Anda di halaman 1dari 20

KETERBACAAN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah pembelajaran membaca (praktikum)

Dosen Pengampu: Aulia Rahmi, M.Pd.

Disusun Oleh:

Alinda Dita Putri Wahyu Sagita (201063108003)

Desi Selvia Ningrum (2010631080059)

Intan Permatasari (2010631080076)

Nita (2010631080022)

Nursifah Lutfiana Sari (2010631080098)

Syahrul Maulana (2010631080155)

PROGRAM STUDI PENDIIDKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2021/2022
KATA PEGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya dan sholawat
serta salam tak lupa tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW sehingga
penyelesaian makalah ini dapat berjalan dengan lancar dan tepat waktu.

Makalah yang berjudul “Keterbacaan” ini diselesaikan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Pembelajaran Membaca. Makalah ini diperoleh dari sumber-sumber yang ada di
internet maupun buku-buku pembelajaran. Satu tema yang disajikan terkait penulisan yang telah
dilakukan mengenai hal keterbacaan.

Penyusun mengucapkan terima kasih dan menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan sehingga penyusun menerima saran dan kritik dari pembaca. Penyusun berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat diperaktikkan dengan baik.

Karawang, 22 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR IS
KATA PEGANTAR.......................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................1

1.1. Latar Belakang.....................................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah................................................................................................................2

1.2.1. Apa pengertian keterbacaan?....................................................................................2

1.2.2. Apa konsep keterbacaan wacana?............................................................................2

1.2.3. Apa pengertian wacana?...........................................................................................2

1.2.4. Apa saja ragam tingkat keterbacaan wacana?..........................................................2

1.2.5. Apa saja faktor yang mempengaruhi keterbacaan?...................................................2

1.2.6. Apa saja syarat-syarat keterbacaan?..........................................................................2

1.3. Tujuan..................................................................................................................................2

1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dan konsep keterbacaan.............................................2

1.3.2. Untuk mengetahui konsep keterbacaan wacana........................................................2

1.3.3. Untuk mengetahui pengertian wacana.......................................................................2

1.3.4. Untuk mengetahui ragam tingkat keterbacaan wacana.............................................2

1.3.5. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi keterbacaan.....................................2

1.3.6. Untuk mengetahu syarat-syarat keterbacaan.............................................................2

1.4. Manfaat................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................3

2.1. Pengertian Keterbacaan.......................................................................................................3

2.2. Konsep Keterbacaan Wacana..............................................................................................4

2.3. Wacana.................................................................................................................................5

2.4. Ragam Tingkat Keterbacaan Wacana..................................................................................6

ii
2.4.1. Formula Keterbacaan Spache....................................................................................6

2.4.2. Formula Dale dan Chall.............................................................................................6

2.4.3. Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry.......................................................................6

2.4.4. Formula Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor...........................................................8

2.4.5. Formula SMOG.........................................................................................................9

2.4.6. Teknik Uji Rumpang...............................................................................................10

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Keterbacaan..........................................................................10

2.6. Syarat-syarat keterbacaan..................................................................................................11

BAB III PENUTUP......................................................................................................................13

3.1. Kesimpulan........................................................................................................................13

3.2. Saran..................................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Membaca adalah aktivitas yang memberikan banyak wawasan serta pengetahuan.
Wawasan serta pengetahuan tersebut tersedia pada banyak sekali media informasi seperti
buku, majalah, koran, internet dan sebagainya. Sebagian besar media informasi memakai
tulisan sebagai sarana untuk memberikan informasi pada pembaca. Oleh sebab itu,
aktivitas utama yang perlu dilakukan untuk menerima wawasan serta pengetahuan ialah
dengan membaca. Sebagai seseorang yang berpendidikan pasti ingin mewujudkan
pendidikan yang mengagumkan dan berkualitas. Berbagai komponen yang wajib
diperhatikan salah satunya yaitu energi pengajar serta saranan prasarana pendidikan. Pada
pengaplikasian di lapangan proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik apabila
ditunjang menggunakan buku-buku atau buku teks yang baik yang berfungsi untuk siswa
yang masih menempuh pendidikan ditingkat bawah atau dasar. Jika terpenuhinya buku
bacaan atau buku teks yang baik maka seluruh siswa baik dari tingkat bawah, menengah,
atas, bahkan hingga perguruan tinggi pasti pengetahuan dan wawasan seluruh peserta
didik tersebut akan terpenuhi dengan baik.

Kajian keterbacaan sangat diperlukan meskipun telah berlangsung lama. Teknik


statistik digunakan oleh para peneliti untuk memperkirakan taraf kesulitan wacana.
Dahulu, formula keterbacaan bersifat kompleks, hingga akhirnya peneliti dapat
menerangkan bahwa terdapat dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap keterbacaan,
yaitu (1) panjang dan pendeknya kalimat, serta (2) taraf kesulitan kata. Semakin panjang
kalimat, maka semakin sukar dan kebalikannya. Dalam hal lain juga terdapat tiga aspek
yang sudah ditetapkan oleh Kemdikbud untuk menarik perhatian penulis terkait penulisan
buku teks, aspek tersebut ialah materi, penyajian, serta keterbacaan. Pada ketiga aspek
tersebut, penulis jarang sekali memperhatikan aspek keterbacaan. Susunan serta
penggunaan kata yang rumit kadang dipergunakan penulis tanpa memperhatikan usia atau
jenjang tingkat siswa. Hal ini lah yang terkadang membentuk peserta didik sangat kurang

1
memahami materi atau informasi yang ada pada bahan bacaan. Apalagi melihat kurikulum
2013 yang sangat berbasis menggunakan teks. Dalam arti, peserta didik sangat dituntut
untuk bisa memahami serta menghasilkan suatu teks bacaan dengan penggunaan bahasa
yang baik dan benar. Keterbacaan pada ruang lingkup pendidikan atau sekolah khususnya
kelas bawah, merupakan sebuah ukuran terhadap sesuainya atau tak sesuainya suatu
bacaan bagi para pembaca tertetu. Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas tentang
berbagai kepemahaman keterbacaan.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa pengertian keterbacaan?
1.2.2. Apa konsep keterbacaan wacana?
1.2.3. Apa pengertian wacana?
1.2.4. Apa saja ragam tingkat keterbacaan wacana?
1.2.5. Apa saja faktor yang mempengaruhi keterbacaan?
1.2.6. Apa saja syarat-syarat keterbacaan?

1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dan konsep keterbacaan.
1.3.2. Untuk mengetahui konsep keterbacaan wacana.
1.3.3. Untuk mengetahui pengertian wacana.
1.3.4. Untuk mengetahui ragam tingkat keterbacaan wacana.
1.3.5. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi keterbacaan.
1.3.6. Untuk mengetahu syarat-syarat keterbacaan.

1.4. Manfaat
Manfaat dalam penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman serta
wawasan yang lebih luas lagi kepada kami maupun teman-teman dalam upaya
meningkatkan kemampuan membaca untuk mementuk karakter pada diri sendiri dan juga
dapat memberikan segala informasi tentang materi keterbacaan yang belum atau sudah
diketahui oleh pembaca.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Keterbacaan


Menurut KBBI, keterbacaan artinya bisa dibacanya teks secara cepat, mudah
dimengerti, dipahami, dan mudah di ingat. Keterbacaan adalah alih bahasa dari
readability. Bentuk readability adalah kata turunan yang dibuat oleh bentuk dasar
readable, yang berarti “bisa dibaca”. Konfiks ke-an pada bentuk “keterbacaan”
mengandung arti bahwa suatu hal yang berkenaan dengan apa yang dianggap pada bentuk
dasarnya. Keterbacaan bisa didefinisikan menjadi hal atau perihal terbacanya atau
tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan juga
mempersoalkan taraf kesulitan atau taraf kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi
peringkat pembaca tertentu (Finn, 1993; Basuki serta Martutik, 2003). Dalam hal ini,
keterbacaan adalah ukuran perihal sinkron tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu
ditinjau dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya. Chomsky (2000)
mengatakan bahwa keterbacaan mengandung pengertian sistem-sistem harus bisa
“membaca” ungkapan-ugkapan bahas serta menggunakannya sebagai instruksi-instruksi
yang berkaitan dengan bunyi, yaitu representasi-representasi fonetik, yang dihasilkan
bahasa. Chomsky mengatakan bahwa syarat-syarat keterbacaan memutuskan tiga fitur
yang dirakit pada unsur-unsur leksikal:
1. Fitur-fitur semantik, ditafsir pada antarmuka semantik;
2. Fitur-fitur fonetik, ditafsirkan pada antarmuka fonetik, dan ;
3. Fitur-fitur yang tidak bisa ditafsirkan dalam kedua antar muka tadi.
Keterbacaan sangat berkaitan menggunakan tulisan atau cetakan yang jelas,
praktis, menarik, serta menyampaikan kesan yang menyenangkan untuk dibaca oleh
pembaca supaya pesan yang disampaikan penulis benar-benar sampai secara sempurna
pada pembaca. Pada hal tersebutlah, tingkat keterbacaan suatu bahan bacaan diukur dari
pihak pembaca tersendiri. Selain pesan yang harus benar, penulis serta editor naskah
wajib menyadari benar pentingnya unsur keterbacaan dan berusaha agar naskah bahan
bacaan tadi tersaji dengan memakai bahasa yang bisa dipahami atau dimengerti. Maka,

3
pesan yang ada di dalamnya akan dibaca serta dipahami jika mudah dibaca, singkat, dan
bisa menjawab seluruh pertanyaan krusial yang dicari oleh pembaca. Bisa disimpulkan
bahwa keterbacaan merupakan istilah untuk mendeskripsikan kemudahan atau kesulitan
memahami suatu bacaan.

2.2. Konsep Keterbacaan Wacana


Sesudah kita mengetahui definisi atau pengertian dari keterbacaan selanjutnya
kita juga harus mengetahui konsep keterbacaan wacana dengan menggetahui pengertian
wacana, karakteristik serta sifat wacana, wujud dan jenis wacana. Konsep keterbacaan
wacana ini menempatkan responden pada tingkat baca frustasi serta sulit dipahami oleh
peserta didik. Perlu dikemukakan bahwa pengajar harus lebih kreatif dalam mencari serta
menentukan materi bacaan yang sesuai dengan taraf kemampuan belajar peserta didik
sehingga seluruh pengajar tidak hanya terikat oleh buku paket yang ada saja. Sehubungan
dengan hal itu, pengajar tidak bisa terikat di satu buku teks tertentu saja, namun bisa
merekomendasikan koleksi-koleksi bacaan (buku-buku teks, majalah-majalah, kliping-
kliping, surat kabar, jurnal, pamflet). Pada hal ini, penggunaan rumus keterbacaan
umumnya dilakukan untuk memudahkan pengajar dalam mempersiapkan atau mengubah
tingkat keterbacaan materi pengajarannya (Harjasujana dan Mulyati, 1997: 109).
Hal diatas, jelas sekali bahwa seorang pendidik atau pengajar wajib memiliki
kemampuan dalam memilih taraf keterbacaan sebuah wacana yang akan dijadikan
sebagai materi ajar dalam mempersiapkan bahan-bahan bacaan, pengajar sebaiknya harus
mempertimbangkan terlebih dahulu taraf keterbacaan bahan yang akan ditulisnya dengan
pihak lain sebagai target pembacanya. Keterampilan untuk mengganti taraf keterbacaan
wacana wajib dimiliki oleh setiap pengajar agar bisa mempertimbangkan taraf
keterbacaan tulisanya sebagai akibatnya bisa terbaca dengan baik oleh siswa. Cara untuk
mengubah tingkat keterbacaan dapat dilakukan dengan meninggikan taraf kesulitan
wacananya atau sebaliknya, menurunkan tingkat kesulitan wacana tersebut (Harjasujana
dan Mulyati, 1997: 109).

4
2.3. Wacana
Menurut KBBI, wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan
dalam bentuk karangan arau laporan utuh seperti novel, buku, artikel, pidato atau
khotbah. Henry Guntur Tarigan (1987) mengemukakan bahwa wacana adalah satuan
bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan
koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan
dapat disampaikan secara lisan atau tertulis.
Pada penjelasan di atas sudah sangat jelas bahwa wacana memiliki bentuk dan
proposisi yang sangat berkesinambungan antar kalimat satu dengan kalimat-kalimat
berikutnya. Dalam bentuk penyampaian wacana bisa menggunakan bahasa lisan maupun
bahasa tulis. Dalam bahasa lisan sangat dibutuhkan lawan bicara atau audiens yang
nantinya akan menyimak sesuatu yang telah disampaikan oleh seseorang. Sedangkan
dalam bahsa tulis, seorang penulis harus memperhatikan dengan sangat teliti dalam
penggunaan bahasa, kata, maupun kalimat yang baik untuk ditulis agar nantinya tidak
ada kesulitan bagi para pembaca untuk memahami atau membaca wacana tersebut.
Wacana juga memiliki berbagai ciri dan sifat, Syamsudidin dkk (1998) mengungkapkan
sebagai berikut.
a. Wacana berupa rangkaian ujaran secara verbal atau rangkaian tindak tutur, dalam
hal tersebut menjelaskan bahwa wacana bisa berupa bahasa lisan maupun bahasa
tulis.
b. Wacana menyampaikan, dalam arti wacana merupakan hal yang bersifat untuk
menyampaikan sesuatu kepada audiens atau pembaca.
c. Penyampaian dalam wacana juga sangat teratur, sistematis, koheren, serta lengkap
dengan situasi pendukung lainnya,
d. Wacana memiliki satu kesatuan misi dalam sebuah rangkaian inti di dalamnya.
e. Wacana dibuat oleh unsur segmental dan nonsegmental. Unsur segmental adalah
suatu unsur yang terdapat di dalam kalimat tertulis yaitu, penulisan tanda baca,
huruf kapital, dan sebagainya sedangkan nonsegmental sebuah unsur wacana yang
berkaitan dengan konteks tertentu.

5
2.4. Ragam Tingkat Keterbacaan Wacana
Guna mengukur taraf keterbacaan sebuah wacana, terdapat sejumlah formula-
formula yang dapat dipergunakan. Penerapan formula keterbacaan ialah aktivitas belajar
yang sangat krusial serta harus dikuasai oleh pengajar juga peserta didik. Melalui hal
tersebut seorang peserta didik akan dibekali dengan kompetensi pada hal penerapan
formula keterbacaan. Formula-formula tadi umumnya dipergunakan untuk mengukur
taraf keterbacaan wacana, diantaranya sebagai berikut.

2.4.1. Formula Keterbacaan Spache.


Formula ini dirancang olehh Spache untuk mengukur bacaan kelas rendah.
Formula tersebut dibuat di tahun 1953. Terdapat dua dasar faktor utama dari
penggunaan formula tersebut, merupakan panjang rata-rata kalimat serta presentase
kata-kata sulit. formula ini kompleks dan penggunannya memakan banyak waktu.

2.4.2. Formula Dale dan Chall.


Formula ini dikenalkan pada tahun 1947. Formula ini sangat bermanfaat untuk
mengukur bahan bacaan pada kelas-kelas empat hingga kelas enam belas. Sama
halnya dengan formula Spache, formula ini pun memakai panjang kalimat serta kata-
kata sulit menjadi faktor penentu tingkat kesulitan bacaan. Rumus ini pun relatif
kompleks dan memakan banyak waktu.

2.4.3. Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry


Grafik ini dibuat pada tahun 1968 dan dipulikasikan pada tahun 1977 dan
dirumuskan oleh Edward Fry. Tujuan grafik ini salah satunya untuk
menyederhanakan teknik penentu tingkat keterbacaan wacana. Pada hal ini, faktor
panjang dan pendek kalimat serta kata sulit masih tetap dipergunakan. Tidak hanya
mempunyai kelebihan, faktor ini juga memiliki kelemahan untuk mengukur wacana
karena di dalam wacana bahasa Indonesia serta bahasa Inggris sangat berbeda
sehingga untuk diterapkan dalam wacana bahasa Indonesia harus dilakukan beberapa
penyesuaian.

6
Pada angka bawah seperti 108, 112, 116, dan seterusnya menunjukkan data
jumlah suku kata per seratus kata, yakni jumlah kata dari wacana sampel yang
dijadikan sampel pengukuran keterbacan wacana. Angka-angka yang tertera di bagian
kiri grafik, yakni 25.0, 20, 18.7, serta seterusnya menunjukkan rata-rata jumlah
kalimat perseratus perkata. Hal tersebut merupakan perwujudan faktor panjag-pendek
kalimat. Angka-angka pada bagian tengah yang berada diantara garis penyekat
meunjukkan peringkat keterbacaan wacana. Angka 1 menunjukkan peringkat 1,
artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca level 1 (kelas 1 Sekolah Dasar) dan
seterusnya. Langkah untuk mengukur keterbacaan wacana lewat grafik Fry ialah
sebagai berikut.
a. Memilih penggalan yang representatif dari wacana dengan mengambil atau
mengambil 100 kata.
b. Kemudian menghitung jumlah kalimat 100 kata tersebut hingga berpuluhan
terdekat. pada penghitungan kalimat ini, residu kata yang termasuk ke dalam
hitungan 100 itu diperhitungkan pada bentuk desimal (perpuluhan).

7
Maksudnya, apabila kata yang termasuk ke dalam hitungan 100 buah
perkataan (sampel wacana) tidak jatuh di ujung kalimat maka penghitungan
kalimat tidak akan selalu utuh, melainkan akan terdapat sisa. Sisanya berupa
sejumlah kata yang merupakan bagian serta deretan kata-kata yang
membentuk kalimat utuh. Residu kata yang termasuk pada hitungan 100 itu
diperhitungkan dalam bentuk desimal (perpuluhan).

2.4.4. Formula Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor


Grafik Raygor diperkenalkan oleh Alton Raygor. Grafik Raygor memiliki prinsip-
prinsip yang sama dengan keterbacaan Grafik Fry. Grafik Raygor memakai alat ukur
jumlah kalimat dan jumlah kata sulit, kata yg terdiri atas enam kata atau lebih yang
ada pada wacana. Formula ini tampak mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa
yang memakai huruf latin.

Tata cara atau mekanisme penggunaan Grafik Raygor hampir sama dengan Grafik
Fry, langkah-langkahnya sebagai berikut.
a. Menghitung 100 buah perkata sebagai sampel.
b. Menghitung jumlah kalimat hingga pada persepuluhan terdekat untuk
mneghitung jumlah rata-rata kalimat.

8
c. Menghitung jumlah kata-kata sulit, yakni kata-kata yang dibentuk oleh 6
huruf atau lebih.
d. Akibat yang diperoleh dari langkah b dan c bisa diplotkan ke dalam grafik
Raygor untuk memilih taraf keterbacaan wacana

2.4.5. Formula SMOG


Grafik Raygor diperkenalkan oleh Alton Raygor. Grafik Raygor memiliki prinsip-
prinsip yang sama dengan keterbacaan Grafik Fry. Grafik Raygor memakai alat ukur
jumlah kalimat dan jumlah kata sulit, kata yang terdiri atas enam kata atau lebih
yang ada pada wacana. Formula ini tampak mendekati kecocokan untuk bahasa-
bahasa yang memakai huruf latin.

Tata cara atau mekanisme penggunaan Grafik Raygor hampir sama dengan Grafik
Fry, langkah-langkahnya sebagai berikut.
e. Menghitung 100 buah perkata sebagai sampel.
f. Menghitung jumlah kalimat hingga pada persepuluhan terdekat untuk
mneghitung jumlah rata-rata kalimat.
g. Menghitung jumlah kata-kata sulit, yakni kata-kata yang dibentuk oleh 6
huruf atau lebih.

9
h. Akibat yang diperoleh dari langkah b dan c bisa diplotkan ke dalam grafik
Raygor untuk memilih taraf keterbacaan wacana

2.4.6. Teknik Uji Rumpang


Teknik ini diperkenalkan oleh Wilson Taylor pada 1953. Pada teknik ini pembaca
diminta untuk bisa memahami wacana dengan pemahaman yang tepat dari wacana
yang tidak lengkap sebab pada bagian-bagian tertentu wacana sudah sengaja
dihilangkan. Dengan dmikian, teknik ini sangat melibatkan peserta didik untuk
menentukan layak atau tidaknya sebuah wacana tersebut dipergunakan menjdi bahan
ajar membaca.

Pada ke enam formula di atas, terdapat beberapa formula yang sering digunakan
untuk mengukur tingkat kemampuan membaca yaitu, formula keterbacaan Fry dan
formula keterbacaan Raygor. Pada kedua formula tersebut disediakan dua grafik yang
terdapat garis dan angka-angka di dalam, kanan, maupun kiri grafik yang sangat
berfungsi sekali unuk peserta didik mengetahui tingkat keberapa yang cocok untuk
memahami atau membaca suatu wacana. Hal tersebut sangatlah penting agar nantinya
tidak ada lagi kesulitan-kesulitan pembaca dalam memahami isi yang ada pada
sebuah bacaan atau wacana.

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Keterbacaan


Dupuis dan Askov (1982) mengedepankan empat faktor penentu tingkat keterbacaan
sebuah wacana, yaitu :
1. Kebahasaan dalam teks;
2. Latar belakang pengetahuan pembaca;
3. Minat pembaca;
4. Motivasi pembaca.

Baradja (1991:128) juga menjelaskan bahwa faktor-faktor yang bertanggung


jawab akan adanya kesulitan dalam hal membaca suatu teks banyak sekali. Faktor-faktor
itu beliau kelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Panjang kalimat dan kerumitan kata

10
Panjang kalimat merupakan indeks yang mencerminkan adanya pengaruh jangka
ingat (memory span) terhadap keterbacaan. Beberapa peneliti membuktikan bahwa
faktor panjang kalimat ini termasuk salah satu faktor yang menyebabkan sebuah
wacana untuk sulit dipahami (Damaianti, 1995 dan Kurniawan, 1996). Ini berarti
bawa faktor panjang kalimat diyakini sangat berpengaruh terhadap tingkat
keterbacaan sebuah wacana. Harjasujana dan Mulyati (1996/1997: 107)
menegaskan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni
panjang pendek kalimat dan tingkat kesulitan kata. Kedua faktor tersebut dijadikan
sebagai dasar pengukuran keterbacaan dalam menggunakan berbagai formula.

2. Perbedaan latar belakang penulis dengan pembaca


Baradja (1991) mengatakan bahwa faktor-faktor kesulitan yang mempengaruhi
keterbacaan wacana banyak sekali. Faktor tersebut adalah faktor perbedaan latar
belakang antara penulis dan pembaca. Perbedaan latar belakang ini menurutnya
meliputi perbedaan budaya, asumsi, dan penguasaan ilmu-ilmu tertentu.
Seperti halnya seorang penulis yang berasal dari Amerika yang menulis sebuah
cerita yang berjudul “Gone With the Wind”. Cerita tersebut akan lebih sangat mudah
dipahami oleh pembaca yang berasal dari Amerika dibandingkan oleh pembaca yang
berasal dari Indonesia dan isi pesan yang terkandug dalam cerita tersebut juga akan
lebih mudah dipahami. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan latar
berlakang dan persamaan kebudayaan yang terjadi antara penulis dan pembaca cerita
tersebut.

2.6. Syarat-syarat keterbacaan


Keterbacaan merupakan ukuran tingkat kesulitan atau kemudahan suatu teks
dipahami oleh siswa. Ada beberapa syarat yang ada pada keterbacaan, yaitu :
1. Pemilihan bahan ajar
Langkah awal untuk memenuhi syarat keterbacaan yaitu pemilihan bahan
ajar yang sesuai dengan minat peserta didik.Dalam hal ini guru bisa
mengidentifikasi terlebih dahulu konteks budaya di lingkungan peserta didik
agar nantinya bahan ajar tersebut dapat diterima dengan baik oleh peserta
didik.

11
2. Adanya teks atau wacana
Teks merupakan salah satu saranan yang sangat penting dalam proses
belajar dan mengajar. Menurut Harjasujana dan Mulyati (1996: 106)
keterbacaan teks yang tinggi relatif mudah dipahami pembaca daripada
keterbacaan teks yang rendah. Teks mendukung tercapainya kompetensi yang
menjadi tujuan pembelajaran dan merupakan media komunikasi untuk
menginformasikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Dengan teks
seorang guru juga dapat menentukan bahan ajar yang akan disampaikan
kepada peserta didik. Teks atau wacana tersebut nantinya akan menjadi bahan
pertimbangan seorang guru untuk menentukan tingkat keterbacaan yang ccok
untuk diberikan kepada peserta didik.
3. Mengetahui formula-formula keterbacaan
Setelah terpenuhinya bahan ajar dan wacana yang akan diberikan kepada
peserta didik maka selanjutnya yaitu mengetahui dan memahami lebih dalam
tentang berbagai macam formula yang ada (formula spache, formula Dale dan
Chall, formula Fry, formula Raygor, formula SMOG, dan Teknik Uji
Rumpang). Dalam formula tersebut terdapat berbagai rumus-rumus
keterbacaan yang akan sangat membantu guru untukmmempersiapkan atau
mengubah tingkat keterbacaan materi bacaan yang hendak diajarkan.

12
13
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Keterbacaan dapat didefinisikan sebagai hal atau ihwal terbacanya atau tidaknya
suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan juga mempersoalkan tingkat
kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca
tertentu (Finn, 1993; Basuki dan Martutik, 2003). Dalam hal ini, keterbacaan (readability)
merupakan ukuran tentang sesuai atau tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu
dilihat dan segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya. Dan seorang pendidik
atau guru harus mempunyai kemampuan dalam menentukan tingkat keterbacaan sebuah
wacana yang akan dijadikan sebagai bahan ajar. Keterampilan untuk mengubah tingkat
keterbacaan wacana harus dimiliki oleh setiap guru agar mampu mempertimbangkan
tingkat keterbacaan tulisanya sehingga dapat terbaca dengan baik oleh siswa. Untuk
mengetahui tingkat kemampuan peserta didik dalam keterbacaan wacana ini dapat
diketahui dengan cara mengetahui beberapa formula, yaitu formula keterbacaan Spache,
formula Dale dan Chall, grafik Fry, formula keterbacaan Raygor, formula SMOG, dan
teknik uji rumpang.

3.2. Saran
Berdasarkan tentang penjelasan keterbacaan di atas, kami sebagai penulis ingin
memberikan saran terhadap materi tersebut, yaitu hendaknya semua guru wajib memiliki
kemampuan dalam memahami keterbacaan guna mengukur sebuah teks bacaan yang
dapat disajikan tepat pada kemampuan perseta didik. Agar nantinya perseta didik dapat
memahami materi yang telah di sampaikan oleh guru sesuai dengan tingkat
keterbacaannya. Guru bahasa Indonesia sangat penting sekali untuk meningkatkan
kemampuan membaca perseta didik. Dalam hal tersebut, hendaknya guru menggetahui
atau mengusai benar teori-teori membaca. Para siswa hendaknya menggunakan banyak-
banyak membaca buku sebagai sumber belajar untuk meningkatkan prestasi belajar
mereka. Penulis atau penyusun buku diharapkan lebih cermat dan lebih memperhatikan
struktur kata dalam kalimat sehingga memenuhi kritria keterbacaan yang diharapkan.

14
Dalam meningkatkan kualitas pembelajaran membaca atupun pembelajaran lainya guru
dapat melaksanakan pembelajaran dengan beberapa model penelitian tindakan kelas.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Yunus. (2012). Pembelajaran Membaca Berbasis Pendidikan Karakter.

Bandung: PT Refika Adimata.

Laksono, Kisyani dkk. (2019). Membaca 2. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Sulastri, Isna. (2010,Desember 31). Keterbacaan Wacana dan Teknik Pengukurannya.


UNINUS. https://uniisna.wordpress.com/2010/12/31/keterbacaan-wacana-dan-teknik-
pengukurannya-2/

Tarigan, Henry Guntur (2009). Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.

16

Anda mungkin juga menyukai