Anda di halaman 1dari 11

EPISTIMOLOGI

Andi Gemmy A.M.A. Mahasiswa Program Studi Teknik Geologi Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar

I. PENDAHULUAN Epistimologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistimologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan- pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenisjenis pengetahuan, menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga ahirnya diketahui manusia. Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya. Pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap ubstansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi itu

Tatkala manusia baru lahir, ia tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun. Nanti tatkala ia 40 tahunan, pengetahuanya banyak sekali sementara kawannya yang seumur dengan dia mungkin mempunyai pengetahuan yang lebih banyak daripada di dalam bidang yang sama atau berbeda bagaimana mereka itu masing-masing mendapat pengetahuan itu? mengapa dapat juga berbeda tingkat akurasinya? hal-hal semacam ini dibicarakan dalam epistomologi. Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa epistimology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutkan dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistimologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J. F. Ferrier pada tahun 1854 (Runes, 1971: 94) Pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Beberapa aliran yang berbicara tentang ini, meliputi empirisme, rasionalisme, pasitivisme, intuisionisme.

II.PEMBAHASAN A. Pengertian Epistimologi

Menurut J Sudarminta dalam bukunya Epistimologi Dasar, epistimologi adalah cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan). Logos (perkataan, pikiran, ilmu). Maka secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepat-tepatnya dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan. Epistimoligi kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge: Erkenthnistheorie). Sebagai cabang ilmu filsafat, epistimilogi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Epistimologi bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mancoba memberi pertanggung jawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Epistimologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Maka epistimologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai adalah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya atau memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan tolok ukur kenelaran bagi kebenaran pengetahuan. Kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Menurut Prof. Dr. Juhaya S. Praja dalam bukunya aliran-aliran filsafat, secara umum epistimologi dijelaskan sebagai cabang filsafat yang membahas ruang lingkup dan batasbatas pengetahuan. Studi ini mencari jalan untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang meliputi pengkajian sumber-sumber watak, dan kebenaran pengetahuan. Istilah yang digunakan untuk nama teori pengetahuan adalah epistimologi, yang berasal dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logy (teori). Terdapat tiga persoalan dalam bidang ini: 1. Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? darimana pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui? ini semua adalah problem asal (origin).

2. Apakah watak dari pengetahuan? apakah dunia yang riil di luar akal, dan kalau ada, dapat kita mengetahuinya ? ini semua adalah problema: penampilan (appearance) terhadap realitas. 3. Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? ini adalah problema mencoba kebenaran (verification). Jawaban dari soal-soal di atas dalam dapat dikelompokkan dalam salah satu dari dua aliran yaitu rasionalisme dan empirisme. Aliran ini mendapat kritik tajam dari aliran yang kemudian dikenal dengan kritisme. Kelompok rasionalis bependapat bahwa akal manusia dapat mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam tanpa bantahan dari yang lain. Kelompok empiris berpendapat bahwa semua pengetahuan pada dasarnya datang dari pengalaman indera. Oleh karena itu pengetahuan kita terbatas pada hal-hal yang dapat dialami. Kritisme berhasil membuat Sintesa dan kedua aliran itu yang kemudian melahirkan metode ilmiah. Menurut Prof. DR. Sutardjo A. Wiramihardja Psi dalam bukunya yang berjudul Pengantar Filsafat menjelaskan, dalam epistimologi, secara lebih rinci terdapat perbincangan mengenai dasar, batas dan objek pengetahuan. Oleh sebagian orang, epistimologi disebut filsafat ilmu. Secara umum dan mendasar, terdapat perbedaan antara epistimologi dan filsafat ilmu. Secara umum, epistimologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan, sedangkan filsafat ilmu (philosophy of science), secara khusus mempersoalkan ilmu atau keilmuan pengetahuan. Dalam hal ini, terdapat empat jenis kebenaran yang secara umum yang dikenal orang, yaitu kebenaran religius, kebenaran filosofis, kebenaran estetis dan kebenaran ilmiah. Hal itu merupakan hasil dari aturan berpikirnya masing-masing, seperti telah diutarakan dalam pembahasan logika material. Pertama, kebenaran religius adalah kebenaran yang memenuhi atau dibangun berdasarkan kaidah-kaidah agama atau keyakinan tertentu disebut juga kebenaran muthlak yang tidak dapat dibantah lagi. Kedua, kebenaran filosofis ialah kebenaran hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau the nature, meskipun bersifat subjektif dan relatif, namun mendalam karna melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalaman dan pemikiran intelektual semata. Ketiga, kebenaran estetis, yaitu kebenaran yang berdasarkan penilaian indah dan buruk serta cita rasa estetis.

Keempat, kebenaran ilmiah yang ditandai oleh terpenuhimya syarat-syarat ilmiah, terutamanya menyangkut adanya teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti, kebenaran sosial yang ditunjang hasil uji lapangan yang disebut empiris. B. Macam-Macam Epistimologi

Berdasarkan cara kerja atau atau pendekatan yang diambil terhadap gejala pengetahuan bisa dibedakan beberapa macam epistimologi. Pertama, epistimologi yang mendekati gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari pengendaian metafisika tertentu disebut Epistimologi metafisis. Epistimologi macam ini berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Misalnya Plato meyakini bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunia ide-ide, sedangkan kenyataan sebagaiman kita alami di dunia ini adalah kenyataan yang fana dan gambaran kabur saja dari kenyataan dalam dunia ide-ide. Bertitik tolak dari paham tentang kenyataan itu, Plato dalam epistimologinya memahami kegiatan mengetahui sebagai kegiatan jiwa mengingat (anamnesis) kenyataan sejati yang pernah dilihatnya dalam dunia ide-ide. Kedua, epistimologi skeptis, dalam epistimologi macam ini, seperti misalnya dikerjakan oleh Descartes, kita perlu membuktikan dulu apa yang dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pendekatan ini adalah apabila orang sudah masuk sarang skeptisisme dan konsisten dengan sikapnya, tak gampang menemukan jalan keluar. Descrates sendiri, seperti masih akan kita lihat lebih jauh kemudian, memang bukan penganut skeptisisme mutlak atau orang yang sama sekali meragukan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mencapai kebenaran. Skeptisisme Descartes adalah skeptisisme metodis. Yakni strategi awal untuk meragukan segala sesuatu, justru dengan maksud agar sampai ke kebenaran yang tak dapat diragukan lagi. Macam epistimologi ketiga adalah epistimologi kritis. epistimologi ini tidak memperioritaskan metafisika atau epistimologi tertentu, melainkan berangkat dari asumsi, prosedur, dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, lalu kita tanggapi secara kritis asumsi, prosedur dan kesimpulan tersebut lalu diuji kebenarannya di hadapan pengadilan nalar. Selain tiga macam epistimologi di atas, secara umum berdasarkan objek yang dikaji, epistimologi juga dapat dibagi menjadi dua yaitu epistimologi individual dan epistimologi sosial. Dalam epistimologi individual, kajian tentang filsafat pengetahuan dapat memanfaatkan sumbangan yang diberikan psikologi kognitif. Bagi epistimologi sosial,

hubungan sosial, kepentingan sosial, lembaga sosial dipandang faktor yang amat menentukan dalam proses dan cara pemerolehan pengetahuan. C. Kebenaran Epistemologis Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, dalam pembahasan ini dibahas kebenaran epistemologis karena kebenaran yang lainnya secana inheren akan masuk dalam kategori kebenaran epistemologis.

Teori yang menjelaskan kebenaran epistemologis adalah sebagai berikut: 1. Teori Korespondensi Teori pertama adalah teori korespondensi, the correspondence theory of truth yang kadang disebut the accordance theory of truth. Menurut teori mi, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut.52 Dengan demikian, kebenaran epistemologis adalah kemanunggalan antara subjek dan objek. Pengetahuan itu dikatakan benar apabila di dalam kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa yang ada di dalam objek. Hal itu karena puncak dan proses kognitif manusia terdapat di dalam budi atau pikiran manusia (intelectus), maka pengetahuan adalah benar bila apa yang terdapat di dalam budi pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam objek. Teori korespondensi mi pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di antara pelopor teori korespondensi mi adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey, dan Tarski.54 Teori mi dikembangkan oleh Bertrand Russell (1872-197O). Seseorang yang bernama K. Roders, seorang penganut realisme kritis Amerika, berpendapat, bahwa: keadaan benar mi terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam objeknya Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah apakah realitas itu objektif atau subjektif? Dalam hal ini ada dua pandangan realisme epistemologis dan idealisme epistemologis. Realisme epistemologis berpandangan, bahwa terdapat realitas yang independen (tidak tergantung), yang terlepas dan pemikiran; dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahaminya. .

2.

Itulah sebabnya realisme epistemologis kadangkala disebut objektivisme. Dengan perkataan lain: realisme epistemologis atau objektivitisme berpegang kepada kemandirian kenyataan, tidak tergantung pada yang di luarnya. Sedangkan idealisme epistemologis berpandangan bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir di dalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif Teori Koherensi Tentang Kebenaran Teori yang kedua adalah teori koherensi atau konsistensi, the consistence theory of truth, yang sering pula dinamakan the coherence theory of truth. Menurut teori mi kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaltu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan perkataan lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara puiusan yang baru itu dengai putusn-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui kebenarannya terlebih dahulu. Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan yang Iainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain.Karenanya lahirlah rumusan: Truth is a systematic coherence kebenaran adalah saling hubungan yang sistematis; Truth is consistency kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan. Apabila teori korespondensi dianut oleh penganut realisme dan materialisme, teori konsistensi atau koherensi mi berkembang pada abad ke-19 dibawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh pengikut mazhab idealisme. Seperti filsuf Britania F. M Bradley (18641924).61) Idealisme epistemologi berpandangan bahwa objek pengetahuan, atau kualitas yang kita serap dengan indera kita itu tidaklah berwujud terlepas dan kesadaran tentang objek tersebut. Itulah sebabnya teori ini sering disebut subjektivisme. Kedua, teori ini agaknya dapat dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran, karena menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksianpenyaksian (justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan Iainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima, dan diakui benarnya.

3.

Teori Pragmatisme Tentang Kebenaran Teori ketiga adalah teori pragmatisme tentang kebenaran, the pramagtic (pramagtist) theory of truth. Pramagtisme berasal dan bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ml benar tidaknya suatu ucapan, dali!, atau teori semata mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat.

Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.

Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila Ia mempunyat nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat- akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku. .Agama Sebagai Teori Kebenaran Manusia ada!ah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dan Tuhan. Dengan demikian, suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. OIeh karena itu, sangat wajar ketika Imam A1-Ghazali merasa tidak puas dengan penemuan-penemuan akalnya dalam mencari suatu kebenaran. Akhirnya Al- Ghazali sampai pada kebenaran yang kemudian dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang amat panjang dan berbelit-belit. Tasawuflah yang menghilangkan keragu- raguan tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum sufi sebagai kebenaran mutlak; yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi. Namun Al-Ghazali tetap merasa kesulitan menentukan kriteria kebenaran. Akhirnya kebeparan yang di dapatnya adalah kebenaran subjektif atau inter-sujektif. D. Sumber Pengetahuan Pada dasarnya terdapat dua cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar,yaitu berdasarkan pada rasio yang disebut dengan rasionalisme dan berdasarkan pada pengalaman yang disebut dengan empirisme dan intuisi yaitu pengetahuan yang dating dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Kaum rasionalisme mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya.Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima.Paham ini dikenal dengan nama idealisme..Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya.Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersipat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya.Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlalu dalam alam sekitar kita.Jadi ide bagi kaum rasionalis adalah bersipat apriori dan prapengalaman yang di dapatkan manusia lewat penalaran rasional.[6]

Masalah utama yang timbul dari cara berpikir ini adalah mengenai criteria untuk mengetahui kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut yang lainnya tidak.Ide yang satu menurut si A adalah mungkin bersipat jelas dan dapat dipercaya namun hal itu belum tentu bagi si B.Mungkin saja bagi si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan sistem pengetahuan si A karena si B mempergunakan ide lain yang bagisi B merupakan prinsipyang jelas dan dapat dipercaya.Oleh sebab itu penalaran rasional akan di dapat bermacam-macam pengetahuan mengenai suatu objek tertentu tanpa adanya suatu consensus yang dapat diterima semua pihak,maka pemikiran rasional cendrung untuk bersipat solipsistic dan subyektif. Sedangkan kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan di dapatkanlewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang konkrit.Gejala-gejala alamiah menurutnya bersipat konkrit dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indera manusia.Gejala itu kalau ditelaah lebih lanjut mempunyai karakteristik tertentu dan mempunyai pola yang teratur tentang kejadian sesuatu.Contohnya,suatu benda padat kalau dipanaskan akan memanjang,langit mendung akan diikuti turunnya hujan.maka pengamatan akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala dengan mengikuti pola tertentu.Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yangtelah terjadi.dengan menggunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersipat individual. Intuisi dan wahyu adalah cara mendapatkan pengetahuan selain rasionalisme dan empirisme .Pengetahuan yang di dapatkan melalui rasional maupun secara empiris ,keduaduanya merupakan induk produk dari sebuah rangkaian penalaran.Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu.Intuisi bersipat personal dan tidak bias diramalkan..sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi tidak bisa diandalakan.Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakanna.Kegiatan intuitif dan analisis bias bekerja saling membantu dalam menentukan kebenaran.Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak sedangkan bagi Nietzsche merupakan intelegensi yang paling tinggi.[7] Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaiak oleh Tuhan kepada manusia.Pengetahuan itu disalurkan melalui nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman.agama merupakan pengetahuan yang mencakup masalah-masalah yang bersipat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia,dan hari akhirat.pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan hal-hal yang gaib.kepercayaan kepada tuhan merupakan sumber pengetahuan.Nabi sebagai perantaraNya merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan.Agama dimulai dengan rasa percaya da lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bias meningkat atau menurun,sedangkan ilmu pengetahuan dimulai dengan rasa tidak percaya dan setelah melalui proses pengkajian ilmiyah bias diyakinkan

atau tetap pada pendirian semula.Intuisi dalam filsafat barat diperoleh lewat wahyu melalui perenyngan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam marifat diperoleh melalui perenungan dan penyinaran dari Tuhan.[8] D. Teori Pengetahuan Pengetahuan ilmiah yang didapatkan melalui metode ilmiah dan tidak semua pengetahuan dapat di sebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara memdapatkannya memenuhi syarat-syarat tertentu. Ada beberapa metode dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah ,yaitu: 1. Metode Induktif Induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataanpernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Ilmu-ilmu empiris ditandai dengan metode induktif.Suatu inferensi bias disebut induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal,seperti gambaran hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal.Contoh,kalau logam dipanasi ia akan mengembang,berdasarkan dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain kalau dipanasi juga akan mengembang. 2. Metode Deduktif Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulankesimpulan itu sendiri.ada penyelidikan bentuk logis teori utu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sipat empiris atau ilmiah,ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik.Contoh,jika penawaran besar,haga akan turun,karena penawaran beras besar maka harga beras akan turun. 3. Metode Positivisme Metode ini diciptakan oleh August Comte (1798-1857) .Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui ,yang factual,yang positif.Ia mengenyampingkan segala uraian /persoalan diluar yang ada sebagai fakta.Ia menolak metafisika.Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan segala gejala.Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja. 4. Metode Kontemplatif Metode ini menyatakan bahwa ada keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut intuisi.Pengetahuan

yang diperoleh lewat intuisi ini bias diperoleh dengan cara berkontemplasi,seperti yang dilakukan oleh al-Ghazali. 5. Metode Dialektis Dalam filsafat,dialektika mula-mula berarti metode Tanya jawab untuk mencapai keernihan filsafat.Metode inidiajarkan oleh Sokrates .Namun Plato menamainya dengan diskusi logika.Kini dialektika berarti tahap logika yang mengajarkan kaidahkaidah dan metode penuturan juga analisis sistematik tentang ide-ide utuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan

E.

Pentingnya Mempelajari Epistemologi

Mengenai alasan pertama, yakni berdasarkan pertimbangan strategis, kajian epistimologi perlu karena pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi kehidupan manusia. Ini berkenaan dengan bagaimana mengelola kekuasaan atau daya kekuatan sehingga tujuan dapat tercapai. Berkenaan alasan kedua, yakni berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjalasan yang pokok adalah kenyataan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur dasar kebudayaan. Kebudayaan memang mempunyai unsur-unsur penting lain seprti sistem kemasyarakatan, sistem religi, sistem bahasa, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem simbol. Mengenai alasan ketiga, epistimologi perlu dipelajari karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha dasar untuk membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, tidak lepas dari penguasaan pengetahuan. Proses belajar mengajar dalam konteks selalu memuat unsur penyampaian pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai.

IV. KESIMPULAN 1. Epistimologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Macam-macam epistimologi a. Epistimologi metafisis b. Epistimologi skeptis c. Epistimologi kritis Selain tiga macam epistimologi di atas, secara umum berdasarkan objek yang dikaji, epistimologi juga dapat dibagi menjadi dua yaitu epistimologi individual dan epistimologi sosial. Metode dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah , a. Metode Induktif b. Metode Deduktif c. Metode Postivisme d. Metode Kontemplatif e. Metode Dialektis Kajian epistimologi perlu karena pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi kehidupan manusia. Ini berkenaan dengan bagaimana mengelola kekuasaan atau daya kekuatan sehingga tujuan dapat tercapai.

2.

3.

4.

5.

Anda mungkin juga menyukai