Anda di halaman 1dari 13

KONSEP MASYARAKAT MADANI

A. Pendahuluan
Secara umum, masyarakat menginginkan kehidupan bermasyarakat
adalah masyarakat yang damai, sejahtera, terbuka, maju, dan modern bukan sebagai
masyarakat yang totaliter. Masyarakat yang demikian itu lebih dikenal sebagai
“Civil Society” atau masyarakat Madani. Masyarakat madani bisa dibentuk dari
masyarakat-masyarakat madani lokal yang berdasarkan pada kebudayaannya
masing-masing.
Masyarakat madani merupakan model masyarakat kota yang dibangun
oleh Rasulullah setelah beliau berhijrah dari Makaah ke Madinah. Masyarakat
dunia mengakui bahwa model masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah ini
merupakan masyarakat yang paling maju pada waktu itu. Menurut masyarakat
Barat, masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah tersebut pada saat ini
disamakan dengan konsep civil sociaty dan sangant modern.
Apabila konsep masyarakat madani ini akan diwujudkan di Indonesia
maka diperlukan proses adaptasi dan harus disosialisasikan kepada
masyarakat karena konsep masyarakat madani ini lahir dari masyarakat asing
dan merupakan konsep yang bersifat universal. Selain itu apabila konsep
masyarakat madani ini ingin diwujudkan di Indonesia, maka dibutuhkan suatu
konsep yang baik untuk merumuskan langkah-langkah yang sistematis dan
kontinyu, paradigma baru, pola hidup dan kebiasaan masyarakat Indonesia.
Apalagi konsep masyarakat madani ini adalah suatu konsep yang sangat baru
bagi masyarakat Indonesia
B. Konsep Masyarakat Sipil dan Konsep Ummat
Dalam pandangan Islam, arti civil society adalah ummat atau
masyarakat madani. Sedangkan pada dunia pemikiran Islam, arti civil society
sering disamakan arti dengan kata ummat. Hal ini disebabkan jika ditengok
dari artinya, kata ummat dapat mengandung tiga arti: 1. Suatu golongan
manusia (jama’ah), 2. setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada
seorang Nabi, dan 3. setiap generasi manusia sebagai satu umat 1. Sedangkan
menurut Ali Syariati, kata ummat memiliki arti kemanusiaan yang dinamis,
bukan entitas beku dan statis. Ummat menurutnya berasal dari kata amma,
artinya bermaksud dan berniat keras.2
Dari beberapa pengertian tersebut, maka kata ummat memiliki tiga arti,
yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan hati yang sadar 3. Maka apabila dilihat
dalam konteks ini, arti kata ummat memiliki tiga muatan, yaitu; Pertama,
konsep kebersamaan dalam arah dan tujuan. Kedua, konsep gerakan menuju
1
M. Ihsan Dacholfany, Konsep Masyarakat Madani Dalam Islam STAIN Jurai Siwo Metro
https://repository.ummetro.ac.id/files/artikel/a4b5fb828a6fb3ce9c06f2b4389acf9d.pdf
2
Ali Syariati, Ummat dan Imamah Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1989), h. 50.
3
Ibid. Lihat pula Ahmad Warson Munawwir, Kamus AL-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 39. Lihat Pula Louis Ma’luf, al-Munjid fi al- Lughat wa al-Alam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h.17
arah dan tujuan tersebut. Ketiga, konsep keharusan adanya pemimpin dan
petunjuk kolektif. Maka, arti kata ummat berarti “kumpulan manusia, di mana
para anggotanya memiliki tujuan yang sama, satu sama lain bahu membahu,
bergerak menuju cita-cita bersama, berdasarkan kepemimpinan bersama”4.
Sedangkan di dalam al-Quran, pemakaian kata ummat atau umam yang
khusus ditujukan kepada manusia mempunyai beberapa arti, antara lain;
Pertama, bermakna seluruh makhluk manusia sebagai umat yang satu, sesuai
dengan firman Allah dalam Q. S. al-Baqarah: 213, Kedua, bermakna bagian
dari masyarakat yang mengemban fungsi tertentu, yaitu menegakkan kebaikan
dan menghindari kemungkaran sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Ali
Imran: 104, Ketiga, bermakna setiap generasi yang kepada mereka diutus
seorang Nabi atau Rasul, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Nahl: 36
dan Keempat, bermakna golongan manusia yang menganut agama tertentu,
seperti umat Yahudi, umat Nasrani dan umat Islam, sesuai dengan firman Allah
dalam Q.S. Ali Imran: 110.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa kata ummat dapat berarti sebuah
masyarakat yang mempunyai tujuan yang sama dan saling bahu membahu
antar satu dengan yang lainnya untuk menggapai cita-cita bersama berdasarkan
kepemimpinan bersama.
Sedangkan di dalam Piagam Madinah,5 ummat dalam masyarkaat
madinah sarat dengan visi etis kehidupan bermasyarakat, seperti toleransi,
solidaritas sosial, persamaan dan sebagainya. Ummat juga memiliki fungsi
kontrol untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ummat
merupakan identitas bersama yang menjadi pijakan kerja sama antar berbagai
kelompok sosial dalam konfigurasi pluralistik. Pasal (1) Piagam ini
menyatakan bahwa kaum muslim dan mukmin dari kalangan Quraisy dan
Yatsrib serta orang yang mengikuti, bergabung dan berjuang bersama mereka
adalah satu ummat.6 Dalam pasal (1) ini kata ummat dibatasi hanya satu agama
yang didasari oleh persamaan akidah. Sedangkan dalam Pasal (25), kata ummat
bermakna lebih luas, yaitu dalam satu kesatuan ummat yang disatukan oleh
kesamaan kemanusiaan dan kesamaan kepentingan sosial, politik dan
ekonomi.7
Berdasarkan piagam Madinah tersebut umat Islam maupun Yahudi di
Madinah mempunyai tugas, hak dan kewajiban yang sama. Usaha Rasulullah
untuk membentuk masyarakat yang damai melalui terobosan-terobosan kultur
dan politik pada saat itu dengan melewati batas-batas agama, ras dan suku.

4
Ali Syariati, Ummat dan Imamah Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1989), h.52.
5
Teks Piagam Madinah dan terjemahan Indonesianya bisa dilihat dalam bukunya Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan
Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta:
UI-Press, 1995), h. 47.
6
Lihat Ibn Hisyam, Sirat al-Nabawiyah, (Mesir: Mustafa Bab al-Halabi), Jilid II, h. 147-150.
7
Ibid.h. 151
Pancaran nilai-nilai Islam serta kepiawaian Rasulullah yang sangat profesional,
berwibawa serta dapat memberi suri tauladan yang baik, maka pembentukan
negara Madinah menjadi sukses tanpa kendala yang sangat berarti walaupun
Negara Madinah pada saat itu adalah merupakan negara yang sangat plural
dengan berbagai latar belakang agama, ras, suku dan adat istiadat yang
berbeda-beda.
Kesuksesan Rasulullah dalam membangun Negara Madinah merupakan
adanya hubungan dan relevansi yang mendasar dan kuat di dalam al-Qur’an,
antara wacana konsep masyarakat sipil dengan konsep ummat. Sedangkan
penjabaran konsep ummat sebagai identitas empirik dalam kesatuan sosial
politik negara Madinah, adalah implementasi nilai-nilai normatif yang tertuang
di dalam al-Quran.
C. Konsep Masyarakat Sipil dan Masyarakat Madani
Sebenarnya, konsep masyarakat madani secara umum tidak berbeda
jauh dengan konsep masyarakat sipil, yaitu masyarakat yang berintikan
demokrasi dan kedaulatan rakyat. Tetapi, masyaraat sipil selalu bicara dalam
paradigma politik, sedangkan konsep masyarakat madani lebih bicara pada
berperspektif keagamaan. Sebenarnya, istilah masyarakat madani pertama kali
diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim yang dibawa ke Indonesia.8
Menurut Anwar Ibrahim yang merupakan mantan seorang Menteri
Keuangan Malaysia tersebut mengambil dari kalimat “mujtama‟ yang artinya
madani”. Kalimat “mujtama‟ pertama kali dikenalkan oleh Naquib al-Attas
yang merupakan seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia.
Sedangkan di Indonesia, istilah masyarakat madani pertama kali diperkenalkan
oleh Nurcholish Madjid. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya,
cendekiawan Muslim Indonesia lebih menerima istilah masyarakat Madani
yang merupakan terjemahan dari civil society. Dan apabila dilihat dari sudut
arti peralihan, istilah “masyarakat madani” berdekatan arti dari kalimat
asalnya yaitu masyarakat sipil.
Oleh sebab itu apabila istilah masyarakat madani disejajarkan dengan
istilah masyarakat sipil (civil society) dapat dibenarkan walaupun kedua istilah
tersebut memiliki sisi yang tidak sama, yaitu masyarakat sipil (civil society)
mempunyai ikatan sejarah dengan Barat, tetapi masyarakat madani mempunyai
ikatan sejarah dengan Rasulullah. Walaupun antar keduanya memiliki historis
lahirnya yang berbeda tetapi keduanya memiliki nilai-nilai keadilan,
kesetaraan, toleran, partisipasi, dan supremasi hukum yang sama.
D. Konsep Masyarakat Madani
1. Definisi Masyarakat Madani
Istilah kata Madani adalah dari Bahasa Arab, yang mempunyai akar
kata yang sama dengan kata Madinah, yaitu sebuah kota yang sebelumnya
8
Para ahli politik Barat melahirkan istilah “civil society” sebagai pengimbang dominasi negara. Sedang para ahli politik
Indonesia lebih suka menggunakan istilah aslanya, civil society, terutama kesulitan mencarikan istilah yang tepat. Lihat
tulisan Abdurrahman Wahid dalam artikelnya “Islam dan Pemberdayaan Civil Society”, dalam Halawah (Juli 1998).
dengan nama Yatsrib dan terletak di daerah Hijaz (Saudi Arabia). Setelah
hijrah ke kota tersebut, Nabi Muhammad kemudian mengubah nama Yatsrib
menjadi Madinah. Nabi Muhammad merubah nama Yatsrib menjadi Madinah
pada hakikatnya adalah sebuah proklamasi untuk mendirikan dan membangun
masyarakat yang berperadaban di kota itu. Di kota Madinah tersebut, Nabi
Muhammad lalu membentuk suatu masyarakat yang rukun dan damai
berlandaskan AL-Qur’an dan Hadits, yang kemudian disebut dengan mujtama’
madani.9 Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah civil society.
Jika ditinjau dari arti secara etimologis, arti masyarakat madani
mengandung dua makna, yaitu: masyarakat kota dan masyarakat beradab.
Pengertian lain dari kata “madani” dalam bahasa Arab dapat diterjemahkan
sebagai masyarakat kota. Mengapa dikatakan masyarakat kota?. Jelasnya kota
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW dulu merupakan city state
(masyarakat kota atau negara kota), sebagai model masyarakat beradab10.
Anwar Ibrahim, mantan Menteri Keuangan dan Timbahan Perdana Menteri
Malaysia berpendapat, masyarakat madani sebagai terjemahan civil socienty,
adalah perwujudan dari ruh Islam dalam budaya bangsa, wacana antar agama
dan bangsa.11
Istilah masyarakat madani juga dapat merujuk pada masyarakat Islam
yang pernah dibangun nabi Muhammad di negeri Madinah. Perkataan Madinah
dalam bahasa Arab dapat dipahami dari dua sudut pengertian. Pertama, secara
konvensional kata madinah dapat bermakna sebagai “kota”, dan kedua, secara
kebahasaan dapat berarti “peradaban” meskipun di luar atau “madaniyah”
tersebut, apa yang disebut peradaban juga berpadanan dengan kata “tamaddun”
dan “hadlarah”.
Berikut ini adalah beberapa pengertian masyarakat madani menurut
para ahli :12
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah masyarakat
yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang ditopang oleh
penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu.
b. Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat yang merujuk
pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad SAW di
Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan
ciri antara lain: egaliteran (kesederajatan), menghargai prestasi,
keterbukaan, toleransi dan musyawarah.

9
Lihat dalam Buku Pendidikan Agama Islam, 2005, Badan Penerbit Filsafat UGM, Yogyakarta
10
Madjid, Nurcholis, 1996, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, Edisi
2/VII/1996, h. 51.
11
Yayasan Festival Istiqlal, 1996, FESTIVAL Istiqlal Yayasan Ruh Islam dalam budaya bangsa Wacana antar agama dan
bangsa, Bina Rena Pariwara , 1996 ISBN: 9789798175886, h. 18
12
M. Ihsan Dacholfany, Konsep Masyarakat Madani Dalam Islam, STAIN Jurai Siwo Metro
https://repository.ummetro.ac.id/files/artikel/a4b5fb828a6fb3ce9c06f2b4389acf9d.pdf
c. Syamsudin Haris, masyarakat madani adalah suatu lingkup interaksi sosial
yang berada di luar pengaaruh negara dan model yang tersusun dari
lingkungan masyarakat paling akrab seperti keluarga, asosiasi sukarela,
gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk lingkungan komunikasi antar
warga masyarakat.
d. Muhammad AS Hikam, Civil Society atau Masyarakat Madani adalah
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara
lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating),
keswadayaan (selfsupporing), dan kemandirian yang tinggi berhadapan
dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum
yang diikuti oleh warganya.
e. M. Ryaas Rasyid, Civil Society atau Masyarakat Madani adalah suatu
gagasan masyarakat yang mandiri yang dikonsepsikan sebagai jaringan-
jaringan yang produktif dari kelompok-kelompok sosial yang mandiri,
perkumpulan-perkumpulan, serta lembaga-lembaga yang saling berhadapan
dengan negara.
f. Cohen dan Arato, Civil Society atau Masyarakat Madani adalah suatu
wilayah interaksi sosial diantara wilayah ekonomi, politik dan Negara yang
di dalamnya mencakup semua kelompok-kelompok sosial yang bekerjasama
membangun ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi, menggalang
solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public good).
g. Ernest Gellner, Civil Society atau Masyarakat Madani merujuk pada
mayarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang otonom
dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi Negara.
Berdasarkan pengertian di atas, masyarakat madani adalah konsep
masyarakat di Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad dengan
model konsep masyarakat yang beradab, rukun dan damai berlandaskan AL-
Qur’an dan Hadits.
2. Ciri-ciri Masyarakat Madani Menurut Para Tokoh.
Menurut Nurcholis Madjid ciri-ciri masyarakat madani adalah sebagai
berikut:
a. Semangat egalitarianisme atau kesetaraan.
b. Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise seperti
keturunan kesukuan, ras, dan lain-lain.
c. Keterbukaan.
d. Partisipasi seluruh anggota masyarakat.
e. Penentuan kepemimpinan melalui pemilihan.
Sementara itu menurut A.S Hikam ada empat ciri utama masyarakat
mandani, yaitu:
a. Kesukarelaan artinya tidak ada paksaan, namun mempunyai komitmen
bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama.
b. Keswasembadaan, setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi,
mandiri yang kuat tanpa menggantungkan pada negara atau lembaga-
lembaga negara atau organisasi lainnya.
c. Kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-
kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara.
d. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Masyarakat
madani adalah masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara
kekuasaan.
Sedangkan menurut Hidayat Syarif berpandangan bahwa masyarakat
madani mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, Pancasilais,
dan memiliki cita-cita serta harapan masa depan.
b. Masyarakat yang demokratis dan beradab yang menghargai perbedaan
pendapat.
c. Masyarakat yang menghargai Hak Azazi Manusia (HAM).
d. Masyarakat yang tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya
budaya malu apabila melanggar hukum.
e. Masyarakat yang memiliki kepercayaan diri dan kemandirian.
f. Masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kompetitif dalam suasana
kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan
semangat kemanusiaan universal (pluralis).
3. Terbentuknya Masyarakat Madani
Menurut sejarah, Allah memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad
SAW untuk berhijrah ke Yastrib setelah 13 tahun membangun Makkah
menjadi landasan tauhid sebagai fondasi dasar masyarakat. Sesampainya di
Yatsrib Nabi Muhammad SAW mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah,
yang berarti kota. Tindakan Nabi Muhammad SAW mengubah nama dari
Yatsrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat
atau proklamasi bahwa bersama umatnya hendak mendirikan dan
membangun masyarakat yang beradab.13.
Hal ini dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menandingi
kehidupan masyarakat Makkah yang masih dalam kehidupan jahiliyah.
Perjuangan Nabi Muhammad SAW di Makkah selama 13 tahun tidak
mengalami kemajuan yang signifikan. Maka Allah memberi petunjuk
kepada Nabi Muhammad SAW untuk berhijrah ke Yastrib. Hijrah Nabi
Muhammad SAW ke Yastrib ini merupakan tonggak awal Nabi Muhammad
SAW membentuk dan menata suatu masyarakat yang beradab sesuai dengan
al-Qur’an dan Hadits. Nabi Muhammad SAW dan masyarakat Madinah
secara bersama-sama meletakkan dasar-dasar masyarakat madani yang
dirumuskan dalam suatu piagam yang disebut dengan Piagam Madinah.

13
Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, Edisi 2/VII/1996, h. 51.
Dalam Piagam Madinah tersebut Nabi Muhammad SAW memperkenalkan
rasa keadilan, wawasan kebebasan, egalitarian dan partisipasi.
Ketentuan ini berlaku bagi semua unsur masyarakat tanpa
membedakan agama, yang juga ikut terlibat dalam merumuskan Piagam
Madinah. Orang-orang Yahudi di Madinah diikutsertakan dalam
merumuskan Piagam bersejarah itu. Dengan demikian, ada partisipasi dari
seluruh komponen masyarakat Madani, itulah yang dilakukan Nabi selama
sepuluh tahun di Madinah dengan mewujudkan suatu tatanan masyarakat
yang adil, terbuka dan demokratis yang dijiwai oleh landasan iman dan
takwa.14
Inilah dokumen penting yang membuktikan betapa sangat majunya
masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan
mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan,
menurut pendapat Hamidullah, Piagam Madinah ini adalah konstitusi
tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara
mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang
hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia
(HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American
Declaration of Indepen-dence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan
Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.15
Masyarakat madani yang dipimpim oleh Nabi Muhammad SAW ini
tercerminkan dengan jelas dalam Mitsaaq Al-Madinah (Perjanjian
Madinah), yang diakui oleh pakar ilmuan politik sebagai konstitusi pertama
dalam sebuah negara. Dengan Islam yang bebas dan merdeka. Hubungan
antara sesama anggota komunitas muslim dengan non-muslim didasarkan
atas prinsip-prinsip : Pertama, bertetangga yang baik. Kedua, saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama. Ketiga, membela mereka
yang teraniaya. Keempat, saling menasehati, dan kelima, menghornati
kebebasan beragama16.
Piagam Madinah merupakan dokumen yang mengatur hubungan sosial
kemasyarakatan antara komponen masyarakat. Hubungan sosial
kemasyarakatan tersebut dapat dilihat dalam bentuk interaksi sesama umat
manusia. Di sampng itu Piagam Madinah memuat dua nilai dasar, yaitu;
Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawwah wa al-'adalah),
Kedua, inklusifisme atau keterbukaan. Dari kedua prinsip ini kemudian
ditanamkan dan diaplikasikan ke dalam beberapa bentuk nilai-nilai yang
universal. Misalnya konsep keseimbangan (tawazun), konsistensi (i'tidal),
moderat (tawasut) serta toleran (tasamuh).
14
Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, Edisi 2/VII/1996, h. 51.
15
Hamidullah, First Written Constitu-tions in the World, (Lahore: t.tp., 1958), hal. 245.
Munawir Syadzali,1990, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran edisi 5 (Jakarta: UI
16

Press, 1993)
Masyarakat madinah adalah masyarakat yang beradab, masyarakat
yang berprikemanusiaan, dan masyarakat yang memiliki tatanan yang
dilandasi oleh nilai-nilai Islam. Inilah yang menjadi keyakinan bahwa
masyarakat di Madinah adalah masyarakat yang bertamaddun dan beradab,
tidak saja sesama muslim, tetapi dengan non muslim pun, mereka dilindungi
dan dipelihara. Orang-orang Israil Bani Nadhir dan Bani Qainua sangat
dihormati di dalam masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad
saw. Pergaulan yang amat baik dengan kalangan non muslim dibangun
secara toleran dengan memiliki hak yang sama dengan orang-orang
muslim.17
Maka, meskipun penduduk Madinah pada saat itu sangat beragam
agama, golongan, ras dan suku bangsanya, mereka memiliki kedudukan
yang sama di dalam hubungan kemasyarakatan berbangsa dan bernegara.
Mereka memiliki kebebasan untuk berekspresi sesuai dengan kemampuan
masing-masing tanpa ada larangan, baik dalam bidang sosial, ekonomi,
hukum dan politik. Walaupun demikian kebebasan tersebut tetap harus
sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah, dalam arti
tidak boleh berekspresi dengan sebebas-bebasnya tanpa aturan. Demikian
pula, mereka bersama-sama saling bahu membahu untuk menjaga dan
menmpertahankan Kota Madinah dari serangan musuh Islam yang ingin
merusak tatanan kehidupan Kota Madinah.
Modal dasar yang dilakukan oleh Rasulullah dalam mendirikan Kota
Madinah adalah dengan mengadakan janji setia (baiat) kepada orang-orang
Yatsrib yang terlebih dahulu masuk Islam, yang disebut dengan Perjanjian
Aqabah. Dalam Perjanjian Aqabah tersebut Rasulullah mengadakan janji
setia terhadap orang-orang Yatsrib baik laki-laki maupun perempuan yang
sudah beriman terlebih dahulu yang sedang melakukan ibadah haji di Mina
yang berjumlah 73 orang. Inilah modal awal yang dilakukan Rasulullah dan
kaum Muhajirin sebagai dasar untuk mendirikan masyarakat Madinah atau
masyarakat madani.
Nabi Muhammad SAW dalam mendirikan masyarakat madani
mengajarkan cara bermuamalah dan tata pergaulan yang berlandaskan
menghargai sesama manusia dan selalu menjaga persatuan dan kesatuan di
antara umat. Rasulullah menekankan bahwa dalam masyarakat madani,
semua umat manusia tanpa pandang suku, ras dan agamanya mempunyai
hak dan kewajiban yang sama. Di samping itu Rasulullah juga mengajarkan
kepada umat muslim untuk saling mencintai sesama saudara muslim seperti
mencintai kepada dirinya sendiri. Dan juga menghormati dan menjaga
saudara non muslim sebagai umat manusia yang sama-sama ciptaan Allah
SWT. Sehingga terjalinlah ikatan kesetiaan umat Islam, khususnya kaum
17
Moeslim Aboud Alma’ani, “Masyarakat Madani dan Masyarakat Madinah”, dalam Firdaus Effendi (ed.), h. 246.
Muhajirin dan Anshor terhadap Rasulullah. Demikian pula ikatan
persaudaraan sebagai umat manusia antara umat Islam dan non Islam
semakin kuat.
Bentuk ikatan kesetiaan kepada Nabi Muhammad saw adalah wujud
dari pembelaan terhadap Islam, dengan tetap menjaga loyalitas di tengah
gelombang hasutan orang-orang musyrik yang menginginkan pudarnya
kesatuan umat Islam. Inilah pentingnya kesatuan umat dalam suatu
komunitas yang majemuk.18
Salah satu bentuk dari ikatan kesetiaan umat Islam di Madinah adalah
sifat dermawan yang dimiliki oleh kaum umat Islam dan kaum Anshor.
Orang-orang muslim Madinah dan kaum Anshor yang memiliki harta benda
yang berlebih, mereka tidak segan-segan untuk membagi kepada kaum
Muhajirin yang datang dari kota Makkah. Hal ini mereka lakukan karena
kuatnya iman mereka yang berhasil ditanamkan oleh Baginda Rasulullah
kepada umat Islam Madinah dan kaum Anshor, sehingga sifat loyalitas
mereka tidak diragukan lagi.
Pengorbanan yang telah diberikan kaum Anshor ini merupakan
komitmen dasar mereka dalam beragama yang sejati. Karena itulah, dalam
waktu yang relatif singkat, umat Islam di Madinah dapat menjadi komunitas
yang solid dan kuat, meskipun berbeda-beda suku yang saat itu rentan
terhadap konflik, bahkan peperangan.19
Komitmen yang sudah dibuktikan kaum Anshor terhadap kaum
Muhajirin serta kesetiaan mereka terhadap Rasulullah, maka dalam waktu
yang sangat singkat, umat Islam di kota Madinah menjadi umat yang solid,
bersatu padu dan sangat kuat, walaupun mereka terdiri dari berbagai agama,
suku bangsa dan ras yang berbeda-beda. Komitmen yang telah dibuktikan
kaum Anshor terhadap Rasulullah dan kaum Muhajirin adalah untuk
membentuk suatu negara yang sesuai dengan ajaran al-Quran yaitu suatu
negara yang berasaskan khairu ummat. Negara yang berasaskan khairu
ummat ini sesuai difirmankan Allah SWT yang artinya: “Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Q.S. Ali Imran:110).
Berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas adalah menunjuk pada arti
masyarakat madani atau masyarakat yang ideal, yaitu20;
a. Ummatan Wahidah (Q.S. al- Baqarah/2:213).
Artinya, bahwa manusia dari dulu hingga kini merupakan satu umat.

18
Moeslim Aboud Alma’ani, “Masyarakat Madani dan Masyarakat Madinah”, dalam Firdaus Effendi (ed.), h. 247-248.
19
Moeslim Aboud Alma’ani, “Masyarakat Madani dan Masyarakat Madinah”, dalam Firdaus Effendi (ed.), h.246-247.
20
Aceng Kosasih, Konsep Masyarakat Madani http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/ M_K_D_U/196509171990011-
ACENG_KOSASIH/-MASYARAKAT_-MADANI.pdf
Manusia diciptakan sebagai mahluk sosial yang saling berkaitan satu sama
lain, saling membutuhkan dan saling membantu sebagai satu umat
manusia.
b. Ummatan Wasathan (Q.S. al-Baqarah/2:143).
Artinya pertengahan atau moderat, yaitu menjadikan anggota
masyarakat dengan posisi pertengahan dengan tidak memihak ke kanan
dan kiri, sehingga mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material
dan spiritual dalam segala aktivitasnya.
c. Khairu Ummah (Q.S. Ali Imran/3:10)
Artinya, bahwa umat Islam merupakan umat paling baik yang
memikul tugas beramar ma’ruf nahi munkar s erta beriman kepada
Allah SWT.
d. Baldatun Thayyibah (Q.S. Saba’/34:15).
Artinya, mengacu pada suatu tempat tertentu dan bukan pada
perkumpulan orang. Artinya adalah negara yang tanahnya subur,
penduduknya makmur serta pemerintahannya adil.
4. Karakter Masyarakat Madani di Indonesia
Karakter masyarakat di dunia ini satu dengan yang lainnya memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Begitu juga, masyarakat Indonesia memiliki
karakteristik yang berbeda dengan negara lainnya,. Untuk mengaktualisasikan
masyarakat madani sebagai masyarakat yang ideal, perlu diperhatikan
karakter masyarakat madani yang antara lain sebagai berikut 21:
Pertama, berketuhanan Yang Maha Esa. Allah SWT sebagai tolak
ukur membentuk masyarakat madani, tempat kita memohon perlindungan
dalam menghadapi problem hidup dalam masyarakat. Sesuai petunjuk Allah
SWT: “Katakanlah: Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan
yang bergantung (tempat meminta) kepada-Nya segala sesuatu”. (Q.S. AL-
Ikhlash 112 : 1-2).“Hanya Engkaulah kami memohon pertolongan” (Q.S.
AL-Fatihah 1:5).
Kedua, perdamaian. Perdamaian merupakan pondasi utama dalam
kehidupan umat, masyarakat dan negara, terutama sesama muslim. Dengan
tegas Allah SWT mencantumkan dalam firman-Nya :”Dan jika ada dua
golongan orang-orang mukmin berperang (bermusuhan), maka
damaikanlah antara keduanya”....Sesungguhnya orang orang mukmin itu
adalah bersaudara. Karena iu damaikanlah antara kedua saudaramu
(itu).” (Q.S. AL-Hujarat, 49 : 9 dan 10).
Ketiga, saling tolong menolong. Saling tolong menolong merupakam
kekuatan yang paling utama dalam masyarakat madani, karena dengan
demikian, segala kesulitan dapat teratasi dengan kerjasama. Allah SWT
menganjurkan dalam Al-Qur’an: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam

21
Lihat dalam Buku Pendidikan Agama Islam, 2005, Badan Penerbit Filsafat UGM, Yogyakarta
(mengerjakan) kebaikan, dan taqwa. Dan jangan tolong menolong dalam
(mengerjakan) berbuat dosa dan pelanggaran” (Q.S. AL-Maidah/5 : 2).
Keempat, bermusyawarah. Tidak ada persoalan yang ruit dan sulit
yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan bermusyawarah. Dengan
bermusyawarah, semua warga bertanggung jawab terhadap buruk dan baik
dari keputusan bermusyawarah tersebut sehingga tidak saling menyalahkan
satu sama lain. Msing masing mempunyai beban moral. Dengann tegas
Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya : “Dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad (keputusan), maka bertaqwalah kepada Allah” (Q.S.
Ali- Imron/3 : 159).
Kelima, adil, amanah dan jujur. Sifat yang terpuji di hadapan Allah
SWT dan sangat didambakan oleh siapapun karena membawa keteenangan
dan kedamaikan dalam masyarakat, sehingga tidak ada yang dirugikan dari
pihak manapun.
Keenam, akhlak terhadap sesama manusia (masyarakat). Ketujuh ,
Membudayakan hidup yang harmonis, diatur sebagai berikut: (a) Berbuat
baik dengan masyarakat sesama muslim, dengan menjaga perasaan orang
lain, tidak mengganggu ketenangan tetangga. Saling tolong-menolong
dalam kebaikan. Hal ini ditegaskan oleh ALLAH SWT dalam Al-Qur’an :
“Dan tolong menolonglah kmu dalam ( mengerjakan ) kebaikan dan taqwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Q.S.
Al-Maidah. 5 : 2⁷ . (b) Berbuat baik dengan masyarakat non muslim.
Diantaranya selain dari yang tersebut di atas, kita diharuskan menghormati
agama mereka, dengan prinsip atau dasar yang tersebut dalm Al-Qur’an,
fiman Allah Swt. : “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku” (Q.S
Al-Kafirun,109 : 6 )
Karakteristik-karakteristik tersebut diharapkan senantiasa mewarnai
kehidupan masyarakat madani model Indonesia nantinya. Keberadaan
masyarakat Indonesia dapat dicermati melalui perjalanan bangsa Indonesia.
Secara historis dari zaman orde lama sampai era reformasi saat ini,
permasalahan perwujudan masyarakat madani di Indonesia selalu
menunjukkan hal yang sama.
Di samping Indonesia memiliki karakter-karakter yang berbeda
dengan negara lainnya, Indonesia juga dihadapkan pada permasalahan-
permasalahan yang bisa menjadi tantangan dan hambatan dalam
menciptakan masyarakat madani model Indonesia, antara lain;22
a. Semakin berkembangnya orang “miskin” dan orang yang merasa miskin.
b. LSM dan partai politik muncul bagaikan jamur yang tumbuh di musim
penghujan sehingga memungkinkan berbagai “ketidakjelasan”.

22
Moeslim Aboud Alma’ani, “Masyarakat Madani dan Masyarakat Madinah”, dalam Firdaus Effendi (ed.), h..h. 666
c. Pers berkembang pesat dan semakin canggih tetapi justru “fesimisme”
masyarakat yang terjadi.
d. Kaum cendikiawan semakin banyak tetapi cenderung berorientasi pada
kekuasaan.
e. Kurang pede untuk bersaing dan senantiasa merasa rendah diri.
Kalau dilihat keadaan pada saat ini, maka untuk mencapai
masyarakat madani, diperlukan strategi yang jitu oleh masyarakat Indonesia.
Menurut Dawam Rahardjo, strategi-strategi yang bisa dilakukan oleh
masyarakat Indonesia untuk mencapai masyarakat madani adalah melalui
proses pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan model strategi
berikut:
a. Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
b. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.
c. Strategi yang memilih pembangunan masyarakat madani sebagai basis
yang kuat ke arah demokratisasi.
5. Tantangan Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat di Indonesia secara umum selalu mengidam-idamkan kondisi
masyarakat madani. Oleh sebab itu, supaya masyarakat madani di Indonesia
dapat tercapai, maka masyarakat Indonesia harus mampu menyelesaikan
tantangan-tantangan sebagai berikut;23
a. Sikap demokratis
b. Sikap toleran
c. Saling pengertian
d. Berakhlak tinggi, beriman dan bertaqwa
e. Manusia dan masyarakat yang berwawasan global

23
Suroto, 2015, Konsep Masyarakat Madani Di Indonesia Dalam Masa Postmodern (Sebuah Analitis Kritis)
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015
DAFTAR PUSTAKA

Aboud Alma’ani, Moeslim, “Masyarakat Madani dan Masyarakat Madinah”,


dalam Firdaus Effendi (ed.), h. 246.
Buku Pendidikan Agama Islam, 2005, Badan Penerbit Filsafat UGM,
Yogyakarta
Dacholfany, M. Ihsan, Konsep Masyarakat Madani Dalam Islam STAIN Jurai
Siwo Metro
https://repository.ummetro.ac.id/files/artikel/a4b5fb828a6fb3ce9c06f2
b4389acf9d.pdf
Hamidullah, First Written Constitu-tions in the World, (Lahore: t.tp., 1958), hal.
245.
Hisyam, Ibn , Sirat al-Nabawiyah, (Mesir: Mustafa Bab al-Halabi), Jilid II, h.
147-150.
Kosasih, Aceng, Konsep Masyarakat Madani, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/
M_K_D_U/196509171990011-ACENG_KOSASIH/-
MASYARAKAT_-MADANI.pdf
Madjid, Nurcholish, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Ulumul
Qur‟an, Edisi 2/VII/1996, h. 51.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus AL-Munawwir: Kamus Arab Indonesia,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 39. Lihat Pula Louis Ma’luf,
al-Munjid fi al- Lughat wa al-Alam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986),
h.17
Sjadzali, H. Munawir M.A, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran edisi 5 (Jakarta: UI Press, 1993)
Suroto, 2015, Konsep Masyarakat Madani Di Indonesia Dalam Masa
Postmodern (Sebuah Analitis Kritis) Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan: Volume 5, Nomor 9, Mei 2015 Sukardja, Ahmad,
Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat
Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), h. 47.
Syariati, Ali, Ummat dan Imamah Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1989), h. 50.
Yayasan Festival Istiqlal, 1996, FESTIVAL Istiqlal Yayasan Ruh Islam dalam
budaya bangsa Wacana antar agama dan bangsa, Bina Rena
Pariwara , 1996 ISBN: 9789798175886, h. 18

Anda mungkin juga menyukai