Disusun Oleh :
Marta Yulinar Rosalina Bakara 18080574031
Anissa Eka Ayu Riyadi 18080574040
Defrina Rizqi Lathifah 18080574084
Magfirah Safitri Purnapardi 18080574091
Josafat Eleazar Surya 18080574094
Retno Widya Nastiti 18080574145
Novia Regita Cahyani 18080574146
Ramadhan Dinta Pramana 18080574148
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.4 Manfaat.......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
3.1 Simpulan.....................................................................................................................9
3.2 Saran...........................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Filsafat ilmu menyibukkan diri dengan berbagai masalah yang datang dari konsep-
konsep khusus dalam statistik, pengukuran, teologi, misalnya penjelasan peristiwa-
peristiwa dipandang dari tujuannya atau kesudahannya, penjelasan sebab-musabab,
hubungan antara ilmu-ilmu yang berbeda, keadaan dimana satu ilmu berkurang untuk
ilmu lain, dan konsep-konsep spesifik mengenai ilmu-ilmu satu persatu. Tentunya
dengan penalaran yang mendalam, Rene Descartes mengemukakan ucapannya yang
terkenal sepanjang masa, cotigo ergo sum, saya berpikir karena itu saya ada.
Dilihat dari jenisnya, terdapat dua bagian penilaian yang umum digunakan dari
aksiologi dalam membangun filsafat ilmu, yaitu meliputi etika dan estetika.
a. Etika
Conny R. Semiawan (2005: 158) menjelaskan tentang etika itu sebagai: “the
study of the nature of morality and judgement”, kajian tentang hakikat moral dan
keputusan (kegiatan menilai). Selanjutnya semiawan menerangkan bahwa etika
sebagai prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang-kadang disebut dengan
“moral”. Kegiatan menilai (act of judgement) telah dibangun berdasarkan toleransi
atau ketidakpastian. Bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti
dengan zero tolerance. Terdapat spesifikasi tentang toleransi yang dapat dicapai.
Didalam ilmu yang berkembang, pertukaran informasi antar manusia selalu
merupakan permainan tentang toleransi. Ini berlaku dalam ilmu eksakta ataupun
bahasa, ilmu sosial, religi ataupun politik, bahkan juga bagi setiap bentuk pikiran
yang akan menjadi dogma. Perubahan ilmu dilandasi oleh prinsip toleransi. Hal
tersebut dikarenakan hasil penelitian dari suatu pengetahuan ilmiah sering tidak
sama dengan sifat objektif penelitian atau hasil penelitian pengetahuan ilmiah yang
lain, terutama apabila pengetahuan-pengetahuan itu tergolong dalam kelompok-
kelompok disiplin ilmu yang berbeda.
Disamping itu, ditinjau secara filosofis sangat sukar untuk mengatakan sesuatu
itu sebagai hal yang objektif, sebab boleh dikatakan segala sesuatu mengenai
hampir semua keberadaan di alam ini adalah hasil dari kesepakatan, yang dipelopori
oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang di pandang memiliki otoritas
dalam suatu bidang, yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Meskipun
demikian dapat disimpulkan bahwa sifat ilmu pengetahuan pada umumnya
universal, dapat dikomunikasikan dan progrsif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama etika merupakan suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Kedua, etika merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi
norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik
buruknya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di
sekelilingnya.
Suatu nilai disebut objektif atau subjektif tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan
dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ujur segalanya, atau
eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat fisik atau psikis.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memerhatikan berbagai pandangan
yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai
subjektif selalu akan mengarah lepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Nilai itu objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau sesadaran yang menilai.
Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
b. Estetika
Semiawan (2005 : 159) menjelaskan estetika sebagai “the study of nature of
beaty in the fine art”, mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika
merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika
membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu
pengetahuan ilmiah agar dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas.
Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang estetis
dari suatu pengetahuan ilmiah itu.
Dalam banyak hal, satu atau lebih sifat-sifat dasar sudah dengan sendirinya
terkandung di dalam suatu pengetahuan apabila pengetahuan itu sudah lengkap
mengandung sifat-sifat dasar pembenaran, sistematik, dan intersubjektif.
1. Universal
Universal berarti berlaku umum. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi
oleh ilmu atau pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu harus berlaku umum, lintas ruang
dan waktu, paling sedikit di bumi ini. Ini juga dapat berarti hukum-hukum fisika
yang berlaku di Indonesia juga berlaku di Amerika Serikat, baik sekarang
maupun seratus tahun yang lalu, dengan beberapa catatan, misalnya kondisi-
kondisi yang relevan di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dibandingkan
itu sama.
Sifat universal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan ini lebih nyata lagi
pada ilmu-ilmu sosial, misalnya sejarah, antropologi budaya, ilmu hukum, dan
ilmu pendidikan. Keterbatasan ini tidak dapat dilepaskan dari hakikat ilmu
sosial sebagai ilmu mengenai manusia (terutama pelakunya). Jadi, harus lebih
banyak catatan yang dipertimbangkan dalam menerapkan sifat universal ilmu-
ilmu sosial, misalnya yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian.
Keterbatasan sifat universal berkaitan erat dengan karakter uiversalnya. Ada
perbedaan antara karakter universal ilmu-ilmu sosial dengan karakter universal
ilmu-ilmu kesakta, misalnya antara ilmu sejarah dengan mekanika. Fenomena
dalam ilmu sejarah sangat terkait dengan ruang dan waktu, sedangkan fenomena
mekanika bisa dikatakan terbebas dari ruang dan waktu. Karena itu, karakter
universal ilmu sejarah berbeda dengan universal mekanika. Orang dengan
mudah menilai, seakan-akan tidak ada universalitas dalam ilmu sejarah, jelas
hal ini merupakan tindakan yang salah.
2. Dapat Dikomunikasikan (communicable)
Maksudnya adalah apabila bahasa tidak merupakan kendala, pengetahuan
ilmiah bukan saja dapat dimengerti artinya, tetapi juga dapat dimengerti
maknanya. Jadi, memberikan pengetahuan baru kepada orang lain dengan
tingkat kepercayaan yang cukup besar. Terpenuhinya dengan baik sifat
intersubjektif suatu pengetahuan sangat membantu menjadi communicable.
3. Progresif
Progresif dapat diartikan sebagai adanya kemajuan, perkembangan, atau
peningkatan. Sifat ini merupakan salah satu tuntutan modern untuk ilmu, dan
didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu skeptis, menyeluruh (holistic,
comprehensive), mendasar (radical), kritis, dan analistis, yang menyatu dalam
semua interaksi dan penalaran ilmiah. Adanya ciri-ciri ini yang mula-mula
didominasi oleh sikap skeptis terhadap segala sesuatu yang dianggap berat, akan
mendorong seseorang untuk terus-menerus mempertanyakan semua
pengetahuan, kemudian ciri-ciri yang lain akan membawanya ke imajinasi dan
penalaran filosofis ilmiah, yang kemudian berlanjut ke pengembangan
pengetahuan, dan berujung pada penemuan pengetahuan baru. Dengan
demikian, berlangsunglah progresivitas pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali. Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung:
Pustaka Setia.
Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.