Anda di halaman 1dari 6

Review Film

THE NEW RULES OF THE WORLD


Pendidikan Pancasila
Annisa Quwwatu Syakhsyiyah (14512206)
Kelas b Diah Arifika, S.Fil.,M.Sc.

Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Islam Indonesia
2015

REVIEW FILM DOKUMENTER THE NEW RULES OF THE WORLD


Keuntungan dunia baru kini
Pemimpin industri besar
Katanya memiliki visi dan misi yang mulia
tapi kejam kepadaku
Mereka menjajikan dunia dimana setiap orang menjadi kaya, pintar dan muda

Namun, sendainya pun aku hidup dapat merasakannya


Bagiku itu sudah terlambat

Barisan kalimat di atas merupakan lagu pembuka dari film dokumenter


karya John Pilgers yang menggambarkan keadaan sebenarnya dari
globalisasi.

Film

tersebut

menganalisis

ekonomi

global

baru

dan

membongkar kesenjangan antara si kaya dan si miskin dimana jurang


pemisah di antaranya semakin melebar yang semua itu belum pernah
terjadi sebelumnya.
Film

ini

menyorot

pada

penguasa

baru

dunia

yaitu

perusahaan

multinasional besar, pemerintah, dan lembaga di balik mereka seperti IMF,


World Bank, dan WTO yang menguasai jutaan orang di seluruh dunia dan
merenggut

pekerjaan

dan

mata

pencaharian

mereka.

Alih-alih

memperjuangkan kemakmuran dan memberantas kemiskinan dengan


globalisasi,

negara

barat

memanipulasi

dan

merancangnya

guna

menguntungkan segelintir penguasa pasar dan menyengsarakan pekerja


dan masyarakat lainnya.
Film ini mengambil contoh situasi kesenjangan yang terjadi di Indonesia
yang

merupakan

negara

berkembang

dengan

kekayaan

alam

dan

manusianya yang melimpah tetapi berada dalam kuasa investor asing yang
mendapatkan legalitas dari pemerintah setempat. Situasi tersebut dimana
terjadi eksploitasi pekerja (buruh), kasus utang luar negeri yang tak
kunjung usai, dan penyimpangan globalisasi yang merugikan rakyat kecil.
Pilgers memaparkan kondisi buruh pabrik di Indonesia yang bekerja di
perusahaan multinasional seperti Nike, GAP, Old Navy dan Adidas, jauh dari
hak-haknya sebagai pekerja, dimana mereka digaji dengan upah yang
rendah, namun menurut pemerintah itu merupakan setengah lebih dari
standar hidup di Indonesia. Selain tiu, kondisi tempat kerja yang
mengenaskan, jam kerja yang tidak teratur, dan dipaksa untuk terus
bekerja seakan-akan tidak ada pilihan lain bagi mereka. Ketidakadilan
tersebut

terus

berlangsung

karena

kekejaman

mengekang mereka dengan aturan-aturan kerja.

perusahaan

yang

Beberapa dari sekian banyak ketidakadilan bagi buruh yaitu kasus produksi
celana tinju yang di jual seharga seratus dua belas ribu rupiah di toko dan
dari penjualan tersebut seorang buruh hanya mendapat upah lima ratus
rupiah. Penjualan sepatu olah raga seharga satu juta empat ratus ribu
rupiah dan dari penjualan tersebut seorang buruh hanya memperolah upah
lima ribu rupiah. Dari kasus-kasus tersebut, terlihat adanya pencurian nilai
lebih yang dilakukan perusahaan kepada para pekerja. Dikarenakan
perusahaan idak mengambil keuntungan dari bahan baku yang nilainya
habis setelah produksi, maka pihak perusahaan mengambil keuntungan
dengan mengharuskan para pekerja bekerja melebihi jam kerja yang wajar
untuk memproduksi barang lebih banyak dengan waktu yang lebih cepat,
sedangkan mereka dibayar dengan nilai sangat kecil jauh dari nilai
penjualan produk yang mereka hasilkan, sehingga mereka tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak.
Untuk kasus utang luar negeri, dipaparkan bahwa utang luar negeri telah
menjerat Indonesia menjadi negara penghutang sejak rezim Soeharto
dimulai. Rezim yang mengundang seribu tanda tanya dalam awal
pemerintahannya,

dimana

pemerintahan

tersebut

berkuasa

setelah

Indonesia mengalami situasi pelanggaran HAM terbesar dengan perkiraan


pembunuhan rakyat mencapai angka 5 juta orang dan menghantarkan
Soeharto ke puncak pemerintahan sebab dianggap sebagai pemberantas
persoalan tersebut.
Pemberian peminjaman utang yang diberikan oleh badan keuangan dunia
yaitu IMF dan WB di awal kursi kepresidenan Soeharto yang dimaksudkan
untuk membangun Indonesia yang baru keluar dari situasi krisis sosial dan
berada dalam kondisi perekonomian yang ambruk, dibarengi dengan
pengesahan undang-undang penanaman modal asing. Undang-undang
tersebut

menjadi

gerbang

para

korporasi

dunia

dalam

melebarkan

pengaruhnya, mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia serta menjadikan


Indonesia

sebagai

pasar

konsumen yang besar.

strategis

dengan

jumlah

masyarakat

atau

Dari kasus tersebut jelas terlihat liberalisasi perekonomian suatu negara


yang dipengaruhi oleh pihak eksternal. Dalam menelaah hal tersebut,
Pilgers melakukan wawancara langsung dengan petinggi IMF dan WB. Ia
mempertanyakan alasan lembaga keuangan tersebut tetap memberikan
pinjaman kepada rezim yang diketahui korup dan dengan mekanisme tidak
transparan. Ternyata dari kebijakan pemberian pinjaman tersebut, WB
bersama negara-negara kreditor memperoleh keuntungan melalui proyekproyek yang dikerjakan oleh perusahaan multinasional dari negara asal
masing-masing dengan menggadaikan Indonesia dalam pertemuan oleh
para penguasa pasar global. Pertemuan tersebut membahas pembagian
kekuasaan atas sektor-sektor strategis yang ada di Indonesia. Sehingga
meskipun WB dan negara kreditor memberikan pinjaman seratus persen,
namun sebenarnya sebagian uang tersebut digunakan untuk membuka
lapangan kerja negara kreditor dan hanya sekitar separuh uang pinjaman
benar-benar diperuntukkan untuk membangun Indonesia dan memberantas
kemiskinan.
Makna globalisasi yang seharusnya menjadi alasan bagi korporasi asing
untuk memberikan standar kemajuan suatu negara telah berbalik menjadi
keharusan bagi negara untuk memberikan kemajuan bagi korporasi asing.
Globalisasi yang didengung-dengungkan Amerika dan negara kapitalis
liberal bahwa akan membawa kemakmuran bagi umat manusia ternyata
sebenarnya menjadi jurang pemisah yang begitu besar antara si kaya dan
si miskin. Belum cukup atas hal tersebut, globalisasi juga menimbulkan
hutang-hutang yang menyengsarakan.
Tahun 1998 menjadi cambukan keras bagi sistem globalisasi, dimana
setelah runtuhnya perekonomian Asia yang sangat berdampak besar bagi
Indonesia hingga membuat masyarakat Indonesia menuntut turunnya
Soeharti dari kursi kepresidenan. Pemerintahan Soeharto selama 3 dekade
ternyata telah menyelundupkan kekayaan negara kurang lebih 10 miliar
dollar dari total utang luar negeri sebanyak 30 miliar dolar. Semua nilai
yang dinikmati Soeharto dan kroni-kroninya kini menjadi beban yang harus
dibayar masyarakat Indonesia yang sebagian besar merupakan masyarakat

kecil yaitu dengan pencabutan subsidi, tingginya harga pendidikan dan


kesehatan, padahal masyarakat kecil tidak pernah merasakan ataupun
mendapatkan uang tersebut.
Tidak hanya di Indonesia, penentangan terhadap besarnya dampak buruk
globalisasi terhadap pembangunan perekonomian dan juga mengakibatkan
adanya jurang besar kesejahteraan masyarakat pun terjadi di beberapa
negara, dan yang paling mengejutkan terjadi di Seattle, Amerika Serikat.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa persoalan globalisasi bukanlah hal
sepele dimana masyarakat harus peka terhadap dampak sosial ekonomi
yang ditimbulkannya. Mengapa? Karena jika globalisasi berada ditangan
yang salah akan menjadi barikade bagi masyarakat luas untuk mencapai
keadilan dan kesejahteraan hidup.

Anda mungkin juga menyukai