Anda di halaman 1dari 5

Nama : Mahmud Aditya Rahman

NIM 22611251004
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Wawan Sundawan Suherman, M.Ed Dr.
Drs. Sumarjo, M.Kes
Mata Kuliah : Ilmu Filsafat
Tugas : Suriasumantri, Jujun S. 2015. Filsafat Ilmu: Sebuah Apresiasi Terhadap
Ilmu, Agama dan Seni. Edisi ke-25. Jakarta : Pustaka
Sinar, Harapan, H. 2-34
Referensi : Resume Prolog Kearah Pemikiran Filsafat

1. Sumber Pengetahuan

1.1 Mencari Pijakan yang Pasti

Manusia diberkahi dengan berbagai kemampuan untuk hidup dan


berkehidupan. Kita membutuhkan pengetahuan yang dapat diandalkan. Aku berpikir
maka aku ada, seru Decrates. Kebenaran yang hakiki adanya pada pikiran kita. Kaum
yang menganut paham bahwa pikiran merupakan sumber kebenaran disebut rasionalis
dan pahamnya dinamakan “rasionalisme” Pernyataan yang benar dan tidak diragukan
lagi (idea) sebenarnya sudah ada dalam pikiran kita dan kita dapat mengenali
pernyataan itu melalui kegiatan berpikir.

1.2. Empirisme

Emperisme lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa


pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melaui akal, melainkan
bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidahm telinga, kulit dan hidung.
Empirisme muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme
mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah
pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera.

1.3. Perasaan, Intuisi dan Wahyu


Perasaan membuat kita memiliki sedih, gembira, dan kasih sayang. Sayangnya
perasaan ini selalu berubah-ubah sesuai dengan suasana kejiwaan seseorang. Ilmu
tidak dapat berharap terlalu banyak dari perasaan ini sebagai sumber kebenaran yang
pasti. Namun bagi seni perasaan merupakan sumber utama bagi penjelajahan
estetiknya. Intuisi merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui penalaran.
Ilmu yang menyandarkan diri kepada penalaran tidak menafikan peranan intuisi hanya
saja kesimpulan intuitif ini harus dirunut kembali kebenarannya melalui kegiatan
analisis. Wahyu merupakan kebenaran yang disampaikan Tuhan kepada manusia
melalui perantaraan para nabi. Wahyu merupakan pernyataan yang dipergunakan
dalam agama. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya (skeptis) dan diakhiri dengan
percaya setelah dikemukakan argumentasi dan verifikasi.

2. Beberapa Tafsiran Metafisika

Berasal dari Bahasa yunani “meta” yang berarti selain, sesudah, ataupun
sebaliknya. Dan “fisika” adalah alam nyata. Metafisika merupakan ilmu yang menyelidiki
hakikat dibalik alam nyata ini. Metafisika dapat dikatakan sebuah usaha sistematis, dalam
mencari hal yang ada dibelakang hal-hal fisik dan bersifat particular atau kebendaan.
Sehingga metafisika merupakan ilmu mengenai yang ada yang bersifat universal.

3. Metafisika Keilmuan

Asumsi adalah anggapan dasar tentang realitas objek yang menjadi pusat perhatian
penelaahan kita. Asumsi memegang peranan penting dalam pengembangan ilmu sebab
asumsi merupakan pikiran dasar keilmuan yang merupakan fondasi bagi penyusunan
pengetahuan ilmiah. Fisika teoritis merupakan oengetahuan ilmiah yang dibangun di atas
sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta pengujian induktif yang sangat
mengesankan.
3.1. Asumsi-asumsi Ilmu Sosial

Dalam mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa


Hal yaitu :
1) asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan [engkajian disiplin keilmuan.
2) Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan
“bagaimana keadaan seharusnya”.

Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan


dalam analisis keilmuannya.

3.2. Postulat

Postulat adalah Gabungan cara pandang (objek forma) dan objek yang
dipandang (objek materia). Postulat ini merupakan anggapan dasar yang tidak
memerlukan verifikasi empiris namun harus dapat dipertanggungjawabkan secara
analisis kritis.

3.3. Antara Teori Metafisika dan Teori Peluang

Teori metafisika dan teori peluang sangat berdekatan dan dapat menghasilkan
simpulan yang beragam tergantung latar belakang kahlkian dalam memandang
realitas. Penafsiran metafisis yang bermacam-macam dalam kehidupan ini membuat
kita menyerahkan diri kepada kebesaran dan keadilan Tuhan tanpa terlalu banyak
bertanya dan mencoba mencari makna pada kehidupan diri kita sendiri dengan penuh
rendah hati. Tak ada ketentraman selain berserah diri dan tak ada kepastian selain
keyakina kedapa Zat yang Maha Mengerti.

4. Hukum Keilmuan (Scientific Law) dan Hukum Alam (Natural Law)

Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin


Thomas Hobbes (1588-1979) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan itu
pada hakikatnya bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat
universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa
segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dulu. Posisi tengah antara
paham determinisme dan paham pilihan bebas mengantarkan kita kepada paham yang
bersifat probabilitas.

Seratus orang jatuh dari pohon kelapa, berapa orang yang akan patah kakinya?
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan mencerminkan hukum keilmuan dan hukum alam.
Awalnya memang merupakan hukum keilmuan, namun kemudian setelah diuji dalam
kenyataan, hukum keilmuan yang sifatnya probabilistik ini merupakan pencerminan hukum
alam .

5. Peluang

Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara


sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10
(yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan
bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi
manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada
kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu
keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori
keilmuan.

6. Penalaran

Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan
bertindak. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan
kegiatan merasa atau berpikir. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan
pengetahuan yang benar. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana
tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing. Sebagai suatu
kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah
adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, dan tiap penalaran
mempunyai logika tersendiri atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran
merupakan suatu kegiatan berpikir logis, dimana berpikir logis di sini harus diartikan
sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu. Ciri yang kedua
dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya.

7. Logika

Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar


pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses
berpikir itu harus dilakukan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih
(valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara. Cara penarikan
kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefenisikan sebagai
“pengkajian untuk berpikir secara sahih.” Ada dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika
induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan
kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan bersifat umum.
Sedangkan logika deduktif, menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus
yang bersifat individual (khusus).

8. Kriteria Kebenaran

Ada sejumlah teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran. Yang pertama
adalah teori koherensi. Teori ini merupakan menyatakan bahwa pernyataan dan kesimpulan
yang ditarik harus konsinten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang dianggap
benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu
pernyatan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori Pragmatis dicetuskan oleh
Charles S. Peirce (1839-1924) dalam sebuah makalah yang terbit tahun 1878 yang berjudul
“How to make Our Ideas Clear.” Bagi seorang pragmatis, kebenaran suatu pernyataan
diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan umat manusia.

Anda mungkin juga menyukai