Anda di halaman 1dari 2

Penulis: Muhammad Syafiq

Media Indonesia, tanggal 2005-05-15 00:00:00.0


PERGULATAN memosisikan Tuhan dalam kehidupan manusia berlangsung
dengan keras di dunia Barat. Sejak mitos-mitos disingkirkan rasio ribuan tahun
yang lalu di Yunani, manusia menjadi sentrum alam semesta. Saat itulah Tuhan
menjadi dilema. Kerja rasio inilah, kita tahu, yang melandasi seluruh pencapaian
pengetahuan yang mulanya bernaung dalam payung filsafat.
Dalam tradisi filsafat kita menemukan "pembunuh" Tuhan yang paling garang
pada diri eksistensialis Jerman, Friederich Nietszche. Sedangkan Karl Marx dan
Sigmund Freud menjadi penyebar ateisme terdepan di kalangan ilmuwan sosial
dengan menyerukan agama sebagai candu masyarakat.
Dalam perkembangan sains modern, ada masanya ketika masyarakat Barat
meyakini sains sebagai jalan keselamatan baru menggantikan agama. Sains
diyakini dapat menyelesaikan semua persoalan dan memberi makna serta arah
dalam hidup.
Bahkan muncul keyakinan bahwa dalam masa yang akan datang para ahli fisika
teoretis akan berhasil menciptakan ToE (Theory of Everything), dan segala
sesuatu akan segera menjadi terang seluruhnya. Dalam terang sains ini,
keyakinan dan praktik agama menjadi tak lebih dari sekadar hobi. Suatu bentuk
pengisian waktu luang yang bersifat pilihan dan remeh, yang hanya dilakukan
mereka yang memiliki kebutuhan psikologis untuk berakar dalam tradisi masa
lalu.
Tapi tak ada yang melebihi tragika Galileo dalam menggambarkan pertarungan
sains dan agama ini. Pada abad ke-16 M, Galileo sebagai lambang kebenaran
sains dihadapkan ke Dewan Inkuisisi Gereja Roma karena dituduh menodai
iman. Ratusan tahun kemudian, pembelaan Galileo terhadap sistem Kopernikan
daripada sistem Ptolemean yang menjadi pandangan Gereja terbukti benar. Saat
itulah sains beranjak dominan dan mulai menyingkirkan agama.
Dalam perkembangan sains mutakhir, gagasan Tuhan mulai kembali mendapat
tempat. Berbagai perkembangan teoretis baru dalam astrofisika, fisika kuantum,
biologi molekuler, rekayasa genetika, sampai neurosains memiliki implikasi
teologis yang semakin positif. Kecenderungan sains yang memberi peluang
dikembalikannya Tuhan dalam singgasana-Nya ini disambut gembira oleh para
teolog yang progresif di kalangan Kristen. Dari para teolog progresif inilah lahir
sebuah teologi baru yang disebut teologi proses. Pandangan-pandangan utama
dalam teologi proses terutama diformulasikan oleh Charles Hartshorne sebagai
hasil pengaruh dari filsafat proses Alfred Whitehead.
Ian Barbour, guru besar fisika dan teologi pada Carleton College Amerika,
adalah penyeru terdepan integrasi sains dan agama berdasarkan teologi proses
ini. Dalam buku Menemukan Tuhan ini, Barbour menguraikan dengan gamblang
hasil-hasil sains mutakhir yang dapat ditafsirkan sebagai dukungan terhadap
adanya Tuhan. Dalam teropong teologi proses, ia menafsirkan hasil-hasil
pencapaian sains mutakhir itu sebagai jembatan untuk mengintegrasikan sains
dan agama.
Seperti kesimpulan yang dapat ditarik dari perkembangan terbaru dalam sains,
teologi proses memandang dunia sebagai ciptaan, namun bukan oleh Tuhan
monoteis dengan kekuasaan mutlak seperti dalam tradisi agama Ibrahim.
Gambaran Tuhan menurut teologi proses dijelaskan dengan baik oleh salah satu
tokohnya yang terkenal, David Ray Griffin. Dalam God and Religion in the
Postmodern World (1989), ia menggambarkan Tuhan dengan kekuasaan
terbatas yang tidak menciptakan dari ketiadaan absolut (creatio ex nihilo), tetapi
hanya menertibkan tatanan peristiwa-peristiwa bersifat energi yang kacau.
Menurutnya, Tuhan tidak mengendalikan segalanya juga tidak menyela atau
mengintervensi proses alam secara semena-mena. Tuhan tidak menciptakan
sendiri, tetapi memberi ilham pada makhluknya untuk bertindak secara otonom
dengan menanamkan energi kreatif dalam diri mereka. Karena itu, kejahatan
manusia tidak dianggap bertentangan dengan realitas dan kebajikan Tuhan
pencipta, sebab semua makhluk memiliki derajat kekuasaan tertentu untuk
bertindak berlawanan dengan tujuan Pencipta.
Ketika konsep Tuhan ini dikombinasikan dengan gagasan tentang kekuatan
kreatif yang tertanam pada setiap makhluk, kita akan mendapatkan gambaran
Tuhan yang sungguh berbeda. Segala sesuatu mulai dari partikel sampai benda-
benda langit, dari sel sampai pikiran manusia, dalam banyak hal merealisasikan
potensi kreatifnya masing-masing. Tuhan ada, tapi Ia hanya ada dalam
keseimbangan yang dinamis dengan ciptaan-Nya. Tuhan dan ciptaan-Nya
karena itu saling memengaruhi secara timbal balik dalam tataran yang sama.
Konsep Tuhan semacam ini jelas sangat berlawanan dengan tradisi agama
Ibrahim yang menempatkan Tuhan dalam puncak hierarki seluruh tatanan
semesta dengan kekuasaan yang tak terbatas. Konsep Tuhan yang diserukan
teologi proses ini justru lebih banyak memiliki persamaan dengan Budhisme dan
Taoisme.
Pada akhirnya, tawaran konsepsi Tuhan yang ditawarkan oleh teologi proses
yang menurut Barbour dikukuhkan oleh hasil-hasil pencapaian sains mutakhir ini
hanyalah bentuk konstruksi baru tentang tuhan dalam peradaban Barat. Dalam
cara pandang Barat, Tuhan tunduk dalam pengujian rasio. Konsepsi Tuhan yang
muncul karena itu tak lain sekadar gagasan tentang Tuhan. Sebagai sebuah
gagasan, Tuhan bisa dibunuh sewaktu-waktu, dihidupkan kembali jika
diperlukan, diserahi kekuasaan mutlak pada suatu masa untuk kemudian dilucuti
kembali pada masa yang lain.*

Anda mungkin juga menyukai