2
1. Visi dan Misi Pendidikan Agama Islam
a. Visi Pendidikan Agama Islam
Mencetak peserta didik (mahasiswa) yang memiliki iman dan takwa
kepada Allah SWT dan melahirkan sdm yang berkualitas.
b. Misi Pendidikan Agama Islam
Misi PAI adalah untuk melakukan perubahan dari perilaku tidak baik
(madzmumah) kepada perilaku yang baik (mahmudah).
PAI memiliki 4 (empat) misi:
1) Mindset; merubah cara berpikir atau pola pikir ke arah rasional dan
emosional yang baik dan terkendali.
2) Behaviour change; dapat mengontrol perilaku dari yang tidak baik
ke arah yang lebih baik, dari yang tidak bermanfaat kepada yang
bermanfaat, dari sense of justice kepada blueprint of behavior.
3
3) Attitude change; perilaku yang selalu didasarkan atas
pertimbangan rasional dan kesadaran yang baik (sadar akan
dampak positif dan negatif, atas pekerjaan dan perbuatan).
4) Civilization change; terjadinya perubahan peradaban dari bentuk
tidak baik (madzmumah) kepada yang baik (mahmudah).
Hakikat PAI
a. Mempersiapkan peserta didik (mahasiswa) yang beriman (values), berilmu
(knowledge) dan berakhlak (character).
b. Memiliki sifat fitrah yang hanif.
c. Mengembangkan potensi kapasitas menjadi potensi actual ability
(peningkatan ilmu dan skill).
4
c. Tujuan PAI
1) Memiliki pengatahuan dan wawasan tentang Dinul Islam dengan
paradigma berifikir yang benar, komprehensif, holistik, integralistik yang
berpedoman kepada Q.S. Bukan memahami Islam berdasarkan opini atau
berdasarkan persepsi dan berasosiasi.
2) Memiliki akidah yang kuat kepada Allah SWT (Tauhidullah). Steril dari
syirik, riya, sombong yang dapat merusak aktivitas ritual, sosial, budaya
dan ekonomi.
3) Cinta dan ikhlas dalam beribadah yang dilandasi syari’at, baik ibadah
mahdhoh mapun ibadah ghairu mahdhoh, baik ibadah vertikal maupun
ibadah sosial.
5
4) Memiliki rasa persaudaraan yang tinggi, saling tolong menolong dan saling
memaafkan (ukhuwah insaniyah dan ukhuwah Islamiyah).
6) Memiliki daya saing yang sehat dan sportif, memiliki jiwa kepeloporan,
berakhlak mahmudah (ihsan), self confidence dan self esteem.
6
2. Reposisi Kajian Islam di Perguruan Tinggi
a. Beragama Islam yang baik dan benar.
1) Harus berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan pengetahuan
semata karena pengetahuan kadang kala berbau persepsi
dan opini.
2) Tidak berdasarkan mayoritas dan kebiasaan.
Mayoritas tidak menjamin orisinalitas, karena kebenaran
sangat ditentukan oleh kualitas argumentasi bukan oleh
kuantitas penganut atau pendukungnya.
3) Tidak berdasarkan keturunan dan kebiasaan yang
menyalahi syari’at Islam. 7
4) Tidak berdasarkan figur
Tidak mengkultuskan dan sikap hormat yang berlebihan kepada individu
atau kelompok. Efeknya kurang kritis dan bersifat taklid.
5) Tidak terikat fanatisme mazhab, paham, golongan, aliran dan lainnya.
6) Berpedoman kepada hukum agama (Q.S).
7) Menggunakan ilmu bantu:
a) Memahami Al-Quran dan Tafsirnya
b) Memahami Hadits dan Mustholah Hadits
c) Memahami Bahasa Arab
d) Menguasai ilmu Fikih dan Ushul Fikih
8
b. Mengamalkan Islam yang benar
1) Law Approach
Mengamalkan ajaran Islam berdasarkan Hukum Syari’at (Q.S), seperti hukum Taklifi
2) Love Approach
Mengamalkan ajaran Islam didasarkan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah dan karena Allah
(Lillah, fillah dan Billah)
12
B. Al-Qur’an sumber pertama ajaran Islam
1. Al-Qur’an kitab suci yang sangat valid, sangat orisinil, sangat aktual, sangat cocok
dengan kemajuan IPTEKS
2. Al-Qur’an kitab suci sampai akhir zaman (Q.S 5:3) tidak akan dapat dirubah
manusia bagaimanapun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia (Q.S
2:23)
3. Al-Qur’an kitab suci yang sarat informasi tentang kehidupan alam dunia dan alam
akhirat dan alam abstrak lainnya dan tidak fiksi
4. Al-Qur’an kitab suci yang mengkoreksi kekeliruan penyimpangan kitab suci
sebelumnya baik dari sisi teksnya, maupun sisi kontennya bahkan sudah
terkontaminasi dari syrik
5. Al-Qur’an kitab suci yang dapat membantu, membimbing, dan memberikan
kepuasan, kebahagiaan, kedamaian kepada manusia dan alam semesta
sa’iduddunya wasa’iddul akhirah 13
6. Al-Qur’an kitab suci yang dapat diuji kebenarannya dengan sains modern dengan
metode:
a. Metode verifikasi (pembuktian dengan fakta)
Statement Al-Qur’an sangat sesuai dengan fakta dan realita yang ada (kisah
nyata). Contoh, kisah kekalahan Negara Adikuasa Romawi dari Negara Adikuasa
Persia. Romawi yang dikalahkan, Persia akan menang (Q.S 30:2-4). Persia
menyembah api dengan Tuhannya Ahriman. Romawi (Byzantium menyembah
Allah) itu sebab kaum Jahiliyah Mekkah bergembira atas kemenangan Persia atas
Byzantium. Tuhan jadikan sesudah itu Roma (Byzantium) mengalahkan Persia.
Contoh kedua, memverifikasi ayat Al-Qur’an dalam konteks sejarah. Kisah Nabi
Musa dengan Fir’aun mulai kisah Nabi Musa kecil, mau dibunuh oleh Fir’aun dan
kejadian di Laut Merah, sampai Fir’aun tenggelam (Q.S 2:50). Nama lautnya Laut
Merah, Nabi Musa masuk dari Palestina dari Kota Jericho
14
b. Metode falsifikasi (metode satu bukti dapat menganulir statement)
Contoh, falsifikasi ayat Al-Qur’an tentang Maryam akan hamil dan akan
melahirkan anak laki-laki yang bernama Isa Al-Masih (Q.S 3:45-46). Isinya:
- Maryam hamil tanpa disentuh oleh seorang laki-laki (tidak punya suami)
(Q.S 3:47)
- Masa kehamilan Maryam normal seperti ibu-ibu lainnya
- Teori falsifikasi ini tidak terlepas dari proses dan dapat diterima ilmu
pengetahuan
Kitab suci Al-Qur’an posisinya bukan sebagai kitab science namun kita
yang berisikan sign (tanda atau acuan)
15
C. Sunnah Rasulullah SAW, Pedoman kedua dalam memahami Islam
1. Edukasi/’itibar Sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber hukum yang kedua
dari Ajaran Islam
a. Pemahaman dan keyakinan yang holistik tentang Sunnah Rasulullah SAW
b. Kesadaran tentang betapa pentingnya memahami Sunnah Rasulullah SAW
secara baik dan benar
c. Konsistensi dan komitmen untuk menjadikan Sunnah Rasulullah SAW
sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an
d. Memiliki motivasi ketat dan seoptimal mungkin untuk melaksanakan
Sunnah Rasulullah dalam berbagai bidang kehidupan
e. Waspada terhadap kelompok, aliran yang ingkar Sunnah dan Hadits
16
2. Hakikat Sunnah Rasul dan Hadits
Kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul adalah:
a. sebagai Bayin (Bayan), pemberi penejlasan tentang segala macam yang
berkaitan dengan Al-Qur’an, berarti tidak boleh merujuk pada logika
sementara
b. sebagai Uswah Hasanah dalam whole model pada seluruh aspek
kehidupan
c. Rasul tidak pernah menjelaskan Al-Qur’an berdasarkan keinginannya
nafsunya, murni berdasarkan wahyu (ma’shum)
19
4) Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
a) Menjelaskan yang Mubhan (belum jelas)
b) Merinci yang Mujmal (Global)
c) Membatasi yang mutlak
d) Mengkhususkan yang umum (‘am)
e) Menjelaskan hukum yang belum dijelaskan oleh Al-Qur’an secara eksplisit
Perbedaan Umat Islam dalam menafsirkan hadits, ada pada tekstual dan ada pula pada kontekstualny.
Contoh hadits memelihar jenggot
a) Menurut keleompok tekstual, perintah memelihara jenggot adalah Hadits Qauliyah (H.R.
Muslim), jadi ini mengandung nilai sunnah
b) Menurut kelompok kontekstual, Nabi menyuruh memanjangkan jenggot karena pada waktu itu
akan berperang, sehingga dapat membedakan dengan musuh
c) Berbeda dengan musuh adalah esesnsinya, jenggot materinya, kalau materi tentu bisa berubah
Umat Islam akan selamat dan jaya apabila selalu bersandar kepada Al-Qur’an dan Hadits sebagaimana
Hadits Nabi yang artinya, Kutinggalkan untuk kamu dua pusaka, tidaklah kamu akan tersesat selama-lamanya
selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya yaitu, Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
20
c. Ijtihad Pedoman Ketiga dalam Memahami Islam
1. I’tibar dalam mempelajari Ijtihad
a) Kesadaran yang tinggi dan kerja keras akademis dalam merespon
persoalan agama dan dunia yang belum terakomodasi,belum
dijelaskan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW
b) Mengkedepankan sikap lapang dada, sikap toleransi bila terjadi
perbedaan-perbedaan di lapangan/kehidupan sehari-hari
c.) Toleransi dalam khilafiyah namun bersikap tegas dan bijaksana
menangani bid’ah
d) Memiliki pemahaman yang baik tentang metodologi penetapan
hukum yang telah dirintis oleh para ulama
e) Menghargai ulama yang telah berusaha, berjuan dalam mengeluarkan
Istimbat Hukum
21
2. Hakikat, kedudukan dan fungsi Ijtihad
a) Hakikat Ijthad
Mengerahkan segenap kemampuan akademis untuk menetapkan hukum sesuatu yang
belum jelas melalui serangkaian analisis terhadap ayat Al-Qur’an dan Hadits yang
implisit sehingga mendapatkan kesimpulan tentang hukum yang dicari
b) Kedudukan Ijtihad
Sebagai sumber hukum tambahan setelah Al-Qur’an dan Sunnah
c) Fungsi Ijtihad
Sebagai ilmu bantu yang berisi metodologi dalam penetapan hukum yang belum
dijelaskan secara eksplisit baik di dalam Al-Qur’an maupun Hadits
d) Urgnesi (keberadaan Ijtihad)
Tanpa Ijtihad akan banyak masalah-masalah agama yang belum jelas hukumnya yang
dapat membingungkan umat (setelah Nabi wafat)
e) Objek kajian Ijtihad
Seluruh persoalan agama yang belum jelas hukumnya. Ijtihad tidak boleh mengambil
objek tentang hal-hal yang sudah jelas hukumnya dan tertera di dalam Al-Qur’an dan
Hadits
f) Ruang lingkup ijtihad
Persoalan agama, baik bidang akidah, syariat maupun akhlak
22
g) Metode ijtihad
Menggunakan metode Qiyas, Ijma’, Istihsan dan Mashalihul Mursalah
h) Perbedaan pendapat dalam berijtihad
1) jumlah referensi yang dimiliki dan dibaca
2) latar belakang pendidikan dan kehidupan
3) kemampuan analisis
Qiyas (analogi). Menentukan hukum sesuatu yang belum jelas dengan cara
membandingkan hukum sesuatu yang telah ada dengan hukum yang dicari dengan melihat
ciri-ciri persamaannya (ilat nya). Istihsan (menentukan yang terbaik). Menetapkan hukum
sesuatu yang belum jelas dengan cara memilih satu diantara alternatif yang ada dengan
pertimbangan mana yang paling ringan dampak/keburukannya. Ijma’ (pendapat kolektif
ulama). Menetapkan hukum yang belum jelas melalui musyarawarah guna mencapai
kesepakatan pemikiran para ulama. Mashalih al-Mursalah, menetapkan hukum sesuatu yang
belum jelas dengan dasar penetapannya adalah dampaik baik dan buruk bagi orang banyak
akibat perbuatan itu. Contoh larangan membangun diatas kepentingan keamanan dan hajat
orang banyak
23
4. Tiga Kerangka Dasar Ajaran Islam
A. Pilar 1: Akidah (Iman)
Akidah adalah aturan Allah yang berkenaan dengan tata keyakinan (sistema
credo). Aturan Allah yang berkenaan dengan tata cara beramal disebut ibadah syariat
(sistem ritus). Aturan Allah yang berkenaan dengan perilaku perbuatan disebut akhlak.
Dalam istilah lain, akidah, ibadat syariat dan akhlak disebut iman, Islam, ihsan.
1. Pengertian Akidah (iman)
Sesuatu yang harus diyakini oleh hati dan dipercayai oleh jiwa, dibenarkan
oleh akal tanpa reserve.
a) Akidah bukan saja berisikan konsep sistem teologi, melainkan berisi
segala macam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
kepercayaan.
b) Akidah merupakan sejumlah nilai yang diyakini dengan dasar Tauhid.
24
2. Tauhid mencakup:
a) Prinsip dualistis
Islam mengenal realitas dalam dua jenis, yaitu Tuhan dan bukan
Tuhan, Pencipta dan ciptaan, Allah adalah Tuhan sedangkan yang lain
bukan Tuhan, Allah adalah pencipta (al khaliq) sedangkan yang lain
adalah ciptaan (makhluk), Tuhan tidak dapat menjadi makhluk dan
makhluk tidak dapat menjadi Tuhan. Maka menjadikan makhluk
sebagai Tuhan adalah kesalahan besar dan tidak dapat diampuni
b) Ideasionalitas
Supaya ide manusia bertemu dengan ide Tuhan maka Tuhan bekali
manusia dengan wahyu dan ra’yu, dengan wahyu manusia dapat
memahami rahasia ciptaan-Nya dan dengan ra’yu manusia mampu
memahami kehendak Tuhan dan rahasia kekuasaan-Nya.
25
c) Prinsip Teologi
Allah menciptakan alam ini dengan beragam jenis, bentuk dan memiliki tujuan
yang jelas, kreasi Tuhan tidak ada yang sia-sia. Alam ini diatur Tuhan sangat
sistematis dengan sistem yang jelas sesuai dengan hukum Allah. Aturan manusia
yang bertentangan dengan hukum Allah itu adalah hukum yang batil. Itulah
Teologi Islam.
27
1) Fardhu ‘Ain (individual, kewajiban perseorangan yang tidak dapat
diwakilkan kepada orang lain. Contoh sholat 5 waktu.
2) Fardu Kifayah (kolektif orang muslim) tidak wajib bagi seluruh
orang muslim, hanya cukup perwakilan. Contoh penyelenggaraan
jenazah.
c. Syari’ah
Ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan, memilih atau
menentukan sesuatu (syarat, sebab dan penghalang) dan segala bentuk aturan
baik berupa wajib, sunnah atau haram.
28
C. Pilar ke-3: akhlak (ihsan)
1. Definisi Akhlak
a. Perilaku yang lahir dari dorongan hati nurani atau sikap yang
melahirkan kebiasaan dan budaya.
b. Perilaku manusia yang tampak atau yang tidak tampak.
c. Perilaku manusia yang berhubungan dengan Allah dan manusia
(hablumminallah wa hablum minannas).
29