Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL SKRIPSI BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Birokrasi selalu menjadi perhatian masyarakat kita. Ketika mendengarkan kata birokrasi, kita langsung terpikir mengenai berbagai urusan prosedural penyelesaian surat-surat yang berkaitan dengan pemerintahan. Masyarakat yang ingin mengurus surat-surat penting tentang berbagai hal mesti melewati beberapa prosedur yang terkesan sengaja dibuat sulit dan memakan waktu yang lama. Padahal, surat-surat itu bisa dikerjakan dalam waktu yang singkat. Dari segi finansial, dengan kecepatan layanan yang diberikan akan meminimalisir dana yang mesti dikeluarkan. Birokrasi kini dipandang sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan yang sangat buruk. Dikatakan demikian karena kita mencium bahwa aroma birokrasi sudah menyimpang dari tujuan semula sebagai medium penyelenggaraan tugas-tugas kemanusiaan, yaitu melayani masyarakat (public service) dengan sebaik-baiknya. Realitas menunjukkan bahwa birokrasi kini identik dengan peralihan dari meja ke meja, proses yang memakan waktu dan tidak efisien. Urusan-urusan birokrasi terkesan rumit karena selalu berurusan dengan pengisian formulirformulir, proses perolehan izin yang melalui banyak kontrol secara berantai,

aturan-aturan yang ketat sehingga mengharuskan seseorang melewati banyak sekat-sekat formalitas dan sebagainya. Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap sebagai tujuan bukan lagi sekadar alat untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Adalah mustahil negara tanpa menggunakan sistem birokrasi. Tapi, birokrasi seperti apa yang sangat menjanjikan bagi kita kalau sudah demikian parahnya penyakit yang melekat dalam tubuhnya itu? Sangat penting apabila kita meninjau kembali definisi birokrasi. Menurut Blau dan Meyer, birokrasi adalah tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis. 1 Poin pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat teknis untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya melayani masyarakat. Kenyataan yang terjadi hingga detik ini menunjukkan pula bahwa birokrasi hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk dilayani masyarakat. Atau dengan perkataan lain, pejabat pemerintahan ingin mencari keuntungan melalui banyak fasilitas yang disediakan dalam birokrasi. Sebuah logika yang terbalik, memang! Seharusnya birokrasi adalah alat untuk melayani
Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000), hal. 4.
1

masyarakat dengan berbagai macam bentuk kebijakan yang dihasilkan pemerintah. Birokrasi menjadi sarang penyamun bagi beberapa oknum yang berupaya memanfaatkan sistem ini. Birokrasi telah menjadi terali besi (iron cage) yang membuat pengap kondisi bangsa kita akibat ulah para penjahat berbaju birokrat. Berbicara soal birokrasi, kita pasti teringat konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Model itulah yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi negara kita, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan dengan baik. Tipe ideal itu melekat dalam struktur organisasi rasional dengan prinsip rasionalitas, yang bercirikan yaitu pembagian kerja, pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi. Pada dasarnya semua tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tapi, kenyataannya dalam praktek di lapangan konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia. Sehingga perlu ada upaya pembaharuan makna dan revitalisasi atas kandungan birokrasi yang kini mulai punah itu. Secara filosofis, dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan,

pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan. Birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya. Berbeda dengan konsep birokrasi yang digagas oleh Hegel dan Karl Marx. Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan dan transformasi sosial. Hanya saja Marx pesimis dengan birokrasi karena instrumen negara ini hanya dijadikan alat untuk meneguhkan kekuatan kapitalisme dan akhirnya jauh dari harapan dan keinginan masyarakat. Sebagai sebuah konsep pemerintahan yang paling penting, birokrasi sering dikritik karena ternyata dalam prakteknya banyak menimbulkan problem inefisiensi. Menjadi sebuah paradoks, seharusnya dengan adanya birokrasi segala urusan menjadi beres dan efisien, tapi ternyata setelah diterapkan menjadi batu penghalang yang tidak lagi mampu memudahkan berbagai urusan administratif. Ada yang mengkritik bahwa birokrasi hanya menjadi ajang politisasi yang dilakukan oleh oknum partai yang ingin meraih kekuasaan dan jabatan politis. Term efisiensi layak digugat. Term efisiensi dan rasionalitas mengalami diferensiasi karena ternyata keduanya berbeda secara konseptual. Rasionalitas dan efisiensi adalah dua hal yang sangat ditekankan oleh Weber. Rasionalitas harus melekat dalam tindakan birokratik, dan bertujuan ingin

menghasilkan efisiensi yang tinggi. Menurut Miftah Thoha, kaitan keduanya bisa dilacak dari kondisi sosial budaya ketika Weber masih hidup dan

mengembangkan pemikirannya.2 Kata kunci dalam rasionalisasi birokrasi ialah menciptakan efisiensi dan produktifitas yang tinggi, tidak hanya melalui rasio yang seimbang antara volume pekerjaan dengan jumlah pegawai yang profesional tetapi juga melalui pengunaan anggaran, pengunaan sarana, pengawasan, dan pelayanan kepada masyarakat. Konsep rasionalitas dan efisiensi yang membingkai dalam ramuan birokrasi adalah susunan hierarki, di mana ukurannya tergantung kebutuhan pada masing-masing zaman. Zaman kita sangat berbeda dengan zaman yang tengah terjadi pada saat Weber masih hidup. Weber memaksudkan rasionalitas agar segala tindakan manusia didasarkan atas ukuran dan kualifikasi rasional sehingga tidak ada unsur subyektif dan politis yang masuk dalam proses penyelenggaraan sistem administrasi negara. Karakteristik dan ciri-ciri yang melekat dalam birokrasi sangat bermuatan rasional. Kita tidak bisa menampik bahwa apa yang dikemukakan oleh Weber sangatlah rasional. Tapi, ada banyak hal yang justru dilakukan tanpa melalui jalur formal rasional. Ada intervensi manusia secara subyektif dalam memperlakukan sebuah sistem. Tentu, hal demikian dilihat menurut ukuran kebutuhan dan kepentingan yang mendesak. Rasionalitas yang kemudian dikaitkan dengan efisiensi tidak lagi menjadi dua ukuran sebab akibat yang pasti. Bisa saja, efisiensi itu melepaskan dari ukuran
2

Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hal.

19.

rasional dan formal. Ternyata, kerangka konseptual rasionalitas birokratik yang disebutkan Weber membuat kita kaku dalam memperlakukan birokrasi, dan akhirnya terjebak pada rutinitas yang berjarak dengan fenomena sosial. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi kondisi birokrasi di negara kita. Apalagi, penggunaan konsep Weberian dalam menerapkan konsep birokrasi akan terjebak pada kondisi di mana konsep ini menjadi rasionalitas instrumental, yaitu konsep yang sakral dan menjadi ukuran serba pasti dalam proses penerapananya di waktu dan tempat manapun. Reintepretasi atas gagasan Weber mengenai birokrasi menjadi bernilai penting untuk dilakukan karena perlu dihubungkan dengan konteks pada saat ini. Ditegaskan kembali di sini bahwa birokrasi Weber terkesan kaku dan terbatas pada bagaimana konsep itu diterapkan dalam sistem adminsitrasi dan organisasi yang diatur secara rasional. Atau katakanlah, birokrasi Weber lebih melihat hal-hal yang ada di dalam organisasi itu sendiri ( in world looking), tidak memperhatikan faktor-faktor di luar yang terkadang mempengaruhinya pula, seperti dimensi politik dan kekuasaan. Sehingga birokrasi itu kemudian dianggap menutup adanya tantangan perubahan. Hal yang sangat menarik adalah kritik yang disampaikan Warren Bennis. 3 Bennis mencoba melakukan prediksi masa depan tentang berbagai macam perubahan yang pada gilirannya akan mempengaruhi eksistensi birokrasi. Menurut Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu
Lihat Warren Bennis, Organizational Development and the Fate of Bureaucracy dalam Industrial Management Review 7 (1966), hal. 41-45.
3

bentuk

kemampuan

yang

luar

biasa

untuk

mengorganisasikan

dan

mengkoordinasikan proses-proses kegiatan yang produktif pada masa Revolusi Industri. Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas yang keterlaluan, dan tidak dihargainya hubungan kerja secara kemanusiaan. Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan sangat terikat oleh proses zaman pada saat kemunculannya. Apa yang digambarkan Weber mengenai tipe ideal birokrasi adalah bentuk pengungkapan secara konseptual dan abstraksial. Karena disebut tipe ideal, Weber berharap bahwa konsep yang diusungnya bisa dipakai dalam menganalisis birokrasi di masa depan dan seterusnya. Konsep metodologis Weber tidak menyajikan rataan atribut atas semua birokrasi yang ada, tapi suatu tipe murni yang diturunkan dengan cara membuat abstraksi atas aspek-aspek birokratis yang membedakan dengan bentuk organisasi lainnya. Konsep tipe ideal yang digelar Weber dijadikan sebagai panduan penelitian empiris, bukan ide konkrit tentang birokrasi itu sendiri.4 Salah satu kritik terhadap birokrasi Weber ini terinspirasi oleh tulisan Gyorgy Gajduschek, seorang peneliti dari Hungarian Institute of Public Administration, yang berjudul Bureaucracy: Is It Efficient? Is It Not? Is That The Question? yang dimuat dalam sebuah jurnal internasional Administration and Society, Vol. 34, No. 6, Januari 2003. Di samping itu pula, sumbangan pemikiran dari perspektif Humanisme Radikal memberikan masukan yang sangat berarti
4

Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer, op. cit., hal. 30.

dalam proses pembaharuan birokrasi. Kajian dalam birokrasi Weber ini penulis lakukan dengan menelaah terlebih beberapa buku primer Weber yang membahas tentang birokrasi, baru kemudian diajukan beberapa kritik terhadap bangunan pemikiran tersebut. Penelitian dalam skripsi ini bermaksud mengkaji ulang konsep birokrasi Weber yang sering diklaim sebagai sebuah konsep dengan muatan penuh rasional dan pasti efisien. Banyak sekali kajian mengenai birokrasi Weber, tapi skripsi ini secara serius berniat mengangkat tema humanisasi birokrasi sebagai jawaban atas kelemahan birokrasi Weber. Sebenarnya Weber mengakui bahwa birokrasi akan menimbulkan efek dehumanisasi, tapi dia yakin bahwa birokrasi hanyalah alat kekuasaan teknis untuk mengkoordinasikan efektivitas sejumlah banyak orang. Kita sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual semata tapi juga masuk pada dataran yang lebih praktis di lapangan. Hal ini menjadi pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin. Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih menjadi pekerjaan rumah yang harus serius digarap oleh para pengamat masalah-masalah administrasi negara dan kebijakan publik.

B. Rumusan Masalah

Dengan gambaran latar belakang masalah di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini. Secara garis besar, penelitian ini bermaksud menguraikan pembahasan mengenai efisiensi yang menjadi tujuan dalam konsep birokrasi Weber, dengan mengajukan beberapa kritik yang patut dilontarkan dari beberapa pemikir birokrasi lainnya. Secara sistematis, rumusan masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana sejarah kehidupan dan latar belakang pemikiran Max Weber? b. Bagaimana pengertian birokrasi dan perkembangannya? c. Bagaimana konsep rasionalitas birokratik Max Weber? d. Bagaimana kritik terhadap nalar efisiensi dalam rasionalitas birokrasi Max Weber?

C. Tujuan Penelitian Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui sejarah kehidupan dan latar belakang pemikiran Max Weber. b. Untuk mengetahui pengertian birokrasi dan sejarah perkembangannya. c. Untuk menelaah lebih lanjut konsep rasionalitas birokratik Max Weber. d. Untuk mengetahui kritik terhadap efisiensi dan rasionalitas birokratik Max Weber.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini akan digunakan: a. Sebagai bentuk sumbangan pemikiran dalam bidang administrasi negara yang banyak menyoroti persoalan birokrasi. b. Sebagai bahan studi lanjutan dalam kajian akademik mengenai birokrasi dan problem administrasi negara. c. Untuk memperkaya khazanah intelektual dalam kepustakaan kita mengenai kajian administrasi negara. E. Metode Penelitian a. Obyek dan Lingkup Studi Penelitian ini mengambil obyek kajian mengenai efisiensi dan rasionalitas yang terkandung dalam birokrasi Weber. Lingkup studinya membahas tentang birokrasi dan pemikiran Max Weber itu sendiri dengan spesifikasi mencari jawaban mengenai problem efisiensi yang diperhadapkan dengan konsep rasionalitas birokratik Max Weber. b. Metode yang Digunakan Di dalam penulisan karya ilmiah, ada dua metode yang digunakan, sebagai berikut. Library Research, yaitu karya ilmiah yang didasarkan pada studi literatur atau pustaka. Field Research, yaitu yang didasarkan pada studi lapangan. Mengingat obyek studi beserta sifat masalahnya maka penelitian ini menggunakan metode Library Research atau penulisan literatur (pustaka).

Oleh sebab itu, penulisan karya ilmiah ini akan dilakukan berdasarkan atas hasil studi terhadap beberapa bahan pustaka yang relevan, yaitu buku primer yang ditulis Max Weber, dan beberapa buku sekunder yang berkenaan dengan tema penelitian ini. c. Data yang Diperoleh Data yang diperlukan dalam penelitian pustaka ini sudah tentu adalah data kualitatif yang sifatnya tekstual dan kontekstual, yaitu beberapa statemen atau pernyataan serta proporsi-proporsi ilmiah yang telah dikemukakan oleh Max Weber dalam kaitannya dengan konsep efisiensi dalam rasionalitas birokratik yang digagasnya. d. Sumber Data Penggalian sumber data diperoleh melalui berbagai sumber-sumber referensial yang bertalian dengan tema birokrasi menurut Max Weber. Ada dua sumber primer karya Max Weber yang dijadikan acuan utama dalam mengkaji birokrasi, yaitu: From Max Weber: Essays in Sociology (New York: Oxford University Press, 1946) dan The Theory of Social and Economic Organization (New York: Oxford University Press, 1947), beberapa bukunya yang lain. Di samping sumbersumber primer juga didukung beberapa sumber sekunder yang bertalian dengan tema penelitian ini. e. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan metode yang dipakai maka teknik pengumpulan data yang tepat dilakukan dalam penelitian Library Research adalah teknik dokumenter, yaitu

mengumpulkan dari buku-buku, makalah-makalah diskusi, artikel-artikel, dan sebagainya, yang ditulis Max Weber sendiri maupun dari berbagai penulis mengenai birokrasi Weber. f. Teknik Analisis Data Sesuai dengan jenis dan sifat data yang diperoleh dari penelitian analisis yang dipergunakan adalah teknik content analysis (analisis isi). Dengan teknik ini, data kualitatif tekstual yang diperoleh akan disortir (dipilah-pilah), dilakukan kategorisasi antara data yang sejenis untuk mendapat suatu formula analisa dan pemikiran Max Weber melalui tema pokok Kritik terhadap Rasionalitas Birokrasi Max Weber yang selanjutnya didiskusikan melalui berbagai pandangan yang ada untuk melahirkan kesimpulan dari masalah di atas.

F. Sistematika Pembahasan Skripsi ini terbagi atas empat bab. Bab I membahas mengenai Pendahuluan yang terbagi atas: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Bab II memfokuskan kepada Max Weber dan pengantar pada konsep birokrasi yang digagasnya. Bab itu terbagi atas tiga sub bab, yaitu: Biografi Max Weber, Latar Belakang Pemikiran Max Weber, dan Karya-karya Max Weber.

Bab III membahas tentang pengertian birokrasi secara umum dan juga menurut Max Weber, yang terbagi atas tiga sub bab, yaitu: Memahami Birokrasi, Sosio Kultural Timbulnya Birokrasi, dan Tipe Ideal dan Karakteristik Birokrasi. Bab IV membahas obyek dari penelitian ini, yaitu menelusuri gagasan utama tentang efisiensi dan rasionalitas yang menjadi kajian penting dalam konsep birokrasi Weber. Bab ini terbagi atas tiga sub bab, yaitu: Reinterpretasi Rasionalitas Birokratik Max Weber, Reduksi Efisiensi dalam Birokrasi, dan Menggagas Birokrasi yang Berorientasi Kemanusiaan. Untuk yang tiga terakhir menjadi kajian paling penting untuk merevisi dan urgensi mempertanyakan kembali pengadopsian konsep birokrasi Weber. Bab IV adalah Penutup yang terbagi atas Kesimpulan dan Saran.

(Arsip pribadi milik penulis).

Anda mungkin juga menyukai