OLEH :
TIVAL GODORAS
270120130003
1. Pendahuluan
“Men and societies frequently treat the institutions and assumptions by which they
live as absolute, self-evident, and given. They may treat them as such without question, or
they may endeavour to fortify them by some kind of proof” (Gelner, 1988: 12). Kutipan
tulisan Gelner menunjukan adanya sebuah mekanisme yang bekerja di dalam masyarkat.
Kita dapat mengatakan bahwa mekanisme ini adalah sifat alamiah manusia. akan tetapi,
apabila kita merujuk kepada Thomas Kuhn, maka mekanisme yang bekerja disebut
sebagai paradigma. Paradigma merupakan kepercayaan yang ada di dalam masyarakat,
dikhususkan kepada sistem ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat. Paradigma
dapat disebut juga sebagai normal science, sebuah cara berpikir keilmuan yang berlaku
secara umum (Kuhn, 1970: 9-11). Hal yang menarik dari pernyataan Gelner dan konsep
paradigma Kuhn adalah kelumpuhan berpikir yang disebabkan oleh paradigma.
Thomas Kuhn di dalam buku The Structure of Scientific Revolutions menjelaskan
tahapan terbentuknya paradigma sampai terciptanya paradigma: pra-paradigma-normal
science-anomali-revolusi-paradigma baru. Tahapan perkembangan paradigma ini
menunjukan bahwa paradigma memang bekerja di dalam masyarakat namun hal ini tidak
berarti bahwa paradigma bersifat statis karena adanya anomali yang memungkinan
terciptanya perubahan. Apabila kita kembali kepada kutipan Gelner, kita dapat berasumsi
paradigma ini bekerja tanpa disadari dalam masyarakat, paradigma menyatu dengan
tindakan dan cara berpikir masyarakat tempat dimana paradigma itu bertahan. Dalam hal
ini kita perlu kembali melihat pentingnya logika yang dimiliki oleh manusia.
Manusia sebagai homo faber1, secara alamiah akan menciptakan alat guna
mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Beberapa solusi yang dihasilkan manusia
dalam mengatasi masalah yang dijumpai mereka adalah teknologi dan ilmu pengetahuan.
Walaupun menciptakan solusi atas permasalahan adalah sesuatu yang alamiah untuk
manusia, namun solusi ini tidak serta merta muncul begitu saja. Alamiahnya otak dan
kemampuan berpikir yang dihasilkan otaklah yang membuat manusia dapat
menyelesaikan masalah mereka. Pikiran yang bekerja di dalam otak membangun sebuah
sistematika, dan sistematika tersebut dikenal dengan berpikir secara logis. Hal ini adalah
sistematika yang diberikan otak untuk mengolah fakta-fakta yang diterima otak melalui
indera kita.
Alur berpikir yang sistematis, logis, dan rasional tidak bekerja pada struktur
individu semata namun juga, pada struktur institusi keilmuan. Terkait dengan kemampuan
yang dimiliki manusia dalam membentuk ilmu pengetahuan yang berkembang, maka
sistematika berpikir yang dilakukan untuk memperoleh ilmu pengetahuan adalah salah
satu fokus dalam tulisan ini. Selain itu, bagaimana proses sistematika berpikir tersebut
menjadi sebuah paradigma yang digunakan oleh institusi ilmu pengetahuan menjadi
pembahasan lanjutan yang menunjukan bagaimana sistematika berpikir tersebut bekerja.
____________
1 makhluk bekerja dalam hal ini merujuk kepada kemampuan menciptakan objek buatan khususnya alat
yang digunakan untuk membuat alat lainnya, seperti alat untuk membuat tembikar.
2. Metode
Logika Deduktif
Di dalam logika premis menjadi sesuatu yang yang penting. Premis dapat
dipahami sebagai pernyataan. Premis disini berguna sebagai alur untuk memperoleh
kesimpulan. Dengan melihat kesesuaian premis, aturan penyusunan premis dan
kesimpulan yang didapatkan maka keputusan benar tidaknya sebuah pernyataan dapat
diperoleh. Logika deduktif sendiri mencari kesimpulan yang sahih berdasarkan
kesesuaian dari premis-premis yang diajukan.
Logika deduktif adalah salah satu cara bagaimana pikiran bekerja dan deduksi
adalah proses dari dari cara berpikir tersebut. Deduksi merupakan proses penalaran. Pada
proses penalaran ini premis-premis penyusun diambil dari hal-hal yang bersifat general
yang kemudian disusun dan dirumuskan secara logis sehingga diperoleh kesimpulan yang
bersifat lebih khusus. Klaim benar-tidaknya peryantaan yang diperoleh dari cara berpikir
ini, bersifat apriori. Artinya klaim tersebut tidak ditentukan oleh pengamatan atau
pengalaman, klaim tersebut diketahui kebenarannya melalui rasio. Klaim-klaim yang
bersifat apriori banyak ditemukan pada ilmu pasti seperti matematika.
Logika Induktif
Cara berpikir induksi mencari kebenaran dengan menarik kesimpulan yang
berangkat dari hal-hal yang khusus. Pada cara berpikir ini, hal-hal khusus tersebut
dikumpulkan dan diubah menjadi kesimpulan yang bersifat general. Contoh sederhana
dari cara berpikir ini ketika kita melihat beberapa atau bahkan banyak angsa berwarna
putih, maka kita pun mengambil kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih.
Pada proses berpikir induksi benar tidaknya sebuah kesimpulan ditentukan oleh
pengalaman. Pengalaman ini dapat dikategorikan menjadi pengalaman langsung dan
pengalaman tidak langsung. Contoh pengambilan kesimpulan berdasarkan pengalaman
langsung dapat kita lihat seperti kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih. Hal ini
karena pengalaman kita kita tidak menukan bahwa ada angsa berwarna selain warna
putih. Sedangkan untuk pengalaman tidak langsung didapati berdasarkan eksperimen-
eksperimen yang dilakukan guna memperoleh suatu kesimpulan. Klaim pernyataan yang
dihasilkan oleh cara berpikir ini bersifat aposteriori, artinya kebenaran itu ditentukan oleh
fakta.
Teori Kebenaran
Ada beberapa macam teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi terkait
dua jenis alur berpikir yang telah disampaikan maka teori kebenaran yang dapat
digunakan meliputi teori kebenaran koherensi dan korespodensi. Untuk logika deduktif
sendiri teori koherensi yang digunakan. Dalam alur berpikir ini, kebenaran itu karena
adanya hubungan antara kesesuaian pembentuk pernyataan/teori dengan pengetahuan
yang telah dimiliki. Maksudnya kesimpulan yang dibentuk oleh alur berpikir ini tidak
melenceng dari bagaimana aturan-aturan yang telah disepekati dalam ilmu pengetahuan.
Konsistensi suatu pernyataan atau teori yang baru dengan sistem peryataan sebelumnya
yang dijadikan rujukan sebuah kebenaran. Sistem peryataan sebelumnya ini telah diakui
dan dianggap kebenarannya dan telah dijadikan tolak ukur. Oleh karena itu alur berpikir
deduktif digunakan dalam ilmu pengetahuan pasti yang memiliki banyak sestem
pernyataan yang telah diakui dan dijadikan rujukan.
Sedangkan untuk alur berpikir induksi, teori kebenaran yang digunakan adalah
teori korespondensi. Dalam teori ini, kebenaran itu karena adanya kesesuaian antara
kesimpulan yang diperoleh dengan fakta yang ditemukan. Dalam teori ini falsifikasi dan
verifikasi menjadi kriteria penilaian sebuah ilmu. Falsifikasi sendiri melihat penggunaan
teori berdasarkan kualitas teori yang dimiliki pada masa itu. Selama tidak ada teori baru
yang baik untuk menjelaskan suatu permasalahan maka teori yang lama dapat tetap
digunakan. Untuk verifikasi sendiri, kebenaran itu diuji dengan menemukan
ketidaksesuaian teori dengan fakta.
Dari kedua alur berpikir logis dan teori kebenaran yang digunakan pada alur
berpikir ini, maka epistemologi yang diperoleh dapat dibagi menjadi: epistemologi
rasionalis untuk alur berpikir deduksi, dan epistemologi empiris untuk alur berpikir
induksi.
3. Hasil
Filsafat dapat dibagi menjadi tiga wilayah kajian yang fundasional. Tiga wilayah
kajian itu adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Wilayah kajian ontologi
membahas permasalahan realitas. Realitas disini tidak terbatas pada realitas yang dapat
diamati semata, namun juga realitas yang tidak dapat diamati. Ontologi merupakan kajian
yang mencari esensi terdalam dari sesuatu. Aksiologi sendiri merupakan kajian filsafat
yang membahas permasalahan nilai. Nilai yang dibahas dalam aksiologi ditunjukan pada
nilai baik, buruk, indah ataupun buruk. Sedangkan epistemologi merupakan kajian filsafat
yang membahas bagaimana sebuah pengetahuan itu dapat diperoleh. Terkait dengan alur
berpikir yang telah disampaikan maka pembahasan epistemologi ini dapat dibatasi pada
epistemologi rasionalis, epistemologi empiris, dan epistemologi Immanuel Kant.
Epistemologi Rasionalis
Aliran ini berpendapat bahwa akal budi merupakan sumber utama ilmu
pengetahuan. Akal budilah yang bekerja dalam memperoleh pengetahuan dan
mensistematiskan pengetahuan hingga menjadi sebuah ilmu. Kebenaran hanya dapat
diperoleh melalui nalar. Ide dan konsep itu terlepas dari pengalaman. Di dalam buku
Epistemologi Fundasional poin-poin ajaran aliran ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Kebenaran yang mendasar dapat diperoleh melalui pemikiran yang abstrak.
Realitas dan kebenaran realitas dapat dicapai tanpa menggunakan metode empiris
Pikiran mampu mengetahui kebenaran tentang realitas dan itu mendahului pengalaman
Rasio adalah sumber utama ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan adalah sistem deduktif
yang dapat dipahami secara rasional dan secara tidak langsung berhubungan dengan
inderawi
Kebenaran tidak diuji melalui verifikasi inderawi, akan tetapi melalui criteria
konsistensi logis.
Realitas mengikuti hukum-hukum alam yang rasional, karena alam semesta adalah
sistem yang dirancang secara rasional yang aturan-aturannya sesuai dengan logika dan
matematika (Bagus [1996] dalam Lubis, 2009: 110)
Epistemologi Empiris
Aliran epistemologi ini beranggapan pengetahuan itu bersumber dari pengalaman.
Bagimana kita bisa memperoleh pengetahuan, dikarenakan indera kita mengalamani
pengetahuan yang dihasilkan melalui interaksi dengan realitas. Berlawanan dengan
rasioanlisme yang beranggapan bahwa pengalaman adalah abstraksi dari ide, aliran
empirisme beranggapan idelah yang merupakan abstraksi dari pengalaman. Menurut
aliran empiris, rasio tidak dapat member pengetahuan mengenai realitas tanpa merujuk
kepada pengalaman inderawi. Oleh karena itu, apa yang dialami indera merupakan
fondasi dari ilmu pengetahuan (Lubis, 2009: 147-148).
4. Kesimpulan
Dapat dikatakan bahwa beberapa aliran epistemologi yang telah dipaparkan diatas
adalah bentuk paradigma. Paradigma yang berkerja pada institusi ilmu pengetahuan.
Institusi ilmu pengetahuan ini akan bersaing untuk menunjukan siapa yang paling unggul
dalam menjelaskan realitas, sehingga paradigma yang digunakan oleh institusi tersebut
bekerja pada setiap wilayah ilmu pengetahuan. Sebagai contoh: bagaimana positivisme
logis yang di gunakan dalam ilmu pengetahuan alam, dipaksakan bekerja pada ilmu
pengetahuan sosial dan budaya. Hal ini menunjukan paradigma positivism logis diterima
dan bekerja pada wilayah ilmu yang lain.
Terkait dengan adanya paradigma, kita tidak dapat menafikkan kemunculan
anomali dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Kemunculan anomali inilah yang
menyebabkan ilmu pengetahuan berkembang, seperti paradigma Newtonian yang berubah
ketika Einstein menyatakan bahwa waktu itu bersifat relatif bergantung dari si pengamat.
Kemungkinan-kemungkinan hadirnya anomali ini hanya dapat terjadi apabila kita tidak
dengan begitu saja menerima dan mengafirmasi pernyataan dari institusi ilmu
pengetahuan. Untuk itu, kembali kepada kutipan Gelner yang dipaparkan pada
pendahuluan, perlu adanya sifat kritis dalam menerima informasi keilmuan.
Sebuah tambahan yang diberikan oleh Karl Popper mengenai syarat sebuah ilmu.
Sesuatu dapat dikatakan ilmu pengetahuan apabila dia dapat dinyatakan salah. Hal ini
serupa dengan semangat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak akan menjadi sebuah
dogma dalam pikiran manusia.
Daftar Pustaka
Bergson, Henri. Creative Evolution. New York: Henry Holt and Company, 1922.
Bittle, Celestine. The Science of Correct Thinking: Logic. The Bruce Publising Company,
1950.
Gellner, Ernest. Plough, Sword, and Book: The Structure of Human History. Chicago: The
University of Chicago Press, 1988.