Anda di halaman 1dari 54

BAB IX

KONSEP MASYARAKAT MADANI


DAN SEJARAHNYA DALAM ISLAM

Oleh:
Dhea Indah K. (16310005)
Putri Pamungkas (16310018)
Sidni Ilman N. (16310021)
Zeni Kharomah S. (16310027)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat madani dapat
diartikan sebagai suatu masyarakat yang
beradab dalam membangun, menjalani
dan memaknai kehidupannya.
Masyarakat madani dapat terwujud
apabila suatu masyarakat telah
menerapkan prinsip-prinsip demokrasi
dengan baik. Masyarakat madani
sebagai terjemahan dari civil society
diperkenalkan pertama kali oleh Anwar
Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan
Timbalan Perdana Menteri Malaysia)
dalam ceramah pada Simposium
Nasional dalam rangka Forum Ilmiah
pada Festival Istiqlal, 26 September 1995
(Hamim, 2000: 115). Istilah itu
diterjemahkan dari bahasa Arab
“mujtama’ madani”, yang diperkenalkan
oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli
sejarah dan peradaban Islam dari
Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000:
180-181). Kata “madani” berarti civil atau
civilized (beradab). Madani berarti juga
peradaban, sebagaimana kata Arab
lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau
tamaddun. Konsep “madani” bagi orang
Arab memang mengacu pada hal-hal
yang ideal dalam kehidupan.1
Konsep masyarakat madani itu
lahir sebagai hasil dari Festival Islam
yang dinamai Festival Istiqlal, suatu
festival yang selenggarakan oleh ICMI
(Ikatan Cendekiawan Islam Muslim
Indonesia). ICMI adalah suatu wadah
organisasi Islam yang didirikan pada
Desember 1991 dengan restu dari
Presiden Soeharto dan diketuai oleh BJ
Habibie, tangan kanan Soeharto yang
menduduki jabatan Menteri Riset dan
Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas
dari peranan Habibie yang berhasil

1Rohmat, Saefur. Masyarakat Madani: Dialog


Islam dan Modernitas di Indonesia.(Yogyakarta:
UNY, 2015). Hlm 2
menyakinkan Presiden Soeharto untuk
mengakomodasi kepentingan golongan
menengah Muslim yang sedang
berkembang pesat dan memerlukan
sarana untuk menyalurkan aspirasinya.
Gayung bersambut karena Soeharto
sedang mencari partner dari golongan
Muslim agar mendukung keinginannya
menjadi presiden pada tahun 1998. Hal
ini dilakukan Soeharto untuk mengurangi
tekanan pengaruh dari mereka yang
sangat kritis terhadap kebijakannya,
terutama dari kalangan nasionalis yang
mendirikan berbagai LSM dan kelompok
Islam yang menempuh jalur sosio-kultural
seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa
Bisri. Mereka mengembangkan gerakan
prodemokrasi dengan memperkenalkan
konsep civil society atau masyarakat
sipil.2
Terkait hal tersebut perlu adanya
pemahaman mengenai masyarakat
madani. Baik konsep mengenai
masyarakat madani itu sendiri maupun
hal lainnya yang terkait dengan
masyarakat madani. Dalam makalah
berbasis penelitian ini akan membahas

2Ibid hlm 2
lebih rinci mengenai konsep masyarakat
madani dan juga sejarahnya dalam
Islam. Sehingganya akan memberikan
informasi yang dapat membantu
pembaca dalam memahami konsep dan
sejarah masyarakat madani dalam Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan konsep
masyarakat madani?
2. Apa yang dimaksud konsep
masyarakat madani dalam perspektif
Islam?
3. Bagaimana masyarakat madani
dalam sejarah Islam?

C. Tujuan Kajian
1. Mengetahui konsep masyarakat
madani.
2. Memahami konsep masyarakat
madani dalam perspektif Islam.
3. Memahami masyarakat madani
dalam sejarah Islam.

D. Manfaat Kajian
1. Memberikan tambahan wawasan baik
kepada pembaca maupun penulis
makalah ini.
2. Memberikan informasi terkait
masyarakat madani dan sejarahnya
dalam Islam.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Masyarakat Madani


Untuk memberikan rumusan
pengertian yang akurat tentang
“masyarakat madani”, maka terlebih
dahulu dikemukakan batasan pengertian
“masyarakat” dan pengertian “madani” itu
sendiri.
1. Pengertian Masyarakat
Pengertian masyarakat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu
kebudayaan yang mereka anggap
sama.3 Kata masyarakat tersebut,
berasal dari bahasa Arab yaitu
syarikat yang berarti golongan atau

3Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Cet II, Jakarta : Balai Pustaka,
1989), h. 564
kumpulan.4 Dalam al-Munjid
dikatakan bahwa al-syarikat adalah
“‫”اإلختالط‬5 (bercampur). Selain kata ini,
istilah masyarakat dalam bahasa
Arab, juga biasa disebut dengan al-
mujtama’.6 Louis Ma’luf menjelaskan
arti al-mujtama’ adalah ‫مجازا على جماعة‬
‫ من الناس خاضعين لقوانين ونظم عامة‬7 (suatu
kumpulan dari sejumlah manusia
yang tunduk pada undang-undang
dan peraturan umum yang berlaku).
Sedangkan dalam bahasa
Inggris, kata masyarakat tersebut
diistilahkan dengan society dan atau
community. Dalam hal ini, Abdul
Syani menjelaskan bahwa bahwa
masyarakat sebagai community
dapat dilihat dari dua sudut pandang.

4 Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-


Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1984),
h. 82. juga Mahmud Yunus, Kamus Arab
Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992)
h. 196
5Luwis Ma’luf, al-Munjid fiy al-Lugah (Bairut: Dar

al-Masyriq, 1977), h. 384


6Asad M. AlKalili, Kamus Indonesia
Arab (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
h. 338. Lihat juga Mahmud Yunus, op. cit., h.
91
7Luwis Ma’luf, op. cit., h. 902
Pertama, memandang commu
nity sebagai unsur statis, artinya ia
terbentuk dalam suatu wadah/tempat
dengan batas-batas tertentu, maka ia
menunjukkan bagian dari kesatuan-
kesatuan masyarakat sehingga ia
dapat disebut masyarakat setempat.
Misalnya kampung, dusun atau kota-
kota kecil. Kedua, community
dipandang sebagai unsur yang
dinamis, artinya menyangkut suatu
proses yang terbentuk melalui faktor
psikologis dan hubungan antar
manusia, maka di dalamnya
terkandung unsur kepentingan,
keinginan atau tujuan yang sifatnya
fungsional. Misalnya, masyarakat
pegawai, mayarakat mahasiswa.8
Secara terminologi, kata
masyarakat menurut Kuntjaraningrat
adalah kesatuan hidup dari makhluk-
makhluk manusia yang terikat oleh
suatu sistem adat istiadat yang
tertentu.9 Sedangkan menurut M.

8Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan


Terapan (Cet. I; Jakarta:Bumi Aksara,
1994), h. 30.
9Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi
(Cet. V; Jakarta: Aksara Baru, t.th), h.103
Quraish Shihab bahwa masyarakat
adalah kumpulan sekian banyak
individu kecil atau besar yang terikat
oleh satuan, adat, ritus atau hukum,
dan hidup bersama.10
Selanjutnya, Anderson dan
Parker menyatakan sebagaimana
yang dikutip oleh Dr. Phil Astrid. S
Susanto bahwa ciri dari masyarakat
adalah : adanya sejumlah orang;
yang tinggal dalam suatu daerah
tertentu (ikatan geografis);
mengadakan ataupun mempunyai
hubungan satu sama lain yang
tetap/tertentu; sebagai akibat
hubungan ini membentuk suatu
sistem hubungan antar manusia;
mereka terikat karena memiliki
kepentingan bersama; mempunyai
tujuan bersama dan bekerja sama;
mengadakan ikatan/kesatuan
berdasarkan unsur-unsur
sebelumnya; berdasarkan
pengalaman ini, maka akhirnya
mereka mempunyai perasaan
solidaritas; sadar akan

10Quraish Shihab, Wawasan Alquran Tafsir


Mandhu’i atas Berbagai Persoalan Umat (Cet
VIII, Bandung: Mizan, 1998), h. 319
interdependensi satu sama lain;
berdasarkan sistem yang terbentuk
dengan sendirinya membentuk
norma-norma; berdasarkan unsur-
unsur di atas akhirnya membentuk
kebudayaan bersama hubungan
antar manusia.11
Berdasarkan pada pengertian
dan ciri masyarakat yang telah
diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan bahwa masyarakat
adalah kelompok manusia yang
saling berinteraksi, ada tujuan dan
kepentingan bersama dengan norma-
norma yang ada dan dengan
kebudayaan bersama.

2. Pengertian Madani
Kata madani, menurut hasil
analisis morfologis yang
dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abd.
Muin Salim, adalah berasal dari
kata dāna yang menurutnya memiliki

11AstridS. Susanto, Pengantar Sosiologi dan


Perubahan Sosial (Cet I; Bandung; Bina
Cipta, 1979), h. 19. Lebih jelasnya, lihat
Parker dan Anderson, Society its
Organization and Operation (Toronto-London-
New York; Mostrand co, Inc 1964), h. 29
dua pola pengembangan, yaitu
dain (mengambil utang) dan dīn (ber-
agama). Antara makna kedua pola ini
(utang dan agama) terdapat
12
hubungan yang erat. Utang adalah
sesuatu yang harus dibayar, dan
agama pada hakekatnya adalah
tanggung jawab yang harus
ditunaikan umat manusia dalam
wujud pengabdiannya kepada Sang
Pencipta.
Kata dāna yang disebutkan di
atas, adalah sesungguhnya berasal
dari kata dayana, yadīnu kemudian
dibaca dāna, yadīnu.13 Dari sini,
kemudian menjadi madīnah sebagai
ism makān yang merupakan
perubahan dari kata madyan yang
dalam Al-Qur’an disebut sebagai
kota tempat nabi Syu’aib.14 Dari
kata madyan dan madīnah melalui
penyesuaian fonem terbentuklah

12H. Abd. Muin Salim, “Elaborasi Bahasa Politik


Islam dalam Alquran ” dalam Al-Huda; Jurnal
Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Vol. 1 No. 2,
2002, h. 8
13Al-Sayyed Ahmad al-Hasyimiy, Jawāihr al-

Balāgah fī al-Mah’āniy wa al-bayāni wa al-


Badī’iy (Mesir: Dār al-Fikr, 1991), h. 7
14QS. al-Qashash (28): 22
kata madani sebagai nisbah dari kata
madīnah, yakni kota ideal yang
dibangun oleh Nabi saw. Sehingga,
dapat dikatakan secara esensial
kehidupan madani ditandai dengan
adanya supremasi hukum dalam
kehidupan dan tatanan masyarakat.15
Berdasarkan pada pengertian
“masyarakat” dan “madani” yang
telah diuraikan maka istilah
“masyarakat madinah” dapat diartikan
sebagai kumpulan manusia dalam
satu tempat (daerah/wilayah) di
mereka hidup secara ideal dan taat
pada aturan-aturan hukum, serta
tatanan kemasyarakatan yang telah
ditetapkan. Dalam konsep umum,
masyarakat madani tersebut sering
disebut dengan istilah civil society
(masyarakat sipil) atau al-mujtama’al-
madani, yang pengertiannya selalu
mengacu pada “pola hidup
masyarakat yang berkeadilan, dan
berperadaban”.

15H.Abd. Muin Salim, loc. cit. Bandingkan juga


dengan Abd. Muin Salim, Implementasi
Manajemen Rabbani menuju Masyarakat
Madani “Makalah” (Ujung Pandang: Panitia
Seminar Nasional IAIN Alaudin, 1999), h. 4
Dalam istilah Al-Qur’an,
kehidupan masyarakat madani
tersebut dikontekskan dengan
baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafūr yang secara harfiyah diartikan
negeri yang baik dalam keridhaan
Allah. Istilah yang digunakan Al-
Qur’an sejalan dengan makna
masyarakat yang ideal, dan
masyarakat yang ideal itu berada
dalam ampunan dan keridahan-Nya.
“Masyarakat ideal” inilah yang
dimaksud dengan “masyarakat
madani”.
Istilah “madani” berasal dari
bahasa Arab “madaniy”. Kata
“madaniy” berakar pada kata kerja
“madana” yang artinya mendiami,
tinggal, atau membangun. Dalam
bahasa Arab, kata “madaniy“
mempunyai beberapa arti, di
antaranya yang beradab, orang kota,
orang sipil, dan yang bersifat sipil
atau perdata (Munawwir, 1997).16
Dari kata “madana” juga muncul kata
“madiniy” yang berarti urbanisme

16Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir:


kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progresif, h. 1320
(paham masyarakat kota). Secara
kebetulan atau dengan sengaja,
bahasa Arab menangkap persamaan
yang sangat esensial di antara
peradaban dan urbanisme.
Dengan mengetahui makna
kata “madani”, maka istilah
“masyarakat madani” (almujtama’ al-
madaniy) secara mudah bisa
dipahami sebagai masyarakat yang
beradab, masyarakat sipil, dan
masyarakat yang tinggal di suatu kota
atau yang berpaham masyarakat kota
yang akrab dengan masalah
pluralisme. Dengan demikian,
masyarakat madani merupakan suatu
bentuk tatanan masyarakat yang
bercirikan hal-hal seperti itu, yang
tercermin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Masyarakat madani dalam
bahasa Inggris sering diistilahkan
sebagai civil society atau madinan
society. Seligman (dikutip dalam
Mun’im, 1994) mendefinisikan civil
society sebagai seperangkat gagasan
etis yang mengejawantah dalam
berbagai tatanan sosial, dan yang
paling penting dari gagasan ini
adalah usahanya untuk
menyelaraskan berbagai
pertentangan kepentingan antara
individu dengan masyarakat dan
antara masyarakat sendiri dengan
kepentingan negara.17
Dalam perbincangan ini,
masyarakat sipil tidak dihadapkan
dengan masyarakat militer yang
memiliki power yang berbeda. Civil
society (masyarakat sipil), sesuai
dengan arti generiknya, bisa
dipahami sebagai civilized society
(masyarakat beradab) sebagai lawan
dari savage society (masyarakat
biadab).
Havel (dikutip dalam Hikam,
1994) menerangkan bahwa dalam
civil society, rakyat sebagai warga
negara mampu belajar tentang
aturan-aturan main lewat dialog
demokratis dan penciptaan bersama
batang tubuh politik partisipatoris
yang murni. Gerakan penguatan civil
society merupakan gerakan untuk

17 Mun’im, Abdul DZ. 1994. “Masyarakat sipil


sebagai masyarakat beradab”. Republika. 20
September 1994, h. 6
merekonstruksi ikatan solidaritas
dalam masyarakat yang telah hancur
akibat kekuasaan yang monolitik.
Secara normatif-politis, inti strategi ini
adalah upaya memulihkan kembali
pemahaman asasi bahwa rakyat
sebagai warga memiliki hak untuk
meminta pertanggungjawaban
kepada para penguasa atas apa yang
mereka lakukan atas nama bangsa.18
Kedua tinjauan konsep
masyarakat madani di atas, baik
melalui Kedua tinjauan konsep
masyarakat madani di atas, baik
melalui pendekatan bahasa Arab
maupun bahasa Inggris pada
prinsipnya mengandung makna yang
relatif sama dan sejalan, yaitu
menginginkan suatu masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai-nilai
peradaban dan demokrasi. Meskipun
konsep tentang masyarakat madani
tidak dapat dianalisis secara persis,
mana sebenarnya konsep yang
digunakan sekarang ini, berfungsinya
masyarakat madani jelas dan tegas

18 Hikam, Muhammad AS. 1994. “Demokrasi


dalam wacana civil society”. Republika. 10
Oktober 1994, h. 6
ada dalam inti sistem-sistem politik
yang membuka partisipasi rakyat
umum. Konsep masyarakat madani
(civil society) kerap kali dipandang
telah berjasa dalam menghadapi
rancangan kekuasaan otoriter dan
menentang pemerintahan sewenang-
wenang di Amerika Latin, Eropa
Selatan, dan Eropa Timur (Madjid,
1997).19
Prinsip dasar masyarakat
madani dalam konsep politik Islam
sebenarnya didasarkan pada prinsip
kenegaraan yang diterapkan pada
masyarakat Madinah di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW. Masyarakat Madinah adalah
masyarakat plural yang terdiri dari
berbagai suku, golongan, dan agama.
Islam datang ke Madinah dengan
bangunan konsep ketatanegaraan
yang mengikat aneka ragam suku,
konflik, dan perpecahan.

19 Madjid, Nurcholish. 1997. “Dinamika budaya


pesisir dan pedalaman: menumbuhkan
masyarakat madani”. Dalam Abdullah Hafizh dkk.
(Eds.)., 1997. HMI dan KAHMI menyongsong
perubahan menghadapi pergantian zaman.
Jakarta: Majelis Nasional KAHMI, h. 294
Negara Madinah secara
totalistik dibangun di atas dasar
ideologi yang mampu menyatukan
Jazirah Arab di bawah bendera Islam.
Ini adalah babak baru dalam sejarah
politik di Jazirah Arab. Islam
membawa perubahan radikal dalam
kehidupan individual dan sosial
Madinah karena kemampuannya
mempengaruhi kualitas seluruh
aspek kehidupan (Akram Dliya’ al-
Umari, 1995. h. 51). Prinsip dasar
yang lebih detail mengenai
masyarakat madani ini diuraikan oleh
Prof. Akram Dliya’ al-Umari dalam
bukunya al-Mujtama’ alMadaniy fi
‘Ahd al-Nubuwwah (Masyarakat
Madani pada Periode Kenabian).
Buku ini kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris menjadi
Madinan Society at the Time of
Prophet (1995). Dalam buku ini al-
Umari menjelaskan secara panjang
lebar mengenai dasar-dasar yang
diterapkan oleh Nabi Muhammad
SAW dalam mewujudkan masyarakat
madani (masyarakat Madinah). dalam
kehidupan individual dan sosial
Madinah karena kemampuannya
mempengaruhi kualitas seluruh
aspek kehidupan (Al-Umari, 1995).20
Prinsip dasar yang lebih detail
mengenai masyarakat madani ini
diuraikan oleh Prof. Akram Dliya’ al-
Umari dalam bukunya al-Mujtama’ al-
Madaniy fi ‘Ahd al-Nubuwwah
(Masyarakat Madani pada Periode
Kenabian). Buku ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris menjadi Madinan Society at
the Time of Prophet (1995). Dalam
buku ini al-Umari menjelaskan secara
panjang lebar mengenai dasar-dasar
yang diterapkan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam mewujudkan
masyarakat madani (masyarakat
Madinah).
Al-Umari (1995) menjelaskan
bahwa ada beberapa prinsip dasar
yang bisa diidentifikasi dalam
pembentukan masyarakat madani, di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Adanya sistem muakhah
(persaudaraan).
b. Ikatan iman.

20Al-Umari, Akram Dliya’. (1995). Madinan


Society at the Time of the Prophet. Virginia: The
International Institut of Islamic Thought, h. 51
c. Ikatan cinta.
d. Persamaan si kaya dan si miskin.
e. Toleransi umat beragama.21
Prinsip-prinsip masyarakat
madani seperti itu sangat ideal untuk
diterapkan di negara dan masyarakat
mana pun, tentunya dengan
penyesuaian-penyesuaian dengan
kondisi lokal dan keyakinan serta
budaya yang dimiliki oleh masyarakat
tersebut. Namun, masih banyak
konsep masyarakat madani yang
berkembang di kalangan pemikir kita
yang didekati dari konsep lain, bukan
dari konsep seperti itu. Salah satunya
adalah konsep civil society
(masyarakat sipil). Seorang pemikir
Mesir, Huwaydi (dikutip dalam
Darmawan, 1999), berpendapat
bahwa orang pertama yang
membicarakan tentang
“pemerintahan sipil” (civilian
government) atau masyarakat
madani adalah seorang filosof
Inggris, John Locke, yang telah
menulis buku Civilian Government
pada 1960. Setelah John Locke, di

21 Ibid., h. 63-120
Perancis muncul JJ. Rousseau, yang
terkenal dengan bukunya The Social
Contract (1762).22

B. Konsep Masyarakat Madani dalam


Perspektif Islam
Madani pertama kali berasal dari
bahasa Arab dari terjemahan al-mujtama
al-madany. Kemudian dicetuskan oleh
Naquib al-Attas, seorang guru besar
sejarah dan peradaban Islam dari
Malaysia yang mengambil istilah tersebut
dari karakteristik masyarakat Islam yang
diaktulisasikan Rasulullah di Madinah
dengan fenomena saat ini. istilah
tersbeut kemudian dibawa oleh Anwar
Ibrahim, Deputi Perdana Menteri dalam
Festival Istiqlal September 1995.
Beliau menjelaskan masyarakat
madani pada kehidupan kontemporer
seperti rasa kesediaan untuk saling
menghargai dan memahami. Kemudian
muncul beberapa karya-karya dari

22 Darmawan, Wawan, 1999. “Masyarakat


madani: peran strategis umat Islam”. Dalam
Sudarno Shobron & Mutohharun Jinan (eds.),
1999. Islam, masyarakat madani, dan demokrasi.
Halaman 20-26. Surakarta: Muhammadiyah
University Press, h. 21
intelektual Muslim Indonesia, diantarnya
Azyumardi Azra dengan bukunya
“Menuju Masyarakat Madani” tahun 1999
dan Lukman Soetrisno dengan bukunya
“Memberdayakan Rakyat dalam
Masyarkat Madani” tahun 2000.
Konsep masyarakat madani
menurut prespektif Islam sudah diatur
dalam Al-Quran yang dibagi menjadi 3
jenis yait masyarakat terbaik (khairah
ummah), masyarakat seimbang
(ummatan wasathan) dan masyarakat
moderat (ummah muqtashidah). Berikut
adalah kutipan ayat yang mengatur
ketiga jenis istiilah tersebut :
1. Khairah Ummah dalam QS Ali
Imran 3:110, yaitu :
ِ‫اس ت َأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُروف‬ ِ َّ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر أ ُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َجتْ لِلن‬
‫اَّللِ ۗ َولَ ْو آ َمنَ أ َ ْه ُل‬َّ ِ‫ع ِن ْال ُم ْنك َِر َوتُؤْ مِ نُونَ ب‬ َ َ‫َوت َ ْن َه ْون‬
‫ب لَ َكانَ َخي ًْرا لَ ُه ْم ۚ مِ ْن ُه ُم ْال ُمؤْ مِ نُونَ َوأ َ ْكث َ ُر ُه ُم‬ ِ ‫ْال ِكت َا‬
َ‫ْالفَا ِسقُون‬

Artinya : “Kamu adalah umat terbaik


untuk seluruh umat manusia. Kamu
menyuruh kepada yang ma’ruf,
mencegah yang munkar untuk
beriman kepada Allah. Apabila Ahli
kitab beriman, maka itu lebih baik
bagi mereka, ada yang beriman
diantara mereka, dan kebanyakan
mereka adalah fasik.”

2. Ummatan wasathan dalam QS Al-


Baqarah 2:143, yaitu :
‫اس‬ ِ َّ‫علَى الن‬ َ ‫طا ِلت َ ُكونُوا شُ َه َدا َء‬ ً ‫س‬َ ‫َو َك َٰذَلِكَ َجعَ ْلنَا ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬
‫ش ِهيدًا ۗ َو َما َج َع ْلنَا ْال ِق ْبلَةَ الَّتِي‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم‬ َ ‫الرسُو ُل‬ َّ َ‫َويَ ُكون‬
‫عل َٰى‬َ َ ُ‫سو َل مِ َّم ْن يَ ْنقَلِب‬ ُ ‫الر‬ َّ َّ
َّ ‫علَ ْي َها إَِّل ِلنَ ْعل َم َم ْن يَتبِ ُع‬
َ َ َ‫ُك ْنت‬
‫َّللاُ ۗ َو َما‬َّ ‫علَى الَّذِينَ َه َدى‬ َ ‫يرة ً ِإ ََّّل‬
َ ‫ع ِق َب ْي ِه ۚ َو ِإ ْن كَانَتْ لَ َك ِب‬َ
‫وف َرحِ ي ٌم‬ ٌ ‫اس لَ َر ُء‬ ََّ ‫ُضي َع ِإي َمانَ ُك ْم ۚ ِإ َّن‬
ِ َّ‫َّللا بِالن‬ َّ َ‫َكان‬
ِ ‫َّللاُ ِلي‬

Artinya : “Dan demikian Kami


menjadikan umat Islam sebagai umat
yang adil sebagai saksi perbuatan
manusia dan Rasul adalah saksi
perbuatan kamu. Dan Kami tidak
menetapkan kiblat sebagai kiblat mu
keculai agar Kami mengetahui siapa
yang mengikuti Rasul dan yang
ingkat. Dan sungguh memindahkan
kiblat ke berat adalah orang yang
mendapat petunjuk dan Allah tidak
akan menyiakan imanmu. Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.”
3. Ummah Muqtasidah dalam QS Al-
Maidah 5:66, yaitu :
‫اإل ْن ِجي َل َو َما أ ُ ْن ِز َل إِلَ ْي ِه ْم مِ ْن‬
ِ ْ ‫َولَ ْو أَنَّ ُه ْم أَقَا ُموا الت َّ ْو َراة َ َو‬
ُ
ٌ‫ت أ َ ْر ُج ِل ِه ْم ۚ مِ ْن ُه ْم أ َّمة‬ِ ْ‫َر ِب ِه ْم ََل َ َكلُوا مِ ْن فَ ْوقِ ِه ْم َومِ ْن تَح‬
ُ
َ‫سا َء َما يَ ْع َملون‬ َ ‫ِير مِ ْن ُه ْم‬ٌ ‫َص َدة ٌ ۖ َو َكث‬ ِ ‫ُم ْقت‬

Artinya : “Dan mereka menjalankan


Taurat, Injil dan Al-Quran yang
diturunkan Tuhannya, mereka
mendapat makanan dari atas mereka
dan dari bawah. Diantara mereka ada
golongan pertengaham. Dan
alangkah buruk yang dikerjakan
mereka.”
Penjelasan dari masing-masing ayat
di atas adalah :
Konsep khairan ummah
dalam QS. Ali-Imran 3:110 adalah
konsep masyarakat yang ideal.
Mereka ditugasi untuk
mengembangkan beberapa fungsi
diantaranya menyerukan kebaikan
dan mencegah terjadinya
kemungkaran. Selain itu, mereka juga
tidak boleh bercerai berai dan saling
berselisih paham. Al Quran telah
memberikan Cara Meningkatkan
Iman dan Taqwa serta cara berdamai
untuk memecahkan masalah internal
yaitu metode syurah atau
musyawarah, ishlah atau rekonsiliasi
dan berdakwah dnegan cara al-
hikmah wa al-mujadalah bi allatu hiya
ahsan yang berarto kebijaksanaan
dan perundingan dengan cara baik.
Konsep ummatan wasathan
dalam QS. Al-Baqarah 2:143
menjelaskan bahwa masyarakat
seimbang adalah masyarakat yang
berada di posisi tengah-tengah yaitu
menggabungkan yang baik dari yang
bertentangan.
Konsep ummah muqtashidah
dalam QS. Al-Maidah 5:66 adalah
masyarakat moderat yakni entitas di
kalangan ahli kitab dan posisi ummah
yang minoritas. Artinya bahwa
kelompok tersebut meskipun kecil,
tetap dapat melakukan kebaikan dan
perbaikan dan meminimalisir
kerusakan. Hampir sama dengan
ummatan wasathan bahwa keduanya
memelihara penerapan nilai-nilai
utama di tengah komunitas sekitar
yang menyimpang. Yang membuat
beda ummah muqtashid adalah
komunitas agama Yahudi atau
Nashrani, dan ummah wasath adalah
komunitas agama sendiri yakni Islam.
Konsep-konsep yang sudah
dijelaskan tersebut sungguh telah
diterapkan di Madinah yang dipimpin
oleh Nabi Muhammad SAW.
Diterapkan setelah Nabi berhijrah
dengan para sahabat dan
dikeluarkannya Sahifah ay Watsiqah
Madinah atau Piagam Madinah atau
Madinah Charter yang berisi hal-hal
berikut ini :
1. Asas kebebasan beragama yakni
negara mengakui dan melindungi
kelompok yang beribadah sesuai
dengan keyakinan masing-masing
2. Asas persamaan yakni semua
orang yang mempunyai
kedudukan sama sebagai anggota
masyarakat untuk saling
membantu dan tidak boleh
memperlakukan orang lain dengan
buruk
3. Asas kebersamaan yaitu anggota
masyarakat memiliki hak dan
kewajiban sama kepada Negara
4. Asas keadilan yaitu setiap warga
negara memiliki kedudukan sama
di hadapan hukum dimana hukum
harus ditegakkan.
5. Asas perdamaian yakni warga
negara hidup berdaampingan
tanpa perbedaan suku, agama dan
ras.
6. Asas musyawarah yaitu semua
permasalah yang terjadi di negara
tersebut diselesaikan melalui
dewan syura.

C. Masyarakat Madani dalam Sejarah


Islam
Ada dua masyarakat madani
dalam sejarah yang terdokumentasi
sebagai masyarakat madani yaitu :
1. Masyarakat Saba’ yaitu masyarakat
di masa Nabi Sulaiman.
Allah SWT memberikan
gambaran dari masyarakat madani
dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’
ayat 15 :
ۖ ‫ين َو ِش َما ٍل‬ ٍ ِ‫ع ْن َيم‬
َ ‫َان‬ ِ ‫س َبإ ٍ فِي َم ْس َكنِ ِه ْم آيَةٌ ۖ َجنَّت‬
َ ‫لَقَ ْد َكانَ ِل‬
ٌ
ٌّ‫طيِبَة َو َرب‬ ْ ِ ‫ُكلُوا مِ ْن ِر ْز‬
َ ٌ ‫ق َربِ ُك ْم َوا ْش ُك ُروا لَه ُ ۚ بَل َدة‬
ٌ ُ‫غف‬
‫ور‬ َ

Artinya: “Sesungguhnya bagi kaum


Saba’ ada tanda (Kekuasaan Tuhan )
di tempat kediaman mereka yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di
sebelah kiri.(Kepada mereka
dikatakan): makanlah olehmu dari
rezeki yang sudah (dianugerahkan)
tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan yang Maha
Pengampun”.
Masyarakat di masa Nabi
Sulaiman. Nama Saba’ yang terdapat
dalam Al Qur’an itu bahkan dijadikan
nama salah satu surat Al Qur’an,
yaitu surat ke-34. Keadaan
masyarakat Saba’ yang dikisahkan
dalam Al Qur’an itu mendiami negeri
yang baik, yang subur dan nyaman.
Di tempat itu terdapat kebun dengan
tanamannya yang subur, yang
menyediakan rizki, memenuhi
kebutuhan hidup masyarakatnya.
Negeri yang indah itu merupakan
wujud dari kasih sayang Allah yang
disediakan bagi masyarakat Saba’.
Allah juga Maha Pengampun apabila
terjadi kealpaan pada masyarakat
tersebut. Karena itu, Allah
memerintahkan masyarakat Saba’
untuk bersyukur kepada Allah yang
telah menyediakan kebutuhan hidup
mereka. Kisah keadaan masyarakat
Saba’ ini sangat populer dengan
ungkapan Al Qur’an Baldatun
thayyibatun wa Rabbun ghafuur.
2. Masyarakat Madinah setelah terjadi
traktat, perjanjian Madinah antara
Rosullullah SAW beserta umat islam
dengan penduduk Madinah yang
beragama Yahudi dan beragama
Watsani dari kaum Aus dan Khazraj.
Madinah adalah nama kota di Negara
Arab Saudi , tempat yanag didiami
Rasulullah SAW sampai akhir hayat
beliau sesudah hijrah. Kota itu sangat
populer, karena menjadi pusat lahir
dan berkembangnya agama Islam
setelah Mekkah. Di kota itu pertama
kali Rasulullah SAW membangun
masjid yang dikenal dengan nama
masjid Nabawi.
Perjanjian Madinah berisi
kesepakatan ke tiga unsur
masyarakat untuk saling tolong-
menolong, menciptakan kedamaian
dalam kehidupan sosial, menjadikan
Al Qur’an sebagai konstitusi,
menjadikan Rasulullah SAW sebagai
pemimpin dengan ketaatan penuh
terhadap keputusan-keputusannya,
dan memberikan kebebasan kepada
penduduknya untuk memeluk agama
serta beribadah sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya. Perjanjian
Madinah berisi kesepakatan ketiga
unsur masyarakat untuk saling
menolong, menciptakan kedamaian
dalam kehidupan sosial, menjadikan
Al-Quran sebagai konstitusi,
menjadikan Rosullullah SAW sebagai
pemimpin dengan ketaatan penuh
terhadap keputusan-keputusannya,
dan memberikan kebebasan bagi
penduduknya untuk memeluk agama
serta beribadah sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya.23
Masyarakat Madinah di
bawah Nabi Muhammad SAW dan
Khulafaur Rasyidin sangat
menjunjung prinsip-prinsip dalam civil
society yang lahir di Barat. Islam
yang diajarkan Nabi Muhammad
SAW sangat menjunjung tinggi harkat

23Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat


Madani (Perspektif Pengembangan Masyarakat
Islam). Jurnal Risalah. (27). Hlm 23-32
kemanusiaan. Dalam QS.(2): 30-34
dijelaskan bahwa Allah menyuruh
kepada para malaikat bersujud
kepada Adam (manusia pertama)
yang telah diberi kelebihan akal
pikiran. Manusia diutus Allah
menjalankan misi khalifah fil ardhi
(pengatur alam semesta).
Perkembangan lebih lanjut dari
paham humanisme ini, kemudian di
Barat sebagaimana yang
dikemukakan Geovany Piego
melahirkan paham liberalisme yang
berangkat dari asumsi bahwa
manusia pada dasarnya baik
sehingga harus diberi kebebasan. Hal
ini didasarkan pada hadits Nabi
“Setiap bayi dilahirkan dalam
keadaan suci”. Dalam karyanya The
Venture of Islam, Hodgson, seorang
ahli sejarah dunia, melihat bahwa
seandainya sejarah dunia ini
diibaratkan roda maka sumbunya
adalah sejarah Islam. Bahkan motto
bukunya diambil dari sebuah ayat Al-
Qur’an: Kalian adalah umat terbaik
yang dilahirkan untuk manusia... (QS
3: 110).
Dia melihat kehadiran Islam di
muka bumi ini sungguh sangat
sukses dan memiliki implikasi yang
sangat signifikan bagi peradaban, di
antaranya dalam bidang ilmu
pengetahuan. Sebelum Islam datang,
ilmu pengetahuan bersifat sangat
nasionalistik sekali-untuk tidak
menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu
Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu
India dan ilmu Mesir. Masing-masing
mengaku dirinya paling benar dan
mereka tidak mau mempelajari ilmu-
ilmu lain. Namun tidak demikian
halnya dengan Islam. Sejak awal
Nabi Muhammad menegaskan
“Carilah ilmu pengetahuan walaupun
berada di negeri Cina.”
Dalam salah satu ayatnya, Al-Qur’an
juga memerintahkan kita untuk
bertanya:
Maka bertanyalah kepada
orang berpengetahuan jika kamu
tidak mengetahui (QS 16: 43 dan 21:
7). Para ahli tafsir
menginterpretasikan ahl adz-dzikr
dalam ayat itu sebagai al-‘ulama bi
at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini
memberi arti bahwa umat Islam boleh
belajar kepada siapa saja. Dengan
demikian bagi Islam, ilmu
pengetahuan bersifat universal
(Siradj, 1999: 29-30).
Islam sebagai agama
universal tidak mengatur bentuk
negara yang terkait oleh konteks
ruang dan waktu, dan Nabi
Muhammad SAW sendiri tidak
menamakan dirinya sebagai kepala
negara Islam, disamping tidak
melontarkan ise suksesi yang
tentunya sebagai prasyarat bagi
kelangsungan negara (Wahid, 2000:
16). Walaupun Nabi telah melakukan
revolusi dalam masyarakat Arab,
tetapi ia sangat menghormati tradisi
dan memperbaharuinya secara
bertahap sesuai dengan psikologi
manusia karena tujuannya bukanlah
menciptakan orde baru (a new legal
order) tapi untuk mendidik manusia
dalam mencapai keselamatan melalui
terwujudnya kebebasan, keadilan dan
kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).24

24Rohmat, Saefur. 2015.Masyarakat Madani:


Dialog Islam dan Modernitas di Indonesia.
Yogyakarta: UNY. Hlm 5
Nabi Muhammad telah
menampilkan peradaban Islam yang
kosmopolitan dengan konsep ummat
yang menghilangkan batas etnis,
pluralitas budaya dan heteroginitas
politik. Peradaban Islam yang ideal
tercapai pada masa Nabi Muhammad
karena tercapai keseimbangan antara
kecenderungan normatif kaum
Muslimin dan kebebasan berpikir
semua warga masyarakat (termasuk
mereka yang non-Muslim) (Wahid,
1999: 4).25
Keseimbangan itu akan
terganggu bila dilakukan ortodoksi
(formalisme) terhadap ajaran Islam
secara berlebih-lebihan. Ortodoksi
yang tadinya untuk mensistematiskan
dan mempermudah pengajaran
agama, akhirnya dapat menjadi
pemasung terhadap kebebasan
berpikir karena setiap ada pemikiran
kreatif langsung dituduh sebagai
bid’ah. Dalam kaitannya dengan hak-
hak asasi manusia, Islam seperti
yang tersebar dalam literatur hukum
agama (al-kutub al-fiqhiyyah) telah

25Ibid Hlm 6
mengembangkan ada lima jaminan
dasar (Wahid (1999: 1) sebagai
berikut:
1. Keselamatan fisik warga
masyarakat dari tindakan badani
di luar ketentuan hukum,
2. Keselamatan keyakinan agama
masing-masing, tanpa adanya
paksaan untuk berpindah agama,
3. Keselamatan keluarga dan
keturunan,
4. Keselamatan harta benda dan
milik pribadi di luar prosedur
hukum, dan
5. Keselamatan profesi.
Bahkan konsep civil society
itu mendapat pengaruh dari
pemikiran Islam, sebagaimana
dijelaskan buku karangan C.G.
Weeramantry (Monash University,
Australia) dan M. Hidayatullah (India)
yang berjudul Islamic Jurisprudence:
An International Perspective, terbitan
Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94).
Menurut mereka, pemikiran John
Locke dan Rousseau, terutama sekali
mengenai teori mereka tentang
kedaulatan (sovereignty),
mendapatkan pengaruh dari
pemikiran Islam. Locke ketika
menjadi mahasiswa Oxford sangat
frustasi dengan disiplinnya, dan lebih
tertarik mengikuti ceramah dan kuliah
Edward Pococke, professor studi
tentang Arab. Kemudian perhatian
pemikiran Locke mengenai problem-
problem tentang pemerintahan,
kekuasaan dan kebebasan individu.26

BAB III
METODOLOGI KAJIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif, dan jenis
penelitian yang digunakan adalah
kepustakaan atau library research, yaitu
mengumpulkan data atau karya tulis
ilmiah yang bertujuan dengan obyek
penelitian atau pengumpulan data yang
bersifat kepustakaan. Atau telaah yang
dilaksanakan untuk memecahkan suatu
masalah yang pada dasarnya tertumpu
pada penelaah kritis dan mendalam

26Ibid. Hlm 9
terhadap bahan-bahan pustaka yang
relevan.

B. Sumber Data
Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder, yaitu berupa bahan pustaka
yang ditulis dan dipublikasikan oleh
seorang penulis yang tidak secara
langsung melakukan pengamatan atau
berpartisipasi dalam kenyataan yang ia
deskripsikan. Dengan kata lain penulis
tersebut bukan penemu teori. Adapun
sumber data sekunder yang menjadi
pendukung adalah buku-buku serta jurnal
atau sumber lainnya yang mendukung
judul penelitian ini.

C. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini termasuk penelitian
kepustakaan. Oleh karena itu, teknik
pengumpulan data adalah pengumpulan
literatur yaitu bahan-bahan pustaka yang
koheren dengan objek pembahasan yang
dimaksud. Data yang ada dalam
kepustakaan tersebut dikumpulkan dan
diolah dengan cara:
1. Editing, yaitu pemeriksaan kembali
data yang diperoleh terutama dari
segi kelengkapan, kejelasan makna
dankeselarasan makna antara yang
satu dengan yang lain.
2. Organizing, yaitu mengorganisir data-
data yang diperoleh dengan kerangka
yang sudah diperlukan.
3. Penemuan hasil penelitian, yaitu
melakukan analisis lanjutan terhadap
hasil pengorganisasian data dengan
menggunakan kaidah-kaidah, teori
dan metode yang telah ditentukan
sehingga diperoleh kesimpulan
tertentu yang merupakan hasil
jawaban dari rumusan masalah.

D. Analisis Data
Analisis data dalam kajian
pustaka (library research) ini adalah
Analisis Isi (content analysis) yaitu
penelitian yang bersifat pembahasan
mendalam terhadap isi suatu informasi
tertulis atau cetak dalam media massa.
Atau analisis isi adalah suatu teknik
penelitian untuk membuat inferensi-
inferensi yang dapat ditiru (replicabel)
dan sahih data dengan memperhatikan
konteksnya.
Adapun tahapan analisis isi yang
di tempuh penulis adalah dengan
langkah-langkah:
1. Menentukan permasalahan.
2. Menyusun kerangka berpikir.
3. Menyusun metodologi. Yang terdiri
dari rangkaian metode-metode yang
mencakup:
a. Menentukan metode pengukuran
atau prosedur operasionalisasi
konsep.
b. Menentukan metode
pengumpulan data.
c. Menentukan metode analisis.
4. Analisis data.
5. Interpretasi data.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Konsep Masyarakat Madani dan


Sejarahnya dalam Islam
Berdasarkan tinjauan pustaka
yang telah diuraikan dapat ditarik
kesimpulan bahwa masyarakat adalah
masyarakat adalah kelompok manusia
yang saling berinteraksi, ada tujuan dan
kepentingan bersama dengan norma-
norma yang ada dan dengan
kebudayaan bersama. Sedangkan
madani secara esensial
kehidupan ditandai dengan adanya
supremasi hukum dalam kehidupan dan
tatanan masyarakat. Sehingga masyarkat
madani adalah sebagai kumpulan
manusia dalam satu tempat
(daerah/wilayah) di mereka hidup secara
ideal dan taat pada aturan-aturan hukum,
serta tatanan kemasyarakatan yang telah
ditetapkan. Dalam konsep umum,
masyarakat madani tersebut sering
disebut dengan istilah civil
society (masyarakat sipil) atau al-
mujtama’al-madani, yang pengertiannya
selalu mengacu pada “pola hidup
masyarakat yang berkeadilan, dan
berperadabab.
Dalam istilah Al-Qur’an,
kehidupan masyarakat madani tersebut
dikontekskan dengan baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafūr yang
secara harfiyah diartikan negeri yang
baik dalam keridhaan Allah. Istilah yang
digunakan Al-Qur’an sejalan dengan
makna masyarakat yang ideal, dan
masyarakat yang ideal itu berada dalam
ampunan dan keridahan-Nya.
“Masyarakat ideal” inilah yang dimaksud
dengan “masyarakat madani”.Istilah
“madani” berasal dari bahasa Arab
“madaniy”. Kata “madaniy” berakar pada
kata kerja “madana” yang artinya
mendiami, tinggal, atau membangun.
Dalam bahasa Arab, kata “madaniy“
mempunyai beberapa arti, di antaranya
yang beradab, orang kota, orang sipil,
dan yang bersifat sipil atau perdata. Al-
Umari (1995) menjelaskan bahwa ada
beberapa prinsip dasar yang bisa
diidentifikasi dalam pembentukan
masyarakat madani, di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Adanya sistem muakhah
(persaudaraan).
2. Ikatan iman.
3. Ikatan cinta.
4. Persamaan si kaya dan si miskin.
5. Toleransi umat beragama.

B. Konsep Masyarakat Madani dalam


Perspektif Islam
Konsep masyarakat madani
menurut prespektif Islam sudah diatur
dalam Al-Quran yang dibagi menjadi 3
jenis yait masyarakat terbaik (khairah
ummah), masyarakat seimbang
(ummatan wasathan) dan masyarakat
moderat (ummah muqtashidah). Berikut
adalah kutipan ayat yang mengatur
ketiga jenis istiilah tersebut :
1. Khairah Ummah dalam QS Ali
Imran 3:110, yaitu :
ِ‫اس ت َأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُروف‬ ِ َّ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر أ ُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َجتْ لِلن‬
‫اَّللِ ۗ َولَ ْو آ َمنَ أ َ ْه ُل‬َّ ِ‫ع ِن ْال ُم ْنك َِر َوتُؤْ مِ نُونَ ب‬ َ َ‫َوت َ ْن َه ْون‬
‫ب لَ َكانَ َخي ًْرا لَ ُه ْم ۚ مِ ْن ُه ُم ْال ُمؤْ مِ نُونَ َوأ َ ْكث َ ُر ُه ُم‬ ِ ‫ْال ِكت َا‬
َ‫ْالفَا ِسقُون‬

Artinya : “Kamu adalah umat terbaik


untuk seluruh umat manusia. Kamu
menyuruh kepada yang ma’ruf,
mencegah yang munkar untuk
beriman kepada Allah. Apabila Ahli
kitab beriman, maka itu lebih baik
bagi mereka, ada yang beriman
diantara mereka, dan kebanyakan
mereka adalah fasik.”
Pembahasan konsep khairan
ummah terdapat dalam QS Ali-Imran
3:110 adalah konsep masyarakat
yang ideal. Mereka ditugasi untuk
mengembangkan beberapa fungsi
diantaranya menyerukan kebaikan
dan mencegah terjadinya
kemungkaran.
2. Ummatan wasathan dalam QS Al-
Baqarah 2:143, yaitu :
‫اس‬ ِ َّ‫علَى الن‬ َ ‫طا ِلت َ ُكونُوا شُ َه َدا َء‬ ً ‫س‬ َ ‫َو َك َٰذَلِكَ َجعَ ْلنَا ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬
‫ش ِهيدًا ۗ َو َما َج َع ْلنَا ْال ِق ْبلَةَ الَّتِي‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم‬َ ‫الرسُو ُل‬ َّ َ‫َويَ ُكون‬
‫علَ َٰى‬ َ ُ‫سو َل مِ َّم ْن يَ ْنقَلِب‬ ُ ‫الر‬ َّ
َّ ‫علَ ْي َها إَِّل ِلنَ ْعلَ َم َم ْن يَتَّبِ ُع‬ َ َ‫ُك ْنت‬
‫َّللاُ ۗ َو َما‬
َّ ‫على الذِينَ َه َدى‬ َّ َ َّ
َ ‫يرة إَِّل‬ ً َ َ ْ‫َت‬ ْ
َ ِ‫ع ِقبَ ْي ِه ۚ َوإِن كَان لكب‬ َ
‫وف َرحِ ي ٌم‬ ٌ ‫اس لَ َر ُء‬ ََّ ‫ُضي َع ِإي َمانَ ُك ْم ۚ ِإ َّن‬
ِ َّ‫َّللا بِالن‬ َّ َ‫َكان‬
ِ ‫َّللاُ ِلي‬

Artinya : “Dan demikian Kami


menjadikan umat Islam sebagai umat
yang adil sebagai saksi perbuatan
manusia dan Rasul adalah saksi
perbuatan kamu. Dan Kami tidak
menetapkan kiblat sebagai kiblat mu
keculai agar Kami mengetahui siapa
yang mengikuti Rasul dan yang
ingkat. Dan sungguh memindahkan
kiblat ke berat adalah orang yang
mendapat petunjuk dan Allah tidak
akan menyiakan imanmu. Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Pembahasan konsep
ummatan wasathan dalam QS Al-
Baqarah 2:143 menjelaskan bahwa
masyarakat seimbang adalah
masyarakat yang berada di posisi
tengah-tengah yaitu menggabungkan
yang baik dari yang bertentangan
3. Ummah Muqtasidah dalam QS Al-
Maidah 5:66, yaitu :
‫اإل ْن ِجي َل َو َما أ ُ ْن ِز َل إِلَ ْي ِه ْم مِ ْن‬
ِ ْ ‫َولَ ْو أَنَّ ُه ْم أَقَا ُموا الت َّ ْو َراة َ َو‬
ُ
ٌ‫ت أ َ ْر ُج ِل ِه ْم ۚ مِ ْن ُه ْم أ َّمة‬ِ ْ‫َر ِب ِه ْم ََل َ َكلُوا مِ ْن فَ ْوقِ ِه ْم َومِ ْن تَح‬
ُ
َ‫سا َء َما يَ ْع َملون‬ َ ‫ِير مِ ْن ُه ْم‬ٌ ‫َص َدة ٌ ۖ َو َكث‬ ِ ‫ُم ْقت‬

Artinya : “Dan mereka menjalankan


Taurat, Injil dan Al-Quran yang
diturunkan Tuhannya, mereka
mendapat makanan dari atas mereka
dan dari bawah. Diantara mereka ada
golongan pertengaham. Dan
alangkah buruk yang dikerjakan
mereka.”
Pembahasan konsep ummah
muqtashidah terdapat dalam QS Al-
Maidah 5:66 yang telah dijelaskan
bahwa masyarakat moderat yakni
entitas di kalangan ahli kitab dan
posisi ummah yang minoritas. Yang
memiliki makna bahwa kelompok
tersebut meskipun kecil, tetap dapat
melakukan kebaikan dan perbaikan
dan meminimalisir kerusakan. Hampir
sama dengan ummatan wasathan
bahwa keduanya memelihara
penerapan nilai-nilai utama di tengah
komunitas sekitar yang menyimpang.
Yang membedakan antara ummah
muqtashid dan ummah wasath
adalah komunitas agamanya.
Komunitas agama ummah muqtashid
adalah agama Yahudi atau Nashrani
sedangkan komunitas agama ummah
wasath adalah agama Islam.
Konsep-konsep yang sudah
dijelaskan tersebut sungguh telah
diterapkan di Madinah yang dipimpin
oleh Nabi Muhammad SAW.
Diterapkan setelah Nabi berhijrah
dengan para sahabat dan
dikeluarkannya Sahifah ay Watsiqah
Madinah atau Piagam Madinah atau
Madinah Charter yang berisi hal-hal
berikut ini :
1. Asas kebebasan beragama yakni
negara mengakui dan melindung
kelompok yang beribadah sesuai
dengan keyakinan masing-masing.
2. Asas persamaan yakni semua
orang yang mempunyai
kedudukan sama sebagai anggota
masyarakat untuk saling
membantu dan tidak boleh
memperlakukan orang lain dengan
buruk.
3. Asas kebersamaan yaitu anggota
masyarakat memiliki hak dan
kewajiban sama kepada Negara.
4. Asas keadilan yaitu setiap warga
negara memiliki kedudukan sama
di hadapan hukum dimana hukum
harus ditegakkan.
5. Asas perdamaian yakni warga
negara hidup berdaampingan
tanpa perbedaan suku, agama dan
ras.
6. Asas musyawarah yaitu semua
permasalah yang terjadi di negara
tersebut diselesaikan melalui
dewan syura

C. Masyarakat Madani dalam Sejarah


Islam
Terdapat dua masyarakat madani
dalam sejarah yang terdokumentasi
sebagai masyarakat madani yaitu :
1. Masyarakat Saba’ yaitu masyarakat
di masa Nabi Sulaiman.
Allah SWT memberikan
gambaran dari masyarakat madani
dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’
ayat 15 :
“Sesungguhnya bagi kaum
Saba’ ada tanda (Kekuasaan
Tuhan ) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun
di sebelah kanan dan di
sebelah kiri.(Kepada mereka
dikatakan): makanlah olehmu
dari rezeki yang sudah
(dianugerahkan) tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-
Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan
(Tuhanmu) adalah Tuhan
yang Maha Pengampun”.
Masyarakat di masa Nabi
Sulaiman. Nama Saba’ yang terdapat
dalam Al Qur’an itu bahkan dijadikan
nama salah satu surat Al Qur’an,
yaitu surat ke-34. Keadaan
masyarakat Saba’ yang dikisahkan
dalam Al Qur’an itu mendiami negeri
yang baik, yang subur dan nyaman.
Di tempat itu terdapat kebun dengan
tanamannya yang subur, yang
menyediakan rizki, memenuhi
kebutuhan hidup masyarakatnya.
Negeri yang indah itu merupakan
wujud dari kasih sayang Allah yang
disediakan bagi masyarakat Saba’.
Allah juga Maha Pengampun apabila
terjadi kealpaan pada masyarakat
tersebut. Karena itu, Allah
memerintahkan masyarakat Saba’
untuk bersyukur kepada Allah yang
telah menyediakan kebutuhan hidup
mereka. Kisah keadaan masyarakat
Saba’ ini sangat populer dengan
ungkapan Al Qur’an Baldatun
thayyibatun wa Rabbun ghafuur.
2. Masyarakat Madinah setelah terjadi
traktat, perjanjian Madinah antara
Rosullullah SAW beserta umat islam
dengan penduduk Madinah yang
beragama Yahudi dan beragama
Watsani dari kaum Aus dan Khazraj.
Madinah adalah nama kota di Negara
Arab Saudi , tempat yanag didiami
Rasulullah SAW sampai akhir hayat
beliau sesudah hijrah. Kota itu sangat
populer, karena menjadi pusat lahir
dan berkembangnya agama Islam
setelah Mekkah. Di kota itu pertama
kali Rasulullah SAW membangun
masjid yang dikenal dengan nama
masjid Nabawi.
Perjanjian Madinah berisi
kesepakatan ke tiga unsur
masyarakat untuk saling tolong-
menolong, menciptakan kedamaian
dalam kehidupan sosial, menjadikan
Al Qur’an sebagai konstitusi,
menjadikan Rasulullah SAW sebagai
pemimpin dengan ketaatan penuh
terhadap keputusan-keputusannya,
dan memberikan kebebasan kepada
penduduknya untuk memeluk agama
serta beribadah sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya. Perjanjian
Madinah berisi kesepakatan ketiga
unsur masyarakat untuk saling
menolong, menciptakan kedamaian
dalam kehidupan sosial, menjadikan
Al-Quran sebagai konstitusi,
menjadikan Rosullullah SAW sebagai
pemimpin dengan ketaatan penuh
terhadap keputusan-keputusannya,
dan memberikan kebebasan bagi
penduduknya untuk memeluk agama
serta beribadah sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya
Nabi Muhammad telah
menampilkan peradaban Islam yang
kosmopolitan dengan konsep ummat
yang menghilangkan batas etnis,
pluralitas budaya dan heteroginitas
politik. Peradaban Islam yang ideal
tercapai pada masa Nabi Muhammad
karena tercapai keseimbangan antara
kecenderungan normatif kaum
Muslimin dan kebebasan berpikir
semua warga masyarakat (termasuk
mereka yang non-Muslim).
Keseimbangan itu akan
terganggu bila dilakukan ortodoksi
(formalisme) terhadap ajaran Islam
secara berlebih-lebihan. Ortodoksi
yang tadinya untuk mensistematiskan
dan mempermudah pengajaran
agama, akhirnya dapat menjadi
pemasung terhadap kebebasan
berpikir karena setiap ada pemikiran
kreatif langsung dituduh sebagai
bid’ah. Dalam kaitannya dengan hak-
hak asasi manusia, Islam seperti
yang tersebar dalam literatur hukum
agama (al-kutub al-fiqhiyyah) telah
mengembangkan ada lima jaminan
dasar (Wahid (1999: 1) sebagai
berikut:
1. Keselamatan fisik warga
masyarakat dari tindakan badani
di luar ketentuan hukum,
2. Keselamatan keyakinan agama
masing-masing, tanpa adanya
paksaan untuk berpindah agama,
3. Keselamatan keluarga dan
keturunan,
4. Keselamatan harta benda dan
milik pribadi di luar prosedur
hukum, dan
5. Keselamatan profesi.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan materi
dalam makalah ini dpat disimpulkan
bahwa masyarakat madani adalah
kumpulan manusia dalam satu tempat
(daerah/wilayah) di mereka hidup secara
ideal dan taat pada aturan-aturan hukum,
serta tatanan kemasyarakatan yang telah
ditetapkan. Masyarakat madani menurut
prespektif Islam sudah diatur dalam Al-
Quran yang dibagi menjadi 3 jenis yaitu
masyarakat terbaik (khairah ummah),
masyarakat seimbang (ummatan
wasathan) dan masyarakat moderat
(ummah muqtashidah). Dalam sejarah
Islam masyarakat madani dibagi menjadi
2 yaitu masyarakat Saba’ yaitu
masyarakat di masa Nabi Sulaiman dan
Masyarakat Madinah setelah terjadi
traktat, perjanjian Madinah antara
Rosullullah SAW beserta umat islam
dengan penduduk Madinah.

B. Saran
Dengan disusunnya makalah
yang kami beri judul “Konsep dan
Sejarah Masyarakat Madani Dalam
Islam” diharapkan dapat menambah
wawasan pembaca maupun penulis
sehingganya kita semua dapat bersama-
sama mewujudkan masyarakat madani di
Negara ini. Masyarakat madani adalah
masyarakat yang yang taat pada aturan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Syani. 1994. Sosiologi Skematika,


Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Abdullah, Hafizh dkk. 1997. HMI dan KAHMI
menyongsong perubahan
menghadapi pergantian zaman.
Jakarta: Majelis Nasional KAHMI.
Ahmad, Warson al-Munawwir. 1984. Kamus
al-Munawwir. Surabaya: Pustaka
Progressif.
Al – Sayyed Ahmad al – Hasyimiy, Jawaihr al
– Balagah fi al – Mah’aniy wa al –
bayani wa al – Badi’iy. 1991. Mesir:
Dar al Fikr
Al-Umari, Akram Dliya’. 1995. Madinan
Society at the Time of the Prophet.
Virginia: The International Institut of
Islamic Thought.
Asad, M. AlKalili. 1993. Kamus Indonesia
Arab. Jakarta: Bulan Bintang.
Astrid, S. Susanto. 1979. Pengantar
Sosiologi dan Perubahan Sosial.
Bandung: Bina Cipta.
Darmawan, Wawan. 1999. Masyarakat
madani: peran strategis umat Islam”.
Dalam Sudarno Shobron &
Mutohharun Jinan. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1989. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Hikam, Muhammad AS. 1994. “Demokrasi
dalam wacana civil society”.
Republika.
H. Abd. Muin Salim. 2002. “Elaborasi Bahasa
Politik Islam dalam Alquran” dalam
Al-Huda;. Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu
Islam. Jakarta: Vol. 1 No. 2.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi.
Jakarta: Aksara Baru.
Luwis Ma’luf. 1977. al-Munjid fiy al-Lugah.
Bairut: Dar al-Masyriq.
Mahmud, Yunus. 1992. Kamus Arab
Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-
Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progresif.
Mun’im, Abdul DZ. 1994. “Masyarakat sipil
sebagai masyarakat beradab”.
Republika.
Quraish Shihab. 1998. Wawasan
Alquran Tafsir Mandhu’i atas
Berbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan.
Rohmat, Saefur. 2015. Masyarakat Madani:
Dialog Islam dan Modernitas di
Indonesia. Yogyakarta: UNY
Soim, Muhammad. 2015. Miniatur
Masyarakat Madani (Perspektif
Pengembangan Masyarakat Islam).
Jurnal Risalah. (27).

Anda mungkin juga menyukai