Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

MASYARAKAT MADANI (CIVIL SOCIETY)

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila dan


Kewarganegaraan

Dosen Pengampu: Rahmat Ferdian Andi Rosidi, S.H., I., M.H.

Disusun Oleh:

Kelompok 13

Anne Octtalya (11220820000026)

Syifa Zahira Alifia (11220820000144)

Dhiya Ulhaq (11220820000160)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Mayarakat Madani

(Civil Society)” dengan tepat waktu. Adapun Tujuan dari Penulisan makalah ini
adalah untuk memenuhi Bapak Rahmat Ferdian Andi Rosidi, S.H., I., M.H. pada
Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang Masyarakat Madani (Civil Society).

Sholawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa seluruh umat dari zaman kebodohan hingga zaman terang
benderang seperti saat ini. Semoga kita mendapatkan syafaat di akhirat nanti.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu mengumpulkan informasi, sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Penulis menyadari makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun Penulis nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Ciputat, 7 Maret 2023

Penulis

DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................

Pendahuluan ......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..........................................................................................


1

1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................


1

BAB II......................................................................................................................

Pembahasan .......................................................................................................... 2

2.1 Pengertian dan Sejarah Masyarakat Madani .............................................


2

2.2 Karakteristik Masyarakat Madani .............................................................


4

2.3 Paradigma dan Praktik Masyarakat Madani di Indonesia .........................


7

2.4 Gerakan Sosial dan Penguatan Masyarakat Madani .................................


9

2.5 Civic Society Organization (CSO) dan Masyarakat Madani ..................


13

BAB III....................................................................................................................

Penutup ................................................................................................................
17

3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 19


ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini, istilah "masyarakat madani" semakin populer di Indonesia
seiring dengan terjadinya proses reformasi di negara tersebut. Proses ini dipicu
oleh tuntutan dari kelompok reformis untuk mengganti Orde Baru yang ingin
mempertahankan tatanan status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani.
Beberapa tokoh seperti BJ. Habibie, Nurcholis Madjid, Nurhidayat Wahid,
Abdulrahman Wahid, A. S. Hikam, Azumahdi Azzra, dan lainnya telah banyak
membahas tentang tatanan masyarakat madani setelah istilah dan konsep ini
diperkenalkan oleh Datuk Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri
Malaysia. Namun, mewujudkan masyarakat madani tidaklah mudah dan
memerlukan waktu serta komitmen dari setiap warga bangsa untuk mereformasi
diri secara total dan konsisten dalam perjuangan yang gigih.

Masyarakat madani muncul karena beberapa faktor diantaranya seperti penguasa


politik yang mendominasi masyarakat, ketidakseimbangan dan pembagian dalam
hak dan kewajiban setiap warga negara, adanya monopoli dan pemusatan
kekuasaan pada satu kelompok masyarakat, anggapan bahwa masyarakat tidak
memiliki kemampuan yang baik dibandingkan dengan pemerintah, dan
kurangnya kebebasan warga negara dalam menjalankan aktivitas kesehariannya.
Demokrasi juga sebagai penegak wacana masyarakat madani ketika berinteraksi
dengan lingkungannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian dan Sejarah Masyarakat Madani?
2. Apa saja Karakteristik Masyarakat Madani?
3. Bagaimana Paradigma dan Praktik Masyarakat Madani di Indonesia?
4. Apa saja Gerakan Sosial dan Penguatan Masyarakat Madani?
5. Apa itu Civic Society Organization (CSO) dari Masyarakat Madani?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Sejarah Masyarakat Madani

➢ Pengertian masyarakat madani


Istilah masyarakat madani (civil society) pertama kali digunakan oleh Filsuf
Scotlandia bernama Adam Ferguson. Istilah ini mengacu pada masyarakat
perkotaan yang telah dipengaruhi oleh peradaban maju, yaitu masyarakat beradab
yang berbeda dengan masyarakat pedesaan yang belum terpengaruh oleh
kemajuan.

Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian civil society diidentikkan


sebagai masyarakat yang tersusun dari lembaga-lembaga otonom yang mampu
mengimbangi kekuasaan negara. Di Indonesia, istilah civil society diterjemahkan
sebagai masyarakat sipil, namun sering disamakan dengan perbedaan antara sipil
dan militer. Oleh karena itu, Nurcholis Madjid dan Arief Budiman mencari arti
yang sama dengan merujuk pada masyarakat madani yang pertama kali dibentuk
oleh Anwar Ibrahim (Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia) ketika beliau
mencanangkan Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Pengamat sosial Daniel Dakhidae
menggunakan arti serupa untuk istilah masyarakat warga.1

Berkenaan dengan pengertian masyarakat madani atau civil society, beberapa ahli
saling mengemukakan pandangannya yang tentunya berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya, diantaranya sebagai berikut:

1. Hikam (Supriatna)

Berpendapat bahwa civil society secara institusional diartikan sebagai


pengelompokan anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri
yang dapat dengan bebas bertindak aktif dalam wacana dan praktis

1 Nuswantari, Pendidikan Pancasila (Membangun Karakter Bangsa), Yogyakarta: Deepublish,


2019, h.92-93
2
mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada
umumnya.

2. Gallner (Supriatna)

Menunjuk konsep civil society sebagai masyarakat yang terdiri atas


berbagai institusi non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk
mengimbangi negara. Victor Perez-Diaz, menyatakan bahwa civil society
lebih menekankan pada keadaan pada keadaan masyarakat yang telah
mengalami pemerintahan yang terbatas, memiliki kebebasan, mempunyai
sistem ekonomi pasar dan timbulnya asosiasi-asosiasi masyarakat yang
mandiri serta satu sama lain saling menompang.2

➢ SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI


• Menurut Aristoteles (384–322), masyarakat madani dipahami sebagai
sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah kolonia politik (sebuah
komunitas politik tempat warga dapat terlibat dalam berbagai percaturan
ekonomi politik dan pengambilan keputusan).

• Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcos Tullios Cocerp (106–43)


dengan istilah Societis Civilies yaitu sebuah komunitas yang lain, tema
yang dikedepankan oleh Marcos Tullios Cicero ini lebih menekankan pada
konsep negara kota (city state), yakni untuk menggambarkan kerajaan,
kota, dan bentuk lainnya sebagai kesatuan yang terorganisasi.

• Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh


Adam Fergoson dengan mengambil konteks sosiokultural, Fergoson
menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan
bermasyarakat. Paham ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan

2 Suroto, “Konsep Masyarakat Madani Di Indonesia Dalam Masa Postmodern (Sebuah Analitis
Krisis)”, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Volume 5, Nomor 9, Mei 2015, h.665
3
sosial akibat revolusi industri dan kapitalisme serta mencoloknya
perbedaan antara publik dan individu.

• Kemudian pada tahun 1792, muncul wacana masyarakat madani yang


memiliki aksetuansi dengan sebelumnya. Konsep ini memunculkan
Thomas Paine (1737–1803) yang menggunakan istilah masyarakat madani
sebagai

kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan


negara, bahkan dianggap sebagai antithesis dari negara. Dengan demikian,
masyarakat madani menurut Thomas Paine adalah ruang di mana warga
dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan
kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.

• Perkembangan wacana civid society selanjutnya dikemukakan oleh g.W.F


Hegel (1770–1831), Karl Marx (1818–1883), dan Antonio gramsci (1891–
1837). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh
ini menekankan kepada masyarakat madani elemen ideologi kelas
dominan. Pemahaman ini lebih merupakan sebuah reaksi dari model
pemahaman yang dilakukan oleh Paine (yang menganggap masyarakat
madani sebagai bagian terpisahnya dari negara). Menurut Hegel,
masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif dari negara,
sementara pendapat Ryaas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena
masyarakat borjuis eropa (Burgerlische gesselscat) yang artinya
partumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan diri dari
dominasi negara.

Adapun Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai masyarakat


borjuis dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya
merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan, sedangkan
masyarakat madani menurut pemahaman gramsci adalah pemberian

4
tekanan pada kekuatan cendikiawan yang merupakan faktor utama dalam
proses perubahan sosial dan politik.3

2.2 Karakteristik Masyarakat Madani


Bangsa Indonesia sedang berusaha mencari bentuk masyarakat madani
yang pada dasarnya demokratis dan religius. Sebagai bagian dari
pembangunan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara
Indonesia harus dikembangkan menjadi warga negara yang cerdas,
demokratis, dan religius yang memiliki sifat beriman dan takwa (imtak),
kritis, argumentatif, dan

kreatif, berpikir dan berperasaan jernih sesuai dengan aturan, menerima


semangat Bhineka Tunggal Ika, mengorganisir diri secara sadar dan
bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara jujur dan adil,
merespon media secara kritis dan faktual, berani tampil profesional di
masyarakat dan mampu bersaksi, memahami universalitas, mampu dan siap
untuk mengubah membina keluarga di antara teman sebaya, memahami
Indonesia saat ini, mengetahui cita-cita Indonesia di masa depan, dan
sebagainya.

Karakteristik masyarakat madani adalah sebagai berikut.


1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat
memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Mereka berhak
melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat,
berserikat, berkumpul, serta memublikasikan informasi kepada publik.

2. Demokratis, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi


sehingga mewujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk
menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat

3 Asep Sulaiman, Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, Bandung: Cv Arfino Raya, 2015,
h.155-156
5
berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian, serta
kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan
menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat
terwujud melalui penegakan pilar-pilar demokrasi yang meliputi:

a. lembaga swadaya masyarakat (LSM)


b. pers yang bebas
c. supremasi hukum
d. perguruan tinggi
e. partai politik

3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima


pandanganpandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam
masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta
aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.

4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat


yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan
sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang
Mahakuasa.

5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian


yang proporsional antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab
individu terhadap lingkungannya.

6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih


dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain,
sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik
yang bertanggung jawab.

6
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya
keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral. Artinya, setiap
orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa
kecuali.

Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat


madani di Indonesia di antaranya:

1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum


merata;
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat;
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter;
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang
terbatas;

5. Pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar;


6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi.

Oleh karena itu, dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman,


pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui
peranannya sebagai berikut.

1. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan


dan pendidikan.

2. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang “teraniaya”, tidak berdaya membela


hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena pengangguran,
kelompok buruh yang digaji atau di PHK secara sepihak, dan lain- lain).

3. Sebagai kontrol terhadap negara.


4. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan
(pressure group).

5. Masyarakat madani pada dasarnya merupakan suatu ruang yang terletak


antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Dalam ruang

7
lingkup tersebut, terdapat sosialisasi warga masyarakat yang bersifat
sukarela dan terbangun dari sebuah jaringan hubungan di antara asosiasi
tersebut. Misalnya berupa perjanjian, koperasi, kalangan bisnis, rukun
warga, rukun tetangga, dan bentuk organisasi lainnya.

Masyarakat madani juga harus memiliki pilar implementasi, karena


bekerja dengan mengkritisi kebijakan penguasa yang diskriminatif dan
mampu memperjuangkan suara rakyat yang tertindas. Perkembangan
masyarakat madani di Indonesia dimulai dengan pelanggaran hak asasi
manusia dan pembatasan kebebasan berekspresi, berserikat dan berbicara
di depan umum, kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai
lembaga swadaya masyarakat yang memegang kekuasaan dan menjadi
bagian dari kontrol sosial.4

2.3 Paradigma dan Praktik Masyarakat Madani di Indonesia


Paradigma dan praktik masyarakat madani memiliki tradisi yang kuat
sejak perannya berjalan sebagai organisasi perjuangan penegakkan HAM dan
perlawanan merebut kemerdekaan semasa kekuasaan kolonial. Selain peran

dari organisasi tersebut, aksi dari organisasi berbasisi islam sebagai bagian
yang penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di Indonesia
seperti Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat Islam (SI), dan Muhammadiyah.

Bangunan dari masyarakat madani di Indonesia dapat tercipta melalui


beberapa strategi antara lain:

Pertama, pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menegaskan


bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam realitas kehidupan
sehari-hari jika masyarakat tersebut belum memiliki kesadaran berbangsa dan

4 Ibid.
8
bernegara yang kuat. Demokrasi tanpa adanya kesadaran untuk berbangsa dan
bernegara yang kuat di antara warga negara, demokrasi akan dipahami sebagai
kebebasan tanpa batas yang nantinya akan berpotensi mewujudkan tindakan
anarkis.

Kedua, pandangan reformasi sistem politik demokrasi. Pandangan ini


menegaskan bahwa dalam membangun demokrasi tidak perlu bergantung
pada pembangunan ekonomi. Secara tidak langsung mengungkapkan bahwa
pembangunan institusi-institusi politik yang demokratis lebih diutamakan oleh
negara. Padahal pada kenyataannya model pengembangan demokrasi ini tidak
menjamin demokrasi akan berjalan sebagaimana mestinya.

Ketiga, paradigma membangun Masyarakat Madani sebagai basis utama


pembangunan Demokrasi. Pandangan ini dianggap sebagai paradigma
alternatif di antara dua pandangan yang pertama yang dianggap gagal dalam
pengembangan demokrasi. Dikarenakan pandangan yang ketiga ini lebih
menekankan pada proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara,
khususnya pada kalangan kelas menengah. Salah satu upaya membangun
budaya demokrasi di kalangan warga negara dengan usaha usaha pendidikan
dan penyadaran politik warga negara. Secara teoretis, hal tersebut merupakan
bagian dari proses penyadaran indeologis warga negara, seperti yang
disinggung oleh Gramsci (1891-1937 M). 5

Untuk menciptakan masyarakat madani yang seimbang diperlukan tiga


paradigma dan strategi. Setidaknya tiga paradigma ini dapat dijadikan bagi
pengembangan demokrasi di masa transisi sekarang melalui cara:

1. Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi


kelas menengah untuk berkembang menjadi kelompok

5 Ubaedillah, A., & Rozak, A., Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, hlm. 227-232
9
Masyarakat Madani yang mandiri secara politik dan ekonomi. Dalam pandangan
ini, negara harus memposisikan diri sebagai regulator dan fasilitator bagi
pembangunan ekonomi nasional. Dalam masa tantangan pasar bebas dan
demokrasi global menuntut negara untuk mengurangi perannya sebagai aktor
dominan.

2. Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan


lembagalembaga demokrasi yang ada berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi.

Salah satu komponen penting dari pembangunan kemandirian lembaga demokrasi


yaitu dengan sikap pemerintah yang tidak mencampuri atau memengaruhi putusan
hukum yang dibuat oleh lembaga yudikatif

3. Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga


negara secara keseluruhan.

Pendidikan politik yang dimaksud ialah pendidikan demokrasi melalui peran


seluruh elemen masyarakat yang dilakukan secara terus menerus dengan
memenuhi prinsip pendidikan demokratis yaitu pendidikan dari, oleh, dan untuk
warga negara.

2.4 Gerakan Sosial dan Penguatan Masyarakat Madani


➢ Pengertian Gerakan Sosial
Gerakan sosial menurut Iwan Gardono diterangkan sebagai aksi organisasi atau
kelompok masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang perubahan sosial.

Sementara menurut pandangan lain gerakan sosial sebagai bentuk perilaku


kolektif non-institusional yang dapat berkemungkinan mengancam stabilitas cara
hidup yang mapan.6

➢ Pembagian gerakan sosial

6 Ibid.
10
Keberadaan gerakan sosial dibagi tiga ranah, berdasarkan yaitu negara (state),
perusahaan atau pasar (corporation atau market), dan masyarakat sipil. Terdapat
dua pembagian gerakan sosial menurut Sidney Tarrow, pertama gerakan politik
pada ranah negara. Gerakan politik ini berkaitan dengan political parties yang
sebagai upaya untuk merebut dan menguasai posisi tertentu melalui pemilu.
Kedua gerakan ekonomi di ranah ekonomi. Dalam gerakan ini terdapat upaya
perubahan kebijakan publik tanpa terlebih dahulu menduduki posisi posisi publik.

Habernas menyebutkan gerakan sosial sebagai resistensi progresif terhadap invasi


negara dan sistem ekonomi.7 Sehingga yang menjadi faktor pembeda dari ketiga
gerakan diatas parpol di ranah politik, lobbyist dan perusahaan di ekonomi
(pasar), serta organisasi masyarakat sipil atau kelompok sosial dalam lingkup
masyarakat sipil sebagai aktor.

Ketiga ranah tersebut dapat saling bekerjasama. Misalnya pada gerakan sosial
yang para pendukung atau penentang dari Rancangan Undang-Undang Anti
Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) memiliki keterkaitan dengan kelompok
atau partai politik pada lingkup politik maupun pada kelompok bisnis yang
lainnya. Selain definisi gerakan sosial yang berada di ranah masyarakat sipil,
maka para aktor atau kelompok yang terlibat pun perlu diperjelas pengertian dan
cakupannya.

➢ Penguat Masyarakat Madani

Dengan adanya gerakan sosial yang ada di dalam institusi-institusi sebagai sosial
kontrol, dapat mengkritisi kebijakan penguasa yang diskriminatif serta dapat
memperjuangkan suara masyarakat yang tertindas.

Pilar-pilar ini menjadi prasyarat untuk terwujudnya kekuatan masyarakat sipil.


7 Ibid.
11
Pilar-pilar tersebut diantaranya:
1. Organisasi Non-Pemerintah (NGO).
Lebih dikenal dengan lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pengertian organisasi
non-pemerintah mencakup semua organisasi masyarakat yang berada di luar
struktur dan jalur formal pemerintah, dan tidak dibentuk oleh atau merupakan
bagian dari birokrasi pemerintah. Organisasi non-pemerintah menurut LP3ES
(Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) sebagai
organisasi atau kelompok masyarakat yang secara hukum bukan bagian dari
pemerintah dan tidak untuk mencari keuntungan (non-profit), tidak untuk
melayani diri sendiri atau anggota-anggotanya (self-serving). Akan tetapi, bekerja
untuk melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkan, sehingga pandangan
masyarakat menganggap institusi tersebut merupakan lembaga swadaya
masyarakat (LSM).

LSM membantu memperjuangkan suara dan kepentingan masyarakat yang


tertindas, juga mengadakan pemberdayaan kepada masyarakat mengenai hal
signifikan dalam kehidupan sehari-hari seperti sosialisasi program pembangunan
masyarakat.

2. Supremasi Hukum.
Dalam membangun masyarakat madani, hukum harus ditegakkan karena
mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dengan pemerintah haruslah
dilakukan dengan cara-cara damai sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun
demikian, dalam upaya menjaga dan memulihkan ketertiban dalam kehidupan
sosial maka pemerintahlah actor security. Penegakan hukum berdasarkan sudut
pandang akademik sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan
dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan
mengejawantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.

3. Perguruan Tinggi (PT).

12
Bergerak pada jalur moral force yang berkekuatan sosial dan masyarakat madani
dengan tujuan menyampaikan suara masyarakat, mengkritisi berbagai kebijakan
pemerintah melalui gearakan mahasiswa yang mewakili suara kepentingan publik.

Pendidikan tinggi mempunyai tiga peran strategis untuk mewujudkan masyarakat


madani di Indonesia menurut yang dikemukakan Rismanda Immawan, antara
lain:8

1. Berpihak pada prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar terciptanya


kehidupan yang demokratis

2. Mendirikan political safety net


Melalui pengembangan dan pengepublikasian informasi secara yang obyektif dan
tidak manipulatif.

3. Mengungkapkan ketidakadilan secara santun, hormat, dan demokratis serta


melupakan cara-cara agitatif.

4. Pers
Adanya pers dapat meminimalisir kesalahpahaman dengan pers menjadi meditator
dan dapat mendukung ciri masyarakst madani diantara pemerintah dan masyarakat
dan memandu masyarakat madani untuk dapat mengekspresikan pendapatnya
yang nantinya dapat menjadi media social control agar berbagai kebijakan
pemerintah dapat dianalisa dan dipublikasikan. Maka dari itu, sangat penting bagi
pers untuk selalu berpihak pada kebenaran.

5. Partai Politik
Dalam keseharian kita terutama ketika berinteraksi dengan antarwarga negara,
pemerintah, juga institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal) sehingga

8 Basyir, K., Pancasila dan kewarganegaraan: buku perkuliahan program S-1 IAIN Sunan Ampel
Surabaya rumpun mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK), Surabaya: Sunan Ampel Press,
2013, hlm. 410-415
13
variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku
politik dalam semua sistem politik. Budaya politik yang positif dapat menjadi
prasyarat tegaknya masyarakat madani karena menjadi tempat pengekspresian
politik warga megara juga partai politik. Selain itu budaya politik dapat
berdampak langsung kepada kehidupan politik juga dapat memutuskan keputusan
nasional dalam pola pengalokasian sumber masyarakat.

2.5 Civil Society Organization (CSO) dan Masyarakat Madani


CSO adalah organisasi yang dibuat secara sukarela oleh individu atau kelompok
yang tujuannya mendukung kegiatan atau kepentingan umum tanpa keuntungan
finansial (Herdiansah, 2006). CSO juga merupakan organisasi hukum dalam arti
hukum yang bertindak tanpa bergantung pada pemerintah atau setidaktidaknya
tidak dipengaruhi secara langsung oleh pemerintah (PRAKARSA, 2021).
Pembentukan organisasi non-pemerintah adalah Fokus suatu bentuk partisipasi
masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang
tidak dapat dipenuhi oleh negara.

Fokus urusan CSO di Indonesia sangat beragam dan memiliki departemen kerja di
berbagai tingkatan yaitu nasional, provinsi, kabupaten/kota dan desa/kelurahan.
Fokus kerja CSO yang paling penting adalah berdasarkan munculnya masalah
sosial ekonomi. Seperti diketahui, sebuah CSO bisa memiliki lebih dari satu
fokus, baik itu advokasi, penelitian atau kegiatan lainnya. 9 Dengan adanya
Civil Society Organization di Kabupaten Ponorogo. Sebelum membentuk
organisasi formal, masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang harus
diselesaikan, antara lain keberadaan pemerintah, masyarakat sebagai
masyarakat madani menurut Hikam (Rosyada, 2003:240) adalah bidang
kehidupan sosial

9 Irvan T. Harja, dkk., Tata Kelola Civil Society Organizations (CSOs) dan Demokrasi Substansif
di Indonesia , https://theprakarsa.org/tata-kelola-civil-society-organizations-csos-dan-
demokrasisubstansif-di-indonesia/ , diakses 8 Maret 2023
14
yang voluntary, self-productivity and profitabilitas, kemandirian yang tinggi dari
negara dan komitmen terhadap norma-norma hukum atau nilai-nilai yang dianut
oleh warga negaranya.Selain itu, Gellner (Rosyada, 2003:119) menjelaskan
bahwa masyarakat madani tidak hanya merupakan prasyarat atau syarat penting
bagi demokrasi, tetapi tatanan nilai masyarakat madani (citizen society), seperti
kebebasan dan kemerdekaan, juga bersifat internal (dalam hubungan horizontal,
yaitu hubungan interpersonal warga negara dan eksternal (dalam hubungan
vertikal, yaitu hubungan antara negara dan pemerintah dengan masyarakat atau
sebaliknya).

Dalam kehidupan bermasyarakat, semakin kuat ketika masyarakat sipil membentuk


kelompok yang mempersatukan semua orang dengan kepentingan dan tujuan
yang sama. Di Indonesia, integrasi dalam organisasi disebut NGO (Non-
Governmental Organization) dari kelompok ini disebut Civil Society
Organization (CSO). Kemajuan demokrasi di Indonesia tentunya membuat
masyarakat semakin peka terhadap masalah-masalah sosial dan selalu
mengikuti perkembangan pemerintah, termasuk perumusan kebijakan publik.
Komunitas dengan minat yang sama berkumpul karena merasa setara dan
membentuk organisasi komunitas. Di Kabupaten Ponorogo sendiri terdapat
banyak CSO di berbagai bidang, namun penelitian ini hanya mengkaji
beberapa CSO karena pergerakan di Kabupaten Ponorogo dalam konteks
perumusan kebijakan publik.

CSO yang berada di Kabupaten Ponorogo


1. Muhammadiyah, organisasi kemasyarakatan ini juga telah berkembang di
Kabupaten Ponorogo dalam beberapa bidang yaitu agama, pendidikan,
kesehatan, sosial, ekonomi dan hukum, masing-masing dengan tujuan utama
pemberdayaan dan pembangunan masyarakat. Banyak lembaga didirikan pada
masa pemerintahan Muhammadiyah Ponorogo meliputi rumah sakit, klinik,
sekolah, perguruan tinggi, panti sosial dan pusat perbelanjaan.

15
2. Nahdlatul Ulama, organisasi ini berbasis agama, secara nasional organisasi
ini berkembang pesat di berbagai bidang diantaranya di Kabupaten Ponorogo,
organisasi ini berfokus pada pengembangan masyarakat dan bergerak dalam
bidang keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi dan sektor kesehatan.
Kabupaten Ponorogo juga memiliki banyak lembaga yang didirikan oleh
Nahdlatul Ulama.

3. Yayasan Reyog Ponorogo, organisasi yang fokus pada pelestarian tradisi


khususnya Reyog Ponorogo yang kini sudah terkenal di seluruh Indonesia
bahkan mancanegara. Keberadaan Yayasan Reyog Ponorogo merupakan
organisasi yang melindungi keberadaan kelompok kesenian Reog se-Kabupaten
Ponorogo agar tetap lestari, lestari dan sesuai standar.

4. Initiative to Change Access to Health Indonesia Foundation (IPAS),


organisasi ini ada tidak hanya di wilayah administrasi Ponorogo tetapi di seluruh
Indonesia, meskipun keberadaan organisasi ini sangat berguna bagi Dinas
Kesehatan Kabupaten Ponorogo dalam mengembangkan kebijakan terkait
kesehatan reproduksi ,angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi
(AKB).

Civil Society Organization (CSO) dalam merumuskan kebijakan publik di


Kabupaten Ponorogo Tentu saja, semakin banyaknya CSO di Ponorogo
mempengaruhi adanya proses yang bertujuan untuk transparansi dalam
perumusan kebijakan publik di segala aspek. Musim Panas (2009:31)
menyebutkan bahwa CSO memiliki empat fungsi utama, antara lain peningkatan
kesadaran, advokasi politik, pengembangan kelembagaan dan peningkatan
kapasitas. Dalam prakteknya, CSO Kabupaten Ponorogo berpartisipasi dalam
perumusan kebijakan publik Kabupaten Ponorogo, termasuk peraturan daerah
yang disiapkan oleh DPRD Kabupaten Ponorogo, dan tentu saja CSO juga
dilibatkan untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan saran tentang kegiatan
mereka sendiri untuk diperoleh bidang yang sesuai.

16
Menurut pendapat tersebut, peran CSO dalam merumuskan kebijakan publik di
Kabupaten Ponorogo dapat dilihat sebagai berikut:

1. Menjadi penghubung bagi masyarakat dan Pemerintah, urusan masyarakat,


organisasi non-pemerintah bertindak sebagai titik fokus Anda harus selalu
hadir di hati masyarakat untuk menjadi seorang aktivis, karena masyarakat
tidak memiliki akses langsung terhadap perumusan kebijakan publik.
Masyarakat hanya dapat memilih melalui jalur terbatas, sehingga banyak
kontribusi masyarakat yang tidak dapat disalurkan.

2. Memperhatikan kepentingan masyarakat, Salah satu tugas CSO adalah


tanggap dalam menghadapi permasalahan masyarakat, selain selalu
berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat agar keinginan masyarakat
dapat tersesuaikan dengan baik.

3. Mendorong adanya jaringan antar kelompok masyarakat, Kelompok-


kelompok dalam masyarakat sangat beragam dan masing-masing memiliki
kepentingannya masing-masing, sehingga dengan adanya kelompok
masyarakat yang banyak akan lebih mudah mengakomodasi kepentingan yang
ada. Dalam hal ini juga lebih mudah bagi CSO untuk mengklasifikasikan
kelompok masyarakat tersebut melalui kebijakan yang disiapkan oleh
pemerintah.

4. Menjalin kerjasama antara pemerintah, pemerintah kota dan pihak ketiga.


Prinsip kerjasama diperlukan sebagai bagian dari prinsip transparansi dan tata
kelola yang baik. Pihak ketiga diperlukan agar dapat memberikan masukan
tambahan atas masalah yang tidak diselesaikan oleh pemerintah atau CSO.
Keduanya tidak bisa menyelesaikan semua masalah, sehingga masih
diperlukan pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah yang ada di
masyarakat. Tugas CSO adalah membangun hubungan baik antara

17
masyarakat, pemerintah dan pihakpihak yang terlibat dalam perumusan
kebijakan daerah.10

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masyarakat madani (civil society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang
beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Masyarakat
madani terwujud apabila suatu masyarakat telah menerapkan prinsip-prinsip
demokrasi dengan baik.Karakteristik masyarakat madani adalah free public
sphere

(ruang publik yang bebas), demokratisasi, toleransi, pluralisme, keadilan sosial


(social justice), partisipasi sosial, supremasi hukum.

Berdasarkan karakteristik masyarakat madani menjadi penting untuk mewujudkan


masyarakat madani apalagi dalam negara demokrasi ini guna terlaksananya sistem
demokrasi yang kuat, konsolidasi demokrasi yang baik, serta tercapai tujuan
pembangunan dari sebuah negara. Maka dari itu penting untuk membangun
masyarakat madani di Indonesia dengan inegrasi nasional dan politik, reformasi
sitem politik demokrasi, pendidikan serta penyadaran politik. Masyarakat juga
madani mengejawantah dalam wadah sosial politik masyarakat seperti organisasi
keagaamaan juga dalam gerakan sosial. Masyarakat madani bersama lima pilar
yaitu Organisasi Non Pemerintah (NGO), Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi,

10 Ardhana Januar Mahardhani, dkk.., “PERAN CIVIL SOCIETY ORGANIZATION (CSO)


DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK (KAJIAN DI KABUPATEN PONOROGO)”,
Jurnal of Public sector innovations, Volume 4, Nomor 2, Mei 2022
18
Pers, dan Partai politik sebagai pewujud terwujudnya kekuatan masyarakat
madani.

CSO adalah organisasi yang dibuat secara sukarela oleh individu atau kelompok
yang tujuannya mendukung kegiatan atau kepentingan umum tanpa keuntungan
finansial (Herdiansah, 2006). Fokus urusan CSO di Indonesia sangat beragam dan
memiliki departemen kerja di berbagai tingkatan yaitu nasional, provinsi,
kabupaten/kota dan desa/kelurahan. Kemajuan demokrasi di Indonesia tentunya
membuat masyarakat semakin peka terhadap masalah-masalah sosial dan selalu
mengikuti perkembangan pemerintah, termasuk perumusan kebijakan publik.
Komunitas dengan minat yang sama berkumpul karena merasa setara dan
membentuk organisasi komunitas. Di Kabupaten Ponorogo sendiri terdapat
banyak CSO di berbagai bidang, namun penelitian ini hanya mengkaji beberapa
CSO karena pergerakan di Kabupaten Ponorogo dalam konteks perumusan
kebijakan publik. Sebagai contoh CSO yang ada di Kabupaten Ponorogo yaitu,
Muhammadiyah organisasi kemasyarakatan ini juga telah berkembang di
Kabupaten Ponorogo dalam beberapa bidang yaitu agama, pendidikan, kesehatan,
sosial, ekonomi dan hukum, masing-masing dengan tujuan utama pemberdayaan
dan pembangunan masyarakat. Banyak lembaga didirikan pada masa
pemerintahan Muhammadiyah Ponorogo meliputi rumah sakit, klinik, sekolah,
perguruan tinggi, panti sosial dan pusat perbelanjaan.

19
DAFTAR PUSTAKA
Aidha, C. N., Ramdlaningrum, H., Ningrum, D. R., & Harja, I. T. (n.d.). Tata
Kelola Civil Society Organizations (CSOs) dan Demokrasi Substansif di
Indonesia. Retrieved March 9, 2023, from
https://repository.theprakarsa.org/media/publications/352445-tata-kelola-
civilsociety-organizations-abce1cdf.pdf

Basyir, K. (2013). Pancasila dan kewarganegaraan: buku perkuliahan program


S-1 IAIN Sunan Ampel Surabaya rumpun mata kuliah pengembangan kepribadian
(MPK). Surabaya. Sunan Ampel Press.

Mahardhani, A. J. (2020, Mei). Peran Civil Society Organization (CSO) dalam


Perumusan Kebijakan Publik (Kajian di Kabupaten Ponorogo), 4, 59-62.

Nuswantari. (2019). Pendidikan Pancasila (Membangun Karakter


Bangsa).Yogyakarta. Deepublish.

Sapuloh, A., & Tarsono. (2011). Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan


Tinggi Islam. Bandung. Baticpress.

Sulaiman, A. (2015). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Arfino Raya.

Suroto. (2015, Mei). Konsep Masyarakat Madani di Indonesia dalam Masa


Postmodern (S. Pendidikan Kewarganegaraan, 5.

Ubaedillah, A., & Rozak, A. (2014). Pancasila, Demokrasi, HAM, dan


Masyarakat Madani. Jakarta. ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakar
19

Anda mungkin juga menyukai