PERGULATAN memosisikan Tuhan dalam kehidupan manusia berlangsung dengan keras di dunia Barat. Sejak mitos-mitos disingkirkan rasio ribuan tahun yang lalu di Yunani, manusia menjadi sentrum alam semesta. Saat itulah Tuhan menjadi dilema. Kerja rasio inilah, kita tahu, yang melandasi seluruh pencapaian pengetahuan yang mulanya bernaung dalam payung filsafat. Dalam tradisi filsafat kita menemukan "pembunuh" Tuhan yang paling garang pada diri eksistensialis Jerman, Friederich Nietszche. Sedangkan Karl Marx dan Sigmund Freud menjadi penyebar ateisme terdepan di kalangan ilmuwan sosial dengan menyerukan agama sebagai candu masyarakat. Dalam perkembangan sains modern, ada masanya ketika masyarakat Barat meyakini sains sebagai jalan keselamatan baru menggantikan agama. Sains diyakini dapat menyelesaikan semua persoalan dan memberi makna serta arah dalam hidup. Bahkan muncul keyakinan bahwa dalam masa yang akan datang para ahli fisika teoretis akan berhasil menciptakan ToE (Theory of Everything), dan segala sesuatu akan segera menjadi terang seluruhnya. Dalam terang sains ini, keyakinan dan praktik agama menjadi tak lebih dari sekadar hobi. Suatu bentuk pengisian waktu luang yang bersifat pilihan dan remeh, yang hanya dilakukan mereka yang memiliki kebutuhan psikologis untuk berakar dalam tradisi masa lalu. Tapi tak ada yang melebihi tragika Galileo dalam menggambarkan pertarungan sains dan agama ini. Pada abad ke-16 M, Galileo sebagai lambang kebenaran sains dihadapkan ke Dewan Inkuisisi Gereja Roma karena dituduh menodai iman. Ratusan tahun kemudian, pembelaan Galileo terhadap sistem Kopernikan daripada sistem Ptolemean yang menjadi pandangan Gereja terbukti benar. Saat itulah sains beranjak dominan dan mulai menyingkirkan agama. Dalam perkembangan sains mutakhir, gagasan Tuhan mulai kembali mendapat tempat. Berbagai perkembangan teoretis baru dalam astrofisika, fisika kuantum, biologi molekuler, rekayasa genetika, sampai neurosains memiliki implikasi teologis yang semakin positif. Kecenderungan sains yang memberi peluang dikembalikannya Tuhan dalam singgasana-Nya ini disambut gembira oleh para teolog yang progresif di kalangan Kristen. Dari para teolog progresif inilah lahir sebuah teologi baru yang disebut teologi proses. Pandangan-pandangan utama dalam teologi proses terutama diformulasikan oleh Charles Hartshorne sebagai hasil pengaruh dari filsafat proses Alfred Whitehead. Ian Barbour, guru besar fisika dan teologi pada Carleton College Amerika, adalah penyeru terdepan integrasi sains dan agama berdasarkan teologi proses ini. Dalam buku Menemukan Tuhan ini, Barbour menguraikan dengan gamblang hasil-hasil sains mutakhir yang dapat ditafsirkan sebagai dukungan terhadap adanya Tuhan. Dalam teropong teologi proses, ia menafsirkan hasil-hasil pencapaian sains mutakhir itu sebagai jembatan untuk mengintegrasikan sains dan agama. Seperti kesimpulan yang dapat ditarik dari perkembangan terbaru dalam sains, teologi proses memandang dunia sebagai ciptaan, namun bukan oleh Tuhan monoteis dengan kekuasaan mutlak seperti dalam tradisi agama Ibrahim. Gambaran Tuhan menurut teologi proses dijelaskan dengan baik oleh salah satu tokohnya yang terkenal, David Ray Griffin. Dalam God and Religion in the Postmodern World (1989), ia menggambarkan Tuhan dengan kekuasaan terbatas yang tidak menciptakan dari ketiadaan absolut (creatio ex nihilo), tetapi hanya menertibkan tatanan peristiwa-peristiwa bersifat energi yang kacau. Menurutnya, Tuhan tidak mengendalikan segalanya juga tidak menyela atau mengintervensi proses alam secara semena-mena. Tuhan tidak menciptakan sendiri, tetapi memberi ilham pada makhluknya untuk bertindak secara otonom dengan menanamkan energi kreatif dalam diri mereka. Karena itu, kejahatan manusia tidak dianggap bertentangan dengan realitas dan kebajikan Tuhan pencipta, sebab semua makhluk memiliki derajat kekuasaan tertentu untuk bertindak berlawanan dengan tujuan Pencipta. Ketika konsep Tuhan ini dikombinasikan dengan gagasan tentang kekuatan kreatif yang tertanam pada setiap makhluk, kita akan mendapatkan gambaran Tuhan yang sungguh berbeda. Segala sesuatu mulai dari partikel sampai benda- benda langit, dari sel sampai pikiran manusia, dalam banyak hal merealisasikan potensi kreatifnya masing-masing. Tuhan ada, tapi Ia hanya ada dalam keseimbangan yang dinamis dengan ciptaan-Nya. Tuhan dan ciptaan-Nya karena itu saling memengaruhi secara timbal balik dalam tataran yang sama. Konsep Tuhan semacam ini jelas sangat berlawanan dengan tradisi agama Ibrahim yang menempatkan Tuhan dalam puncak hierarki seluruh tatanan semesta dengan kekuasaan yang tak terbatas. Konsep Tuhan yang diserukan teologi proses ini justru lebih banyak memiliki persamaan dengan Budhisme dan Taoisme. Pada akhirnya, tawaran konsepsi Tuhan yang ditawarkan oleh teologi proses yang menurut Barbour dikukuhkan oleh hasil-hasil pencapaian sains mutakhir ini hanyalah bentuk konstruksi baru tentang tuhan dalam peradaban Barat. Dalam cara pandang Barat, Tuhan tunduk dalam pengujian rasio. Konsepsi Tuhan yang muncul karena itu tak lain sekadar gagasan tentang Tuhan. Sebagai sebuah gagasan, Tuhan bisa dibunuh sewaktu-waktu, dihidupkan kembali jika diperlukan, diserahi kekuasaan mutlak pada suatu masa untuk kemudian dilucuti kembali pada masa yang lain.*