengenai masyarakat madani yaitu :
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada
masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti
ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya.
Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia
lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Antara lain dari sudut ini pulalah, kita dapat mengaitkan antara Islam dengan masyarakat
madani. Ungkapan apresiatif atau yang bersifat menghargai ini berasal dari kalangan ilmuan
nonmuslim atau barat, yang mengatakan bahwa ada kesesuaian antara Islam dan konsep
masyarakat madani, bahkan kenyataan itu pernah ada dalam kehidupan nyata masyarakat Islam,
barang kali orang akan menilai bahwa ini merupakan suatu penilaian yang objektif. Sosiolog
terkemuka dar Amerika Serikat, Robert N. Bellah misalnya mengatakan, bahwa sesungguhnya
bangunan politik yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Ketika berada di Madinah, adalah bersifat sangat modern. Memang bukan organisasi atau
lembaga di luar negara yang berkembang pada waktu itu, tetapi dimensi-dimensi lain yang ada
dalam bangunan konsep masyarakat madani. Hal itu tercermin dengan jelas dalam mitsaq Al-
madinah (perjanjian madinah), yang oleh para ilmuwan politik, dianggap sebagai konstitusi
pertama sebagai negara.
Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya kehidupan masyarakat madani
yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad adalah prinsip kesamaan, keadilan, dan partisipasi.
Dalam konstitusi itu disebutkan, bahwa pluralitas suku yang diikatkan dalam suatu kesepakatan,
bersama, dan dianggap sebagai umat. Tentu, umat disini bukan dalam arti agama tetapi warga
negara. Karenanya, dengan enak bani aus yahudi itu juga disebut dengan umat Madinah. Adanya
aturan-aturan yang tegas ini, yang dituangkan secara tertulis dalam perjanjian madinah, yang
mengakui diterapkannya prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan musyawarah merupakan ciri-ciri
awal terbentuknya kehidupan politik modern, yang antara lain ditandai dengan munculnya
semangat masyarakat madani. Disitu, yang ingin dikembangankan adalah nilai-nilai kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sebanding dengan kehidupan politik demokratis meskipun masih
dalam bentuk dan strukturnya yang sederhana.
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi
pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan
seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang
lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar
dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi
haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Dengan demikian realitas dari adanya hak milik
mutlak tidak dapat diterima dalam Islam melainkan hanya milik Allah saja, sedangkan manusia
hanyalah memiliki hak milik nisbi atau relatif. Pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam
sesuai dengan sistem keadilan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Islam mempunyai dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun yang berhak
mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri
dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja.
Sebagaimana dalam QS. al-Syu’ara ayat 183, artinya: “Janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan
ekonomi dan sosial. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta
konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah
yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi
ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat,
kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan, yang
artinya: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi
orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-
budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka
mengingkari nikmat Allah.”
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat.
Dengan melaksanakan kedua hubungan itu dengan baik, maka hidup manusia akan sejahtrera baik
di dunia maupun di akhirat kelak.
Dari ayat menurut ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan
dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana.
Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Lebih lanjut dalam Undang-undang Kesejahteraan Sosial, kriteria masalah sosial yang
perlu diatasi meliputi kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial
dan penyimpangan perilaku, korban bencana, korban tindak kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi.
Dalam islam dijelaskan bagaimana cara agar terbentuk suatu masyarakat yang
madani dan tumbuh toleransi antara satu dengan yang lainnya agar kehidupan
bermasyarakat dapat berjalan dengan baik dan tidak ada masalah antara satu individu
dengan individu lain atau suatu kelompok dengan kelompok lain. Masih banyak disekitar
kita tauran pelajar, tauran antar komplek, tauran antar desa dan perang terselubung antar
agama, hal ini dikarenakan lemahnya iman masyarakat da kurangnya pemahaman
mengenai masyarakat madani dan belum mengerti bagaimana pandangan islam mengenai
kehidupan bermasyarakat agar tetap rukun dan damai.
PENUTUP
Kesimpulan
Membangun kesejahteraan umat memang tidaklah mudah, tidak semudah membalik telapak
tangan. Kesejahteraan diindikasikan dengan sejahtera umat di berbagai bidang.
Sejahtera secara hukum diukur dengan kesadaran umat dalam mematuhi tatanan-tatanan
hukum syar’i yang telah ditetapkan oleh Tuhannya melalui agama islam, bertindak semata beribadah
dan mengharap ampunan serta keridhaan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
https://moehs.wordpress.com/2013/11/08/konsep-kesejahteraan-dalam-islam-tafsir-tahlily/
Ramadhan, Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat, Institut Teknologi Sepuluh November,
Surabaya, 2015
(99+) MAKALAH MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT | Ardi Ardiansyah - Academia.edu