Anda di halaman 1dari 25

HAKIKAT MASYARAKAT MANDANI (CIVIL SOCIETTY)

Istilah masyarakat Mandani hingga saat ini menjadi isu penting yang mewarnai jalannya proses demokrasi di Indonesia. Tidak hanya itu, istilah masyarakat Mandani telah menjadi pembicaraan penting dalam setiap diskusi-diskusi ilmiah. 1.Pengertian Masyarakat Mandani (Civil Society) Dalam bahasa Arab konsep masyarakat Madani dikenal dengan istilah al-mujtama almadani, dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah civil society. Selain kedua istilah tersebut, ada dua istilah yang merupakan istilah lain dari masyarakat madani yaitu masyarakat sipil dan masyarakat kewargaan. Civil society berasal dari proses sejarah masyarakat Barat. Cicero yang memulai menggunakan istilah Societas Civilis dalam filsafat politiknya, yang berarti komunitas polotik yang beradap, dan didalamnya termasuk masyarakat kota yang memiliki kode hukum tersendiri. Masyarakat Mandani merupakan konsep yang merujuk pada masyarakat yang pernah berkembang di Madinah pada zaman Nabi Muhammad saw., yaitu masyarakat yang mengacau pada nilai-nilai kebijakan umum, yang disebut alkhair. Berkenaan dengan pengertian masyarakat Madani atau civil society, para pakar banyak mengemukakan pandangannya yang berbeda, diantaranya sebagai berikut : a.A.S Hikam, berpendapat bahwa civil society secara institusional diartikan sebagai pengelompokan anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas bertindak aktif dalam wacana dan praktis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya. b.Gallner, menunjuk konsep civil society sebagai masyarakat yang terdiri atas berbagai institusi non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi negara. c.Victor Perez-Diaz, menyatakan bahwa civil society lebih menekankan pada keadaan pada keadaan masyarakat yang telah mengalami pemerintahan yang terbatas, memiliki kebebasan, mempunyai sistem ekonomi pasar dan timbulnya asosiasiasosiasi masyarakat yang mandiri serta satu sama lain saling menompang. d.Nicos Mouzelis, mendrfinisikan civil society sebagai sebuah tatanan sosial, di mana ada perbedaan yang jelas antara bidang individu dan bidang publik dan terjadi tingkat mobilitas sosial dari warga masyarakat. e.Eisenstadl, mengatakan bahwa civil society adalah sebuah masyarakat baik secara individual maupun secara kelompok, dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara independen. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan secara umum masyarakat madani atau civil society dapat diartikan sebagai suatu corak kehidupan masyarakat yang terorganisir, mempunyai sifat kesukarelaan, keswadayaan, kemandirian, namun mempunyai kesadaran hukum yang tinggi. Untuk mewujudkan konsep tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan berbagai prasyarat sebagaimana diungkapkan oleh Han Sung-Jun, yaitu : a.Diakui dan dilindunginya hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat serta mandiri dari negara.

b.Adanya ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapa saja dalam mengartikulasikan isu-isu politik. c.Terdapatnya gerakan kemasyarakatan yang berdasar pada nilai-nilai budaya tertentu. d.Terdapatnya kelompok inti di antara kelompok-kelompok menengah yang mengakar dalam masyarakat dan mampu menggerakkan masyarakat dalam melakukan modernisasi sosial ekonomi. 2.Ciri-ciri Masyarakat Madani (civil society) Masyarakat madani (civil society) sebagai sebuah tatanan masyarakat yang mandiri dan menunjukkan kemajuan dalam hal peradaban, mempunyai ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan bentuk masyarakat lainnya. Menurut A.S Hikam ada empat ciri utama dari masyarakat mandani, yaitu sebagai berikut : a.Kesukarelaan artinya tidak ada paksaan, namun mempunyai komitmen bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama b.Keswasembadaan, setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi, mandiri yang kuat tanpa menggantungkan pada negara atau lembaga-lembaga negara atau organisasi lainnya. c.Kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara. d.Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Masyarakat madani adalah masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan. Dalam sudut pandang lain, Nurcholis madjid mengemukakan ciri-ciri masyarakat madani sebagai berikut : a.Semangat egalitarianisme atau kesetaraan. b.Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise seperti keturunan kesukuan, ras, dan lain-lain. c.Keterbukaan. d.Partisipasi seluruh anggota masyarakat. e.Penentuan kepemimpinan melalui pemilihan. Sedangkan menurut Hidayat Syarif, masyarakat madani mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a.Masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, Pancasilais, dan memiliki cita-cita serta harapan masa depan. b.Masyarakat yang demokratis dan beradab yang menghargai perbedaan pendapat. c.Masyarakat yang menghargai Hak Azazi Manusia (HAM). d.Masyarakat yang tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya malu apabila melanggar hukum. e.Masyarakat yang memiliki kepercayaan diri dan kemandirian. f.Masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal (pluralis). 3.Perwujudan Masyarakat Madani Model Indonesia Masyarakat madani Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara

lainnya. Masyarakat madani Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut: a.Kenyataan adanya keanekaragaman budaya Indonesia yang merupakan dasar pengembangan identitas bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional. b.Adanya saling pengertian antara sesama anggota masyarakat. c.Toleransi yang tinggi. d.Adanya kepastian hukum. Karakteristik-karakteristik tersebut selalu mewarnai perwujudan konsep masyarakat madani model Indonesia. Perwujudan konsep masyarakat madani di Indonesia dapat kalian kaji dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Secara historis perwujudan masyarakat madani di Indonesia bisa dirunut semenjak terjadinya perunahan sosial ekonomi pada masa kolonial, terutama ketika kapitalisme mulai diperkenalkan oleh Belanda. Hal ini ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial melalui proses industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan modern. Hasilnya antara lain munculnya kesadaran baru di kalangan kaum elit pribumi yang mendorong terbentuknya organisasi sosial modern. Pada masa De3mokrasi Terpimpin, politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi massa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya setiap usaha yang dilakukan masyarakat untuk mencapai kemandirian beresiko dicurigai sebagai kontra revolusi. Sehingga perkembangan masyarakat madani kembali terhambat. Perkembangan orde lama dan munculnya orde baru memunculkan secercah harapan bagi perkembangan masyarakat madani di Indonesia. Pada masa orde baru, dalam bidang sosial-ekonomi tercipta pertumbuhan ekonomi, tergesernya pola kehidupan masyarakat agraris, tumbuh dan berkembangnya kelas menengah dan makin tingginya tingkat pendidikan. Sedangkan dalam bidang politik, orde baru memperkuat posisi negara di segala bidang, intervensi negara yang kuat dan jauh terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan. Hal tersebut berakibat pada terjadinya kemerosotan kemandirian dan partisipasi politik masyarakat serta menyempitkan ruang-ruang bebas yang dahulu pernah ada, sehingga prospek masyarakat madani kembali mengalami kegelapan. Setelah orde baru tumbang dan diganti oleh era reformasi, perkembangan masyarakat madani kembali menorehkan secercah harapan. Hal ini dikarenakan adanya perluasan jaminan dalam hal pemenuhan hak-hak asasi setiap warga negara yang intinya mengarahkan pada aspek kemandirian dari setiap warga negara. Dari zaman orde lama sampai era reformasi saat ini, permasalahan perwujudan masyarakat madani di Indonesia selalu menunjukkan hal yang sama. Berikut ini beberapa permasalahan yang bisa menjadi hambatan sekaligus tantangan dalam mewujudkan masyarakat madani model Indonesia, yaitu sebagai berikut : a. Semakin berkembangnya kelas menengah. b. Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat. c. Pertumbuhan pers sangat pesat dari segi kuantitas maupun teknologi. d. Kaum cendikiawan makin banyak yang merasa aman ketika dekat dengan pusatpusat kekuasaan. Proses pemberdayaan itu dapat dilakukan dengan tiga model strategi sebagaimana dikemukakan oleh Dawam Rahardjo, yaitu sebagai berikut : a.Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. b.Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. c.Strategi yang memilih pembangunan masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menuju masyarakat madani Indonesia tidak ditempuh melalui proses yang radikal dan cepat (revolusi), tetapi proses yang sistematis dan berharap serta cenderung lambat (evolusi), yaitu melalui upaya pemberdayaan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.

AGAMA DAN MASYARAKAT MADANI (PETUNJUK-PETUNJUK)


Frans Magnis-Suseno SJ

1. Hal civil society/masyarakat madani (MM) sebaiknya didekati secara


faktual daripada normatif. Bukan : setuju atau tidak dengan MM, melainkan: adakah MM di Indonesia, sejauh mana, dan implikasinya apa? Secara normatif dapat ditanyakan; Bagaimana MM dapat diperkuat? Ke arah mana masyarakat, jadi; MM juga, sebaiknya diarahkan? Maka, "masyarakat madani: tentu bukan "gagasan yang diimpor" maupun "gagasan yang tidak diimpor", karena dia sama sekali bukan sebuah gagasan, melainkan sebuah kenyataan yang ada atau tidak ada atau untuk sebagian ada tetapi tidak peduli apakah kita menggagaskannya atau tidak. MM pada hakekatnya (dan mengikuti faham hegel) adalah kehidupan masyarakat di luar lingkungan keluarga/primordial/lingkungan kenalan pribadi yang diminati secara pribadi, di satu fihak, dan dilain fihak (barangkali diatur, tetapi) tidak ditentukan, diadakan oleh negara. Jadi MM hidup dan berkembang karena dinamikanya sendiri, bukan karena dorongan, apalagi inisiatif-inisiatif dari negara. Input-input dari negara (yang tentu terus menerus ada) ditampung dengan respons yang mandiri (hubungan negara - MM bukan generatif, (melainkan menurut ideal typenya) dialogal-dialektis. MM dapat dideskripsikan sebagai "wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, a.l., kesukarelaan (voluntary), keswasembadayaan (self-generating), dan keswadayaan (selfsupporing), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Sebagai sebuah ruang politik civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, dan tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat (Hikam 1996,3). Yang juga penting: MM perlu difahami sebagai proses (ib.), bukan sebagai sesuatu yang jadi. MM sebaiknya dilihat secara historis, sebagai perkembangan khas pasca-tradisional. Dalam masyarakat tradisional belum ada MM dan belum ada "negara" dalam arti lembaga pusat yang kehadirannya nyata dalam

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

segenap wilayah kehidupan. Yang ada adalah keluarga (inti-luas), komunitas lokal (desa, kampung sekitar kraton, masyarakat sebuah kota), golongan-golongan feodal menurut jajaran masing-masing (kasta-kasta, Stande/estates seperti bangsawan, gilda, pedagang). masing-masing dengan tatanannya sendiri dan dalam interaksi, dan di atasnya pemerintah (bukan: negara) dengan fungsi-fungsi sangat terbatas: perlindungan ke luar, representasi makna sosial dan karena itu prinsip ideal kesatuan masyarakat yang pluriform. Negara tidak mencoba "membangun masyarakat", dan masyarakat (barangkali menderita karena penindasan atau perang-perangan raja) tetapi tidak berwawasan "mempertahankan kemandirian terhadap negara" dan lain faham modern seperti itu. Di negara-negara industri/perekonomian modern primer MM terbentuk bersamaan dengan burjuasi yang mengambil alih kemudi perkembangan ekonomis menurut prinsip-prinsip kapitalisme. 100 tahun permulaan zaman industri (akhir abad ke-18 masuk ke abad ke-19) adalah satu-satunya zaman di mana perekonomian mengembangkan dinamika mendahului perkembangan sosial-politis (yang menimbulkan ilusi pada Marx bahwa "perkembangan alat-alat produksi" selalu mendahului dan menentukan perkembangan hubungan sosial dan "bangunan atas" (cf. Habermas 1976). MM dengan sendirinya tidak mempunya kaitan dengan egalitarianisme atau isme-isme lain. Adanya egalitarisme tidak berarti ada MM. Yang betul ialah bahwa MM, dalam kontestasinya terhadap kekuatan-kekuatan feodalisme yang mengekang dinamikanya mengambil faham kesamaan dan kebebasan sebagai pengertian-pengertian yang sangat cocok untuk membongkar legitimasi tatanan feodal itu. Sedangkan cita-cita ketiga Revolusi Perancis, persaudaraan, tidak mendapat gema banyak dalam MM, melainkan kemudian disuarakan oleh sebagian dari MM, yaitu kelaskelas bawah dan kelompok-kelompok militan, sebagai senjata perjuangan mereka. Cita-cita kesamaan dalam MM tidak menjadi amat dominan karena malah akan mengurangi kebebasan dan dinamikanya. Dalam negara-negara berkembang (gelombang industrialisasinya kedua, ketiga, dsl) MM dengan sendirinya hanya berkembang dengan lambat. Ia berkembang sejalan dengan modernisasi struktur produksi dan kerja. Ia lambat karena modernisasi dalam segala dimensi, termasuk pembangunan ekonomis, dirintis oleh negara. Maka kita menemukan sesuatu yang tidak banyak kelihatan dalam negara-negara industri primer (saya tidak masuk di semua bidang menjadi perintis, pemrakarsa, penggerak, pendorong, dan sponsor finansial. Ketergantungan masyarakat yang semakin modern dari negara luar biasa besarnya. (perlu diperhatikan bahwa di negaranegara industri primer pun peran negara semakin bertambah; tetapi karena MM sudah mapan, ia tetapi mempertahankan diri sebagai padanan dialektis negara). Akan tetapi MM perlu juga berkembang di negara-negara berkembang apabila cita-cita lepas landas mau tercapai. Lepas landas berarti: perkembangan masyarakat, terutama juga di bidang ekonomi, berdasarkan dinamika masyarakat sendiri. Peran negara semakin sebagai fasilisator dan penata, jadi bukan lagi sebagai mesin pendorong satu-satunya.

10.Apakah (di negara-negara berkembang) tahap tinggal landas merupakan sesuatu yang niscaya, ataukan mungkin juga berkembang sebuah masyarakat yang tetap ditopang oleh negara? Jawaban tentu spekulalatif. Akan tetapi ada petunjuk bahwa dinamika ke MM ada, meskipun sangat tergantung dari keputusan politik yang bersifat struktural. Kegagalan total semua bentuk perekonomian sosialis (di mana negara menjadi pusat perekonomian (dan kehidupan) bangsa (pada umumnya) akan terbenam dalam lumpur korupsi dan inefisiensi apabila tidak terjadi emansipasi proses ekonomis dari pengurusan langsung oleh negara, menunjukkan bahwa tanpa adanya MM lepas landas tidak tercapai dan perkembangan ekonomis akan macet , hal mana akan menjerumuskan negara yang bersangkutan ke dalam kehancuran. 11.Terwujudnya MM untuk sebagian berjalan dengan sendirinya, tetapi untuk sebagian tergantung dari apakah, dengan keputusankeputusan politik yang tepat, diciptakan kondisi-kondisi yang konduktif. Deregulasi ekonomis (tetapi: tak ada alasan mengapa deregulasi itu mesti menyeluruh; yang menjadi tolok ukur bagi deregulasi adalah bahwa terutama hal-hal seperti kartel, monopoli serta dominasi koneksi atas prestasi ekonomis dicabut landasanya), keterbukaan politis sampai tahap tertentu (sejauh mana perkembangan demokratis merupakan syarat pembangunan ekonomis berkelanjutan masih diperdebatkan), lalu, amat penting, perwujudan negara hukum secara efektif, termasuk jaminan hal-hak asasi manusia (di antaranya pemastian bahwa pelanggaran hak-hak asasi inti sedikit pun tidak ditolerir lagi), itulah syarat-syarat pemberdayaan masyarakat yang semakin mengoptimalkan kondisi perwujudan MM. 12.Hubungan antara penciptaan kondisi-kondisi itu dan MM adalah timbal balik: Deregulasi, keterbukaan dan negara hukum mengandaikan adanya MM, meskipun barangkali masih kecil dan lemah. MM itu sendiri terus menerus, berdasarkan dinamika internal, memberi tekanan agar deregulasi, keterbukaan dan negara hukum diusahakan terus, dan deregulasi, keterbukaan dan negara hukum itu sendiri memperkuat MM. 13.Baru sekarang saya mau ke pertanyaan pokok bahasan bersama ini: Apa relevansi pembicaraan tentang MM itu? Pertama: meskipun MM merupakan perkembangan faktual yang, senang atau tidak senang, akan terjadi, akan tetapi sejauh mana MM dapat berkembang lebih lanjut, atau malah macet, lalu masyarakat menjadi lemah, fungsi negara semakin super-dominan dan akhirnya semunya terperosok dalam keambrukan, kekacauan, anarki dan (kemungkinan nyata) negara bubar, - sangat tergantung dari keputusan-keputusan politik (mengenai deregulasi, keterbukaan dan negara hukum itu). Dengan lain kata, dalam kondisi modernitas dan globalisasi, dapat diragukan apakah dengan MM yang lemah suatu stabilitas positif kehidupan kemasyarakatan dan bahkan kenegaraan dapat dipertahankan. Alternatifnya adalah diktatur gelap. 14.Maka, kedua, ada kaitan cukup erat antara kemajuan ekonomi, perwujudan negara hukum, demokrasi dan keberadaban kehidupan masyarakat dengan apakah MM berkembang terus atau tidak. Hal itu dapat dirumuskan sbb: Kalau Indonesia mau mempertahankan diri sebagai negara dan masyarakat yang "adil makmur", yang

beradab, sejahtera, terang, terbuka, berbudaya dan merdeka (ke luar), memperkuat MM terus menerus harus menjadi opsi pengarahan pembangunan politis dan sosial. 15.Dengan demikian implikasi-implikasi opsi pro pengembangan MM perlu diperhatikan. Di atas sudah dikemukan bahwa MM hanya dapat menjadi mantap apabila kita meneruskan deregulasi, mengambil tindakan untuk memantapkan keterbukaan dan berhasil mewujudkan negara hukum. Sekarang kita dapat melihatnya dengan lebih prinsipil. MM karena merupakan kehidupan sosial yang berdasarkan dinamika sendiri secara hakiki harus bebas secara internal. Artinya, dinamika-dinamika yang ada dalam masyarakat tidak boleh ditindas, diregulasi, dipotong berdasarkan apriori-apriori ideologis dsb. 16. Lebih terinci, masyarakat itu di satu fihak harus menjamin kebebasan segenap warga masyarakat, individual dan kolektif, untuk mewujudkan kehidupan menurut cita-cita mereka sendiri, asal tidak mengintervensi saudara, tetangga, komunitas, kelompok dan golongan lain. Hak-hak asasi manusia perlu dijamin dan menjadi ukuran toleransi kehidupan bersama. Di lain fihak kehidupan bersama harus didukung oleh suatu konsensus dasar, konsensus tentang nilai-nilai yang mendasari kehiudpan bersama sebagai bangsa (contoh: Pancasila). 17. Hal itu berarti dua. Pertama, MM tidak mengatur nilai-nilai, cita-cita, keyakinan-keyakinan para warganya. Adanya MM berarti bahwa ia tidak memerlukan negara untuk menjadi sandaran moralitasnya. Ia memilikinya sendiri - dan pada umumnya secara pluralistik karena MM terdiri atas komunitas-komunitas dengan tradisi-tradisi lokal dan sosial sendiri-sendiri, dengan cerite- ceritera kecilnya masingmasing. Keluar hal itu berarti maksimum toleransi. Ke dalam itu berarti; masing-masing kelompok mantap dalam identitasnya. Yang diatur oleh negara - dalam hukum - adalah kepentingankepentingan utiliter dan pragmatis bersama, presis apa yang memang menjadi raison d'etre (dasar eksistensi) negara. 18.Tetapi, kedua, suatu masyarakat hanya dapat meruipakan kesatuan politis apabila memiliki suatu tandon nilai bersama, di antaranya apa yang disebut keyakinan dan keutamaan 'republika" (Ch. Taylor 1989), yaitu keterlibatan pada negara sendiri dan kesediaan untuk seperlunya berkurban demi negara bersama itu. Tetapi perlu diperhatikan: keyakinan kebersamaan dalam MM majemuk justru dapat tinggi apabila (dan hanya apabila) masing-masing warganya merasa utuh dalam identitas dan kebebasan untuk mewujudkan kehidupan menurut cita-cita mereka sendiri. 19. Barangkali tidak selalu mungkin menghindari adanya hubunganhubungan budaya yang hegemonikal, tetapi suatu dominasi pandangan moral-budaya tertentu mesti akan merusak negara itu, memperlemah MM secara kontinyu. Karena lalu negaralah yang harus menopang tatanan moral-kultural, jadi MM sudah tidak vitas lagi. Dengan lain kata, apabila MM mau didukung, transfer cita-cita ideologis, moral dan kultural hanya dapat dibenarkan apabila terjadi dalam suasana kebebasan dan berdasarkan daya tarik cita-cita itu sendiri. 20.Dengan demikian saya baru sampai pada hal agama. Kiranya jelas bahwa terbentuknya MM merupakan tantangan bagi agama-agama. Memang, secara teoritis dan an sich agama-agama seharusnya

tidak keberatan dengan MM yagn bebas dan toleran. Semua agama secara ekplisit mengakui nilai-nilai itu. 21.Akan tetapi dalam kenyataan agama-agama - atau lebih tepat: umat-umat beragama, para panutan dan juru bicaranya - sering tidak biasa untuk berpandangan seperti itu tadi. Agama-agama mudah berkecenderungan totaliter dan absolutistik karena senantiasa merasa digota menerapkan kemutlakan Tuhan yang mereka akui pada diri mereka sendiri. Jadi kemungkinan bahwa agama-agama menjadi hambatan perkembangan MM tidak terkecuali. 22. Maka MM hanya dapat berkembang, dan masyarakat modern baru dapat menjadi mantap dan percaya diri, apabila dalam agamaagama terjadi proses-proses belajar. Terutama belajar hidup dalam masyarakat pluralistik dan majemuk. Sebagai hasil proses-proses belajar itu dapat diharapkan meningkatkan kemantapan agamaagama dalam lingkungan sosial yang ditentukan kondisi-kondisi modernitas - tanpa mera terancam. 23. Terbentuknya MM dapat dipandang sebagai prasyarat pemeliharaan ruang kemandirian manusia berhadapan dengan kekuasaan negara yang semakin bertambah. Apabila menusia tidak mau membiarkan diri direduksi menjadi sekrup dalam proses anonim sebuah adnimistrasi menyeluruh yang semakin irasional dan imoral, terbentuknya MM perlu disambut dengan positif dan, sejauh mungkin perlu diusahakan kondisi-kondisi optimal bagi proses itu.

Perkembangan Masyarakat Madani di Indonesia


Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan. Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada. Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu

lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM). Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian, pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM. Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris. Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di samping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan. Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan tradisionalis (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan modernis (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam. Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke

khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17). Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541). Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupan Nabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, di samping tentunya sifat universalisme Islam. Dalam Islam ada lima jaminan dasar, seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan Wahid (1999: 1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai bila tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu terganggu dengan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bidah. Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragamanya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialong antaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga

yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antaragama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi negara itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren (Rumadi, 1999: 3). Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai polisi yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164). Kesimpulan Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat madani bisa menjadi hambatan bagi demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Dilihat dari sejarahnya civil society yang lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis--vis masyarakat. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern. Dengan demikian, diharapkan pemerintah dan MPR/DPR saling menjaga keseimbangan untuk menegakkan hukum yang sehat dan demokrasi. Masyarakat juga harus mengontrol kinerja pemerintah dan para wakilnya, agar tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat madani. Baik menjadi anggota masyarakat madani maupun perangkat negara hendaknya dapat mewujudkan demokrasi.

Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market. Merujuk pada Bahmueller (1997), ada

beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya: 1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial. 2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif. 3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat. 4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah. 5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter. 6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. 7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif. Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingankepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb: 1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat. 2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial. 4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan. 5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan. 6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial. 7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar

mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya. Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat sipilisme yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa: 1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial. 2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia. Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya. 3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumbersumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat. Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspadai dan kalau perlu dibinasakan. AGENDA JALAN KETIGA Bagaimana mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan. Agenda Jalan Ketiga dapat dijadikan pedoman oleh para community workers dalam menjalankan tugastugas profesionalnya di masyarakat. Dalam garis besar agenda itu mencakup dua hal,

yaitu: Politik Jalan Ketiga dan Program Jalan Ketiga (Giddens, 2000: 76-80): Politik Jalan Ketiga: Persamaan Perlindungan atas mereka yang lemah. Kebebasan sebagai otonomi. Tak ada hak tanpa tanggungjawab. Tak ada otoritas tanpa demokrasi. Pluralisme kosmopolitan. Konservatisme filosofis. Program Jalan Ketiga: Negara demokratis baru (negara tanpa musuh). Masyarakat madani yang aktif. Keluarga demokratis. Ekonomi campuran baru. Kesamaan sebagai inklusi. Kesejahteraan positif. Negara berinvestasi sosial (social investemnt state). Bangsa kosmopolitan. Demokrasi kosmopolitan Startegi untuk menjalankan Agenda Jalan Ketiga meliputi empat hal (lihat Blakeley dan Suggate, 1997): 1. Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peningkatan investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosial dasar yang lebih luas dan adil. 2. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Strategi ini meliputi desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan kepentingan-kepentingannya. 3. Peningkatan masyarakat dan perlindungan hak azasi manusia, kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat. 4. Peningkatan partisipasi masyarakat. Strategi ini ditujukan untuk memberikan kesempatan pada masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan dan praktek-praktek pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki terhadap fungsi-fungsi organisasi-organisasi lokal. Sejatinya, agenda utama bagi para community workers dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan adalah mengetahui visi dan makna yang sesungguhnya dari community workers dan masyarakat madani. Seperti kata adagium: visi tanpa aksi adalah mimpi, sedangkan aksi tanpa visi adalah kegiatan sehar-hari. CATATAN 1. Makalah disajikan pada Orasi Ilmiah dalam Pembentukan HIMA Jurusan Pengembangan Sosial Masyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002. 2. Penulis, yang lahir di Jatiwangi, Majalengka tanggal 6 Nopember 1965, adalah staf pengajar STKS dan UNPAS Bandung. Setelah menamatkan Sarjana Pekerjaan Sosial di STKS Bandung tahun 1990, penulis melanjutkan studi S2 di Asian Institute of

Technology (AIT) Bangkok dan memperoleh MSc pada tahun 1994. Pada tahun 2002 belum lama ini, penulis baru saja kembali dari New Zealand setelah memperoleh PhD dari Massey University. Area of interest-nya antara lain: Poverty, The Urban Informal Sector, Community Development, Social Work Research, Social Planning dan Social Policy. BAHAN BACAAN Bahmueller, CF (1997), The Role of Civil Society in the Promotion and Maintenance of Constitutional Liberal Democracy, http:civnet.org/civitas/panam/papers/ bahm.htm. Blakeley, Roger dan Diana Suggate (1997), Public Policy Development, dalam David Robinson, Social Capital and Policy Development, Victoria: Institute of Policy Studies, hal. 80 - 100. DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering Profession, Boston: Allyn and Bacon. Giddens, Anthony (2000), Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Kleden, Ignas (2000), Epistemologi Kekerasan di Indonesia, dalam Indonesia di Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan atas Dialog Publik, Jakarta: The GoEast Institute, hal.1-7. Menuju Masyarakat Madani Dunia pengetahuan modern menyebutkan, wacana civil society, yang, di Indonesia dikenal dengan term (istilah) masyarakat madani atau masyarakat sipil, adalah imbas dari perkembangan pemikiran yang terjadi di Barat. Istilah tersebut dihidupkan oleh dua pemikir terkemuka John Locke (1632-1704) dan JJ. Rousseau (1712-1778). Masyarakat madani (civil society), menurut mereka, menjadi sebuah keniscayaan (keharusan) untuk diwujudkan. Ini, mengingat, masyarakat modern itu dihadapkan pada tata kehidupan politik yang terikat pada sistem (hukum), kehidupan ekonomi dengan uang sebagai alat tukar, dan terjadinya kegiatan perdagangan dalam suatu pasar, serta ditandai pula oleh perkembangan teknologi. Dimana inti dari semua itu, adalah demi mensejahterakan dan memuliakan hidup, sebagai salah satu ciri masyarakat beradab. Dalam Islam, konsep masyarakat madani dipercaya sebagai warisan ideal Nabi Muhammad Saw., dalam memimpin ummatnya di sebuah kota bernama Yatsrib, yang kelak dikenal dengan nama Madinah. Madinah, secara bahasa berarti kota. Tetapi menurut ilmu kebahasaan, kata madinah mengandung arti peradaban. Dalam bahasa Arab, peradaban berasal dari kata madaniyah atau tamaddun. Masyarakat madani yang diterapkan Nabi itu, secara formal dimanifestasikan dalam piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang diproklamirkan bersama pendukungnya. Lewat piagam madinah itu, Nabi mengemukakan cita-cita besarnya mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Dengan memperkenalkan umat manusia tentang (wawasan) kebebasan baik di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Piagam madinah itu, oleh ilmuwan yang concern dalam ilmu politik, dipercaya sebagai dokumen (resmi) pertama kali yang lahir di bumi ini. Selain itu, masyarakat madani seperti digariskan Nabi, itu menjunjung tinggi

egaliterisme (persamaan), penghargaan kepada seseorang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam pemilihan pemimpin melalui pemilihan. Wacana masyarakat madani yang digariskan Nabi itu, tak pelak membuat kagum Sosiolog agama terkemuka Robert N. Bellah. Dalam Beyond Belief (1976) ia menulis, masyarakat madani yang dibangun Nabi, adalah sebuah konsep tentang tata kemasyarakatan yang sangat modern, bahkan terlalu modern pada zamannya. Sampai umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi. Darimana awal mula wacana masyarakat madani muncul? Rasanya, pertanyaan mengenai wacana tersebut berasal dari Barat atau Islam, tidak lagi menjadi penting untuk dibahas secara rigid. Yang mendesak kemudian adalah bagaimana mewujudkannya. Bagaimana sebuah masyarakat menjadi beradab dan berperadaban yang merupakan inti dari konsep masyarakat madani bisa tercipta, itulah yang harus dilakukan. Islam mengajarkan, ambillah hikmah dari manapun datangnya. Meskipun hikmah itu datangnya dari anak kecil, bahkan dari orang Nasrani atau Yahudi sekalipun. Ajaran lain yang sangat akrab dengan telinga kita, adalah konsep almuhafadlatu ala al-qadim al-shalil wa al akhdzu bi al-jadiid al-ashlah. Menjaga sesuatu yang lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dalam kerangka mewujudkan masyarakat madani, Nabi, selama sepuluh tahun di Madinah, telah mengawali dan mengajarkan bagaimana membangunnya. Dimulai dengan bagaimana membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Sebuah tatanan yang bertolak pada ruh dan semangat ketakwaan kepada Allah Swt., yang dalam peristilahan al-Quran dikenal dengan semangat rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146). Yaitu membangun hidup secara seimbang. Hidup dalam frame (kerangka) hablun mim Allah, dimensi vertikal dalam membangun hubungan dengan Allah, agar tidak jatuh dalam kehinaan dan kenistaan. Pada gilirannya, semangat rabbaniyah atau ribbiyah itu, seharusnya bisa menjadi spirit dalam membangun pola hubungan (interaksi) yang humanis antar sesama. Sebuah semangat hidup untuk membangun sebuah masyarakat yang beradab, adil, makmur dan sejahtera. Hablun min al-nas. Akhirnya, semoga masyarakat madani akan terwujud dalam masyarakat kita. Bukan sebaliknya, sekadar menjadi wacana yang akan usang dan lapuk ditelan sang waktu. Jawa Pos Radar Kudus 30 Oktober 2005 MENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI DEMOKRATISASI PENDIDIKAN Oleh : Husaini Usman*) Abstrak: Hasil pemikiran ini mencoba menawarkan konsep-konsep baru tentang masyarakat madani ditinjau dari sudut: ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Secara ontologis, masyarakat madani adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologi, masyarakat madani bertujuan untuk meredam berbagai tuntutan reformasi baik dari dalam maupun luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan timbul

inovasi-inovasi pendidikan. Secara epistemologis, masyarakat madani dicapai melalui tujuan jangka pendek dan jangka panjang melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Kata kunci: masyarakat madani, masyarakat yang demokratis, inovasi pendidikan, demokrasi pendidikan *) Dr. Husaini Usman adalah Ketua Jurusan Teknik Sipil dan Dosen Jurusan I. Pendahuluan Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih. Berbagai upaya perlu dilakukan dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka pendek dilaksanakan dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan dapat memimpin (capable). Untuk jangka panjang antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan penting untuk dikaji mengingat konsep masyarakat madani sebenarnya merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Jadi, pendidikan menjadi soko guru dalam mewujudkan masyarakat madani. Pendidikan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Artikel ini membatasi pembahasannya pada pencapaian tujuan jangka panjang masyarakat madani melalui demokratisasi pendidikan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa, "pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Melihat kelengkapan tujuan pendidikan nasional tersebut seharusnya proses pendidikan dapat mencapai tujuan tersebut sepenuhnya. Namun, dalam praktiknya ternyata tujuan pendidikan nasional tersebut belum sepenuhnya tercapai. Hal itu mengakibatkan lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan perilaku-perilaku yang diharapkan oleh tujuan nasional tersebut sehingga timbullah gagasan untuk membentuk masyarakat madani termasuk di masyarakat kampus. Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun 1995 oleh Datuk Anwar Ibrahim, yang kemudian diikuti oleh Nurcholis Madjid (Mahasin, 1995: ix), sejak itu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat madani telah "menggoda" dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani yang dimaksud. Namun, pihak-pihak yang skeptis meragukan

keberhasilan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat madani. Dalam hal ini, Hefner (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah impian (dream) suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu, Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Senada dengan pendapat Hefner tersebut, Mulder (1999) memberikan dugaan bahwa Indonesia masih akan jauh dari pembentukan masyarakat madani karena demokratisasi pendidikan belum berjalan lancar, sistem pendidikannya masih menerapkan faham kekuasaan, masih terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi kemajemukan peserta didik secara memadai. Jika reformasi dan inovasi pendidikan memang mendesak untuk dilakukan dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan menghadapi masyarakat madani, maka permasalahannya antara lain adalah, "sampai sejauh mana pemahaman kita tentang makna masyarakat madani (ontologinya)?, nilai-nilai manfaat apa yang diperoleh dengan terbentuknya masyarakat madani (aksiologinya)?, dan bagaimana pemecahan masalahnya atau bagaimana cara melaksanakan demokratisasi pendidikan untuk mewujudkan masyarakat madani (epistemologinya)?, bagaimanakah arah reformasi dan inovasi pendidikan harus dilakukan?, bagaimanakah agar demokratisasi pendidikan itu berjalan mulus tanpa hambatan dan penyimpangan?, bagaimana kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan tidak menggoda untuk menunda demokratisasi pendidikan?. Mengingat banyaknya masalah yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, maka pada kesempatan ini pembahasan dibatasi pada apakah makna masyarakat madani itu, apakah manfaat mewujudkan masyarakat madani itu?, dan bagaimana cara mewujudkan masyarakat madani melalui pendidikan demokratisasi pendidikan? Artikel ini mencoba mengungkapkan pemikiran yang menawarkan konsep-konsep baru masyarakat madani yang mungkin dapat dijadikan masukan dalam mewujudkan masyarakat madani melalui perspektif pendidikan. Tentu saja pemikiran konseptual ini akan dapat dioperasionalisasikan di lapangan secara kontekstual setelah melalui pengujian empiris yang profesional. 2. Pembahasan Seligman seperti yang dikutip Munim (1994: 6) mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara. Sedangkan civil society menurut Havel seperti yang dikutip Hikam (1994: 6) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah. Gellner (1995:2) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud manakala terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, dicecal, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses

panjang dan produk sejarah yang abadi dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani. Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999: 15-16). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta. Gellner seperti yang dikutip Mahasin (1995: ix) menyatakan bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, civil society. Kata civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini menurut Madjid seperti yang dikutip Mahasin (1995: x) pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi (1999:67) seperti yang ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan kekuatan ABRI untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut ditambahkan oleh Suwardi (1999:67) bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); civil society tidak berkebalikan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan orang awam. Rahardjo (1997: 17-24) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, civil society. Istilah civil society sudah ada sejak Sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota difahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Istilah madani menurut Munawir (1997: 1320) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997: 294) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur. Hall (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu gagasan, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial. Dalam masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan. Hefner (1998: 16-20) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang

bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan. Masyarakat madani menurut Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi (1999: 9) ialah masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan. Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999: 16), jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia (Farkan, 1999: 4). Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanannya pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (al-madaniy) jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik. Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan reformasi di dalam negeri dan tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, menurut Suwardi (1999: 66) melalui masyarakat madani akan mendorong munculnya inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Selanjutnya, ditambahkan oleh Daliman (1999: 78-79) bahwa dengan terwujudnya masyarakat madani, maka persoalanpersoalan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga dan lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah. Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini mendukung pendapat Suryadi (1999: 23) dan Daliman (1999: 78) yang intinya menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu serta dituntut

komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi. Ciri utama masyarakat madani adalah demokrasi. Demokrasi memiliki konsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang independen sehingga memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan, dan sekaligus masyarakat sebagai pelaku ekonomi pasar. Bila masyarakat Indonesia tidak demokratis, maka Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dari kaum reformis di dalam negeri. Di lain pihak, dari luar negeri, Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari PBB, Bank Dunia, IMF, dan negara-negara penganut faham demokratis. Sementara ini, ekonomi kita masih sangat bergantung pada pinjaman Bank Dunia dan IMF. Jika Bank Dunia dan IMF tidak memberikan bantuannya, maka ekonomi kita akan semakin terpuruk di mata internasional. Jika ekonomi kita semakin terpuruk, maka kerusuhan sosial akan semakin meningkat yang pada gilirannya membahayakan stabilitas nasional dan dikhawatirkan akan terjadi disintegrasi bangsa. Di samping itu, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang khas sebagai unity dan diversity, maka karakteristik masyarakat madani cocok diterapkan di Indonesia sehingga persatuan dan kesatuan, toleransi umat beragama, persaudaraan, saling mengasihi sesama umat, dan persamaan hak akan menjadi lebih terjamin. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ciri utama masyarakat madani Indonesia adalah demokrasi yang menjunjung tingi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang mempunyai faham keagamaan yang berbeda-beda, penuh toleransi, menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku secara konsisten dan berbudaya (Hartono, 1999: 55). 3. Pemecahan Masalah Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan demokratisasi pendidikan. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi memberi keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi faktor utama yang dilibatkan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang luar biasa di dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi lebih berpihak kepada rakyat. Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi (Suryadi, 1999: 23). Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui pendidikan (Hartono, 1999: 55). Senada dengan pendapat Hartono tersebut, Marzuki (1999: 50) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan

peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab (melu angrungkebi), terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki (melu handarbeni), sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya (padhasarasa), dan mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Pernyataan ini mendukung pendapat Suwardi (1999: 66) yang menyatakan bahwa sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik, tanpa memperhatikan pluralisme subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar tercipta masyarakat madani. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan tidak harus dimulai dari sistem pendidikan berskala nasional. Bahkan akan lebih efektif kalau dimulai dari sistem pendidikan berskala lokal berupa pendidikan di dalam kelas. Dalam proses PBM di kelas, demokrasi pendidikan dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keberadaban, sebab menurut Zamroni (1997: 1) hal ini merupakan inti dari proses pendidikan. Pelaksanaan demokratisasi pendidikan di kelas harus mampu membawa peserta didik untuk menghargai kemampuan teman dan guru, kemampuan sosial-ekonomi teman dan guru, kebudayaan teman dan guru, dan sejumlah kemajemukan lainnya (Vaizey, 1976: 115). Di samping itu, menurut Battle seperti yang dikutip Shannon (1978: 32) demokratisasi pendidikan dalam PBM juga dapat ditempuh dengan mengajarkan halhal yang berhubungan dengan dunia sekarang yang sangat dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakatnya (pragmatisme), tanpa harus melupakan hari kemarin. Sebagai contoh jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat petani, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat nelayan, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil perikanannya. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat bisnis, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas usaha bisnisnya, dan seterusnya. Contoh-contoh tersebut di atas menggambarkan bahwa dalam melakukan inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu diperhatikan masalahmasalah pragmatik yakni mulai dari pemilihan materi ajar, penentuan tujuan, pemilihan metode, pemilihan evaluasi hasil belajar, output lulusan, sampai kebutuhan yang diharapkan dunia kerja. Hal ini cukup beralasan karena pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Hal ini juga dinyatakan oleh Barnadib (1997: 1) bahwa pendidikan memang sebagai upaya mengembangkan kemanusiaan dan pengalihan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itulah sebabnya pengajaran pragmatik yaitu pengajaran yang menekankan pada aspek fungsi akan menjadi salah satu alternatif pencapaian pengajaran yang berwawasan kemanusiaan dan peradaban. Oleh sebab itu, di dalam PBM yang pragmatik akan tercipta suasana kondusif bagi demokratisasi pendidikan.

Asumsi pendidikan pragmatik diturunkan dari pemeo klasik yang dikemukakan Rodrigues dan Badaczewski (1978: 278) yang menyatakan, "Kita boleh membawa kuda masuk ke sungai, namun kita tidak mampu menyuruh kuda itu meminum air." Maknanya adalah pengajar (kita) hanya bisa memberikan dorongan (tut wuri handayani) kepada peserta didik (kuda), namun biarkan peserta didik itu sendiri yang memanfaatkan informasi (air) itu. Biarlah peserta didik itu sendiri yang melakukan SITR (seleksi, interpretasi, tranformasi, dan revisi) terhadap semua informasi yang telah diterimanya. Seleksi berarti memilih informasi yang lengkap, objektif, dan relevan. Interpretasi berarti pemberian makna. Tranformasi berarti mampu mengemasnya kembali dengan bahasanya sendiri dan menawarkan gagasan-gagasan baru ke pihak lain. Revisi berarti terbuka untuk memperbaiki gagasan-gagasannya setelah mendapat masukan yang konstruktif dari pihak lain. Dalam proses pengajaran pragmatik, pendidik tidak monopoli dalam memberi dan mencari informasi. Intervensi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim PMB yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu. Dalam pendidikan pragmatik yang bersifat profesional diakui bahwa kelemahan pendidikan semata-mata hanya untuk menyiapkan tenaga kerja yang sifatnya praktis. Kalau demikian halnya, pendidikan hanya akan menciptakan bangsa tukang dan bukan bangsa pemikir. Namun, pendidik tidak hanya menerapkan pendidikan pragmatik melainkan juga pendidikan yang bersifat akademik yang bertugas menciptakan pemikir-pemikir bangsa yang sifatnya teoritis. Di samping tidak hanya teoritis, melainkan harus ada tindakan nyata dari hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, perlu ada keseimbangan antara keterampilan operasional dengan kemampuan konseptual sehingga tercipta sumber daya manusia Indonesia yang berwawasan global dan sekaligus bertindak lokal. Freire (1984: 24) menyarankan upaya untuk mencapai demokratisasi pendidikan yang berwawasan adalah dengan menciptakan kebebasan interaksi antara pendidik dengan peserta didiknya dalam PBM di kelas. Oleh sebab itu, PBM harus terbuka dan penuh dialog yang sehat dan bertanggung jawab antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam bentuk egaliter dan kesetaraan (equity). Dengan adanya kesetaraan ini, kebebasan berinisiatif, berbeda aspirasi dan pendapat, dan keadilan dalam pendidikan akan terakomodasi. Bahkan Wahid seperti yang dikutip Freire (1994: xv) telah meyakinkan kita bahwa pendidikan memang merupakan wahana terpenting untuk mencapai kemerdekaan (kebebasan). Dengan kebebasan ini menurut Russel (1998: 63) akan mewujudkan demokratisasi pendidikan. Komunikasi dalam demokratisasi pendidikan harus terjadi ke segala arah dan bukan hanya bersifat satu arah yaitu dari pendidik ke peserta (top down) melainkan juga ada keseimbangannya yaitu dari peserta didik dengan pendidik dan antarpeserta didik sendiri (network). Dengan model komunikasi top down timbul kecenderungan pendidik akan merasa capek sementara peserta didik tidak mengerti, pasif, bosan, mengantuk, dan lebih parah lagi peserta didik tidak mendapatkan informasi baru. Pendidik merupakan satu-satunya sumber belajar dengan otoritas yang sangat tinggi dan menganggap otak peserta didik bagaikan tong kosong yang siap diisi penuh

dengan berbagai informasi darinya. Sebaliknya, dengan model komunikasi network, sumber belajar bukan hanya terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta didik. Guru cenderung tidak merasa capek, peserta didik mengerti dengan belajar dari pengalamannya sendiri, aktif, senang, dan kaya dengan informasi baru. Namun, selama ini terkesan bahwa pendidikan menganut asas subject matter oriented yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologis mereka. Pendidikan yang menyangkut ranah kognitif sudah dijalankan dengan perhatian yang besar. Pengelolaan pengajaran yang ada memberi kesan terlalu berorientasi pada ipteks termasuk juga keterampilan motorik terlalu berorientasi pada teknis (Moeldjanto, 1998: 63). Dengan asas ini dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil; tetapi kepandaian dan kecerdasan intelektual tersebut kurang diimbangi dengan kecerdasan emosional. Keadaan demikian terjadi karena kurangnya perhatian terhadap ranah afektif. Padahal ranah afektif sama penting peranannya dalam membentuk perilaku peserta didik. Sekarang, dalam mendukung pelaksanaan demokratisasi pendidikan, tibalah saatnya mengubah asas subject matter oriented ke student oriented. Orientasi pendidikan yang bersifat student oriented lebih menekankan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kebutuhan peserta didik secara utuh baik lahir maupun batin. Dalam hal ini kecerdasan otak memang penting, tetapi kecerdasan emosional juga tidak kalah pentingnya. Dalam suasana PBM yang demokratis terjadi egalitarian (kesetaraan atau sederajat dalam kebersamaan) antara pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak harus top down namun diimbangi dengan bottom up sehingga tidak ada lagi pemaksaan kehendak pendidik tetapi akan terjadi tawar-menawar kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, PBM, dan evaluasi hasil belajarnya. Hal serupa juga diakui Martadiatmadja (1986: 70-71) yang menyatakan bahwa jika pengajaran kurang pragmatik dan lebih menekankan pada pengajaran menghafal, maka hal ini jelas kurang bermanfaat. Teknik menghafal mendikte peserta didik untuk menggunakan sistem drill dan hanya akan menjejali materi dalam waktu singkat yang mungkin tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan menurut Suryadi dan Tilaar (1993: 196) akan menyuap peserta didik dengan berbagai informasi yang tinggal ditelan saja. Peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mencari dan mencerna sendiri informasi sesuai dengan bakat dan minatnya. Menurut Taroepratjeka (1996: 3) pendidikan yang berkonteks pragmatik sedapat mungkin harus mampu menghargai bakat, minat, dan tujuan peserta didik. Bila hal ini dilupakan, akibatnya peserta didik akan menjadi pembebek-pembebek dan bukan menjadi manusia yang lebih beradab dan berbudaya melalui proses pendidikan tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam pandangan Acarya (1991: 147-148) menyatakan bahwa demokratisasi pendidikan merupakan pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Dengan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik, maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri dan mungkin saja berbeda dengan pendidiknya asalkan ada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami demokrasi tetapi juga menjalani latihan seperti berdebat, menghargai pandangan dan harga diri orang lain, serta mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam setting diskusi. Peserta didik ditantang menguji validitas pikirannya dengan argumentasi-argumentasi yang rasional dan jika mungkin berdasarkan hasil penelitian yang seksama. Dalam iklim PBM yang demokratis, pendidik tidak harus merasa paling pandai di dalam

kelasnya, tidak merasa paling benar di kelasnya, merasa telah menang belajar satu malam dibandingkan dengan peserta didiknya; tetapi akan terjadi saling tukar informasi dan pengalaman dengan peserta didiknya. Kondisi ini dimungkinkan akan terjadi dalam demokratisasi pendidikan. 4. Kesimpulan Secara ontologis, masyarakat madani bermakna ganda yaitu suatu tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi. Namun, yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologis, masyarakat madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa. Secara epistemologis, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya

Anda mungkin juga menyukai