LD Raise (21709166)
Ningsih (21709176)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2018
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah mengenai Hak Asasi
Manusia.
Tujuan penulisan makalah ini agar dapat memahami dan menerapkan ilmu dalam
kegiatan pembelajaran atau dalam kehidupan sehari-hari mengenai Hak Asasi Manusia.
Dalam hal ini penyusun menyadari tanpa adanya bimbingan, pengarahan dan bantuan
dari semua pihak tentunya makalah ini tidak akan terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah wawasan bagi kita semua.
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan hanya milik-Nya, maka apabila
ada kesalahan dalam penulisan makalah ini, penyusun memohon maaf sebesar-besarnya
kepada semua pembaca. Untuk itu penyusun memohon saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki dan melengkapi penyusunan makalah ini.
Penyusun
A. Latar Belakang
Dalam dunia yang semakin global ini, hampir di setiap negara, baik negara maju
maupun negara berkembang mulai memahami akan pentingnya perlindungan terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM). Pada hakikatnya, semua manusia memiliki martabat dan derajat yang
sama, serta memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama pula tanpa membedakan jenis kelamin,
warna kulit, suku, agama maupun status sosial yang lainnya. Karena, setiap manusia memiliki
derajat yang luhur (human dignity) berasal dari Tuhan yang menciptakannya sebagai individu
yang bebas untuk dapat mengembangkan diri.1
Wacana tentang HAM sesungguhnya telah menjadi perhatian dan perjuangan umat
manusia bersamaan dengan perkembangan peradaban dunia demi tercapainya kemuliaan
kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan munculnyakesadaran baru bagi manusia bahwa
dirinya memiliki kehormatan yang harus dipelihara dan sebagai bagian penting dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain kesadaran individu-individu dalam
masyarakat, penegakan HAM juga sangat tergantung dengan konsistensi negara dalam
melindungi hak-hak setiap warga negara. Konsistensi tersebut sangat tergantung pada political
will dan political action dari lembaga-lembaga negara atau penyelenggaraan negara.2
Negara sebagai pemegang kedaulatan dari rakyat tidak semata-mata hanya untuk
memperkuat kekuasaannya, tetapi juga untuk melindungi warga negaranya dalam berbagai
aspek kehidupan, termasuk juga hak-hak pada setiap manusia yang harus diakui dan dihormati
oleh negara.3 Konsepsi ini pula yang mendasari ketentuan internasional bahwa perlindungan
dan pemajuan HAM utamanya menjadi tanggung jawab negara. Dalam ketentuan Negara
Indonesia, hal tersebut termaktub dalam Pasal 281 ayat (4) Bab XA UUD 1945 Perubahan
Kedua yang menyatakan bahwa : “perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM
adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.”
1
Dede Rosyada dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, edisi revisi ( Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif
Hidayatullah dan Prenada Media,2003), hlm 200.
2
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945 sampai dengan
Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta:Prenada Media,2005), hlm 7.
3
Gunawan Sutiardja, Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, (Yogyakarta:Kanisius, 1993), halaman
74.
Oleh karena itu, maka kelompok kami akan membahas dalam makalah ini tentang Hak
Asasi Manusia ( HAM ).
Menurut Weissbrodt dan Vasak, HAM bukan hanya menjadi ideologi lokal atau nasional,
tetapi telah menjadi ideologi universal (Davidson, 1994: 145).
Secara sederhana, hak asasi manusia dapat diartikan sebagai hak dasar (asasi) yang dimiliki
dan melekat pada manusia karena kedudukannya sebagai manusia.
Jika dilihat dari perspektif substansi yang diperjuangkan, sejarah perkembangan HAM di
dunia dapat dikategorikan ke dalam empat generasi sebagai berikut:
1. Generasi Pertama
Generasi ini berpandangan bahwa substansi HAM berpusat pada aspek hukum dan
politik. Fokus generasi pertama pada aspek hukum dan politik tersebut disebabkan oleh
dampak dan situasi perang dunia Il, di mana negara-negara yang baru merdeka
berkeinginan untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru. Oleh karena itu,
seperangkat hukum yang disepakati tersebut sangat sarat dengan hak-hak yuridis seperti
hak untuk hidup, tidak menjadi budak, hak tidak disiksa dan ditahan, hak-hak kesamaan
di dalam hukum, hak akan fair trial dan praduga tak bersalah. dan sebagainya.
2. Generasi Kedua
Kemerdekaan yang diperoleh banyak negara Dunia Ketiga setelah perang Dunia II
menuntut lebih dari sekadar hak-hak yuridis. Pengisian kemerdekaan berarti juga
pembangunan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Sejalan dengan itu, substansi dari
hak asasi manusia harus secara eksplisit merumuskan juga hak-hak sosial, ekonomi,
politik dan budaya. Jadi, pada generasi kedua ini, dikehendaki adanya perluasan
horisontal dari konsep hak asasi manusia.
Pada generasi HAM kedua ini lahir dua perjanjian (covenant) yang terkenal yaitu:
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights; dan Intemational
Covenant on Civil and Political Rights. Kedua perjanjian tersebut disepakati dalam
sidang umum PBB pada 1966.
3. Generasi Ketiga
Generasi kedua yang menitikberatkan pada aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya
telah mengakbatkan terjadinya ketidakseimbangan di dalam kehidupan bermasyarakat,
karena dengan memprioritaskan bebagai aspek lain, aspek hukum menjadi tertinggal.
Kondisi ketidakseimbangan perkembangan (uneven development) tersebut
menyebabkan timbulnya berbagai kritik dani banyak kalangan, sehingga melahirkan
generasi ketiga yang menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial budaya,
politik, dan hukum dalam satu keranjang yang disebut dengan hak pembangunan (the
rights of development). Istilah ini diberikan oleh Komisi Keadilan Internasional
(International Comission of Justice). Generasi HAM ketiga ini merupakan sintesis dari
generasi pertama dan kedua.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada generasi ketiga suatu kemajuan pesat telah dicapai,
apalagi jika semua hak tersebut bisa diwujudkan secara bersama-sama. Akan tetapi,
dalam kenyataannya, hampir tidak ada negara yang mungkin bisa memenuhi tuntutan
generasi ketiga tersebut secara komprehensif. Dalam kenyataan masih banyak
disaksikan kesenjangan antara hak-hak tersebut. Penekanan terhadap hak ekonorni
Hak Asasi Manusia | 9
(dalam arti pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama) telah pula menimbulkan
banyak korban, karena banyak hak rakyat yang dilanggar. Semua ini mengakibatkan
Dunia Ketiga ditandai oleh kuatnya sektor negara yang berperan dominan sebagai
komando, sehingga implementasi HAM generasi ketiga ini bersifat komando dari atas
(top-down approach).
4. Generasi Keempat
Generasi keempat banyak melakukan kritik terhadap peranan negara yang sangat
dominan dalam proses pembangunan pada generasi sebelumnya yang lebih
menekankan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama, karena telah terbukti
sangat menafikkan hak-hak rakyat, mengabaikan kesejahteraan rakyat, dan tidak
berdasarkan pada faktor kebutuhan rakyat.
Generasi keempat HAM dipelopori Oleh negara- negara di kawasan Asia yang pada
1983 yang melahirkan deklarasi hak asasi yang disebut Declaration of The Basic Duties
of Asian People and Government. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan generasi
sebelumnya, tetapi belum sepenuhnya mencakup tuntutan struktural HAM. Namun
demikian, beberapa masalah dasar hak asasi sudah dirumuskan dengan lebih berpihak
kepada perombakan tatanan sosial yang tidak berkeadilan.
1. Hak Hidup
Hak hidup adalah hak manusia atas kehidupan yang dianugerahkan oleh Allah kepada
setiap manusia guna menjamin perkembangan hidup manusia secara alamiah. Hidup
secara alamiah berkembang dari proses dalam kandungan, lahir, kanak-kanak, dewasa,
Kebebasan beragama adalah kebebasan manusia untuk memilih dan memeluk suatu
agama yang dia yakini kebenarannya berdasarkan pertimbangan akal dan nuraninya.
Kebebasan beragama berkaitan dengan keyakinan hidup untuk memilih agama beserta
ajaran yang terkandung di dalamnya guna mengatur hidupnya sebagai pribadi, anggota
masyarakat, warga negara, dan warga dunia.
Doktrin Islam menjunjung tinggi kebebasan beragama, karena agama merupakan
keyakinan dan pandangan hidup manusia. Ide kebebasan beragama dalam Islam
tercermin dari ketentuan Al-Quran (Q.S. Al-Baqarah: 256) yang menyatakan:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam; sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada ja/an yang sesat. "
Islam menolak paham pemaksaan beragama, karena hal itu bertentangan dengan
hakikat Islam itu sendiri yang menghendaki ketundukan manusia kepada Allah secara
sukarela (berdasarkan kesadaran diri). Pemaksaan kehendak untuk memasuki Islam
Hak Asasi Manusia | 14
juga bertentangan dengan kodrat manusia sebagai insan yang merdeka. Kebebasan
beragama mempunyai posisi sentral dalam ajaran Islam, karena agama bukan hanya
mengatur hidup manusia di dunia ini saja, tetapi merupakan jalan untuk mencapai
kehidupan yang abadi di akhirat. Kehidupan akhirat jauh lebih berharga daripada
kehidupan dunia, karena kebahagiaan kehidupan akhirat merupakan tujuan akhir hidup
manusia. Kebahagiaan kehidupan dunia adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan
kehidupan akhirat. Oleh karena itu, wajar jika ada yang berpandangan bahwa kebebasan
beragama jauh lebih penting dari hak hidup. Konsep jihad untuk membela agama
memunyai nilai yang lebih tinggi dari kehidupan itu sendiri.
Karena Islam mengakui kebebasan beragama, Islam mempunyai konsep toleransi
beragama yang meliputi toleransi terhadap sesama penganut agama (Islam) dan
toleransi terhadap para penganut agama yang berbeda. Toleransi terhadap sesama
muslim berkaitan dengan sikap saling menghormati dan menghargai di antara sesama
kaum muslim di dalam menjalankan ajaran agama berdasarkan interpretasi keagamaan
yang diyakininya dari Al-Quran.
Mengenai toleransi Islam terhadap agama-agama lain, Tuhan telah menggariskan
pedoman toleransi dalam berbagai ayat. Dalam Al-Quran (Q.S. Al-Mumtahanah: 8),
Allah berfirman:
"Allah tak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari
negerimu/kampung halamanmu. Hendaklah kamu berlaku baik dan adil
terhadap mereka. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil."
Dengan penegasan ayat itu, seorang muslim tidak memiliki hambatan keagamaan untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap ummat agama lain, sepanjang mereka tidak
memerangi kaum muslim dalam beragama dan tidak mengusir mereka dari kampung
halamannya. Islam tidak melarang muslim untuk melakukan sehingga dimungl<inkan
untuk melakukan kerjasama ekonomi dan kemasyarakatan.
Meskipun Islam memperkenankan kerjasama dalam bidang mu'ammalah, tetapi dalam
masalah tauhid dan peribadatan, Islam tidak membuka peluang bagi kerjasama.
Artinya, untuk urusan ketauhidan dan peribadatan tidak ada kompromi dengan agama-
agama dan pemeluk-pemeluk agama lain. Toleransi menyangkut peribadatan ini
diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur'an (Q.S. Al-Kafirun [109]):
Keadilan adalah hak manusia untuk mendapat sesuatu hal yang menjadi haknya dari
orang lain. Kata "keadilan" dipergunakan dalam banyak konteks, adakalanya digunakan
untuk menyebut hak, perlakuan yang sama, dan keseimbangan atau kesebandingan.
Keadilan bukan hanya berkaitan dengan bidang hukum semata-mata, tetapi juga
berkaitan dengan bidang ekonomi (keadilan ekonomi), bidang politik (keadilan politik),
dan bidang sosial (keadilan sosial).
Menurut M. Ghallab dalam bukunya Inilah Hakekat Islam, keadilan adalah meletakkan
sesuatu pada tempatnya, sedangkan dalam pengertian ilmu akhlaq, keadilan adalah
memberikan hak kepada orang berhak. Sementara, menurut Ali bin Abi Thalib,
keadilan adalah menempatkan perkara pada tempatnya. Jadi, keadilan adalah hak setiap
orang yang berhak untuk menerima hak yang dimilikinya.
Keadilan mempunyai kedudukan sangat penting dalam sistem nilai Islam, karena ia
merupakan satu-satunya prinsip penciptaan dan pengaturan alam semesta dan segala
isinya. Di samping itu, keadilan juga merupakan prinsip pokok dalam tata pergaulan
(hubungan) manusia, dan juga merupakan prinsip pertanggung- jawaban manusia
dalam peradilan akhirat.
Berikut ini akan dijelaskan ketentuan Al-Quran mengenai keadilan. Perintah berlaku
adil terdapat dalarn Al-Quran (Q.s. Al-Ma’idah: 8), yaitu:
“…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong
kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa"
Di dalam Al-Quran masih banyak lagi ayat yang menegaskan tentang perintah berlaku
adil terhadap sesama manusia, baik yang menyangkut masyarakat biasa, maupun
perintah yang ditujukan kepada penguasa negara terhadap rakyat yang ada di bawah
kekuasaannya.
5. Hak Bekerja
Hak lain yang juga diatur dalam Islam adalah hak manusia untuk melakukan pekerjaan.
Beberapa doktrin ajaran Islam yang berkaitan dengan hak bekerja antara lain:
a. Q.S. At-Taubah (9): 105
"Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan me/ihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata Lalu diberitakan-Nya
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
b. Hadis Rasulullah:
"Berikanlah upah seorang buruh sebelum kering keringatnya, dan beritahukanlah
upahnya sewaktu dia bekerja" (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy).
Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Hak-hak Rakyat dan Kewajiban Negara dalam
Islam membahas hak-hak politik dalam Islam, yang meliputi: hak memilih kepala
negara; hak musyawarah; hak melakukan kontrol; hak memecat kepala negara; hak
mencalonkan diri; dan hak untuk menjadi pegawai negeri. Di samping itu, juga
disebutkan kewajiban-kewajiban politik rakyat, yaitu taat kepada pemimpin sepanjang
pemimpin itu memang benar.
Beberapa doktrin Islam mengenai hak-hak politik, di antaranya adalah hadis shahih dari
Abdurrahman ibn Samurah bahwa Nabi bersabda kepadanya:
"Hai Abdurrahman ibn Samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Jika engkau
diberinya karena meminta, engkau akan diberatkannya Dan jika engkau diberinya
tanpa meminta, maka engkau akan ditolong untuknya "
1. Piagam Madinah
Konsepsi dasar yang tertuang dalam piagam yang lahir di masa Nabi Muhammad ini
adalah adanya pernyataan atau kesepakatan masyarakat Madinah untuk melindungi dan
menjamin hak-hak sesama warga masyarakat tanpa melihat latar belakang, suku,
ataupun perbedaan agama. Piagam Madinah atau Mitsaq al- Madinah yang
dideklarasikan oleh Rasulullah pada tahun 622 merupakan kesepakatan-kesepakatan
tentang aturan- aturan yang berlaku bagi masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi.
Terdapat dua landasan pokok bagi kehidupan bermasya- rakat yang diatur dalam
Piagam Madinah, yaitu:
a. Semua pemeluk Islam adalah satu ummat, walaupun mereka berbeda suku bangsa.
b. Hubungan antara komunitas muslim dan non-Muslim didasarkan pada prinsip-
prinsip sebagai berikut:
Berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga
Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
Membela mereka yang teraniaya
Saling menasihati
Menurut ahli sejarah, piagam ini adalah naskah otentik yang tidak diragukan
keasliannya. Secara sosiologis, piagam tersebut merupakan antisipasi dan jawaban
terhadap realitas sosial masyarakat Madinah pada saat itu. Secara umum, sebagaimana
terbaca dalam naskah tersebut, Piagam Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk
Madinah. Walaupun mereka heterogen, kedudukan mereka adalah sama, masing-
masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama yang mereka yakini dan
melaksanakan aktivitas dalam bidang sosial dan ekonomi.
Setiap individu memiliki kewajiban yang sama untuk membela Madinah, tempat
mereka bertempat tinggal. Dengan demikian, Piagam Madinah menjadi alat legitimasi
Nabi Muhammad untuk menjadi pemimpin bukan saja bagi kaum muslim (Mahajirin
dan Anshar), tetapi juga bagi seluruh penduduk Madinah (pasal 23- 24). Secara
substansial, piagam ini bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dan
mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya.
Piagam ini bersifat revolusioner karena mendobrak tradisi kesukuan orang-orang Arab
pada saat itu. Tidak ada satu suku pun yang memiliki keistimewaan atau kelebihan dari
suku yang lain. Jadi, dalam piagam tersebut sangat ditekankan azas kesamaan dan
kesetaraan (equality).
Isu tentang pelaksanaan HAM tidak lepas dari perhatian ummat Islam, apalagi
mayoritas negara-negara Islam tergolong ke dalam barisan negara-negara Dunia Ketiga
yang banyak merasakan perlakuan ketidakadilan internasional. Negara-negara Islam
yang tergabung dalam Organization of the Islamic Conference (OIC/OKI) pada 5
Agustus 1990 di Kairo mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan yang isinya dinilai
lebih sesuai dengan syariat Islam.
Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan negara-negara OKI ini selanjutnya
dikenal dengan sebutan Deklarasi Kairo. Deklarasi ini berisi 24 pasal tentang hak asasi
manusia berdasarkan Al-Quran dan sunnah yang dalam penerapan dan realitasnya
selaras dengan pernyataan semesta hak-hak asasi manusia (Tlle Universal Declaration
of Human Rights) yang dideklarasikan oleh PBB pada 1948 (Tim Penyusun Pusiit IAIN
syarif Hidayatullah, 2000: 216).
Pada amandemen kedua UUD 1945, ketentuan mengenal hak asasi manusia mengalami
perubahan yang cukup signifikan, yang pada garis besarnya merinci hak asasi manusia
secara lebih detail, dan menekankan bahwa di samping adanya hak asasi manusia, ada Sisi
lain yang juga harus diperhatikan dan dijunjung tinggi, yaitu adanya kewajiban asasi.
Amandemen kedua UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia,
menitikberatkan perubahan berupa penambahan pada pasal 27, perluasan pasal 28 dan
penambahan jenis hak pada pasal 30. Pasal 27, yang semula hanya terdiri dari dua ayat,
ditambah ayat (3) yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara. Sementara itu, pasal 28 yang semula hanya mengatur
tentang kemerdekaan berpendapat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran baik dengan lisan
maupun tulisan, diubah dan dirinci menjadi pasal 28 A sampai dengan 28 J, yang secara
lengkap dapat dilihat pada lampiran. Pasal 30 ayat (1), yang semula hanya mengatur
tentang bela negara, diubah redaksinya, yaitu bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Garis besar ketentuan HAM yang diatur dalam UUD 1945 selanjutnya dielaborasi menjadi
ketentuan yang lebih rinci di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Selanjutnya, sebagai upaya untuk menegakkan HAM, sebagaimana diatur dalam
UU No. 39 Tahun 1999 tersebut, telah ditetapkan pula Undang-Undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pasal 1 ayat (I) UU No. 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Secara lebih rinci,
undang-undang tersebut menguraikan aneka hak asasi manusia, seperti: hak untuk hidup;
hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan; hak mengembangkan diri; hak
memperoleh keadilan; hak atas kebebasan pribadi; hak atas rasa aman; hak atas
kesejahteraan; hak turut serta dalam pemerintahan; serta hak wanita dan hak anak.
Yang sangat menarik adalah bahwa dalam Undang- Undang No. 39/1999 ini, hak wanita
juga dijelaskan secara rinci, seperti hak keterwakilan wanita dalam pemilu, kepartaian,
Undang-Undang N0039/1999 juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
yang lazim disingkat dengan Komnas HAM, yang pengangkatan dan kewenangannya
secara lengkap diatur di dalam pasal 75 sampai dengan pasal 99. Undang-Undang No. 26
Tahun 2000 secara umum mengatur tentang berdirinya pengadilan HAM yang diberi tugas
dan wewenang khusus untuk memeriksa serta memutus perkara pelanggaran HAM yang
masuk dalam kategori berat.
A. KESIMPULAN
HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia dari sifat kodrati dan fundamental
sebagai suatu anugerah Allah yang harus di hormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu
masyarakat dan negara.
Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan
ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam perjalanan sejarah
pembentukkan bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak asasi manusia menjadi bagian
daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-
pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih baik.
Keterkaitan antara konstitusi dengan hak asasi manusia dapat dilihat dari
perkembangan sejarah. Perjuangan perlindungan hak asasi manusia selalu terkait dengan
perkembangan upaya pembatasan dan pengaturan kekuasaan yang merupakan ajaran
konstitusionalisme.
Asyukri ibn Chamim, dkk. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Diklitbang Pimpinan
Pusat Muhammadiyah.