Anda di halaman 1dari 14

Filsafat Indonesia

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa


Indonesia.

Langsung ke: panduan arah, cari

Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di
wilayah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-
bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi
distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.

Daftar Isi
[Sembunyikan]
 1 Penjelasan Istilah Filsafat Indonesia
 2 Pelopor dan Pengembang Kajian Filsafat
Indonesia
 3 Mazhab dan Tokoh Filsafat Indonesia
o 3.1 1. Mazhab Etnik.
 3.1.1 Filsafat 'Asli' Indonesia
o 3.2 2. Mazhab Timur.
 3.2.1 Filsafat Tionghoa
 3.2.2 Filsafat India
 3.2.3 Filsafat Jepang
o 3.3 3. Mazhab Barat
 3.3.1 Kajian Filsafat Barat pra-
Soeharto
 3.3.2 Kajian Filsafat Barat era
Soeharto
 3.3.3 Adaptasionisme Barat
o 3.4 4. Mazhab Islam.
 3.4.1 Filsafat Islam Arab dan Persia
 3.4.2 Filsafat Islam Indonesia
o 3.5 5. Mazhab Kristen.
o 3.6 6. Mazhab Pasca-Soehartoisme.
 4 Pranala luar

 5 Lihat pula
[sunting]

Penjelasan Istilah Filsafat Indonesia


Pernyataan bahwa ‘Filsafat Indonesia’ adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang
yang menetap di wilayah Indonesia berimplikasi, bahwa semua orang yang berasal dari
kelompok etnis, kelompok ras, kelompok gender, atau kelompok religius yang berbeda,
asalkan semuanya menetap di Indonesia, maka semuanya 'filsuf Indonesia’.

Pernyataan bahwa ‘Filsafat Indonesia’ adalah filsafat yang menggunakan bahasa-bahasa


di Indonesia sebagai medium ekspresi filosofisnya berimplikasi, bahwa semua orang
yang menetap di Indonesia, asalkan menggunakan bahasa-bahasa yang hidup di
Indonesia sebagai mediumnya, maka semuanya adalah ‘filsuf Indonesia’. Disebut
‘bahasa-bahasa di Indonesia’, karena Indonesia memiliki 587 bahasa etnik disamping
‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa Indonesia.

Untuk sifat ketiga, bahwa ‘Filsafat Indonesia’ adalah filsafat yang sekurang-kurangnya
memiliki segi distingtif dari filsafat sejagat lainnya, harus diberi penjelasan tambahan.
Distinctiveness bukanlah suatu keharusan dalam ‘Filsafat Indonesia’, sebab, harus diakui,
bahwa segi distingtif dalam isi ‘Filsafat Indonesia’ amatlah sedikit daripada segi
adaptifnya. Lebih banyak borrowing nya daripada otentisitasnya. Lebih banyak segi
‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang asli dalam ‘Filsafat Indonesia’ hanya
Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yang pinjaman cukup banyak, meliputi pinjaman
dari ‘Filsafat Tiongkok’, ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Arab’, ‘Filsafat Persia’, hingga
‘Filsafat Barat’, walaupun pinjaman-pinjaman itu, pada saatnya, dipulangkannya lagi
setelah ia berhasil membangun suatu corak lain, apakah dalam bentuk sintesa dialektis,
sinkretisme, transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi dan objeksi.

[sunting]

Pelopor dan Pengembang Kajian Filsafat Indonesia

Buku M. Nasroen berjudul Falsafah Indonesia (1967), yang darinya kajian ini berasal-
mula.
Kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan untuk orang Indonesia sendiri.
Namun, walaupun belum terkenal secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia
sudah dikaji di negeri sendiri, oleh segelintir orang yang memelopori kajiannya, seperti
Soenoto, R. Pramono, M. Nasroen, S.A. Kodhi, dan Jakob Soemardjo. Sunoto dan R.
Pramono berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia
di UGM Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen adalah Guru Besar Filsafat di Universitas
Indonesia dan Jakob Sumardjo dari ITB Bandung. Semua upaya pelopor tadi diteruskan
oleh Ferry Hidayat, seorang dosen bahasa Inggris di UPN 'Veteran' Jakarta dan di LBPP-
LIA Ciputat, yang mengembangkan Filsafat Indonesia sebagai suatu center of discourse
yang baru di era 2005-an. Bukunya yang berjudul 'Pengantar menuju Filsafat Indonesia'
akan segera terbit tahun ini.

[sunting]

Mazhab dan Tokoh Filsafat Indonesia


‘Filsafat Indonesia’ dibagi ke dalam enam mazhab besar: Filsafat Etnik, Filsafat Timur,
Filsafat Barat, Filsafat Islam, Filsafat Kristen, dan Filsafat Pasca-Soeharto.

[sunting]

1. Mazhab Etnik.

‘Filsafat Etnik’ adalah filsafat orisinil dari Indonesia, yang diproduksi oleh local genius
primitif sebelum kedatangan pengaruh filsafat asing. Di era neolitikum, sekitar tahun
3500–2500 SM, penduduk Indonesia asli telah membentuk komunitas berupa desa-desa
kecil yang telah mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan,
pembuatan perahu, sistem pelayaran sederhana, dan seni bertenun. Mereka juga sudah
mulai berspekulasi mengenai segala yang mereka perhatikan dari alam, sehingga
merekapun sudah memproduksi filsafat, sekalipun dalam bentuk yang sangat sederhana.
Mitologi-mitologi filosofis yang diproduksi suku-suku etnis Indonesia kini sudah banyak
yang dibukukan, sehingga para peneliti Filsafat Indonesia kini dapat membacanya, baik
dalam Bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing. Misalnya, mitologi filosofis suku
Dayak-Benuaq telah dibukukan dan diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael
Hopes, Madras & Karaakng dengan judul Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung
Dayak (Jakarta: Puspa Swara & Rio Tinto Foundation, 1997).

[sunting]

Filsafat 'Asli' Indonesia


Buku P.J. Zoetmulder berjudul Manunggaling Kawula Gusti.

Kajian ‘Filsafat Etnik’ telah banyak dilakukan oleh filosof Indonesia. M. Nasroen adalah
orang pertama yang memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ pada dasawarsa 1960-an, lalu
Sunoto, yang melakukan kajian serius tentang Filsafat Etnik Jawa. R. Pramono mengkaji
Filsafat Etnik Jawa, Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam
karyanya Arkeologi Budaya Indonesia dan Mencari Sukma Indonesia, membahas Filsafat
Etnik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-
lain. Franz Magnis-Suseno juga mengkaji Filsafat Etnik Jawa, seperti karya-karyanya
yang berjudul Kita dan Wayang (Jakarta, 1984), Etika Jawa dalam Tantangan, dan Etika
Jawa: sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. P.J. Zoetmulder
mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari segi kesusastraannya dalam buku Kalangwan: Sastra
Jawa Kuno Selayang Pandang dan Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan
Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Nian S. Djoemena mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari
tradisi luriknya dalam buku Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes). Soewardi
Endraswara mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi peribahasanya dalam buku Mutiara
Wicara Jawa. Purwadi mengkaji Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar
dalam pewayangan Jawa dalam karyanya Semar: Jagad Mistik Jawa dan Woro
Aryandini mengkaji kearifan tokoh Bima dalam karyanya Citra Bima dalam Kebudayaan
Jawa. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang dipahami khas orang Jawa
dalam karyanya Filsafat Hidup Jawa, dan masih banyak lagi filosof Indonesia yang
mengkaji Filsafat Etnik, bahkan hingga detik ini.

[sunting]

2. Mazhab Timur.

Yang dimaksud dengan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yang dikembangkan oleh
orang-orang ‘Timur’, sebagai kebalikan dari orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan
oleh bangsa Barat untuk bangsa Timur. Pada kenyataannya, tidak semua bangsa Timur
filsafatnya dikenal baik oleh bangsa Barat. Yang tradisi filsafatnya dikenal baik hanya
sebagian saja, yakni, ‘Filsafat Tiongkok’, ‘Filsafat Jepang’, dan ‘Filsafat India’.
[sunting]

Filsafat Tionghoa

Kong Hu Cu

‘Filsafat Tionghoa’ baru-baru ini saja dipelajari dengan serius oleh filsuf Indonesia,
walaupun nyatanya orang Tionghoa sudah menetap di Indonesia lebih dari 30 abad yang
lalu! ‘Filsafat Tionghoa Klasik’, seperti Filsafat Lao Tzu (605-531 SM), Konfusius (551-
479 SM), dan Chuang Tzu (w.360 SM), kini dengan penuh antusias dikaji-ulang dan
ditafsir-ulang. Indra Widjaja mengkaji Filsafat Chuang Tzu dalam karyanya Filsafat
Perang Sun Tzu, sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang Filsafat Lao Tzu untuk
dipahami secara modern dalam karyanya Mengikuti Irama Kehidupan: Tao Teh Ching
bagi Orang Modern. Soejono Soemargono membuat ikhtisar sejarah Filsafat Tionghoa
dalam karyanya yang pionir Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok.

‘Filsafat Tiongkok Modern’ sudah mulai dikaji oleh filsuf Indonesia sejak abad ke-19.
Sun Yat-Senisme telah dikaji oleh Kwee Kek Beng (1900-1974) lewat terjemahan karya
Sun Yat Sen Djalan Ke Kemerdekaan dari bahasa Tionghoa ke bahasa Melayu, Filsafat
Anti-Konfusianisme dikaji oleh Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-
Leninisme dan Maoisme dikaji oleh Oey Gee Hoat dan Siauw Giok Tjhan, Tan Ling
Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong, Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll.
Namun, karya Leo Suryadinata yang berjudul Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou
San sampai Yap Thiam Hien (Jakarta: LP3ES, 1990) dan Politik Tionghoa Peranakan di
Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat dengan jenial ikhtisar sejarah filsafat politik
Tiongkok Modern yang dipahami filsuf Indonesia dari etnik Tionghoa.
[sunting]

Filsafat India

‘Filsafat India’ juga masih sedikit yang mengkaji. Dari survei, hanya ada satu karya saja
yang ditemukan dan mengkaji ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar
sejarah, seperti karya Harun Hadiwijono yang berjudul Sari Filsafat India. Sedangkan
yang mengkaji ‘Filsafat India Modern’ sudah cukup banyak, di antaranya ialah R.
Wahana Wegig yang mengkaji Filsafat Etika dari Mahatma Gandhi dalam karyanya
Dimensi Etis Ajaran Gandhi.

Yang cukup menarik dipelajari ialah karya orisinal hasil dari pembauran antara Filsafat
Etnik Indonesia dengan Filsafat India atau hasil dari paduan antara Buddhisme dan
Hinduisme, yang dinamakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini adalah hasil
eksperimen filosofis dari beberapa filsuf kreatif dari Indonesia, yang menghasilkan corak
filosofis yang menarik dan orisinil. Sambhara Suryawarana, seorang penulis kitab suci
Buddhisme yang hidup di kerajaan Medang Hindu di sekitar tahun 929-947, memuji-muji
raja Sindok yang Hindu di dalam kitab suci Buddha yang dikarangnya, Sang Hyang
Kamahayanikan. Mpu Prapañca (1335-1380) menulis buku Negarakertagama dan
Kakawin Ramayana. Kakawin Ramayana ialah terjemahan epik Hindu-India yang
disesuaikan dengan alam pikiran Indonesia primitif, sementara Negarakertagama ialah
karya puisi epik berbahasa Jawa Kuna yang menjelaskan filsafat yang dianut Kertanagara
(1268-1292), seorang raja terbesar dari Dinasti Singhasari, yang memadukan filsafat
Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Sedangkan Mpu Tantular, seorang pengarang yang
hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis buku Kakawin
Sutasoma, yang memadukan filsafat Buddhisme dengan Siwaisme-Hindu.

Raja Dharmawangsa (991-1006) pernah memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke


bahasa Jawa Kuno—tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa
ke dalam wiracarita Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya (1130-1160), yang
memerintahkan penyaduran Kakawin Bharatayuddha versi India menjadi versi Jawa,
untuk menggambarkan perang saudara antara Jayabaya (sebagai Pandawa) dengan
sepupunya Jenggala (sebagai Kurawa). Bahkan, raja Indra (782-812) dari Sailendra
membangun Candi Borobudur yang bertingkat 9, untuk memuja arwah 9 keluarga
moyangnya dalam perjalanan mereka menuju Nirvana.

[sunting]

Filsafat Jepang

‘Filsafat Jepang’ masih jarang dikaji. Hanya dua karya ditemukan yang ditulis filsuf
Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yang berjudul
Busido, dan kedua, karya Irmansyah Effendi yang berjudul Rei Ki: Teknik Efektif untuk
Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika.

[sunting]
3. Mazhab Barat

Plato, salah seorang filsuf Barat terkenal.

‘Filsafat Barat’ ialah tradisi filsafat yang dikembangkan bangsa Barat sejak masa klasik
(abad ke-5 SM-5 M), Abad Pertengahan (abad ke-6 sampai abad ke-14), dan masa
modern (abad ke-15 M-sekarang), yang diproduksi di negara-negara Barat seperti
Yunani, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, Amerika, dan lain-lain. Sekarang kajian Filsafat
Barat dipecah-pecah menjadi banyak cabang, seperti filsafat analitik, filsafat Eropa,
filsafat Jerman, dan lain-lain.

‘Filsafat Barat’ yang cabang-cabangnya amat banyak itu telah banyak dikaji oleh filsuf
Indonesia, bahkan bisa dikatakan sebagai filsafat yang paling banyak dikaji dan yang
paling dikuasai oleh mereka. Sejak abad ke-19, saat kolonialis Belanda menerapkan
‘Politik Etis’ dengan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat dan gereja-gereja Protestan
yang mengajarkan peradaban Barat Modern di tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat
Barat’ mulai dipelajari pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun,
‘Filsafat Barat’ sering dijadikan tandingan terhadap ‘Filsafat Etnik’ oleh para filsuf
Indonesia yang telah terpengaruh Budaya Barat.

‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat abad ke-20, telah dikaji oleh K.
Bertens dalam karyanya Filsafat Barat Abad XX dan Filsafat Barat Abad XX: Inggris-
Jerman. ‘Filsafat Barat Klasik`, seperti Filsafat Yunani-Kuno sejak Thales hingga
Plotinus, telah dikaji oleh Mohammad Hatta (salah satu pendiri Republik Indonesia)
dalam bukunya Alam Pikiran Yunani. ‘Filsafat Skolastik’, sejak Santo Anselmus hingga
Santo Thomas Aquinas, telah dikaji oleh A. Hanafi dalam bukunya Filsafat Skolastik.

[sunting]
Kajian Filsafat Barat pra-Soeharto

‘Filsafat Barat Modern’ adalah cabang yang paling banyak dikaji, karena hampir semua
lembaga sosial-politik Indonesia banyak yang terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan
Republik, konstitusi negara modern, lembaga perwakilan rakyat, distribusi kekuasaan
yang sejalan dengan Trias Politica, partai politik, dan ideologi partai tersebut sungguh-
sungguh cerminan pengaruh alam pikiran Barat.

Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog:
Materialisme, Dialektika, Logika dan D.N. Aidit dalam bukunya Tentang Marxisme,
Problems of The Indonesian Revolution, dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!. Semaoen
mengkaji organisasi buruh komunis dalam bukunya Toentoenan Kaoem Boeroeh. Filsafat
Sosialisme-Demokrat pernah dikaji oleh Sutan Syahrir dalam tulisannya Sosialisme di
Eropah Barat dan Masa Depan Sosialisme Kerakyatan. Filsafat Politik Republik pernah
dikaji oleh Tan Malaka dalam buku Naar de ‘Republiek Indonesia’ dan perkembangan
Kapitalisme di Indonesia juga dibahas dalam bukunya Massa Actie. Soekarno, ‘si
penyambung lidah rakyat’, pernah membahas Filsafat Nasionalisme dalam bukunya
Mencapai Indonesia Merdeka. Filsafat Fasisme Jerman pernah mencuat dalam pidato
Soepomo di Rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan dan Filsafat Modernisasi mengisi
hampir seluruh wacana sosial-politik di era Orde Baru Soeharto.

[sunting]

Kajian Filsafat Barat era Soeharto

Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat sebagai candu’, banyak sekali cabang filsafat Barat
yang dikaji oleh filsuf Indonesia. Filsafat Estetika dikaji oleh Jakob Soemardjo dalam
bukunya Filsafat Seni. Juga oleh Wajid Anwar L. dalam kedua bukunya Filsafat Estetika
dan Filsafat Estetika (Sebuah Pengantar). Filsafat Etika dikaji oleh K. Bertens dalam
beberapa karyanya seperti Keprihatinan Moral, Telaah atas Masalah Etika, Perspektif
Etika, Kajian atas Masalah-Masalah Aktual, dan Aborsi sebagai Masalah Etika. Juga
dikaji oleh W. Poespoprodjo dalam bukunya Filsafat Moral, dan I.R. Poedjawijatna
dalam bukunya Etika Filsafat Tingkah Laku. Rosady Ruslan mengkaji Filsafat Etika yang
diterapkan pada bidang Kehumasan dalam karyanya Etika Kehumasan, sedangkan M.
Dawam Rahardjo mengkaji Filsafat Etika yang diterapkan dalam bidang Ekonomi dan
Manajemen dalam bukunya Etika Ekonomi dan Manajemen.

Filsafat Epistemologi Barat dikaji SJ. Sudarminta dalam bukunya Epistemologi Dasar,
Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan dan M. Ghozi Badrie
dalam karyanya Filsafat Umum: Aspek Epistemologi. Sedangkan Widoyo Alfandi
mengkaji Filsafat Epistemologi yang diterapkan dalam bidang Geografi dalam karyanya
Epistemologi Geografi. Filsafat Logika dikaji oleh I.R. Poedjawijatna dalam karyanya
Logika: Filsafat Berpikir dan Burhanuddin Salam dalam bukunya Logika Formal.
Filsafat Kosmologi dikaji oleh Moertono dalam karyanya Filsafat Kosmologi/Filsafat
Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara Manusiawi
Filsafat.

Filsafat Semiotika dalam perspektif Roland Barthes dikaji oleh Kurniawan dalam
bukunya Semiologi Roland Barthes, sedangkan Filsafat Hukum dikaji oleh Soetikno
dalam bukunya Filsafat Hukum, Suhadi dalam bukunya Filsafat Hukum, Lili Rasjidi
dalam kedua karyanya Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu? dan Filsafat Hukum Mazhab
dan Refleksinya. Juga oleh Moertono dalam bukunya Filsafat Hukum: Metodik
Penelitian Ilmu Desisi. Filsafat Politik dikaji oleh J.H. Rapar dalam beberapa karyanya
seperti Filsafat Pemikiran Politik, Filsafat Politik Aristoteles, Filsafat Politik Agustinus,
Filsafat Politik Machiavelli, dan Filsafat Politik Plato. Franz Magnis-Suseno juga punya
concern dalam Filsafat Politik, sebagaimana terlihat dalam bukunya Filsafat Kebudayaan
Politik.

Filsafat Sejarah dikaji oleh beberapa filsuf, seperti H.R.E Tamburaka dalam bukunya
Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Kunto Wijoyo dalam bukunya
Metodologi Sejarah, dan Purwo Husodo dalam karyanya Filsafat Sejarah Oswald
Spengler. Filsafat Agama dikaji oleh Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya Kosmos:
Tanda Keagungan Allah, Refleksi menurut Louis Bouyer, Tom Jacobs, SJ dalam bukunya
Paham Allah, dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, St. Darmawijaya dalam
bukunya Perempuan dalam Perjanjian Lama, Hamzah Ya’qub dalam karyanya Filsafat
Agama, Hamka dalam bukunya Filsafat Ketuhanan, H.M. Rasjidi dalam karya
terjemahannya Filsafat Agama, dan Louis Leahy dalam bukunya Filsafat Ketuhanan
Kontemporer.

Filsafat Ilmu dikaji oleh Djohansjah dalam bukunya Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu,
Jujun Suriasumantri dalam dua buku masterpiece-nya Ilmu dalam Perspektif dan Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Burhanuddin Salam dalam dua karyanya Logika
Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Hartono
Kasmadi dalam bukunya Filsafat Ilmu, M. Solly Lubis dalam bukunya Filsafat Ilmu dan
Penelitian, Hidanul I Harun dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Chairul
Arifin dalam karyanya Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar. Filsafat Pendidikan
dikaji oleh Redja Mudyahardjo dalam karyanya Filsafat Ilmu Pendidikan, Imam
Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan, dan Paul Suparno dalam bukunya Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan.

Filsafat Manusia dikaji oleh Zainal Abidin dalam bukunya Filsafat Manusia,
Burhanuddin Salam dalam bukunya Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Kasmiran
Wuryo Sanadji dalam bukunya Filsafat Manusia, N. Drijarkara dalam karyanya Filsafat
Manusia, dan Moertono dalam karyanya Filsafat Manusia/Antropologi Kefilsafatan:
Potensi Penanganan Masalah. Filsafat Kebebasan dikaji oleh satu-satunya filsuf Nico
Syukur Dister dalam karyanya Filsafat Kebebasan. Sedangkan Filsafat Analitik dikaji
oleh dua orang filsuf, yakni Rizal Mustansyir dalam karyanya Filsafat Analitik: Sejarah,
Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya dan Kaelan dalam karyanya Filsafat
Analitis menurut Ludwig Wittgenstein. Filsafat Sastra dan Budaya juga dikaji satu-
satunya oleh F.X. Mudji Sutrisno dalam karyanya Filsafat Sastra dan Budaya. Juga
Filsafat Matematika yang cuma dikaji oleh The Liang Gie dalam karyanya Filsafat
Matematika. Filsafat Ekonomi juga dikaji satu-satunya oleh Save M. Dagun dalam
karyanya Pengantar Filsafat Ekonomi, sedangkan Filsafat Desain dan Supervisi dikaji
oleh Ir. Hamid Shahab dalam bukunya Filosofi Desain & Supervisi. Demikian pula
Filsafat Administrasi yang dikaji hanya oleh Sondang P. Siagian dalam buku Filsafat
Administrasi.

Filsafat Barat Paska-modern juga sempat mampir di Indonesia, yang dikaji oleh Budi
Hardiman F. dalam karyanya Melampaui Positivisme dan Modernitas, Onno W. Purbo
dalam karyanya Filsafat Naif Dunia Cyber, dan Ridwan Makassary dalam karyanya
Kematian Manusia Modern.

[sunting]

Adaptasionisme Barat

Yang cukup menarik untuk dibahas disini ialah Filsafat Barat yang diadaptasikan dengan
situasi kongkrit Indonesia, yang dinamakan ‘Filsafat Barat-Indonesia’ atau
‘Adaptasionisme Barat’. Cabang filsafat ini merupakan genre filosofis yang corak
Baratnya telah sejauh mungkin dirubah, untuk disesuaikan dengan situasi historis
kongkrit di Indonesia. Tokoh-tokoh dari cabang filsafat ini antara lain ialah Tan Malaka,
Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris
Budiman, dan S.C. Utami Munandar. Tan Malaka mengkaji ‘teori gerilya’ dari Filsafat
Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek
(Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mengkaji komunitas Proletar dari Filsafat
Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat
dalam tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh Penerbit Grasindo
dengan judul Bung Karno tentang Marhaen. Adaptasionisme juga dilakukan Moh. Hatta,
ketika ia berbicara tentang demokrasi Barat modern untuk diterapkan dalam situasi
kongkrit Indonesia dalam bukunya Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran dan
dalam kumpulan tulisannya yang diterbitkan Tim LP3ES dengan judul Karya Lengkap
Bung Hatta. Juga pengkajian demokrasi Barat yang diterapkan Sjahrir dalam situasi
kongkrit Indonesia dalam karyanya Pemikiran Politik Sjahrir. Filsafat Feminisme yang
diterapkan dalam mengkaji kaum wanita Indonesia dilakukan oleh Soekarno dalam
bukunya Sarinah: Keajaiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, Kris
Budiman dalam bukunya Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender, S.C. Utami Munandar
dalam bukunya Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia dan Toety Heraty dalam
bukunya Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. M. Dawam Rahardjo
mengkaji ‘Teori Ketergantungan Dunia Ketiga’ untuk diterapkan dalam mengkaji
Ekonomi Indonesia dalam bukunya Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan
Kesempatan Kerja. Sedangkan Sri-Edi Swasono mengkaji pemikiran adaptasionisme
Hatta dalam bukunya Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasi vs
Konsentrasi Ekonomi dan Satu Abad Bung Hatta.
[sunting]

4. Mazhab Islam.

‘Filsafat Islam’ adalah filsafat yang lahir di wilayah kuasa Islam dan diproduksi oleh
komunitas religius Islam yang menetap di wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’ dan
‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat Islam’ juga merupakan salah satu cabang yang sering dikaji
dan yang paling dikuasai oleh filsuf Indonesia, apalagi saat ini komunitas Islam di
Indonesia menempati posisi sebagai mayoritas. ‘Filsafat Islam’ kini dapat dipecah ke
dalam banyak cabang, seperti Filsafat Sufisme, Filsafat Pendidikan, Filsafat Kebudayaan,
Filsafat Hukum, Filsafat Politik, Filsafat Epistemologi, dan Filsafat Pembebasan
(Liberasionisme). Pembagian Filsafat Islam dalam kategori regional juga cukup menarik,
seperti ‘Filsafat Islam Arab’ dan ‘Filsafat Islam Persia’, karena kedua cabang itu,
walaupun sama-sama bersifat ‘Islam’ tapi keduanya memiliki corak yang berbeda.
Bahkan, kini juga dapat dibangun ‘Filsafat Islam Indonesia’, karena problem filosofis
yang dihadapi dalam situasi historis kongkrit oleh filsuf Islam di Indonesia berbeda
dengan yang dihadapi oleh filsuf Islam di Arab atau di Persia.

Filsafat Sufisme dikaji oleh Alwi Shihab dalam karyanya Islam Sufistik, K. Permadi
dalam bukunya Pengantar Ilmu Tasawwuf, M. Solichin dalam karyanya Kamus Tasawuf,
Sukardi Kd. dalam bukunya Salat dalam Perspektif Sufi, Meison Amir Siregar dalam
karyanya Rumi: Cinta dan Tasawuf dan oleh Asep Salahuddin dalam karyanya Ziarah
Sufistik.

Filsafat Pendidikan Islam dikaji oleh Hamdani Ihsan dalam karyanya Filsafat Pendidikan
Islam, Abdurrahman S. Abdullah dalam bukunya Teori Pendidikan menurut Al-Quran,
H.M. Arifin dalam Filsafat Pendidikan Islam, Zuhairini dalam Filsafat Pendidikan Islam,
Jalaluddin & Usman Said dalam Filsafat Pendidikan Islam, dan oleh Imam Barnadib
dalam karyanya Filsafat Pendidikan Islam. Sedangkan Filsafat Kebudayaan Islam dikaji
oleh satu-satunya pengkaji, yakni, Musa Asya’arie dalam bukunya Filsafat Islam:
Tentang Kebudayaan.

Filsafat Hukum Islam dikaji oleh Zaini Dahlan dalam karyanya Filsafat Hukum Islam,
Ishak Farid dalam Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
dalam Falsafah Hukum Islam, dan oleh Ismail Muhammad Syah dalam karyanya Filsafat
Hukum Islam. Sedangkan Filsafat Politik Islam dikaji oleh A. Munawwir Sadzali dalam
karyanya yang monumental Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran dan
Kamaruzzaman dalam buku Relasi Islam dan Negara.

Teori pengetahuan dari mazhab Islam dikaji oleh Imam Syafi’i dalam karyanya Konsep
Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran dan oleh Mohammad Miska Amien dalam bukunya
Epistemologi Islam. Sedangkan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme) dikaji oleh Muh.
Hanif Dhakiri dalam dua bukunya Islam dan Pembebasan dan Paulo Freire, Islam dan
Pembebasan. Juga oleh Fachrizal A. Halim dalam karyanya Beragama dalam Belenggu
Kapitalisme.
Karya-karya pengantar Filsafat Islam juga banyak ditulis oleh filsuf Islam Indonesia
seperti oleh Abdul Aziz Dahlan dengan judul Pemikiran Falsafi dalam Islam, Soedarsono
dalam karyanya Filsafat Islam, Oemar Amin Hoesin dalam dua bukunya yang amat
klasik Filsafat Islam dan Filsafat Islam: Sedjarah dan Perkembangannya dalam Dunia
Internasional, H. Musa Asya’arie dalam karyanya Filsafat Islam: Kajian Ontologis,
Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, dan oleh J.W.M. Bakker dalam karyanya
yang klasik Pengantar Filsafat Islam.

[sunting]

Filsafat Islam Arab dan Persia

Filsafat Islam Regional seperti ‘Filsafat Arab Klasik’, misalnya, dikaji oleh Harun
Nasution dalam karyanya Teologi Islam, Hasan Asari dalam bukunya Nukilan Pemikiran
Islam Klasik, dan oleh Ilhamuddin dalam buku Pemikiran Kalam Baqillani. ‘Filsafat
Arab Modern’ dikaji, umpamanya, oleh H.A. Mukti Ali dalam bukunya Alam Pikiran
Islam Modern di Timur Tengah, A. Munir dalam bukunya Aliran Modern dalam Islam,
H.A. Mukti Ali dalam buku Islam dan Sekularisme di Turki Modern dan oleh Harun
Nasution dalam karyanya Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. ‘Filsafat
Islam Persia’ juga banyak yang mengkaji, terutama setelah Syi’isme disebarluas oleh
cendekiawan Syi’ah Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat dan Haidar Bagir. Amroeni
Drajat mengkaji Filsafat Yahya Al-Suhrawardi dalam karyanya Filsafat Illuminasi:
Sebuah Kajian terhadap Konsep ‘Cahaya’ Suhrawardi.

[sunting]

Filsafat Islam Indonesia

Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, seperti ‘Filsafat Islam Indonesia’, sudah banyak
yang membahas, terutama mengenai mazhab-mazhab seperti ‘Tradisionalisme’,
‘Modernisme’, ‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’,
dan ‘Perenialisme’, sehingga tak perlu dibahas lagi di sini. Hanya saja, ada
kecenderungan baru saat ini yang dinamakan ‘sesatisme', yang mulai menyuarakan
pandangan-pandangan mereka dalam buku-buku tebal yang dipublikasikan secara luas.
Walaupun belum layak dianggap sebagai suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai
diterima luas oleh masyarakat Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka pada
terjemahan Al-Quran berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka
sendiri atas ayat Al-Quran—ini keunikan tersendiri dari mereka, yang sekaligus juga
merupakan bukti ketololan mereka akan tata-bahasa Arab—cukup membuktikan bahwa
mereka memiliki sandaran filosofis yang jelas. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran,
tapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan terjemah atau ‘tafsir bebas’ adalah sejenis
filsafat. Hartono Ahmad Jaiz dapat dimasukkan dalam mazhab ini. Dalam bukunya
Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jaiz mengritik sebagai ‘sesat’ beberapa mazhab
‘Filsafat Islam’ yang pernah ada sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab ‘Liberalisme’,
‘Modernisme’ dan ‘Neo-modernisme’. Bukunya yang lain Ada Pemurtadan di IAIN,
mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yang bercorak liberal, modern, dan neo-modern.

[sunting]

5. Mazhab Kristen.

Seperti Filsafat Islam, Filsafat Kristen (Christian Philosophy) adalah filsafat yang lahir di
wilayah kuasa Kristen dan diproduksi oleh komunitas religius Kristen yang menetap di
wilayah itu. Selain Filsafat Barat, Filsafat Kristen juga merupakan bidang yang amat
dikuasai oleh filsuf-filsuf Kristen Indonesia. Filsafat Kristen terbagi dalam beberapa
cabang: ‘Filsafat Kristen Awal’, ‘Filsafat Kristen Helenistik’, ‘Filsafat Kristen
Pertengahan’ (yang disebut pula dengan sebutan ‘Filsafat Skolastik’), ‘Filsafat Kristen
Renaisans dan Reformasi’, dan ‘Filsafat Kristen Modern dan Kontemporer’. Di samping
pembagian itu, ‘Filsafat Kristen’ pun dapat dikaji secara regional, seperti ‘Filsafat Kristen
Jerman’, ‘Filsafat Kristen Amerika’, ‘Filsafat Kristen Amerika Latin’, ‘Filsafat Kristen
Filipina’, bahkan ‘Filsafat Kristen Indonesia’, karena situasi kongkrit yang harus
diresponi umat Kristen di negara-negara itu tidak mesti sama.

‘Filsafat Kristen Awal’, dikaji oleh Nico Syukur Dister dalam karyanya Filsafat Agama
Kristiani: Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus.
‘Filsafat Skolastik’, sejak Santo Anselmus hingga Santo Thomas Aquinas, telah dikaji
oleh A. Hanafi dalam bukunya Filsafat Skolastik. ‘Filsafat Kristen Modern dan
Kontemporer’, misalnya, dikaji oleh Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya Kosmos:
Tanda Keagungan Allah, Refleksi menurut Louis Bouyer.

Yang tak kalah menariknya ialah ‘Filsafat Kristen Indonesia’, yakni sistem filsafat yang
diadaptasikan dengan situasi riel yang dialami filsuf Kristen di Indonesia. ‘Filsafat
Kristen Indonesia’ dapat dibagi dalam 4 cabang seperti Transformasionisme,
Pribumisme, Liberasionisme, dan Feminisme. ‘Transformasionisme’ dikaji oleh J.B.
Banawiratma dalam karyanya 10 Agenda Pastoral Transformatif, HAM, dan Lingkungan
Hidup. Sedangkan ‘Pribumisme’ dikaji oleh Robert J. Hardawiryana dalam bukunya
Cara Baru Menggereja di Indonesia: Umat Kristen Mempribumi. ‘Liberasionisme’
cukup banyak yang mengkaji sejak era Soeharto, seperti yang dilakukan oleh Y.B.
Mangunwijaya, Franz Magnis-Suseno, Wahono Nitiprawiro, J.B. Banawiratma, A.
Suryawasita, I. Suharyo, C. Putranta, R. Hardawiryana, A.L. Purwahadiwardaya, Th.
Sumartana, Greg Soetomo, dan Budi Purnomo. Sedangkan ‘Feminisme’ dikaji secara
Kristiani oleh Smita Notosusanto, seperti kajiannya dalam buku Perempuan dan
Pemberdayaan dan St. Darmawijaya dalam bukunya Perempuan dalam Perjanjian
Lama.

[sunting]
6. Mazhab Pasca-Soehartoisme.

‘Filsafat Pasca-Soehartoisme’ berarti filsafat yang lahir untuk mengritik paham dan
praxis Soehartoisme—modernisasi yang dianut Soeharto ‘si Bapak Pembangunan’ itu—
dan hendak menghapus segala residu-residunya dengan cara menggantinya dengan
paham alternatif. Kritik terhadap Soehartoisme sudah mulai merebak sejak dasawarsa
1970-an dari kampus ITB Bandung (1973) dan Peristiwa Malari di Jakarta (1974), tapi
semua kritikan itu tidak didengar. Sejak dasawarsa 1990-an menjelang lengser Soeharto,
kembali kritikan dilancarkan oleh beberapa filsuf baru. Merekalah cikal-bakal tokoh
filsafat yang kemudian dinamakan filsafat pasca-Soeharto. Yang termasuk pelopor
filsafat ini ialah Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-
Edi Swasono, dan Pius Lustrilanang. Sri-Bintang Pamungkas mengritik Soehartoisme
dalam karyanya Sri Bintang: ‘Saya Musuh Politik Soeharto’, Dari Orde Baru ke
Indonesian Baru Lewat Reformasi Total, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru, dan Dibalik
Jeruji: Menggugat Dakwaan Subversif. Sedangkan Budiman Sudjatmiko mengritik
Soehartoisme lewat pidato resmi partainya PRD. Muchtar Pakpahan mengritik
Soehartoisme lewat bukunya Menarik Pelajaran dari Kedung Ombo (1990), Menuju
Perubahan Sistem Politik (1994), DPR RI Semasa Orde Baru (1994), dan Rakyat
Menggugat (1996). Filsafat pasca-Soehartoisme yang dianut Pius Lustrilanang dikaji oleh
Sihol Siagian dalam karyanya Menolak Bungkam: Pius Lustrilanang.

Setelah Soeharto lengser, rupanya Soehartoisme tidak bersama-sama tumbang.


Soehartoisme masih bertahan, beradaptasi dengan situasi Indonesia baru, bahkan hingga
saat ini. Soehartoisme tetap bertahan; yang terjadi hanyalah perbaikan-perbaikan tambal-
sulam yang kerap disebut ‘Reformasi’, yang dilakukan eksponen-eksponen Soehartois
yang masih selamat dari kritik rakyat. Hal itulah yang menggelisahkan Sri-Edi Swasono,
kakak kandung dari Sri-Bintang dan menantu Mohammad Hatta 'si pendiri Republik',
sehingga ia khawatir bahwa yang terjadi malah deformasi (pembekuan), bukannya
perubahan keadaan umum Indonesia yang signifikan. Kekhawatiran itu diungkap dalam
karyanya Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat dan Dari Lengser ke Lengser.

Anda mungkin juga menyukai