Anda di halaman 1dari 7

Pengertian

Secara etimologis istilah Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang secara lazim
diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Kata philosophia tersebut berakar pada kata philos yang
berarti cinta dan sophia yang berarti kearifan. Berdasarkan pengertian bahasa tersebut Filsafat
berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti kebijaksanaan atau sehingga puisi bisa juga
berarti cinta di tayangan. makna kata tersebut Berdasarkan, belajar merupakan upaya manusia
untuk menemukan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi
peradaban manusia. Biasanya, ahli piker disebut sebagai orang yang mencintai kebenaran. Hal
tersebut adalah karakteristik dari dulu hingga sekarang. Di dalam menemukan kebenaran tersebut,
Saya menemukan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya atau masalah. Hasil Filsafat (berpikir
sedalam-dalamnya) disebut Filsafat atau falsafah. Filsafat sebagai hasil berpikir sedalam-dalamnya
diharapkan mampu menjadi cahaya dalam menemukan kebenaran atau ketidaknyataannya
mendekati kesempurnaan dengan kebijaksanaan.

Pemikiran Filsafat dapat dibagi menjadi dua, yaitu Pemikiran Filsafat Barat dan Timur. Pemikiran
tersebut memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan kondisi lingkungan tempat tinggal tersebut.
Pemikiran Filsafat Barat adalah pemikiran dari para gagasan barat, seperti Filsafat Inggris, Perancis,
Yunani, dan lain sebagainya. Pemikiran Filsafat Timur adalah pemikiran dari para Karya Timur,
seperti Filsafat Indonesia, Filsafat Cina, Filsafat Jepang, dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat
terlihat dalam pandangan hidup barat dan timur yang berbeda. Misalnya, perbedaan pandangan
hidup Indonesia dan Yunani. Pandangan hidup Indonesia berlainan dengan pandangan hidup Yunani.
Pandangan hidup Yunani lebih berdasarkan paham individualisme dan paham materialisme yang
mementingkan kepentingan diri sendiri. Paham individualisme adalah suatu paham yang tidak
digunakan untuk dijadikan dasar dan pokok bertolak bagi suatu pandangan hidup dalam seseorang
berhubungan dengan orang lain dalam pergaulan hidup. Paham ini dapat berkembang menjadi
paham egoisme, yaitu mementingkan diri sendiri. Orang lain dijadikan objek melepaskan hawa nafsu
kepentingan diri sendiri. Paham materialisme adalah suatu tanah persamaian yang subur bagi
tumbuhnya bibit keserakahan dan berhitung menurut yang baik bagi diri sendiri. Kedua paham ini
bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan mengalahkan orang lain sebagai alat. Paham ini
berasal dari paham bangsa Yunani yang tidak ber-Tuhan, hanya bermitologi, dan tidak memiliki kitab
suci. Pandangan hidup Yunani tidak akan mampu memberi kepuasan dan kebahagiaan bagi manusia
itu sebagai satu kesatuan dan satu kesatuan.

Salah satu contoh Filsafat Timur adalah Filsafat Indonesia. Filsafat Indonesia adalah sebutan yang
digunakan untuk menggambarkan tradisi kefilsafat yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Filsafat Indonesia adalah Filsafat yang diproduksi oleh orang yang menetap di wilayah yang semua
Indonesia. Filsafat Indonesia diungkapkan dalam berbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan
di Indonesia atau sekitar 587 bahasa dan bahasa Indonesia, meliputi berbagai mazhab pemikiran
yang menerima pengaruh Timur dan Barat. Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata
'Filsafat Indonesia' secara berbeda. Hal tersebut menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian
Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata tersebut. Ia hanya menyatakan
bahwa Filsafat Indonesia adalah konsep dan praktik asli dari Pancasila, hukum adat, gotong-royong,
dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14-38). Sunoto mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai kekayaan
budaya bangsa sendiri yang terkandung dalam budaya sendiri (Sunoto 1987: ii). Sementara itu,
Parmono mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai pemikiran-pemikiran yang tersimpul di dalam
adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985: iii). Sumardjo mendefinisikan kata Filsafat
Indonesia sebagai pemikiran primordial atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan
karya budaya (Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai
bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi .
Dalam bahasa Indonesia, tidak memiliki kata filsafat sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni,
dan sains. Namun, Indonesia memiliki kata kebudayaan yang mencakup berbagai kehidupan dari
suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi merupakan wujud kehidupan
masyarakat dan tercakup dalam suatu makna kebudayaan. Biasanya orang Indonesia menyebut
nama budayawan (Alisjahbana 1977: 6-7). Cakupan Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan asli
dari kekayaan budaya Indonesia saja.

Filsafat Indonesia memiliki beberapa tokoh yang berperan dalam kemajuan filsafat Indonesia. Para
tokoh filsafat Indonesia sangat berperan dalam pembentukan bangsa Indonesia dalam bidang
pendidikan, agama, seni, dan sebagainya. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai masing-masing
tokoh filsafat Indonesia, peranan dan pemikirannya terhadap bangsa Indonesia. Istilah Filsafat
Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh M. Nasroen, seorang Guru Besar bidang
Filsafat di Universitas Indonesia. Setelah itu, istilah tersebut mulai banyak dipakai sebelumnya
seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Menurut M. Nasroen, Filsafat
Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kekeluargaan, dan Rasio. Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah salah satu sila yang terdapat dalam Pancasila yang menjadi dasar Negara Indonesia.
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan penyempurnaan keyakinan bangsa Indonesia. keyakinan
bangsa Indonesia berawal dari kepercayaan nenek moyang, animisme, politheisme, hingga
monotheisme, seperti Islam dan Kristen. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Filsafat.
Seorang yang beragama tidak mungkin berfilsafat tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Filsafat yang tidak berdasarkan agama adalah salah. Tidak kedua Filsafat Indonesia adalah
kekeluargaan. adalah satu kesatuan yang konkret dan kokoh yang menyatukan dan disatukan oleh
prinsip-prinsip khusus, seperti Keluarga, rela berkorban, toleransi dan lain-lain. Unsur yang ketiga
adalah dari Filsafat Indonesia adalah rasio. Dalam Filsafat Indonesia sebagai ilmu pengetahuan, tentu
rasio tetap memiliki peranan dan kedudukan utama. Namun, pemakaiannya berlainan dengan apa
yang terdapat pada filsafat pada umumnya. Penggunaan rasio murni hanya dapat dijalankan dalam
bidang filosofis, logika logika dan matematika. Dalam bidang ini, rasio harus mengikutsertakan
tenagaga-tenaga lain yang terdapat dalam diri manusia, seperti rasa dan keyakinan. Misalnya, wakaf
tidak mungkin dijelaskan oleh rasio dasar. Menurut rasio seseorang yang memberikan wakaf itu
tindakan bodoh. Hal tersebut disebabkan oleh orang-orang tersebut sudah susah payah mencari
harta benda itu lalu diserahkan begitu saja sebagai wakaf. Hal tersebut bukan soal filsafat, tetapi soal
kayakinan atau agama.

Tokoh berikutnya adalah Ki Hajar Dewantara. Pemikirannya mengenai pendidikan di Indonesia yang
harus memiliki tiga landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistik, dan spiritualistik.
Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara
politis, ekonomis, maupun spiritual. universal berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala
sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasar kemerdekaan, merdeka dari
segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kemanusiaan tumbuh dalam diri (hati). Suasana
yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kebersamaan,
kebaikan hati, empati, cinta kasih, dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak
setiap individu mempertanyakan, pendidikan membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
mandiri secara fisik, mental dan spiritual. Pendidikan tidak hanya mengembangkan suatu aspek
intelektual akan memisahkan dari kebanyakan orang, pendidikan setiap individu tetapi perbedaan
antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan. Pendidikan memperkuat rasa percaya
diri, mengembangkan harga diri setiap orang hidup sederhana dan guru rela harus mengorbankan
kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Output pendidikan yang dihasilkan
adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi
anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan
kesejahteraan orang lain.

Kemudian ada pula pemikiran dari RA Kartini. Pada surat-surat Kartini tertulis pemikirannya tentang
kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. sebagian besar surat-suratnya
berisi keluhan dan keluhan khususnya mengenai budaya di Jawa yang dipandang sebagai kemajuan
perempuan. Dia ingin memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Semua itu atas dasar
ketuhanan, tayangan, dan keindahan, ditambah dengan kemanusiaan serta nasionalisme. Surat-
surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan
dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum
muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak
bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan
harus disajikan dimadu. Pandangan-pandangan kritis yang Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik
terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa
diwajibkan untuk dijangkau. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai
jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling
menyakiti. Seharusnya, agama harus menjaga kita daripada melakukan dosa. Kartini juga
mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami.
Bagi Kartini, sudah lengkap penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok
rumah. Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong
maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun,
tetap saja pintu untuk sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta juga
mencintai sang ayah pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah
dalam surat juga begitu milik Kartini. Ia akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di
Betawi, meski sebelumnya mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda atau masuk
sekolah kedokteran di Betawi.
Selain itu, ada tujuh mazhab pemikiran yang berkembang di Indonesia. Kategori-kategori mazhab
berdasarkan tiga hal, yaitu keaslian yang dikandung suatu mazhab tertentu (mazhab etnik), segi
pengaruh yang diterima oleh suatu mazhab filsafat tertentu (mazhab Tiongkok, mazhab India,
mazhab Islam, mazhab Kristiani, dan mazhab Barat), dan berdasarkan pada kronologi sejarah
(mazhab paska-Soeharto). Berikut ini adalah sketsa mazhab-mazhab pemikiran dalam Filsafat
Indonesia. Pertama, terdapat Mazhab Etnik. Mazhab ini mengambil filsafat dari etnis Indonesia
sebagai sumber inspirasinya. Asumsi utamanya adalah mitologi, legenda, cerita rakyat, cara suatu
kelompok etnis di rumah dan menyelenggarakan upacara-upacaranya, karya sastra, epik-epik yang
mereka tulis, semuanya melandasi bangunan filsafat tersebut. Filsafat ini mengajarkan setiap
anggota kelompok etnis tersebut tentang asal-mula lahirnya kelompok etnis itu ke dunia (bahasa
Jawa) dan tentang tujuan hidup yang akan dicapai kelompok etnis itu sehingga anggotanya tidak
akan hadir dalam hidup. Mazhab ini melestarikan filsafat-filsafat etnis Indonesia yang asli karena
filsafat-filsafat itu telah dianut erat oleh anggota etnis sebelum mereka berhubungan dengan tradisi-
tradisi filosofis asing yang datang kemudian. Kebanyakan tokoh mazhab berasumsi bahwa orang
Indonesia kontemporer berada pada posisi 'buta' terhadap nilai-nilai asli mereka. Jakob Sumardjo,
misalnya, berpandangan bahwa banyak orang Indonesia sekarang yang lupa nilai-nilai asli mereka
dan lupa masa lalu, lupa asal mula, mereka seperti hilang ingatan tentang sejarah nasional mereka
sendiri (Sumardjo 2003: 23, 25). Hasil, mereka terasingkan dan teralienasi dari budaya itu sendiri
(Sumardjo 2003:53). Menurut Jacob, gagalnya kebijakan pendidikan Indonesia disebabkan oleh
kebutaan terhadap budaya asli Indonesia (Sumardjo 2003:58). Misi penting dari mazhab Filsafat ini
menemukan menggali, mengingat, dan menghidupkan kembali nilai-nilai etnis yang asli karena nilai
merupakan 'ibu' (lokalitas adalah ibu), sedangkan manusia 'bapak' keberadaan (balita menemukan
bapak manusia) (Sumardjo 2003 :22). Beberapa pandangan filsosofis yang dianut mazhab ini, yaitu
adat , mitos asal-mula , pantun , p epatah , dan struktur sosial adat.

Filsafat mazhab tiongkok


Para Filsuf Etnik masih menganut filsafat hingga kedatangan migran-migran Tiongkok antara tahun
1122-222 SM yang membawa dan memperkenalkan Taoisme dan Konfusianisme (Larope 1986:4).
Dua Filsafat asing itu bersama filsafat-filsafat lokal saling bercampur dan berbaur sehingga filsafat-
filsafat itu tak dapat lagi dicerai-beraikan (SarDesai 1989:9-13). Salah satu dari sisa membaurnya
Filsafat-filsafat tadi, yang hingga kini masih dipraktikkan oleh semua orang Indonesia adalah ajaran
hsiao dari Konghucu. Ajaran tersebut menegaskan bahwa seseorang harus menghormati orang
tuanya melebihi apapun. Ia harus mengutamakan orang tuanya sebelum ia mengutamakan orang
lain. Mazhab Tiongkok tampak eklusif karena dikembangkan oleh sedikit anggota etnis Tiongkok di
Indonesia. Meskipun demikian, filsafat yang disumbangkan oleh mazhab ini bagi tradisi kefilsafatan
di Indonesia sangat penting. Sun Yat-senisme , Maoisme , dan Neo-maoisme merupakan filsafat-
filsafat penting yang menyebar-luas seantero Indonesia pada awal 1900-an, bersamaan dengan
pertumbuhan Partai Komunis Indonesia (PKI) (Suryadinata 1990:15). Filsuf-filsuf utama dari mazhab
ini, di antara yang lainnya, adalah Tjoe Bou San , Kwee Hing Tjiat , Liem Koen Hian , Kwee Kek Beng ,
dan Tan Ling Djie .

Mazhab India
Pembauran atau difusi Filsafat terus berlanjut bersamaan dengan kedatangan kaum Brahmana
Hindu dan Penganut Buddhisme dari India antara tahun 322 SM-700 M. Mereka memperkenalkan
kultur Hindu dan kultur Buddhis kepada penduduk asli, sementara penduduk asli meresponnya
dengan menyintesa dua filsafat India itu menjadi satu versi baru, yang terkenal dengan sebutan
Tantrayana . Ini jelas pada bangunan Candi Borobudur oleh Dinasti Sailendra pada tahun 800-850
M. (SarDesai, 1989:44-47). Rabindranath Tagore, seorang India yang mengunjungi Borobudur
pertama kali, mengakui candi itu sebagai candi yang tidak India karena relief yang dipahatkan
merepresentasikan pekerja lokal yang berbusana gaya Jawa asli. Ia juga mengakui bahwa tarian-
tarian asli Jawa yang terilhami dari epik-epik India tidak menyerupai tarian-tarian India walaupun
tarian-tarian dua negeri tersebut bersumber dari sumber yang sama. Hindu dan Buddhisme adalah
dua filsafat yang saling berlawanan di India, bersama-sama dengan Filsafat Jawa asli dapat
didamaikan di Indonesia oleh kejeniusan Sambhara Suryawarana , Mpu Prapanca , dan Mpu
Tantular .

Mazhab Islam
Pada abad ke-10 proses Indianisasi ditantang oleh kedatangan Sufisme Persia dan Sufisme mulai
mengakar dalam perbincangan kefilsafatan sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya.
Perkembangan Sufisme itu dipicu oleh berdirinya kerajaan -kerajaan dan kesultanan -kesultanan
Islam yang masif di Indonesia (Nasr 1991:262). Raja -raja dan sultan -sultan , seperti Sunan Giri ,
Sunan Gunungjati , Sunan Kudus , Sultan Trenggono , Pakubuwana II , Pakubuwana IV , Sultan
Ageng Tirtayasa , Sultan 'Alauddin Ri'ayat Syah , Engku Haji Muda Raja Abdullah Riau hingga Raja
Muhammad Yusuf adalah raja sufi. Mereka mempelajari Sufisme dari guru-guru Sufi terkemuka
(Perpustakaan Nasional 2001:12-39). Sufisme di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok,
yaitu Ghazalisme dan Ibn Arabisme . Ghazalisme utamanya terinspirasi oleh ajaran-ajaran Al-
Ghazali , sedangkan Ibn Arabisme dari doktrin-doktrin Ibn Arabi . Sufi-sufi dari Jalur Al-Ghazali
adalah Nuruddin Al-Raniri , Abdurrauf Al-Singkeli , Abd al-Shamad Al-Palimbangi , dan Syekh Yusuf
Makassar . Sementara itu yang dari jalur Ibnu Arabi adalah Hamzah Al-Fansuri , Al-Sumatrani ,
Syekh Siti Jenar , dan lain-lain (Nasr 1991:282-287). Wahhabisme Arab juga diadopsi oleh Raja
Pakubuwana IV dan Tuanku Imam Bonjol yang misinya melacak Sufisme dan dimulainya dengan
ajaran-ajaran Quranik (Hamka 1971:62-64). Di saat Modernisme Islamik yang memiliki program,
yaitu menyintesis ajaran-ajaran Islam dengan Filsafat Pencerahan Barat, dimulai oleh Muhammad
Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani di Mesir tahun 1800-an, maka muslim-muslim di Indonesia juga
mengadopsi dan mengadaptasinya. Ini tampak jelas dalam karya-karya yang dihasilkan oleh Syaikh
Ahmad Khatib , Syaikh Thaher Djalaluddin , Haji Abdul Karim Amrullah , Kyai Ahmad Dahlan ,
Mohammad Natsir , Oemar Said Tjokroaminoto , Haji Agus Salim , Haji Misbach , dan lain-lain (Noer
1996:37 ).

Mazhab Barat
Sejak pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menerapkan 'Politik Hati Nurani' (Politik Etis) pada
awal tahun 1900-an, lembaga-lembaga pendidikan bergaya Belanda menjamur dimana-mana dan
terbuka untuk anak-anak pribumi dari kelas-kelas feodal yang hendak bekerja di lembaga -lembaga
kolonial. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda itu mengajarkan Filsafat Barat sebagai mata
pelajarannya. Misalnya, Filsafat Pencerahan adalah Filsafat yang diajarkan secara terlambat di
Indonesia setelah lima abad kemunculannya di Eropa (Larope 1986:236-238). Banyak alumni sekolah
tersebut yang melanjutkan studi mereka di universitas-universitas Eropa. Mereka kemudian muncul
sebagai kelompok elit baru di Indonesia yang merupakan generasi pertama kaum intelektual bergaya
Eropa, yang kelak menganut Filsafat Barat untuk berkat filsafat etnik mereka yang asli. Filsafat Barat
mengilhami banyak lembaga sosio-politis Indonesia modern. Pemerintahan Republik Indonesia,
konstitusinya serta distribusi kekuasaan (distribusi kekuasaan), partai politik dan perencanaan
ekonomi nasional jangka-panjang, semuanya dilakukan atas model Barat. Bahkan, ideologi Pancasila
(Yang telah diciptakan oleh Soekarno atau yang kemudian digunakan oleh Soeharto ), terinspirasi
dari ideal-ideal Barat tentang humanisme , demokrasi sosial , dan sosialisme nasional. Nazi Jerman,
seperti yang nampak dalam bicara-pidato anggota Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 (Risalah Sidang 1995:10-79). Fakta ini menggiring pada kesimpulan
bahwa Indonesia Modern dibangun di atas cetak biru Barat. Sangat menarik untuk diamati bahwa
elit itu menganut Filsafat Barat sepenuh hati, mereka masih merasa perlu mengadaptasikan Filsafat
itu untuk kegunaan dan situasi Indonesia yang kontemporer dan kongkrit. Misalnya, Soekarno yang
mengadaptasi demokrasi Barat dengan situasi rakyat Indonesia yang masih berjiwa feodalistik
sehingga menciptakan apa yang kemudian disebut Demokrasi Terpimpin (Soekarno 1963:376). DN
Aidit dan Tan Malaka mengadaptasikan Marxisme Leninisme dengan situasi Indonesia (Aidit 1964:i-
iv; Tan Malaka 2000: 45-56) dan Sutan Syahrir yang mengadaptasikan Demokrasi Sosial dengan
konteks Indonesia (Rae 1993:46)

Bersama-sama dengan pencarian kapitalis Barat akan koloni-koloni di Timur, ajaran Kristen
mendatangi pedagang-pedagang Indonesia pada pertengahan abad ke-15 (Lubis 1990:78). Pertama-
tama yang datang adalah pedagang-pedagang Portugis, kapitalis-kapitalis Belanda yang berturut-
turut menyebarkan ajaran Katolik dan ajaran Calvin . Fransiskus Xaverius , pewarta Katolik pertama
dari Spanyol yang menumpang kapal Portugis , menerjemahkan Credo, Confession Generalis, Pater
Noster, Ave Maria, Salve Regina, dan Sepuluh Perintah Tuhan ke bahasa Melayu antara tahun 1546
– 1547, yang melaluinya ajaran Katolik dapat disebarluaskan kepada penduduk Hindia Belanda (Lubis
1990:85). Gereja-gereja Katolik pun didirikan dan Penganut Katolik Indonesia memiliki jumlah yang
banyak. Namun, tak lama kemudian para pendeta Katolik diusir dan umatnya dipaksa untuk pindah
ke Kalvinisme oleh Penganut Penganut Kalvin Belanda yang datang ke Indonesia sekitar tahun 1596 .
Gereja Reformasi Belanda (Nederlandse Hervormde Kerk) didirikan sebagai semacam itu. Jan
Pieterszoon Coen , salah seorang Gubernur Jenderal VOC tahun 1618 adalah Penganut Kalvinis yang
saleh. Ia mendudukkan semua pewarta Kalvinis (yang dalam bahasa Belanda disebut
Ziekentroosters) di bawah kendalinya (Lubis 1990:99). Sekolah-sekolah Katolik bergaya terbuka
Hispanik dan lembaga pendidikan Kalvinis bergaya Belanda untuk penduduk Hindia Belanda. TIDAK
Hanya diajarkan Teologi di dalamnya, tetapi also Filsafat Kristen (Christian Philosophy). Satu
sekolah lalu menjadi beribu-ribu jumlah. Hingga kini masih ada (dan terus ada) universitas-
universitas swasta Katolik dan Protestan yang mengajarkan Filsafat Kristen di dalamnya. Misioner-
misioner dan pewarta-pewarta Injil dari Barat yang telah bertitel Master dalam bidang filsafat dari
berbagai universitas datang untuk memberikan kuliah di universitas Kristen Indonesia (Hiorth
1987:4). Dari universitas-universitas tersebut keluarlah banyak lulusan yang menguasai Filsafat
Kristen, seperti Nico Syukur Dister , JB Banawiratma , Franz Magnis-Suseno , Robert J.
Hardawiryana , YB Mangunwijaya , TH. Sumartana , Martin Sinaga, dan lain-lain. Di Sumatera Utara,
Sekolah Katolik yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat adalah Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Adelbert Snijder adalah guru besar di sekolah
tersebut dan dikenal sebagai Metafisika.

Terakhir adalah mazhab pasca Soeharto. Mazhab ini terutama mengedepan untuk mengritik
kebijakan sosio politik Soeharto selama masa kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya
tumbang) pada tahun 1998. Perhatian utama mereka adalah Filsafat Politik . Misi utamanya adalah
mencari alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Mazhab inilah yang berani menantang
Soeharto setelah berhasil membisukan semua daya lewat cara kekerasan. Sebelum kemunculan
mazhab ini, telah ada beberapa orang yang mencoba melawan Soeharto di era 1970-an, tetapi
mereka dipukul dengan keras dalam insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai Peristiwa ITB
Bandung 1973 dan Peristiwa Malari 1974. Sejak praktik kekerasan itu, Filsafat hanya dapat
dipraktikkan dalam praksis dan inteleksi terpisah dari Filsafat. Praksis dilarang dan hanya penalaran
yang mungkin bisa bertahan. Dalam kacamata filsafat, era Soeharto dapat disebut sebagai era candu
filsafat. Hal tersebut disebabkan segala jenis dan segala mazhab filsafat dapat hidup, tetapi tidak
dapat dipraktikkan dalam kenyataan. Filsafat hanya menjadi latihan akademis dan ditundukkan.
Pancasila menjadi satu-satunya ideologi dan filsafat di era itu. Tentu, Pancasila yang menurut
kepentingan Soeharto, bukan Pancasila BPUPKI 1945 (Hidayat 2004:49-55). Dalam 'lingkaran setan'
rezim Soeharto muncullah pemberani-pemberani yang memutuskan mata rantai itu, dan mereka
disebut sebagai "Pasca Soeharto. Mislnya, Sri Bintang Pamungkas , Budiman Sudjatmiko, Muchtar
Pakpahan , Sri Edi Swasono , dan Pius Lustrilanang .

Anda mungkin juga menyukai