Disusun oleh:
Kelompok 4
Norhayati : PO7124118220
Ada seorang klien bernama Ny. R yang datang ke sebuah BPM Bidan A. Ny. R adalah
seorang ibu rumah tangga berusia 19 tahun danbaru melahirkan anak pertamanya di Bidan
A.Ny. R adalah lulusan SD.Bidan A ingin memberikan imunisasi pada bayinya. Sebelum
diimunisasi, Bidan A memberikan informasi mengenai imunisasi yang akan dilakukan serta
meminta persetujuan kepada Ny. R. Namun, Ny. R menolak jika bayinya dilakukan imunisasi,
dengan alasan raguakan kehalalan vaksin yang digunakan dalam imunisasi dan khawatir
bayinya sakit setelah diimunisasi karena Ny. R yakin bahwa bayinya tidak memiliki penyakit
apapun. Selain itu Ny. R juga belum pernah mendapatkan sosialisasi mengenai pentingnya
imunisasi dari petugas kesehatan setempat.Alasan lain Ny. R khawatir akan biaya dalam
imunisasi sebab suaminya seorang pekerja serabutan dengan pendapatan yang tak menentu.
Sementara itu dalam ketentuan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar untuk
mencegah terjadinya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Dalam kasus ini bidan
mengalami dilema moral untuk memberikan pelayanan imunisasi.
Analisa Masalah
Pada kasus ini pengambilan keputusan dipengaruhi oleh kepercayaan ibu.Seorang ibu yang
merasa kurang informasi tentang imunisasi yang diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan,
sumber-sumber pemerintah, sekolah, maupun organisasi perawatan.Iamenginginkan adanya
sosialisasi dengan tenaga kesehatan setempat sebelum imunisasi diberikan. Selain
itu,ketakutanakan efek samping yang ditimbulkan.Ia juga menyampaikan bahwa bayinya
tidak berisiko dan anak yang tidak mendapatkan imunisasi juga tetap dalam keadaan sehat dan
tidak mengalami penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Alasan lain dari penolakan
imunisasi adalah factor agama yaitu tentang kehalalan dari vaksin yang digunakan dalam
program imunisasi serta masalah ekonomi juga menjadi pemicu dalam turunnya angka
imunisasi.
Pada kasus penolakan imunisasi ini, struktur hukum dalam pelaksanaan program imunisasi
belum mampu melaksanakan aturan yang ada dalam hukum, karena struktur yang ada masih
sebatas aparat dari unsur kesehatan dan keterbatasan kewenangan yang dimilikinya.Norma
atau aturan dalam hukum belum dapat diterapkan sepenuhnya di dalam masyarakat. Hal ini
karena belum adanya kebijakan publik yang mampu memberikan tindakan-tindakan yang
lebih kontekstual dengan kondisi riil di lapangan atau masyarakat. Sebagian masyarakat
belum memahami hukum dan isi hukum tentang pelaksanaan program imunisasi sehingga
masyarakat belum mengetahui manfaat dari hukum yang ada.Hal tersebut menyebabkan
masyarakat belum mempunyai kesadaran hukum, yang pada akhirnya masyarakat belum
berbudaya hukum yang baik.
Deontologisme merupakan teori yang ditulis oleh filosof German yang bernama
Immanuel Kant (1724 – 1804). Kant menyatakan bahwa hukum universal harus
mendasari setiap tindakan, baik buruknya suatu tindakan tidak berdasarkan pada
hasilnya melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan
perbuatan tersebut.Aliran ini sangat penuh dengan hal-hal etik, dimana setiap tindakan
dilihat secara moral adalah benar. (Anita J, 2008). Dari pandangan teori ini, petugas
kesehatan telah melakukan tindakan beretika yang bertitik tolak pada kewajiban
(obligation) yang berasal dari hati nurani sendiri. Selain itu imunisasi merupakan
program pemerintah yang wajib diberikan oleh petugas kesehatan, dalam hal ini apa
yang dilakukan petugas kesehatan berlandaskan aturan/hukum yang mengaturnya,
sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 130 yang berbunyi
“Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap pada setiap bayi dan
anak”.Berdasarkan hati nuranipunimunisasi mempunyai tujuan yang secara moral
sangat baik bagi anak. Sekalipun anak tidak kompeten untuk mengambil keputusan
terkait tindakan imunisasi yang akan dilakukan kepada dirinya. Sehingga orang tua yang
akan memberikan keputusan tindakan imunisasi ini dengan dasar memberikan yang
terbaik bagi anak. Adapun efek samping yang dapat ditimbulkan dari imunisasi memang
tidak dapat dihilangkan akan tetapi kewajiban untuk memberikan imunisasi bagi tenaga
kesehatan dan orang tua sangat sesuai denngan teori yang dikemukakan oleh Kant ini.
Alternatif solusi yang dapat dilakukan oleh bidan jika menghadapi kasus dilema etik terkait
penolakanimunisasi harus disesuaikan dengan alasan penolakan tersebut. Hal-hal yang dapat
dilakukan oleh bidan antara lain(diadaptasikan dari “Responding to Parental Refusals of
Immunization of Children,” oleh D.S. Diekema and the Committee on Bioethics, 2005,
Pediatrics):
1. Jika penolakan karena keyakinan bahwa imunisasi sangat berbahaya bagi anak-anak
mereka, maka bidan berkewajiban untuk :
a. Menjelaskan risiko efek samping yang jauh lebih sedikit daripada tidak mendapatkan
imunisasi,
b. Berikan informasi yang up-to-date,
c. Jelaskan kebingungan atau mispersepsi yang mungkin mereka miliki,
d. Yakin untuk menyampaikan kebenaran bahwa imunisasi tidak 100% efektif dan aman,
2. Jika karena alasan memberikan lebih dari 1 imunisasi pada satu waktu akan menimbulkan
nyeri dan trauma pada anak,maka bidan dapat menggunakan metode untuk mengurangi
nyeri disesuaikan usia anak.
3. Jika alasan perhatian terhadap 1 atau 2 imunisasi secara khusus berbahaya, maka sampaikan
secara jujur tentang risiko dan keuntungan dari setiap vaksin dan diskusikan setiap
imunisasi secara terpisah.
4. Jika alasan karena biaya, maka diskusikan dengan keluarga strategi yang efektif untuk
menentukan biaya dan rujuk pada pelayanan non swasta yang memberikan vaksinasi gratis.
Alternatif solusi lain yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah selalu memberikan
“informed consent” setiap kali akan melakukan tindakan pemberian imunisasi pada anak.
Dengan dasar ini, kita secara kewajiban sudah menyampaikan tentang jadwal dan keuntungan
imunisasi serta menyampaikan efek sampingyang dapat ditimbulkan jika anak tidak
mendapatkan imunisasi atau mendapatkan imunisasi.Sehingga tidak disoalkan secara hukum.
Jika penolakan yang dijumpai disebabkan olehkeraguan akan halalnya vaksin yang
digunakan untuk imunisasi, maka yang harus dilakukan adalah upaya untuk memberikan
pemahaman dari berbagai sumber diantaranya dari tenaga pengelola vaksin, dinas kesehatan,
organisasi profesi yang terlibat (IDI, IBI dan PPNI) dan organisasi agama (NU,
Muhammadiyah, LDII, dll) serta menghadirkan juga tokoh masyarakat setempat. Sehingga
diputuskan jika penolakan tetap terjadi maka informed consent lah yang harus diberikan.
Diperlukan adanya aturan terkait kewajiban pemberian label halal pada semua produk
makanan dan obat-obatan termasuk dalam hal ini vaksin, hal ini mengingat negara kita
mayoritas adalah muslim, yang mana masalah halal dan haram ini menjadi sesuatu yang
mutlak yang harus dihormati oleh semuanya.
Upaya-upaya lain yang harus dilakukan agar pelaksanaan imunisasi dapat diterima oleh
semua masyarakat antara lain :
1. Struktur dalam pelaksanaan program imunisasi harus dibenahi dengan melibatkan lintas
sektor, hal ini karena penolakan imunisasi tidak hanya masalah kesehatan saja tetapi
menyangkut masalah umum lainnya. Struktur yang terlibat di dalam pelaksanaan program
imunisasi harus diberi kewenangan yang jelas dan pemahaman hukumnya sehingga
mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
2. Adanya kebijakan publik yang mampu memberikan tindakan-tindakan yang lebih
kontekstual dengan kondisi riil di lapangan atau masyarakat sehingga norma atau aturan
dalam hukum dapat diterapkan dengan baik.Kebijakan publik itu dapat berupa Peraturan
Daerah yang mengatur pelaksanaan program imunisasi. Peraturan Daerah tersebut antara
lain mengatur ruang lingkup, hak dan kewajiban baik masyarakat maupun pemerintah,
serta mengatur bentuk sanksi yang akan diberikan bagi pihak yang tidak mentaati peraturan
daerah tersebut.
3. Mensosialisasikan hukum dan isi hukum yang mengatur tentang program imunisasi kepada
masyarakat sehingga masyarakat memahaminya. Masyarakat akan mengetahui manfaat
dari hukum yang ada yaitu untuk memberi perlindungan kepada masyarakat yang pada
akhirnya masyarakat mempunyai kesadaran hukum sehingga masyarakat berbudaya
hukum.
Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa imunisasi mempunyai tujuan moral
yang sangat baik, imunisasi pada dasarnya adalah upaya untuk melindungi anak dan
masyarakat dari suatu penyakit berbahaya pada masa yang akan datang. Adapun beberapa
penolakan yang terjadi baik karena agama, takut akan efek samping yang ditimbulkan, tidak
yakin dapat mecegah penyakit tertentu atau karena biaya, maka dengan penjelasan yang baik
tentang keuntungan dan risiko imunisasi pada pasien disertai dengan rasa menghormati tidak
menghakimi, bidan atau petugas kesehatan akan lebih mudah untuk bekerjasama dengan
pasien. Pasien dan keluarga adalah pihak penerima layanan kesehatan. Mereka berhak untuk
mengetahui tentang baik buruknya tindakan yang akan diberikan kepada mereka. Sehingga
saran yang dianjurkan bagi penerima layanan kesehatan adalah:
1. Mintalah informasi selengkap mungkin mulai dari persiapan, prosedur, alat yang
digunakan, cara kerja sampai dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditimbulkan
jika mereka menerima suatu tindakan kesehatan.
2. Bagi Pemberi Pelayanan: Berikan informasi yang sejujurnya, lengkap dan tidak memaksa.
3. Lakukan tindakan sesuai dengan SOP (Standars Operating Procedur).
4. Lakukan tindakan keperawatan atau kesehatan dengan hati.
5. Gunakan informed consent setiap kali akan memberikan tindakan dengan pemberian
informasi yang jelas sebelumnya, sehingga jika menghadapi sebuah penolakan, ada bukti
yang sah.
DAFTAR PUSTAKA
Purnamasari, Ika. 2015. Dilema Etik Penolakan Imunisasi, Antara Hak Orang Tua dan
Tanggung Jawab Pemberi Pelayanan Kesehatan.Jurnal Managemen Keperawatan. 3(
1): 7-1.