Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KAJIAN FILSAFAT ILMU AKSIOLOGIS


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
FILSAFAT ILMU
Dosen Pembimbing :
Fandi Fatoni, S. Pd., M. SM

Disusun Oleh :
Marta Yulinar Rosalina Bakara 18080574031
Anissa Eka Ayu Riyadi 18080574040
Defrina Rizqi Lathifah 18080574084
Magfirah Safitri Purnapardi 18080574091
Josafat Eleazar Surya 18080574094
Retno Widya Nastiti 18080574145
Novia Regita Cahyani 18080574146
Ramadhan Dinta Pramana 18080574148

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran. Sehingga, penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dengan berjudul “Kajian Filsafat
Ilmu Aksiologi”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi lebih baik lagi. Kemudia
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mengucapkan permintaan maaf
yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
pembimbing Filsafat Ilmu kami yang telah membimbing dalam penulisan makalah ini.
Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.

Surabaya, 06 November 2019

Penulis,
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................................i

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1

1.3 Tujuan Pembahasan....................................................................................................2

1.4 Manfaat.......................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

2.1 Pengertian Aksiologis.................................................................................................3

2.2 Objek Aksiologis........................................................................................................4

BAB III PENUTUP..................................................................................................................9

3.1 Simpulan.....................................................................................................................9

3.2 Saran...........................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................10
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap manusia yang berakal sehat pasti memiliki pengetahuan, baik berupa
fakta, konsep, prinsip, maupun prosedur tentang suatu objek. Pengetahuan dapat
dimiliki berkat adanya pengalaman atau melalui interaksi antar manusia dan
lingkungannya.
Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik
bersifat abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk
faham betul semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-pemetaan
dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.
Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian
yaitu; epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita
memperoleh pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat
segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai yang
membahas tentang guna pengetahuan. Sehingga, mempelajari ketiga cabang tersebut
sangatlah penting dalam memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup dan
pembahansannya.
Ketiga teori di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat, hanya
saja berangkat dari hal yang berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistemologi sebagai
teori pengetahuan membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan, bagaimana
kita bisa tahu dan dapat membedakan dengan yang lain. Ontologi membahas tentang
apa objek yang kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan
daya pikir. Sedangkan aksiologi sebagai teori nilai membahas tentang pengetahuan kita
akan pengetahuan di atas, klasifikasi, tujuan dan perkembangannya.
Akan tetapi untuk sekarang ini penulis akan menitik-beratkan pembahasannya
kepada masalah aksiologi yang mana membahas tentang pengertiannya dan objek yang
dikaji dalam aksiologi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Aksiologis?


2. Apa saja objek yang dibahas dalam Aksiologis?
1.3 Tujuan
2. Untuk mengetahui pengertian dari Aksiologis.
3. Untuk mengetahui objek-objek dalam Aksiologis.
1.4 Manfaat
Hasil penulisan ini dapat memberikan manfaat dan meningkatkan pengetahuan
bagi pembaca ataupun masyarakat luas tentang aspek Aksiologi ilmu pengetahuan
dalam filsafat. Selain itu, hasil penulisan ini dapat menumbuhkan rasa ingin tahu dan
belajar tentang filsafat oleh mahasiswa, masyarakat, terutama tenaga pengajar.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aksiologis

A. Secara Etimologi (Bahasa)


Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana
manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu
yang berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua suku kata yaitu axios yang berarti
nilai dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara sederhana pengertian aksiologi adalah
ilmu yang mempelajari nilai atau ilmu nilai.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, aksiologi berarti : 1) Kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia; 2) Kajian tentang nilai, khususnya etika.
Persamaan dari aksiologi, identik dengan aksioma yang mengandung arti
pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian (Depdikbud,
1990 : 16).
B. Secara Terminologi (Istilah)
Aksiologi menurut pakar filsafat terutama dibidang filsafat ilmu yang mengkaji
dan memberikan arti tentang aksiologi, diantaranya:
1. Menurut pakar dari luar negeri, yang mengkaji arti aksiologi.
Menurut pandangan Kattsoff dan Barneld, aksiologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat nilai yang umumnya ditinjau
dari sudut pandang kefilsafatan, dengan kata lain aksiologi adalah cabang
filsafat yang menyelidiki tentang nilai-nilai, menjelaskan berdasarkan kriteria
atau prinsip tertentu yang dianggap baik didalam tingkah laku manusia. Nilai
yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai
kebenaran atau kenyataan itu sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi
kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil, dan kawasan simbolik
yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu,
aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus diperhatikan
didalam menerapkan ilmu kedalam praksis. Sedangkan menurut Bramel
aksiologi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Moral Conduct yaitu tindaakan
moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika; 2) Estetic Expression
yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan estetika; dan 3) Political Life,
yaitu kehidupan sosial politik yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
2. Menurut pakar dari dalam negri yang mengkaji arti aksiologi.
Menurut Jujun S Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri,
2007 : 229). Menurut Surajiyo, aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian,
serta penerapan ilmu (Surajiyo, 2007 : 154).

Dari pengertian yang telah dijelaskan tentang pengertian aksiologi, dapat


disimpulkan bahwa aksiologi adalah cabang dari filsafat ilmu yang mempelajari tentang
nilai suatu ilmu atau berbagai ilmu (etika, estetika, ataupun ilmu lain) tanpa atau dengan
mencari kebenaran ilmu tersebut dari segi berguna atau tidak suatu ilmu bagi penelitian.

2.2 Objek Aksiologis

Dalam Aksiologi dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan


manusia dan juga nilai-nilai yang harus di lembagakan pada setiap dominannya.
Aksiologi pada dasarnya bersifat ide, oleh karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh
oleh panca indra yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah
laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau salah, karena tidak
dapat diuji. Ukurannya sangat subjektif dan objek kajiannya adalah soal apakah suatu
nilai dikehendaki atau tidak. Berbeda dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji
dan argumentasi rasional dapat memaksa orang untuk menerima kebenarannya.
Pengukuran benar dan salah dari suatu fakta dapat di lakukan secara objektif dan
empiris.

Aksiologi memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi


dari Tuhan misalnya nilai moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika). Aksiologi juga
mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai
kehidupan yang bertaraf tinggi).

Aksiologi memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yaitu untuk apa


pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bahaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural
yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau
profesional?

Filsafat ilmu menyelidiki dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal berukut:

a. Persepsi manusia akan kenyataan (reality).


b. Pemahaman berbagai dinamika alam.
c. Saling keterkaitan antara logika dengan matematika, dan antara logika dan
matematika pada satu sisi dengan kenyataan pada sisi lain.
d. Berbagai keadaan (states) dari keberadaan-keberadaan (entities) teoritis.
e. Berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya (liability).
f. Hakikat (the essence) manusia, nilai-nilainya, tempat, dan posisinya di tengah-
tengah semua keberadaan lain, paling sedikit yang berada di lingkungan dekatnya.

Filsafat ilmu menyibukkan diri dengan berbagai masalah yang datang dari konsep-
konsep khusus dalam statistik, pengukuran, teologi, misalnya penjelasan peristiwa-
peristiwa dipandang dari tujuannya atau kesudahannya, penjelasan sebab-musabab,
hubungan antara ilmu-ilmu yang berbeda, keadaan dimana satu ilmu berkurang untuk
ilmu lain, dan konsep-konsep spesifik mengenai ilmu-ilmu satu persatu. Tentunya
dengan penalaran yang mendalam, Rene Descartes mengemukakan ucapannya yang
terkenal sepanjang masa, cotigo ergo sum, saya berpikir karena itu saya ada.

Dilihat dari jenisnya, terdapat dua bagian penilaian yang umum digunakan dari
aksiologi dalam membangun filsafat ilmu, yaitu meliputi etika dan estetika.

a. Etika
Conny R. Semiawan (2005: 158) menjelaskan tentang etika itu sebagai: “the
study of the nature of morality and judgement”, kajian tentang hakikat moral dan
keputusan (kegiatan menilai). Selanjutnya semiawan menerangkan bahwa etika
sebagai prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang-kadang disebut dengan
“moral”. Kegiatan menilai (act of judgement) telah dibangun berdasarkan toleransi
atau ketidakpastian. Bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti
dengan zero tolerance. Terdapat spesifikasi tentang toleransi yang dapat dicapai.
Didalam ilmu yang berkembang, pertukaran informasi antar manusia selalu
merupakan permainan tentang toleransi. Ini berlaku dalam ilmu eksakta ataupun
bahasa, ilmu sosial, religi ataupun politik, bahkan juga bagi setiap bentuk pikiran
yang akan menjadi dogma. Perubahan ilmu dilandasi oleh prinsip toleransi. Hal
tersebut dikarenakan hasil penelitian dari suatu pengetahuan ilmiah sering tidak
sama dengan sifat objektif penelitian atau hasil penelitian pengetahuan ilmiah yang
lain, terutama apabila pengetahuan-pengetahuan itu tergolong dalam kelompok-
kelompok disiplin ilmu yang berbeda.
Disamping itu, ditinjau secara filosofis sangat sukar untuk mengatakan sesuatu
itu sebagai hal yang objektif, sebab boleh dikatakan segala sesuatu mengenai
hampir semua keberadaan di alam ini adalah hasil dari kesepakatan, yang dipelopori
oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang di pandang memiliki otoritas
dalam suatu bidang, yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Meskipun
demikian dapat disimpulkan bahwa sifat ilmu pengetahuan pada umumnya
universal, dapat dikomunikasikan dan progrsif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama etika merupakan suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Kedua, etika merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi
norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik
buruknya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di
sekelilingnya.
Suatu nilai disebut objektif atau subjektif tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan
dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ujur segalanya, atau
eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat fisik atau psikis.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memerhatikan berbagai pandangan
yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai
subjektif selalu akan mengarah lepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Nilai itu objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau sesadaran yang menilai.
Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
b. Estetika
Semiawan (2005 : 159) menjelaskan estetika sebagai “the study of nature of
beaty in the fine art”, mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika
merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika
membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu
pengetahuan ilmiah agar dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas.
Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang estetis
dari suatu pengetahuan ilmiah itu.
Dalam banyak hal, satu atau lebih sifat-sifat dasar sudah dengan sendirinya
terkandung di dalam suatu pengetahuan apabila pengetahuan itu sudah lengkap
mengandung sifat-sifat dasar pembenaran, sistematik, dan intersubjektif.
1. Universal
Universal berarti berlaku umum. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi
oleh ilmu atau pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu harus berlaku umum, lintas ruang
dan waktu, paling sedikit di bumi ini. Ini juga dapat berarti hukum-hukum fisika
yang berlaku di Indonesia juga berlaku di Amerika Serikat, baik sekarang
maupun seratus tahun yang lalu, dengan beberapa catatan, misalnya kondisi-
kondisi yang relevan di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dibandingkan
itu sama.
Sifat universal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan ini lebih nyata lagi
pada ilmu-ilmu sosial, misalnya sejarah, antropologi budaya, ilmu hukum, dan
ilmu pendidikan. Keterbatasan ini tidak dapat dilepaskan dari hakikat ilmu
sosial sebagai ilmu mengenai manusia (terutama pelakunya). Jadi, harus lebih
banyak catatan yang dipertimbangkan dalam menerapkan sifat universal ilmu-
ilmu sosial, misalnya yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian.
Keterbatasan sifat universal berkaitan erat dengan karakter uiversalnya. Ada
perbedaan antara karakter universal ilmu-ilmu sosial dengan karakter universal
ilmu-ilmu kesakta, misalnya antara ilmu sejarah dengan mekanika. Fenomena
dalam ilmu sejarah sangat terkait dengan ruang dan waktu, sedangkan fenomena
mekanika bisa dikatakan terbebas dari ruang dan waktu. Karena itu, karakter
universal ilmu sejarah berbeda dengan universal mekanika. Orang dengan
mudah menilai, seakan-akan tidak ada universalitas dalam ilmu sejarah, jelas
hal ini merupakan tindakan yang salah.
2. Dapat Dikomunikasikan (communicable)
Maksudnya adalah apabila bahasa tidak merupakan kendala, pengetahuan
ilmiah bukan saja dapat dimengerti artinya, tetapi juga dapat dimengerti
maknanya. Jadi, memberikan pengetahuan baru kepada orang lain dengan
tingkat kepercayaan yang cukup besar. Terpenuhinya dengan baik sifat
intersubjektif suatu pengetahuan sangat membantu menjadi communicable.
3. Progresif
Progresif dapat diartikan sebagai adanya kemajuan, perkembangan, atau
peningkatan. Sifat ini merupakan salah satu tuntutan modern untuk ilmu, dan
didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu skeptis, menyeluruh (holistic,
comprehensive), mendasar (radical), kritis, dan analistis, yang menyatu dalam
semua interaksi dan penalaran ilmiah. Adanya ciri-ciri ini yang mula-mula
didominasi oleh sikap skeptis terhadap segala sesuatu yang dianggap berat, akan
mendorong seseorang untuk terus-menerus mempertanyakan semua
pengetahuan, kemudian ciri-ciri yang lain akan membawanya ke imajinasi dan
penalaran filosofis ilmiah, yang kemudian berlanjut ke pengembangan
pengetahuan, dan berujung pada penemuan pengetahuan baru. Dengan
demikian, berlangsunglah progresivitas pengetahuan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang


umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dalam arti tertentu, jika nilai
merupakan esensi yang dapat ditangkap secara langsung, maka sudah pasti hubungan
antara nilai dengan eksistensi merupakan bahan yang sesuai benar bagi proses
pemberian tanggapan dan memberikan sumbangan untuk memahami secara mendalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan nilai. Teori tentang nilai dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana makna etika memiliki dua arti
yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan
manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku,
atau yang lainnya.
3.2 Saran
Sebelumnya kami penyusun makalah ini mohon ma’af apabila terdapat
kesalahan dalam penulisan kata-kata, dan makalah kami pun di sini masih belum
sempurna, untuk itu sekiranya apabila masih di rasa pembaca masih belum cukup
bahasan-bahasan di dalam makalah ini di sarankan untuk mencari sumber referensi dari
buku-buku atau sumber-sumber yang semacamnya
DAFTAR PUSTAKA

Amsal, Bakhtiar. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.

Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali. Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung:
Pustaka Setia.

Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai