Anda di halaman 1dari 3

Hak asasi adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan

kodratnya. Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak kemerdekaan atau
kebebasan, hak milik dan hak-hak dasar lain yang melekat pada diri pribadi
manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Hak asasi manusia pada
hakikatnya semata-mata bukan dari manusia sendiri tetapi dari Tuhan Yang Maha
Esa, yang dibawa sejak lahir. Hak-hak asasi ini menjadi dasar hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang lain. Kesadaran akan hak asasi manusia, harga diri,
harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi.
Hal itu disebabkan oleh hak-hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu
dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah
mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk
menegakkan hak asasi manusia.
Antropologi hukum merupakan salah bidang ilmu hukum yang masih
sangat jarang diketahui oleh masyarakat luas. Antropologi hukum pada dasarnya
mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena
sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsi
dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat
pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial
(social order) dalam masyarakat. Antropologi hukum sebagai ilmu tidak mungkin
dibatasi pada suatu bentuk atau bidang khusus hukum. Bentuk-bentuk seperti
hukum negara, hukum adat atau hukum agama, serta bidang-bidang seperti hukum
publik atau hukum privat yang terdiferensiasi dalam ilmu-ilmu hukum dogmatik.
Penelitian antropologi hukum berhubungan dengan semua hukum yang relevan
bagi masalah penelitian khusus yang dikaji. Dalam mengkaji hukum dalam
masyarakat, antar hubungan serta interdependensi berbagai bentuk normatif serta
lembaga-lembaga, serta hubungan-hubungannya dengan perilaku, manusialah
yang merupakan tema pusat dalam penelitian antropologi hukum. Orang lebih
mengenal antropologi sebagai bidang ilmu yang dekat dengan peristiwa sejarah
dan budaya dan karena itu tidak mungkin memiliki kaitan dengan ilmu hukum.
Namun inilah hukum, bidang ilmu yang sangat luas dan mencakup hampir seluruh
aspek kehidupan manusia. Termasuk pula di dalamnya mengenai hak asasi
manusia yang dimulai dengan Magna Charta pada tahun 1215, hingga pada masa
sekarang ini. Plato yang merupakan sumber sudut pandangan bagi konservatisme
klasik dalam bukunya Politea-nya menyatakan bahwa hak asasi manusia tidaklah
sama, sehingga juga tidak ada persamaan kebebasan dan tentu saja tidak perlu
usaha untuk menciptakan kondisi-kondisi materil yang sama.
Di samping keabsahannnya harus terjaga dalam eksistensi kemanusiaan
manusia, juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh untuk dimengerti,
dipahami dan dipertanggungjawabkan untuk dilaksanakan. Hak-hak asasi
merupakan suatu perangkat asas-asas yang timbul dari nilai-nilai yang kemudian
menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungan sesama
manusia. Hak asasi manusia dan kemartabatan manusia memiliki korelasi yang
kuat. Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia sangat memungkinkan bagi
terwujudnya kesempurnaan eksistensi manusia yang pada gilirannya
menghasilkan interaksi sosial yang baik pula. Penting juga ditegaskan bahwa hak
asasi manusia berlaku secara universal, menandai sebuah babakan baru adanya
pengakuan eksistensi manusia dan kehidupannya secara total. Universalitas hak
asasi manusia semakin meneguhkan saling pengertian dalam interaksi sosial yang
bermartabat.
Adagium bahwa hak asasi manusia merupakan entitas yang universal
mendapat perlawanan oleh sebagian kalangan yang mengemukakan bahwa hak
asasi manusia merupakan entitas yang partikular (khusus). Inilah yang menjadi
preferensi utama dalam diskursus mengenai hak asasi manusia, baik dalam
kalangan akademisi maupun oleh kalangan awam. Kritisisme hak asasi manusia
dalam wacana keilmuan menjadi suatu fenomena yang cukup unik. Pasalnya,
sementara berbagai pihak memperjuangkan penegakan hak asasi manusia,
sebagian lainnya larut dalam perdebatan mengenai universalitas dan partikularitas
nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini memang terlihat sedikit klise, namun inilah
sesungguhnya yang menjadi polemik utama dalam pewacanaan hak asasi
manusia, terutama ketika menyentuh konteks sosiologis dan antropologis
masyarakat.
Hak asasi manusia dengan nilai-nilainya dipersepsikan dalam konteks
lokal dan global. Implikasinya, dikotomi antara universalitas dan partikularitas
nilai-nilai menjadi aksentuasi yang tidak terelakkan. Berdasarkan keadaan ini,
wacana tentang hak asasi manusia di satu sisi menjadi satu produk suatu
paradigma holistik yang melihat hak asasi manusia sebagai entitas dengan nilai-
nilai universal, terlepas dari episteme-episteme sosiologis masyarakat setempat.
Sementara itu, sebagian menilai pewacanaan nilai hak asasi manusia secara
sektoral, mengingat nilai-nilai hak asasi manusia bersifat etik, artinya pada
konteks tertentu nilai-nilai hak asasi manusia harus disesuaikan dengan konteks
lokal tertentu dan tidak berlaku pada konteks lokal lainnya, sesuai dengan kondisi
antropologis masing-masing tempat.
Universalitas nilai hak asasi manusia berangkat dari teori radikal
universalitas. Teori radikal universalitas bersandar pada satu argumentasi bahwa
hanya ada satu paket pemahaman mengenai hak asasi manusia, yaitu bahwa nilai-
nilai hak asasi manusia berlaku sama (tidak terikat pada paradigma spasial dan
temporal) dan dapat diimplementasikan pada masyarakat dengan latar belakang
budaya dan historisitas yang berbeda. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa
bagaimanapun implementasi hak asasi manusia sebagai suatu hukum tidak dapat
dilepaskan sama sekali dari konteks budaya dan nilai-nilai kearifan lokal.
Sementara itu, pendapat bahwa nilai hak asasi manusia bersifat partikular
didasarkan pada kenyataan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular.
Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral hak asasi manusia bersifat lokal dan
spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara.

Anda mungkin juga menyukai