Kelompok I
Luthfiatunnisa 0404183063
Taslim Siregar 0404183065
FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
T. A. 2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa shalawat serta
salam atas junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah diutus kemuka bumi ini
sebagai Rahmatanlil Alamin.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Civil Society (Masyarakat Madani)
“Pengertian dan Sejarah Civil Society”. Dimana dalam makalah ini diharapkan lebih
membuka wawasan berpikir dibidang terkait dengan yang telah dibaca.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi kita semua dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan.
Kelompok I
i
DAFTAR ISI
KATA PPENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang.................................................................................................................1
B.Rumusan Masalah............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Civil Society......................................................................................................2
B. Pengertian Civil Society.................................................................................................4
C. Karakteristik Civil Society..............................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_madani, diakses pada tanggal 18 november 2021 pukul 21:13
1
PEMBAHASAN
A. Sejarah Civil Society
Istilah Civil Society sudah ada sejak sebelum Masehi orang yang pertama kali
Mencetuskan istilah Civil Society ialah cicero (106-43 SM), sebagai seorang orator Yunani
kuno. Civil Society menurut cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang
dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep
civility (kewarganegaraan) dan urbanity (budaya Kota), maka kota dipahami bukan hanya
sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
(Heri Herdiwanto, dkk: 2019)
Aristoteles (384-322 SM) memandang konsep Civil Society sebagai sistem kenegaraan
atau identik dengan negara itu sendiri titik konsep Civil Society Pada masa ini dikenal
sebagai istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat keluarga dapat
terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan pengambilan keputusan.
Berbeda dengan Aristoteles, Romawi Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
mengistilahkan masyarakat sipil dengan societis cvilies, yaitu sebuah komunitas yang
mendominasi komunitas yang lain dengan tradisi politik kota sebagai komponen utamanya.
Istilah yang digunakan cicero lebih menekankan pada konsep negara kota dia ini untuk
menggambarkan kerajaan kota, dan bentuk korporasi lainnya yang menjelma menjadi entitas
yang terorganisir.
Rumusan Civil Society selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1674
M) dan John Locke (1632-1704 M). Keduanya memandang perkembangan Civil Society
sebagai kelanjutan dari evolusi masyarakat yang berlangsung secara alamiah. Menurut
Hobbes sebagai entitas negara Civil Society punya peranan mutlak untuk meredam konflik
dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak yang mampu mengontrol
dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi atau perilaku politik setiap warga negara.
Sedangkan menurut John Locke, kehadiran Civil Society adalah untuk melindungi kebebasan
dan hak milik setiap warga negara.
Selanjutnya ada Ferguson (1767) mengkontekstualisasikan wacana Civil Society
dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia dengan perkembangan kapitalisme nya yang
berdampak pada krisis sosial. Ferguson lebih menekankan visi etis pada Civil Society dalam
kehidupan sosial.
Thomas Paine (29 Januari 1737-8 Juni 1809) memakai pengertian Civil Society sebagai suatu
yang berlawanan dengan lembaga negara, Bahkan ia dianggap sebagai antitesis negara.
2
Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi titik Menurut pandangan
ini, bahkan negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka titik konsep negara yang
absah, menurut pemikiran ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan
oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna suatu
masyarakat sipil semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri
titik Dengan demikian, menurutnya, Civil Society adalah ruang dimana warga dapat
mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi perumusan kepentingan secara
bebas tanpa paksaan. Ruang gerak dalam pandangan Paine, adalah suatu ruang gerak
masyarakat tanpa intervensi negara titik sejalan dengan pandangan ini, Saipul Society harus
lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya.
Wacana Civil Society selanjutnya dikembangkan oleh G. W.F Hegel (1770-1831 M),
Karl Marx (1818-1883 M), Antonio Gramsci (1891-1937 M). Dalam pandangan ketiganya,
Saipul Society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas
pandangan Paine yang memisahkan Civil Society dari negara. Hegel memandang Civil
Society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Hegel menjelaskan bahwa dalam
struktur sosial Civil Society terdapat tiga intensitas sosial: keluarga, masyarakat sipil dan
negara.
Berbeda dengan Hegel, Karl Marx memandang Civil Society sebagai masyarakat
borjuis. Dalam konteks hubungan produksi merupakan upaya pembebasan manusia dari
terciptanya proses pembebasan manusia untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
Berbeda pula dengan Marx, Antonio gramsci tidak memandang masyarakat sipil dalam
konteks relasi produksi Tetapi lebih pada sisik ideologis titik di lamarck menempatkan
masyarakat madani pada basis material, menetapkan pada superstruktur yang berdampingan
dengan negara yang ia sebut dengan political Society. Menurut gramsci, Civil Society
merupakan tempat perebutan posisi hegemoni di luar kekuatan negara, aparat
mengembangkan hegomoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat.
Fase selanjutnya, wacana Civil Society sebagai reaksi terhadap mazhab hegelian yang
dikembangkan oleh Alexis De Tocqueville (1805-1859 M). Tocqueville memandang Civil
Society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurutnya, kekuatan politik dan
masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika
mempunyai daya tahan yang kuat. Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat
Amerika yang bercirikan plular, Mandiri, dan kedewasaan politik, menurutnya warga negara
dimanapun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara. Pemikiran
Tocqueville lebih menempatkan masyarakat sipil sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun
3
tersubordinasi dari lembaga negara. Dapat disimpulkan, pandangan civil society ala
Tocquevillian ini merupakan modal masyarakat sipil yang tidak hanya berorientasi pada
kepentingan individual tetapi juga mempunyai komitmen terhadap kepentingan publik.
Dari sejumlah model dan pandangan tentang Civil Society mazhab Gramscian dan
Tocqueville telah menjadi inspirasi gerakan Pro demokrasi di Eropa Timur dan Eropa tengah
pada dasawarsa 80-an. Tidak hanya menginspirasi gerakan demokrasi di Eropa Tengah dan
Eropa Timur, mazhab pemikiran Civil Society juga dikembangkan oleh cendekiawan muslim
Indonesia m Dawam Rahardjo dengan konsep masyarakat madani pemikiran Alexis De
Tocqueville dan Robert Wuthnow.2
2
A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi , HAM, Dan Masyarakat Madani (Jakarta: Kencana, 2017)
h. 217-221
3
Qodri Azizy, Melawan Golbalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 126
4
Heri Herdiwanto dkk, Kewarganegaraan dan Masyarakat Madani (Jakarta: Kencana,2019) Hh. 266
4
Indonesia sering menyebut masyarakat madani dengan istilah civil Society yang
diterjemahkan oleh beberapa ahli yaitu masyarakat sipil, masyarakat madani, masyarakat
Kewargaan, korporatisme masyarakat. Perbedaan terjemahan mengenai Civil Society
berdasarkan perbedaan di antara mereka dalam penggunaan sudut pandang. Selain itu,
banyak terpengaruh atas pendapat pendapat para ahli tentang masyarakat madani khususnya
ilmuwan dari barat.5
Adi Suryadi culla melihat setidaknya ada empat perspektif dalam memandang Civil
Society:6
Usiono (2018: 131) menyimpulkan bahwa Civil Society atau masyarakat madani
adalah kelompok masyarakat yang memiliki sifat demokratis dan saling menghargai satu
sama lainnya dimana dalam mengambil keputusan selalu mengedepankan prinsip
keterbukaan, toleransi, musyawarah untuk menjaga sosialisme antar sesama individu suatu
masyarakat.
5
Usiono, potret baru pendidikan Pancasila (Medan: Perdana Publishing, 2018) h. 129
6
Ibid, h. 130
7
Asep Sahid Gatara dan Moh Dzulkiah Said, Sosiologi Politik (Bandung: Pustaka Setia, 2007) h. 113
5
3. Adanya kemampuan untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak intervensionis.
1. Free Public Sphere, adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam
mengemukakan pendapat.
2. Demokratis, merupakan satu intensitas yang menjadi penegak masyarakat madani, di
mana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya termasuk dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
3. Toleran, merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk
menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan
oleh orang lain.
4. Pluralisme, menurut Nurcholis Madjid konsep pluralisme ini merupakan prasyarat
bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.
5. Keadilan Sosial, keadilan dimaksud untuk menyebutkan keseimbangan dan
pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang
mencakup aspek seluruh kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli
dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara
esensial masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan
yang ditetapkan oleh pemerintah.
BAB III
8
Saidurrahman dan Arifinsyah, Pendidikan Kewarganegaraan NKRI harga mati (Jakarta: Prenamedia Group,
2018) h.52
6
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah Civil Society sudah ada sejak sebelum Masehi orang yang pertama kali
Mencetuskan istilah Civil Society ialah cicero (106-43 SM), sebagai seorang orator Yunani
kuno. Civil Society menurut cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang
dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep
civility (kewarganegaraan) dan urbanity (budaya Kota), maka kota dipahami bukan hanya
sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
(Heri Herdiwanto, dkk: 2019)
Usiono (2018: 131) menyimpulkan bahwa Civil Society atau masyarakat madani
adalah kelompok masyarakat yang memiliki sifat demokratis dan saling menghargai satu
sama lainnya dimana dalam mengambil keputusan selalu mengedepankan prinsip
keterbukaan, toleransi, musyawarah untuk menjaga sosialisme antar sesama individu suatu
masyarakat.
B. Saran
Penyusunan makalah ini Masilah sangat memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu kami
sangat mengharapkan saran dan masukan dari bapak sebagai dosen pengampu. Agar kami
dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
7
Daftar Pustaka
Gatara, Sahid Asep dan Moh Dzulkiah Said. (2007). Sosiologi Politik. Bandung: Pustaka
Setia