Anda di halaman 1dari 29

MAKALAHILMU SOSIAL DASAR

“MUNCULNYA LAPISAN ELIT TRADISIONAL DAN MODERN”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 9

RUHILMI NISA (1711211007)

MIA FADILLAH MIRFAN (1711211013)

FAUZA EL IZZATI (1711211035)

ORINA VANDINI (1711213033)

ELVA YUNITA Z. (1711216002)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ANDALAS

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya kepada kita semua serta shalawat dan salam yang senantiasa

tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW, sehingga makalah

sederhana tentang “Munculnya Lapisan Elit Tradisional dan Modern”

dapat kami susun dengan lancar.

Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat

bermanfaat sebagai rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,

menambah wawasan serta pengalaman, sehingga kami dapat memperbaiki

bentuk maupun isi dari makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami mengakui bahwa masih banyak

kekurangan yang terkandung di dalamnya. Kami berharap kepada

pembaca untuk memberikan kritik dan saran demi lebih memperbaiki

makalah ini. Terima kasih.

Padang, 17 April 2018

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................2
BAB II TELAAH PUSTAKA...........................................................................................3
2.1 Teori Elit............................................................................................................3
2.2 Karekteristik Elite Sosial....................................................................................5
2.2.1 Pelapisan Sosial Ekonomi...........................................................................5
2.2.2 Ciri-ciri elite sosial masyarakat kota...........................................................5
2.3 Peran Elite Politik Dalam Gerakan Sosial..........................................................8
2.4 Peran Elite Sosial Terhadap Gerakan Sosial.......................................................9
2.5 Karakteristik Elite Tradisional Dan Elite Modern............................................10
2.5.1 Elite Tradisional.......................................................................................11
2.5.2 Elite Modern.............................................................................................13
2.6 Latar Belakang Munculnya Elit Modern.........................................................16
2.7 Perubahan Elit Tradisional ke Elit Modern.......................................................18
BAB III PENUTUP.........................................................................................................26
3.1 Kesimpulan......................................................................................................26
3.2 Saran................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua atau

hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan.Dalam keadaan yang

paling umum, negara-negara berkembang telah mengalami tiga pola

orientasi elit politik. Sampai abad kedua puluh bekas-bekas tanah jajahan

tersebut diperintah oleh pemerintah kolonial bangsa eropa; dimana sebagai

negara yang merdeka diperintah oleh golongan elit tradisional. Para

pemerintah kolonial tidak biasanya memerintah secara menyendiri malah

biasanya mereka bertindak melanjutkan pemerintah tradisional dan

golongan elite ekonomi. Ikatan demikian mengalami kehancuran akibat

perang dunia II sungguhpun ikatan tersebut pernah mengalami

kemerosotan sebelumnya. Disebagian besar negara baru terdapat pola yang

baru yang relatif ringkas yaitu elite nasional yang telah menerima

pengaruh kota serta diorientasikan dengan faham marxis golongan yang

hampir sepenuhnya memegang kekuasaan. Jarang sekali kekuasaan

mereka berlangsung dalam jangka waktu yang lama, setelah revolusi atau

kemerdekaan dicapai. Biasanya mereka digantikan oleh suatu gabungan

ahli pihak militer yang lebih berorientasikan teknologi dengan

membangkitkan kembali unsur kepemimipinan tradisional karena

mengingat kepada perjuangan meraih kemerdekaan yang semakin lemah

sedang pengakuan terhadap jalinan kekuasan setempat dalam jangka

panjang semakin bertambah. Dengan itu dua kelompok yang sebagian

1
besar tersisih dari pola kekuasaan yang sekarang yaitu elite kolonial yang

lama dan elite ekonomi. walaupun golongan elite ekonomi yang kedua ini

merupakan suatu kekuatan yang perlu dipertimbangkan. Bagaimanapun,

perubahan ini tidak semestinya mencerminkan perubahan masyarakat di

negara-negara yang dibahas disini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana teori elit?

2. Bagaimana karekteristik elite sosial?

3. Bagaimana peran elite politik dalam gerakan sosial?

4. Bagaimana peran elite sosial terhadap gerakan sosial?

5. Bagaimana karakteristik elite tradisional dan elite modern?

6. Apa latar belakang munculnya elit modern?

7. Bagaimana proses perubahan elit tradisional ke elit modern?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan teori elit

2. Menjelaskan karekteristik elite sosial

3. Menjelaskan peran elite politik dalam gerakan sosial

4. Menjelaskan peran elite sosial terhadap gerakan sosial

5. Menjelaskan karakteristik elite tradisional dan elite modern

6. Mengetahui latar belakang elit modern

7. Menjelaskan proses perubahan elit tradisional ke elit modern

2
BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1 Teori Elit

Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang

memikul semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan.

Definisi elit yang dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan

lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis

klasik bahwa di setiap masyarakat, suatu minoritas membuat keputusan-

keputusan besar. Konsep teoritis yang dikemukakan oleh Plato dan

Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua sosiolog politik Italias,

yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.

Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh

sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam

kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang

mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil

yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto

mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama,

yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam

matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Teori elite

menurut ahli Menurut Pareto, mereka yang menjangkau pusat kekuasaan

adalah selalu yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit

adalah orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi

dalam lapisan masyarakat. Mereka terdiri dari para pengacara, mekanik,

bajingan, atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada

3
pekerjaan dan lapisan masyarkat yang berbeda itu pada umumnya datang

dari kelas yang sama; yaitu orang-orang yang kaya dan pandai,

mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral,

dan sebagainya. Menurut Pareto, masyarakat terdiri dari dua kelas yaitu :

Lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang

memerintah (governing elite), dan elit yang tidak memerintah (non-

governing).

Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Konsep pergantian elit

juga dikembangkan oleh Pareto. Ia mengemukakan berbagai jenis

pergantian elit, yaitu pergantian di antara kelompok-kelompok elit yang

memerintah itu sendiri dan di antara elit dengan penduduk lainnya.

Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan seperti individu-

individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang sudah ada

dan individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit

baru dan masuk ke dalam suatu kancah perebutan kekuasaan dengan elit

yang sudah ada.

Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai dari yang paling

giat mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada

masyarakt yang paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas

yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah,

biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik,

monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungankeuntungan yang

didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar,

diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah.

4
2.2 Karekteristik Elite Sosial

2.2.1 Pelapisan Sosial Ekonomi

Perbedaan tingkat pendidikan dan status sosial dapat menimbulkan

suatu keadaan yang heterogen. Heterogenitas tersebut dapat berlanjut dan

memacu adanya persaingan, lebih-lebih jika penduduk di kota semakin

bertambah banyak dan dengan adanya sekolah-sekolah yang beraneka

ragam terjadilah berbagai spesialisasi di bidang keterampilan ataupun di

bidang jenis mata pencaharian.

2.2.2 Ciri-ciri elite sosial masyarakat kota

1. Individualisme

Perbedaan status sosial-ekonomi maupun kultural dapat

menimbulkan sifat “individualisme”. Sifat kegotongroyongan yang murni

sudah sangat jarang dapat dijumpai di kota. Pergaulan tatap muka secara

langsung dan dalam ukuran waktu yang lama sudah jarang terjadi, karena

komunikasi lewat telepon sudah menjadi alat penghubung yang bukan lagi

merupakan suatu kemewahan. Selain itu karena tingkat pendidikan warga

kota sudah cukup tinggi, maka segala persoalan diusahakan diselesaikan

secara perorangan atau pribadi, tanpa meminta pertimbangan keluarga

lain.

5
2. Toleransi Sosial

Kesibukan masing-masing warga kota dalam tempo yang cukup

tinggi dapat mengurangi perhatiannya kepada sesamanya. Apabila ini

berlebihan maka mereka mampu akan mempunyai sifat acuh tak acuh atau

kurang mempunyai toleransi sosial. Di kota masalah ini dapat diatasi

dengan adanya lembaga atau yayasan yang berkecimpung dalam bidang

kemasyarakatan.

3. Jarak Sosial

Kepadatan penduduk di kota-kota memang pada umumnya dapat

dikatakan cukup tinggi. Biasanya sudah melebihi 10.000 orang/km2. Jadi,

secara fisik di jalan, di pasar, di toko, di bioskop dan di tempat yang lain

warga kota berdekatan tetapi dari segi sosial berjauhan, karena perbedaan

kebutuhan dan kepentingan.

4. Pelapisan Sosial

Perbedaan status, kepentingan dan situasi kondisi kehidupan kota

mempunyai pengaruh terhadap sistem penilaian yang berbeda mengenai

gejala-gejala yang timbul di kota. Penilaian dapat didasarkan pada latar

belakang ekonomi, pendidikan dan filsafat. Perubahan dan variasi dapat

terjadi, karena tidak ada kota yang sama persis struktur dan keadaannya.

Suatu hal yang perlu ditambahkan sebagai penjelasan ialah

pengertian mengenai istilah “neighborhood”. Dalam pengertian

“neighborhood” terkandung unsur-unsur fisis dan sosial, karena unsur-

6
unsur tersebut terjalin menjadi satu unit merupakan satu unit tata

kehidupan di kota. Unsur-unsurnya antara lain gedung-gedung sekolah,

bangunan pertokoan, pasar, daerah-daerah terbuka untuk rekreasi, jalan

kereta api, jalan mobil dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut menimbulkan

kegiatan dan kesibukan dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, sesungguhnya “neighborhood” ini sudah tidak merupakan hal

baru bagi kita. Dalam kota terdapat banyak unit atau kelompok

“neighborhood”, karena “neighborhood” ini dibatasi oleh beberapa

persyaratan tertentu, antara lain:

Lingkungan ini terbatas pada jarak pencapaian antara seseorang

dengan toko atau sekolah, misalnya dapat dilakukan dengan jalan kaki.

Bila seseorang terpaksa harus memakai kendaraan, maka

pekerjaannya tidak perlu melalui lalu lintas yang ramai dan padat.

Dari segi jumlah penduduk, maka satu unit “neighborhood”

didiami oleh 5.000 sampai 6.000 orang. Untuk tempat-tempat di Indonesia

angka ini tentu tidak akan sama dan mungkin akan menunjukkan angka

yang lebih besar.

Sebuah unit “neighborhood” dapat terbentuk kalau terjadi jalinan

dan interaksi sosial diantara warga kota sesamanya. Unit atau kelompok

“neighborhood” ini dapat terjadi dengan sendirinya, tetapi dapat juga

terjadi dengan suatu perencanaan pembangunan kota, yaitu dengan

merencanakan daerah-daerah lingkungan kehidupan yang khusus dan

memenuhi persyaratan praktis dan menyenangkan. Bertambahnya

penghuni kota baik berasal dari dari penghuni kota maupun dari arus

7
penduduk yang masuk dari luar kota mengakibatkan bertambahnya

perumahan-perumahan yang berarti berkurangnya daerah-daerah kosong

di dalam kota. Semakin banyaknya anak-anak kota yang menjadi semakin

banyak pula diperlukan gedung-gedung sekolah. Bertambah pelajar dan

mahasiswa berarti bertambah juga  jumlah sepeda dan kendaraan bermotor

roda dua. Toko-toko. Warung makan atau restoran bertambahnya terus

sehingga makin mempercepat habisnya tanah-tanah kosong di dalam kota.

Kota terpaksa harus diperluas secara bertahap menjauhi kota.

2.3 Peran Elite Politik Dalam Gerakan Sosial

Dalam study teoritis mengenai pergerakan sosial kita akan

menemukan banyak pergerakan paradigma, terutama periode tahun 1940-

an sampai 1990-an. Tahapan pertama ditandai oleh pandangan negatif

terhadap pergerakan kemasyarakatan dan cenderung menjelaskannya

dalam sudut pandang psikologi. Sudut pandang ini lebih karena pada

masa-masa itu popularitas psikoanalis dan pengaruh dari nazisme, fasisme,

stanilisme menguat. Tahapan kedua, teori pergerakan kemasyarakatan

didasarkan pada pandangan positif. Penekanan lebih pada organisasi yang

memiliki strategi rasional.

Secara definisi gerakan sosial memiliki penjelasan konseptual.

Gerakan sosial dalam definisi Gore, “ semua gerakan sosial yang berjuang

demi perubahan melibatkan sebuah wawasan yang baru, sebuah perspektif

baru, sebuah perluasan atau redefinisi dari sebuah sistem kepercayaan dan

nilai yang telah ada “.

8
Gerakan sosial ( social movement ) adalah aktivitas sosial berupa

gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal

yang berbentuk organisasi, berjumlah besar atau individuyang secara

spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan

melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.

( wikipedia.com ).

Golongan elite politik sendiri memiliki peranan yang penting

terhadap suatu pergerakan politik. Karena, elite politik adalah kaum

minoritas yang memimpin masyarakat atau wakil dari masyarakat, secara

tidak langsung apa yang dilakukan oleh elite polotik atau diperintahkan

akan dilaksanakan oleh masyarakat. Tanpa kaum elite politik pergerakan

sosial akan sulit terjadi.

2.4 Peran Elite Sosial Terhadap Gerakan Sosial

Elite sosial merupakan kelompok sosial yang unggul, misalnya

seperti kaum bangsawan. Elite sosial merujuk pada kelompok-kelompok

sosial di dalam masyarakat. Kaum ini mempunyai kedudukan yang tinggi

di dalam kelompok masyarakatnya, lebih menonjol dan berpengaruh bagi

masyarakat sekitarnya. Jika dibandingkan dengan elite politik, elite sosial

memiliki cakupan yang lebih sempit, yaitu hanya di dalam kelompok

masyarakat. Eksistensi kaum elite ditentukan oleh, sejauh mana mereka

mampu mempertahankan posisi dan pengaruhnya di tengah-tengah

kehidupan masyarakat yang terus berubah.

9
Jika ditanya peran elite sosial terhadap gerakan sosial ? Tentu saja

elite sosial juga memiliki peran yang penting seperti elite politik. Namun,

bedanya adalah elite politik lebih kepada pemerintahan sedangkan elite

sosial lebih kepada kehidupan bermasyarakat (sosial ). Elite sosial,

biasanya memiliki peran sebagai pemimpin di dalam masyarakat atau

penggerak masyarakat. Misalnya seperti, sesepuh, kepela desa, ketua RT,

dan lain-lain. Intinya, elite politik sangat berperan juga terhadap terjadinya

gerakan sosial.

2.5 Karakteristik Elite Tradisional Dan Elite Modern

Pada dasarnya elite sejati yang sebenarnya adalah yang

menghindari kesombongan, arogansi, merasa paling tahu, paling hebat,

atau paling benar. Elite sejati mengupayakan diri sebagai seorang yang

punya nilai, punya sesuatu yang menjadikan dirinya sebagai rujukan,

tempat bernaung. Seseorang atau lembaga yang diposisikan sebagai elite

belum tentu dinyatakan sebagai orang yang bahagia, karena harapan yang

digantungkan terlalu tinggi sementara realitasnya berbeda. Contohnya kita

dapat melihat lembaga keuangan, kepolisian, kejaksaan dan lainnya

merupakan lembaga yang terposisikan sebagai elite, bahkan selebriti.

Selain selalu menjadi sumber berita, lembaga itu menjadi tumpuan

harapan. Lembaga yang sangat berpengaruh terhadap pulihnya

perekonomian dan penegakan keadilan (yang sebenar-benarnya adil).

10
2.5.1 Elite Tradisional

Elit tradisionalberorientasi kosmologis/berdasarkan keturunan. Ada

dua golongan elite tradisional yaitu:

1. Priyai

Golongan elite yang merupakan sekelompok lapisan masyarakat

yang mempunyai kedudukan terkemuka di lingkungan kerajaan dan

mempunyai martabat tinggi dalam masyarakat. Mereka terdiri atas

golongan bangsawan, tentara, rohaniawan, atau pedagang kaya. Kaum

bangsawan di Jawa dikenal sebagai bendoro, di Jawa Barat sebagai menak,

bertingkat-tingkat sesuai dengan yang menurunkannya. Kaum pegawai di

Jawa disebut sebagai priyai yang juga bertingkat-tingkat, mereka mudah

dibedakan satu dengan yang lain berdasarkan pakaian dinasnya dengan

kepangkatannya pada lengan baju atau daerah tempat tinggalnya. Jumlah

tentara kerajaan dibandingkan dengan negara modern relatif kecil, karena

kekuatan pertahanan terletak di bawah para bangsawan seperti bupati.

Kaum rohaniawan yang berfungsi dalam bidang agama memiliki

kedudukan yang khas kaena karismanya. Mereka pada umumnya

bertempat tinggal di lingkungan tempat ibadah seperti dekat pura untuk

yang beragama Hindu, dan di dekat Masjid disebut kauman untuk yang

beragama Islam. Dalam masyarakat Jawa dan Bali yang pernah mengenal

sistem Kasta, pedagang di tempatkan sebagai golongan yang lebih rendah,

masuk kasta Waisya, tetapi di Sumatra pedagang kaya termasuk kaum

elite, mereka memperoleh sapaan sebagai urang kayo atau rangkayo di

11
Sumatra Barat. Kedudukan dan martabatnya tidak kalah dengan kaum elite

yang lain.

2. Syahbandar

Dalam sejarah lama syahbandar sebagai kepala pelabuhan

memperoleh kedudukan sebagai kaum elite. Sebagian dari mereka terdiri

atas orang asing. Hal ini disebabkan karena raja pada masa itu juga

mempunyai penghasilan dari perdagangan, sehingga pejabat yang

memegang peran penting dalam perdagangan diberi kedudukan istimewa.

Pemakaian tenaga asing untuk jabatan tersebut disebabkan karena mereka

dinilai ahli dalam perdagangan termasuk kemahiran memakai bahasa

asing.

Komponen-komponen kekuasaan dalam elite tradisional adalah

seorang pemimpin dalam mempertahankan kekuasaannya harus memiliki

apa yang namanya kharisma (memiliki wahyu Tuhan atau Dewa),

kewibawaan, wewenang, dan kekuasaan dalam arti khusus, serta sifat-sifat

lain yang menjadi syarat penting bagi seorang pemimpin dalam

masyarakat negara yang seperti itu.

Sifat keramat atau karisma seorang raja yang akhirnya seringkali

menjadikan seorang raja harus mengisolasikan diri dari rakyatnya untuk

tidak bertatap muka dan berdialok langsung dengan raja. Bahkan hingga

pada sebuah pemikiran yang memang sengaja didoktrinkan kepada rakyat,

bahwa seorang rakyat biasa tidak diperkenankan untuk melihat atau

menatap wajahnya, karena hal itu adalah merupakan tindakan yang tidak

12
sopan atau sangat dilarang. Hal demikian juga terjadi pada negara kuno

Jepang, dimana masyarakatnya tidak diijinkan atau dilarang untuk

memandang wajah seorang Kaisar Meiji yang berkuasa pada saat itu. Hal

ini, tidak terlepas dengan indoktrinasi yang diberikan oleh pihak kerajaan

bahwa raja adalah penjelmaan dari dewa.

Untuk Indonesia dan mungkin bagi seluruh elit yang ingin menjadi

dan mempertahankan kekuasaannya, Koentjaraningrat mengatakan bahwa

meskipun kekuasaan pemimpin tradisional memiliki karisma sebagai

komponen yang penting, sehingga menjadi unsur pokok yang menjaga

kontinuitas kepemimimpinannya, akan tetapi seorang pemimpin tidak

dapat mengabaikan komponen lain yakni apa yang disebut sebagai

kekuasaan dalam arti khusus, yaitu: kemampuan untuk mengerahkan

kekuatan fisik, dan untuk mengorganisir orang banyak untuk mengadakan

sanksi. Selain itu seorang pemimpin haruslah memiliki sifat yang adil,

baik hati dan bijaksana. Ketiga sifat ini pada dasarnya juga diperlukan

untuk menjadi seorang pemimpin baik tradisional maupun masa kini.

2.5.2 Elite Modern

Dalam perkembangan sejarahnya dengan ditandai kemajuan dari

segi budaya, tehnologi dan logika berpikir yang lebih maju dan rasional

dari masyarakat, menjadikan konsepsi elit dalam memandang kekuasaan di

masa kini (era modern) memiliki perbedaan yang cukup mendasar dari

konsepsi elit tradisional. Kalau untuk menjaga kewibawaan seorang

pemimpin terhadap rakyatnya dalam negara tradisional, ia harus

13
mengisolasi diri untuk tidak bertatap muka dan dialog dengan masyarakat

walau dengan dalih karena seorang raja adalah keturunan dewa yang suci

dan harus menjaga kesucian dan kekeramatannya itu, sedangkan

masyarakat adalah manusia yang hina yang dapat mencemari kesuciannya.

Disini jelas bahwa ada kemajuan berfikir yang lebih dan sangat maju

antara elite tradisional dan elite modern. Terutama dalam keinginan untuk

mempunyai pendidikan agar dapat lebih baik kemasa depannya kelak.  

Maka dalam masyarakat modern, seorang pemimpin dalam

membangun kewibawaan terhadap rakyatnya tidak lagi dengan

menggunakan cara-cara yang demikian, tapi lebih pada baagaimana

membangun citra yang baik dihadapan masyarakat. Ini artinya,

mengharuskan seorang pemimpin untuk lebih dekat dengan rakyatnya,

karena sumber legitimasi dan wewenang seorang penguasa, terlebih dalam

negara yang telah menganut sitem politik demokrasi modern, bukan lagi

para dewa dan roh nenek moyang, bukan pula kekuatan sakti yang

terhimpun dalam pusaka-pusaka keramat, tetapi sumber kekuasaan dan

wewenang seorang pemimpin ada pada masyarakat.

Elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran,

berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam

daripada elite tradisional.Secara struktural ada disebutkan tentang

administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi,

orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada akhirnya

perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit

politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-

14
pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan

diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang

modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang

terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya

bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan

dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar

dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke

dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis. 

Kesimpulan perbandingan antara karakteristik elite tradisional dan

elite modern:   

Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

antara elit  tradisional, dan elit masa kini (modern) dalam melihat

kekuasaan dan kepemimpinan sebuah negara. Perbedaannya yang

mendasar ada pada cara membangun karisma dan wibawa. Di mana dalam

masyarakat tradisional memahami bahwa seorang pemimpin atau raja

dalam sebuah negara tradisional (kuno) memandang untuk menjaga

wibawa dan karisma, mengharuskan seorang raja harus memisahkan diri

atau mengisolasikan dirinya dari kehidupan masyarakat. Hal ini dilakukan

dengan melalui indoktrinasi ajaran dari sebuah kepercayaan agama bahwa

seorang raja adalah titisan dewa yang suci, maka rakyat yang dianggap

hina harus menjauh atau dilarang untuk menatap dan berdialok dengan

raja, karena dapat mencemari kesucian raja.

Berbeda kemudian dalam masyarakat masa kini (modern), dalam

membangun karisma dan wibawa seorang pemimpin tidak lagi

15
mengisolasikan diri dari kehidupan rakyatnya, justru sebaliknya seorang

pemimpin harus lebih dikenal dan dekat dengan rakyat. Hal tidak lain

karena legitimasi kepemimpina seseorang dalam negara modern bukan

didapat dari dewa, atau hal-hal keramat sebagai mana dalam masyarakat

kuno, tetapi legitimasi seorang pemimpin ada pada masyarakat itu sendiri,

karena masyarakat lah yang langsung memilih seseorang untuk menjadi

pemimpin mereka. Inilah yang mengharuska kewibawaan dan karisma

seorang pemimpin harus dibangun melalui popularitas.

2.6 Latar Belakang Munculnya Elit Modern

Selintas kemunculan elit modern tidak bisa dipisahkan dari

peristiwa politik etis yang terjadi di Indonesia. Politik etis merupakan

gerbang perubahan budaya tradisional dalam hal pandangan hidup kepada

modernisasi ala Barat melalui pendidikan. Seperti disebutkan Ricklef

(1991:227) bahwa “kaum sosial demokrat telah berusaha mengeluarkan

kritikan tajam terhadap pemerintah Belanda dalam hal eksploitasi

kekayaan alam dan manusia di Indonesia. Telah terjadi keadaan ekonomi

dan kemanusiaan yang sangat memprihatinkan di Indonesia selama masa

kolonial”.

Setelah menuai banyak kritikan dari golongan sosial demokrat

dalam hal kebijakan pemerintah kolonial di Indonesia, maka pemerintah

kolonial melonggarkan kebijakan – kebijakan yang bersifat eksploitasi

dalam bentuk politik etis. Salah satu kebijakan dalam politik etis adalah

penyelenggaraan pendidikan pada rakyat Indonesia. Setelah kebijakan

16
politik etis ini diterapkan banyak rakyat Indonesia bisa mengenyam

pendidikan di sekolah umum. Meski awalnya hanya keluarga bangsawan

dan orang kaya yang mampu bersekolah, namun lama – lama kelamaan

rakyat biasa bisa bersekolah di sekolah umum.

Niel (1984:55) menyebutkan “Hurgronje banyak menyumbangkan

saran kepada pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan yang

bercirikan Barat kepada golongan elit pribumi”. Namun menurut

Suryanegara hal ini dianggap sebagai sebuah pendangkalan akidah Islam.

Suryanegara (2009:327) menyebutkan “politik etis merupakan praktik

imperialisme gaya baru yang diciptakan oleh Belanda. Khusus pada

pendidikan, pemerintah kolonial Belanda sengaja merubah sistem

pendidikan agama Islam ala pesantren menjadi sistem pendidikan ala Barat

yang lebih modern”.

Pendapat Suryanegara diperkuat oleh Nagazumi (?:28) bahwa

“tujuan politik etis; 1. Meningkatkan kesejahteraan penduduk

pribumi dan 2. Berangsur – angsur menumbuhkan otonomi dan

desentralisasi politik di Hindia Belanda. Hal ini didasari pada tiga prinsip :

kekuasaan pemerintah harus dialihkan 1. Dari Negeri Belanda ke Hindia 2.

Dari Batavia ke daerah – daerah 3. Dari bangsa Eropa ke penduduk

pribumi”.

Ini artinya terjadi perubahan cara kolonialisasi dari cara kuno

dengan tanam paksa menjadi neo kolonialisasi yang lebih moderat. Cukup

melalui pribumi – pribumi yang tunduk dan bekerja sama pada Belanda,

17
mereka (Belanda) mampu menjajah Indonesia. Maka untuk memuluskan

tujuannya Belanda mendidik dan melatih pribumi – pribumi pilihan (yang

bekerja sama dengan Belanda) untuk dididik agar mampu membantu

pemerintah kolonial di bawah kendali Belanda. Disamping itu Belanda

ingin menjadikan Hindia sebagai salah satu negara federasinya.

2.7 Perubahan Elit Tradisional ke Elit Modern

Ada baiknya kita menelisik salah satu faktor yang mempelopori

bangsa Eropa untuk sedikit memanusiakan manusia jajahannya. Tilaar

(2007:83) menyebutkan “teori yang dicetuskan Rousseau pada masa

Aufklarung tentang pendidikan yang wajib memberikan kebebasan kepada

manusia dalam memilih sesuai dengan keinginannya”. Sedikit banyak

pendapat Rouseau tersebut memiliki pengaruh secara tidak langsung

kepada golongan pribumi untuk memperoleh pendidikan dan memperoleh

kebebasan.

Brinton (1981:153) menyebutkan “kebudayaan modern Barat

terbentuk sekitar abad ke – 15 sampai dengan ke – 18. Mereka mulai

mengutamakan pendidikan dan rasionalitas pikiran daripada hanya sekedar

dogma gereja”. Jelas perkembangan modernisasi di Eropa berdampak

secara tidak langsung kepada kehidupan di daerah jajahan seperti

Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Niel (1984:56) “politik

etis...memberikan rangsangan menimbulkan kesadaran pada angkatan

muda Indonesia. Suasana yang sama juga memberikan rangsangan R.A.

Kartini...menghasilkan wanita-wanita muda dan pemuda-pemuda elit

18
Indonesia yang berpendidikan dalam kehidupan masyarakat yang

berubah”. Beberapa elit pribumi (tradisional) yang telah mendapat

pendidikan dan pengaruh Barat telah secara tidak sengaja memiliki

pemikiran Barat. Salah satu contoh sederhana yaitu konsep identitas

bangsa dan nasionalisme yang sudah mulai dikaji dan dipelajari.

Sementara pada masa tradisional sebelum memperoleh pengaruh Barat,

tidak pernah terpikirkan konsep identitas dan nasionalisme oleh para elit

tradisional. Seperti dikatakan Kusuma (2001:152) “...mahasiswa asal

Hindia Belanda pada 1908 mendirikan perkumpulan sosial di negeri

Belanda...namun mereka yang terkumpul dari beberapa suku berbeda

masih belum tau kebangsaan mereka”.

Jika kita menetapkan standar baku dan batasan elit tradisional

adalah orang – orang besar (priyayi) yang belum terpengaruh pemikiran

Barat, seperti Kejawen dan Islam santri. Pada umumnya mereka (elit

tradisional) berasal dari keluarga raja, bangsawan atau priyayi yang

memperoleh status kebangsawanannya dari garis keturunan. Disamping itu

ciri khusus elit tradisional seperti diungkapkan Niel (1984:58)

“dualisme...orang Indonesia...pendidikan (rasionalitas) dan takhyul”.

Lebih lanjut Graves (2007:11) menyebutkan...tingkat pengaruh yang

dimiliki pihak elit tradisional dalam persaingan memperoleh kekayaan dan

prestise didasarkan keturunan itu sendiri. Maka Suryanegara (2009:277)

memiliki pendapat sendiri bahwa “perubahan pola pikir masyarakat Islam

akan kesadaran teritorial dan identitas telah tergambarkan jauh sebelum

pemikiran Barat hadir di Indonesia”. Artinya tidak bisa kita mengatakan

19
bahwa Islam atau sebelum pemikiran Barat datang di Indonesia bahwa elit

tradisional sangat rendah wawasannya.

Kembali pada mengapa dengan mudahnya kaum tradisional

menerima segala perubahan yang datang dari Barat. Hal ini sangat unik

dan membutuhkan penguraian teori kebudayaan yang membahas tentang

perubahan kebudayaan. Seperti yang disebutkan Havilland (1988:252)

menyebutkan bahwa “kemampuan berubah selalu merupakan sifat yang

penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa hal tersebut, kebudayaan tidak

akan mampu menyesuaikan dengan keadaan yang selalu dinamis”. Lebih

lanjut lagi disebutkan perubahan – perubahan yang terjadi pada kalangan

elit tradisional menuju pada elit modern yang lebih bersifat Barat

disebabkan oleh invention yang terjadi di Eropa dan dibawa melalui

akulturasi antara pemerintah kolonial Belanda dengan penduduk pribumi

dalam hal ini elit tradisional.

Tidak selamanya akulturasi berjalan mulus antara pemerintah

kolonial dengan rakyat pribumi. Hal ini didasari atas perbedaan yang

sangat mendasar, yaitu agama yang Islam yang dianut orang Pribumi

Indonesia, sedangkan Belanda memiliki keyakinan Protestan. Pada

mulanya golongan elit tradisional khususnya Islam santri memiliki

keraguan atas pendidikan yang ditawarkan pemerintah kolonial. Jelas

penyebabnya adalah pendidikan dengan sistem modern ala Barat yang

mengesampingkan agama Islam dalam kurikulumnya. Namun disinilah

letak kebrilianan Hurgronje sebagai antropolog profesional (bidang Islam)

20
dari pihak pada Belanda yang berhasil meyakinkan para raja dan

bangsawan Islam agar menyekolahkan anaknya di sekolah umum.

Seperti kita ketahui sebelumnya bahwa hanya sedikit dari golongan

pribumi yang ingin bersekolah di sekolah – sekolah Belanda. Hal ini

didukung oleh pendapat Nagazumi (?:22) bahwa ”pada tahun 1902 hanya

ada empat dari delapan bupati yang mampu menggunakan bahasa Belanda.

Salah satu dari mereka adalah R.M. Koesoemo Oetoyo sebagai pemimpin

gerakan Budi Utomo, sebagai komisaris pada 1909 dan sebagai ketua pada

1926”. Ini artinya belum banyak pribumi Jawa yang mau mengenyam

pendidikan dari Belanda pada saat itu.

Hal yang menarik, diantara pribumi yang memperoleh pendidikan

Barat seperti Koesoemo Oetoyo menularkan ide – ide yang luar biasa pada

pribumi lain yang tidak tertarik pada pendidikan Belanda. Ide – ide

tersebut antara lain memperkenalkan hierarki kolonial Belanda pada kaum

elit pribumi dan bagaimana hierarki tersebut bekerja, juga proses dimana

mereka (elit pribumi) semakin dalam terlibat (Nagazumi, ?:23). Ide – ide

semacam itu semakin merangsang elit pribumi lain untuk bersekolah dan

melakukan perubahan – perubahan sosial yang pada akhirnya nanti

membentuk Budi Utomo dan Volksraad.

Untuk tahap awal para elit modern ini biasanya muncul dan

berkembang setelah mendapat pendidikan di Eropa. Seperti contoh,

Achmad Djajadiningrat seorang anak bangsawan Banten dan keturunan

Paku Alam yang banyak melanjutkan studi di Eropa. Namun berikutnya

setelah didirikannya sekolah dokter STOVIA pada 1902 di Jawa, maka

21
banyak muncul elit – elit modern yang memiliki pemikiran – pemikiran

Barat yang, brilian seperti Radjiman Wideodiningrat, Boedi Oetomo,

Tjipto Mangunkusumo, Wahidin Wirohoesodo dan lainnya. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Hatmosoeprobo dalam Suwarno (1995:60) “anak-anak

priyayi lulusan sekolah yang bahasa pengantarnya bahasa

Belanda...kemudian hari tumbuh menjadi golongan intelektual yang biasa

disebut modern Indonesia”. Kelak mereka akan membuka wawasan dan

kesadaran masyarakat Indonesia akan nasionalisme, identitas dan hak

layak untuk hidup sebagai manusia bebas. Tidak hanya itu pada tahun

1916 juga muncul organisasi massa bercorakkan agama yang disebut SI

(Serekat Islam). Cukup banyak kontribusi para pemikir Serikat Islam bagi

masyarakat seperti SI menghendaki natie dan berpemerintahan sendiri bagi

rakyat Nusantara (Kusuma, 2001:152). Lebih lanjut Kartodirdjo dalam

Suwarno menyebutkan (1995:8) “BO, SI, Muhammadyah, IP dan

sebagainya berfungsi sebagai lambang identitas baru berdasarkan

solidaritas modern (non-primordialis). Ide nasionalisme mentrasenden

etnosentrisme, etno nasionalisme, serta segala jenis primordialisme dan

komunalisme diganti solidaritas nasional.”

Sedang Nugraha (2011:76) menambahkan “pengaruh pemikiran

Barat telah membuat orang pribumi mencari identitas sosial. Hal ini dapat

terlihat dari banyaknya golongan priyayi Jawa yang kehilangan keyakinan

terhadap mobilitas status yang diperoleh berdasarkan keturunan”. Mereka

memasuki dunia intelektual yang agak terbebas dari tradisi kultural yang

penuh dengan sikap hormat berlebihan. Dari mereka inilah lahir golongan

22
yang berusaha mencari alternatif lain dari corak sosial dan sistem status

masyarakat. Setelah memperoleh pendidikan Barat elit modern ini

memiliki pemikiran faktor mobilitas sosial tidak lagi dipandang

berdasarkan garis keturunan. Mereka beranggapan status sosial yang

meningkat karena prestasi dibidang pendidikan, ekonomi dan lainnya lebih

berhasil dan terpandang. Ini disebabkan status sosial yang diperoleh murni

hasil kerja keras diri sendiri lebih baik ketimbang hanya memperoleh

peningkatan status sosial dari garis keturunan bangsawan yang merupakan

“pemberian” keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Graves (2007:252)

“di Sumatera Barat pada tahun 1920-an, pendidikan sekuler berbahasa

Belanda menjadi syarat penting untuk status elite...”.

Maka pada perkembangan berikutnya golongan elit modern

terpelajar ini mulai merambah dan berkecimpung di berbagai bidang,

seperti politik, sosial, budaya dan pendidikan. Tujuan mereka sama, yaitu

memperoleh hak – hak layak hidup sebagai manusia yang bebas. Tidak

terkecuali kesempatan mengenyam pendidikan bagi rakyat jelata, sampai

kepada tuntutan kebebasan yang pada akhirnya berujung pada konsep

kemerdekaan yang hakiki.

Dalam hal ini kegiatan awal golongan elit modern dapat

ditandai dengan mulai dibentuknya organisasi yang bersifat sosial –

budaya seperti Boedi Oetomo pada tahun 1908 oleh Wahidin Wirohusodo.

Mereka memfokuskan perhatian pada kesadaran identitas bangsa,

nasionalisme dan persatuan beragam suku yang ada di Indonesia. Wahidin

merekrut para mahasiswa alumni STOVIA untuk bergabung kepada Boedi

23
Oetomo dalam rangka menyatukan visi dan misi yakni kebebasan dan hak

layak hidup. Beberapa dari mereka yang bergabung pada Boedi Oetomo

antara lain Tjipto Mangukumo dan Suwardi Suryaningat serta Soetomo.

Dan dari mereka akan berkembang pula organisasi Indische Partij yang

bergerak pada bidang politik yang fokus memperjuangkan nasionaslisme

sebagai kesadaran nasional seluruh rakyat Indonesia dan lainnya.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya elite sejati yang sebenarnya adalah yang

menghindari kesombongan, arogansi, merasa paling tahu, paling hebat,

atau paling benar. Elite sejati mengupayakan diri sebagai seorang yang

punya nilai, punya sesuatu yang menjadikan dirinya sebagai rujukan,

tempat bernaung. Seseorang atau lembaga yang diposisikan sebagai elite

belum tentu dinyatakan sebagai orang yang bahagia, karena harapan yang

digantungkan terlalu tinggi sementara realitasnya berbeda.

Elit tradisional berorientasi kosmologis/berdasarkan keturunan.

Sedangkan elit modern ditandai dengan kemajuan dari segi budaya,

tehnologi dan logika berpikir yang lebih maju dan rasional dari

masyarakat, menjadikan konsepsi elit dalam memandang kekuasaan di

masa kini (era modern) memiliki perbedaan yang cukup mendasar dari

konsepsi elit tradisional.

3.2 Saran
Karena keterbatasana referensi dan pengetahuan penulis menyadari

bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan

kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun

menjadi lebih baik dimasa yang akandatng.

25
DAFTAR PUSTAKA

Graves, E. E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respons terhadap


Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Hartomo, H. 1999. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/50013/Chapter
%20I.pdf;jsessionid=E9A76C3D311A3A3C805F2721485AD107?
sequence=4, diakses 4 April 2017

Ricklef, H. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Modern

Satria, Embo. “Sejarah Sosial” diakses 4 April 2017. Dalam


embosatria.blogspot.co.id/2012/01/sejarah-sosial.html.

Suryanegara, A. M. 2009. Api Sejarah. Bandung : Salamadani.

Suwarno, P.J. (Ed.). 1995. Negara dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta :


Grasindo.

Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia.


Jakarta : Rineka Cipta.

-. “Munculnya Elit Modern Indonesia”. diakses 4 April 2017. Dalam


bayuhebatuey.blogspot.co.id/2009/08/munculnya-elit-modern-
indonesia.html.

26

Anda mungkin juga menyukai