Anda di halaman 1dari 9

TEORI RELATIVISME BUDAYA DAN TEORI UNIVERSAL

DALAM HAK ASASI MANUSIA

Oleh

Elsifa Bintang Madania

16340126

Dosen Pengampu
Faiq Tobroni, SHI., MH., MSc., MSI

ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan Hak Asasi Manusia terdapat banyak kemajuan sekaligus
hambatan-hambatan baik. Sejauh ini asal-usul munculnya hak asasi manusia sebagai
norma internasional yang mempunyai universal serta perkembangannya dalam
ilustrasi generasi-generasi hak. Legitimasi ataupun delegitimasi HAM saat ini banyak
dikumandangkan diberbagai macam pihak, ini yang menjadi faktor utama bagaimana
bahwa HAM itu sejatinya bisa diterima diberbagi macam kalangan, dia bukan berasal
dari proses kolonialisasi ataupun westernisasi seperti yang diasumsikan oleh sebagian
pemikir absolutis. Itu memang menjadi sesuatu hal yang sangat rumit, ketika
pernyataan para pemikir Absolutis mempertanyaakan bahwa konsepsi Martabat
Manusia itu adalah proses budaya juga, jadi sewajarnya menurut mereka jangan
memaksakan budaya satu dengan dimensi budaya yang lain.
Salah satu wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir adalah
konflik antara dua “ideologi” yang berbeda dalam penerapan hak asasi manusia dalam
skala nasional, yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural
relativism). Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak
budaya “primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem
hukum dan hak yang sama dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain,
menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perspektif ham dalam pembangunan teori relativisme dan teori
universalisme
2. Bagaimana penerapan hak asasi manusia dalam skala internasional, yaitu
universalisme dan relativisme budaya ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Universalisme Hak Asasi Manusia.


Teori universalisme Hak Asasi Manusia diawali dari konsep universalisme
moral dan kepercayaan akan keberadaan kode moral universal yang melekat pada
seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral
yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional.
Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang
tidak dapat dialihkan dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi sesuai
ketentuan yang ada serta pemenuhan kepentingan komunitas berlandaskan pada
relativisme kultural/budaya.1
Semua nilai adalah bersifat universal dan tidak dapat dimodifikasi untuk
menyesuaiakan adanya perbedaaan budaya dan sejarah suatu negara menganggap
nilai-nilai HAM berlaku sama di semua tempat dan di sembarang waktu serta dapat
diterapkan pada masyarakat yangg memiliki latar belakang budaya dan sejarah yg
berbeda. Doktrin kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari sejumlah
perspektif moral universalis. Pandangan universal mengenai HAM artinya
menempatkan HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam
berbagai bentuk internasional Bills of Human Rights dengan tidak
mempertimbangkan faktor dan konfigurasi sosial budaya serta konteks ruang dan
waktu yang melekat pada masing-masing negara atau bangsa. HAM ditempatkan
sebagai nilai dan norma yang melintasi yurisdiksi negara-negara2.

B. Teori Relativisme Budaya


Isu relativisme budaya baru muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin
sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan HAM Internasional. Gagasan
tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya
sumber keabsahan hak atau kaidah moral. 3Penganut faham liberal berpendapat bahwa
setiap sistem politik selain liberal tidak dapat melindungi dan memajukan hak asasi
manusia. Oleh karenanya, menurut mereka, penegakan dan pemajuan hak asasi
1
Miriam Budiardjo, Hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1988, hlm.93

2
Halili, Hak Asasi Manusia: Dari Teori ke Pedagogi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri, Yogyakarta, 2015, hlm. 8.

3
Muh. Budairi, HAM versus Kapitalisme,Insist Press, Yogyakarta, 2003, hlm.76
manusia hanya dapat dicapai dengan mengubah sistem politik itu sendiri. Di sisi lain,
mereka mengatakan bahwa hanya sistem liberal yang dapat menjamin pencapaian hak
asasi manusia. Jika pendapat ini dianggap absolut, maka hak asasi manusia hanya
akan menjadi ajang pertempuran ideologi dengan satu tujuan, yaitu untuk
menegakkan rezim liberal di seluruh dunia. Ini hanya akan menciptakan suatu
lingkaran perdebatan dan konfrontasi mengenai interpretasi dan implementasi hak
asasi manusia.
Teori relativisme budaya kerap disudutkan dengan anggapan bahwa
penganutnya adalah kalangan yang ingin mempertahankan status quo, kalangan yang
ingin tetap mempertahankan kekuasaannya selama mungkin. Rhona K.M. Smith,
et.al. menyebutkan: “Relativisme budaya (cultural relativism) dengan demikian,
merupakan suatu ide yang sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada
dalam berbagi hal, selalu ada kondisi di mana mereka yang memegang kekuasaan
tidak setuju. Ketika suatu kelompok menolak hak kelompok lain, seringkali itu terjadi
demi kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu Hak Asasi Manusia tidak
dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila Hak Asasi Manusia tidak tunduk
pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat tidak dengan suara bulat, dan dengan
demikian tidak dapat mewakili setiap individu.”4

C. Makna Universalisme dan Relativisme Kultural HAM


Telah banyak kesepakatan yang dibuat untuk menempatkan posisi relasi antar
manusia. Khususnya yang mengatur batas-batas kewenangan pemimpin dan warga
negara. Bahkan sebelum modernitas menyapa dunia. Namun, hal itu tidak terlalu
membawa dampak signifikan, meski asumsi moral pun telah diajukan. Dalam kondisi
tersebut, diperlukan respon global yang menyeluruh pentingnya pengakuan atas hak-
hak asasi manusia. Tidak hanya sekedar motivasi moral, namun juga memiliki
kekuatan hukum dan politik.
Dalam Prinsip Universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang
memiliki hak-hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan
kepentingan pribadi, maka dari itu HAM memang sepantasnya diterapkan dengan
prinsip universalisme di setiap negara agar tidak terjadi perbedaan hukum dan norma
di mana pun masyarakat itu berada. Sedangkan dalam Prinsip Relativisme Budaya,

4
Rhona K.M. Smith, et.al., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, cet. II, Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Yogyakarta,
h. 22.
suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti
individualisme, kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa
kepentingan komunitas menjadi prioritas utama.
Teori relativisme budaya berseberangan dengan teori universalisme yang
memandang bahwa setiap manusia memiliki Hak Asasi Manusia yang sama. Joshua
Preiss, seorang profesor filosofi dari Minnesota State University, sebagaimana dikutip
oleh Pranoto Iskandar, menyebutkan karakter dari teori relativisme budaya, antara
lain:
1. Tiap budaya yang berbeda memiliki kode moral yang berbeda pula
2. Tiada standar obyektif yang dapat digunakan untuk menilai kode sosial
yang satu lebih baik dari yang lain
3. Kode moral dari masyarakat kita tidak memiliki status yang lebih baik,
tapi hanyalah sebagai salah satu kode yang ada
4. Tidak ada kebenaran universal dalam etika yakni tiada kebenaran moral
yang berlaku bagi semua orang pada tiap waktu
5. Kode moral dari sebuah budaya hanya berlaku dalam lingkungan budaya
tersebut
6. Adalah sebuah arogansi ketika kita mencoba menghakimi tindakan orang
lain. Kita harus bersikap toleran terhadap berbagai praktik yang hidup di
berbagai kebudayaan.5
Sedangkan penganut universalisme cenderung menerapkan teori positivisme
dimana sebuah hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat.
Paham ini berusaha menihilkan realitas sosial didalam masyarakat karena tujuan
hukum memang diperlukan untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat tersebut.
Perspektif ini tentu memerlukan sebuah infrastruktur hukum yang sangat kuat dan
saling terkait. Sedangkan negara-negara yang mendukung universalisme hak asasi
manusia adalah negara-negara di Amerika Utara dan negara-negara di Eropa Barat
sebagai penggagas konsep hak asasi manusia internasional. Di negara-negara tersebut,
hak asasi manusia sudah sangat maju meskipun ada beberapa persoalan hak asasi
manusia yang masih harus diperbaiki.
Beberapa poin yang bisa diambil dari dua perbedaan pendapat diatas adalah
bahwa ada beberapa ketidaksesuaian antara hak asasi manusia internasional yang

5
9 Pranoto Iskandar, 2010, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar Konseptual, IMR Press, Cianjur, hal.
151.
lebih cenderung menerapkan perspektifnya sedangkan ada banyak negara yang
mempraktikan pendapatnya Sen. Padahal didalam praktiknya, implementasi dari hak
asasi manusia bukanlah dari internasional melainkan menjadi persoalan nasional
negara-negara. Artinya, meskipun komunitas internasional ada karena adanya negara-
negara yang diatur oleh sistem internasional yakni hukum internasional, namun
implementasi hak asasi manusia dan semua jenis persoalannya tetap berdimensi
nasional selama pelanggaran tersebut tidak dikategorikan sebagai gross violation.
Lokalitas HAM inilah yang menyebabkan implementasinya menghadapi persoalan
yang beragam karena banyak negara masih mendefinisikan, memahami dan
melaksanakan hak asasi manusia secara parsial karena adanya benturan nilai antara
konsep HAM dengan moralitas dan etika di negara-negara.
Majelis Umum PBB juga mengingatkan negara anggota dengan menggunakan
frase ‘bahwa negara-negara anggota mempunyai kewajiban untuk melindungi,
mempromosikan, dan menjamin hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.’
Anjuran dari Majelis Umum ini bisa diartikan bahwa instrumen dan lembaga
internasional tentang hak asasi manusia tidak mengenal relativisme budaya didalam
hak asasi manusia.
Jika melihat dari deskripsi diatas, bisa disimpulkan ada konflik yang
signifikan antara praktik-praktik negara yang masih dipengaruhi oleh unsur budaya
dan tradisi lokal dengan prinsip universalisme hak asasi manusia. Konflik hukum
antara keduanya semakin terlihat ketika nilai dari budaya atau tradisi tersebut
bertentangan dengan konsep hak asasi manusia. Sebagai akibatnya, aturan didalam
hak asasi manusia dipahami secara berbeda-beda tergantung dari konteks sosial
budaya setempat suatu negara. Disinilah peran negara menjadi sangat penting karena
implementasi hak asasi manusia sangat bergantung pada kepatuhan hukum suatu
negara terhadap instrumen-instrumen internasional tentang hak asasi manusia.
Praktik-praktik yang berasal dari lokalitas budaya, tradisi atau agama bisa diterapkan
didalam implementasi hak asasi manusia selama praktik tersebut tidak ‘menyerang
budaya inti’ HAM seperti asas non diskriminasi dan persamaan hak bagi semua
manusia.
Sekalipun subtansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai
pemberian tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM.
Hampir semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memeliki
perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Perdebatan antara universalitas
dan partikular HAM tercermin dalam dua teori yang saling berlawanan: Teori
Relativisme Kultural dan Teori Universalitas HAM. Teori Relativisme Kultural
berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular. Para penganut
teori ini berpendapat bahwa tidak ada hak yang universal, semua tergantung pada
kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Hak hak dasar bisa diabaikan atau
disesuaikan dengan praktik-peraktik sosial. Oleh karenanya, ketika berbenturan
dengan nilai-nilai lokal, maka HAM harus dikontekstualisasikan, sehingga nilai-nilai
moral HAM bersifat lokal dan spesifik dan hanya berlaku khusus pada suatu negara,
tidak pada negara lain.
Para penganut relativisme kultural yang mendukung konstektualisasi HAM
cenderung melihat universalitas HAM sebagai emperialisme kebudayaan barat. Hak
asasi, sebagaimana ditetapkan dalam DUHAM, dipandang sebagai peroduk politis
barat, sehingga tak bisa diterapkan secara universal. Keengganan untuk menerapkan
DUHAM secara menyeluruh juga didukung oleh dalih pembelaan terhadap pluralitas
dengan dasar bahwa kemerdekaan pertama tama berarti kemerdekaan untuk berbeda,
sehingga penyeragaman HAM dipandang sebagai perampasan kemerdekaan itu
sendiri.
Di sisi lain, kelompok kedua (universalitas HAM) yang berpegang pada teori
radikal universalitas HAM berargumen bahwa perbedaan kebudayaan bukan berarti
membenarkan perbedaan konsepsi HAM. Perbedaan pengalaman historis dan sisitem
nilai tidak meniscayakan HAM dipahami secra berbeda dan diterapkan secara berbeda
pula dari satu kelompok ke kelompok budaya lain. Menurut teori ini semua nilai
termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal yang tidak bisa dimodifikasi
untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Kelompok
ini menganggap hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai
HAM berlaku sama dimana pun dan kapanpun serta dapat diterapkan pada
masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda.
Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku
universal

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Hak Asasi Manusia tidaklah tepat jika dipandang sebagai hak yang universal
dan berlaku untuk setiap manusia. Pemikiran dan pemahaman akan apa yang menjadi
hak bagi seorang manusia sangat bergantung kepada pengalaman hidup apa yang
telah dilaluinya. Dengan adanya pandangan yang berbeda-beda ini saja sudah dapat
menunjukkan bahwa Hak Asasi Manusia tidak bersifat universal. Hak adalah hal yang
relatif, sangat bergantung pada pendapat dan pandangan dari masing-masing manusia.
Pengalaman hidup yang berbeda-beda inilah yang mendorong pemenuhan hak secara
relatif. Hak masing-masing orang berbeda. Keadilan atas hak ditegakkan secara
distributif, bukan secara komutatif. Negara pun memiliki hak untuk mencabut Hak
Asasi Manusia yang paling mendasar sekali pun,
Dari berbagai penjelasan di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa Hak
Asasi Manusia adalah sesuatu yang bersifat kodrati dan berasal dari Tuhan. Dalam
sejarah perkembangan pemikiran manusia untuk mencapai perdaban yang lebih baik
maka harus ada penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusian yakni HAM. Dari
berbagai penjelasan yang ada kita dapat memberikan saran dalam konteks masyarakat
internasional harus menghormati declaration of human right dari PBB. Yang artinya
bahwa semua negara harus tunduk dan patuh terhadap deklarasi PBB tentang
penegakan HAM di skala nasional maupun internasional. Jadi dengan adanya
deklarasi tersebut masyarakat sadar akan tidak di benarkannya penindasan dan
penjajahan terhadap manusia dengan alasan apapun.

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 1988. Hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global. Jakarta : Pustaka
LP3ES Indonesia
Halili. 2015. Hak Asasi Manusia: Dari Teori ke Pedagogi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri.

Muh. Budairi. 2003. HAM versus Kapitalisme, Yogyakarta : Insist Press

Rhona K.M. Smith, et.al, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, cet. II, Pusat Studi Hak Asasi
Manusia, Yogyakarta

Pranoto Iskandar, 2010, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar Konseptual, IMR
Press, Cianjur

Anda mungkin juga menyukai