Anda di halaman 1dari 23

Penilaian Dalam Kritik Sastra

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah :


“Kritik Sastra”

Dosen Pengampu : Tarida Ilham Manurung S.Pd, M.Pd

Disusun Oleh:
Kelompok 11
Nurul Nadira
NPM: 2005-3006

PRODI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FALKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ASAHAN
T.A 2023-2024
Kata pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga saya bisa menyusun tugas mata kuliah Kritik
Sastra Dosen Pembimbing Tarida Ilham Manurung S.Pd, M.Pd ini dengan baik
serta tepat waktu. Seperti yang sudah kita tahu “Penilaian kritik sastra” itu sangat
berarti dalam dunia sastra. Semuanya perlu dibahas pada makalah ini kenapa
Penilaian kritik sastra itu sangat diperlukan serta layak dijadikan bagaikan modul
pelajaran.

Makalah ini saya buat untuk memberikan ringkasan tentang bagaimana


pentingnya penilaian kritik sastra dalam dunia sastra Mudah-mudahan makalah
yang saya buat ini bisa menolong menaikkan pengetahuan kita jadi lebih luas lagi.
saya menyadari kalau masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kritik Sastra ………………………………………......3-4
2.2 Menilai Kritik Sastra …………………………………..………….4-5
2.3 Kreteria dalam Penilaian Kritik Sastra …………………………....5-7
2.4 Prinsip-prinsip dalam Kritik Sastra………………………….……7-17
2.5 Paham penilaian kritik Sastra……………...………………….....17-18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................20

ii
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Kritik sastra mencapai kesempurnaa setelah sampai pada tahap evaluasi atau penilain.Apabila
belum mencapai tahap evaluasi atau penilaian,misalnya hanya sampai pada tahap analisis dan
interprestasi,kritik sastra itu baru sampai tingkat apresiasi.Kritik sastra yang baik tentu
sampai pada tahap evaluasi.sebab,”Kritk sastra adalah salah satu jenis esai,yaitu
pertimbangan baik atau buruknya sesuatu hasil kesuastraan.pertimbangan itu tentu dengan
memberikan alas an-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusastraan.Seorang
Kritikus,pengkritik atau penimbang alas an mengenai isi dan hasil kesusastraan.Seorang
Kritikus,Pengkritik atau penimbang ialah orang yang berperan sebagai perantara antara si
pencipta dan orang banyak.”(H.B jassin,1983:95.Tifa penyair dan Daerahnya.Jakarta:Gunung
Agung,cetakan keenam).Jadi,Kritik sastra adalah memberi evaluasi atau penilaian baik dan
buruk terhadap karya sastra.
Dalam melakukan evaluasi atau penilaian itulah seorang kritikus harus memiiki tolak
ukur,patokan,atau standar yang di pakai sebagai dasar mengukur atau menilai karya
sasta.tolak ukur dalam kritik sastra biasanya di sebut dengan istilah norma dan kriteria.Norma
di sini diartikan sebagai aturan,ukuran,atau kaidah yang digunakan oleh seorang kritikus
sebagai ukuran yang menjadi dasar penilaian penetapan suatu karya sastra itu bermutu
ataupun tidak bermutu,baik atau buruk.Baik norma maupun kriteria ditentukan oleh
kritikus,pengamat,ataupun penilai atas dasar.

1
1.2 Rumusan Masalah
Penulis sudah menyusun sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah ini.
Ada pula sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam karya tulis ini antara lain:
1. Apa Pengertian Kritik Sastra?
2. Bagaimana Menilai Kritik Sastra?
3. Apa Kreteria dalam Penilaian Kritik Sastra?
4. Apa Saja Prinsip-prinsip dalam Kritik Sastra?
5. Bagaimana Paham penilaian kritik Sastra?
1.3 Tujuan
Bersumber pada rumusan permasalahan yang disusun oleh penulis di atas, hingga tujuan
dalam penyusunan makalah ini merupakan bagaikan berikut:
1. Mengetahui Pengertian Kritik Sastra
2. Mengetahui Cara Menilai Kritik Sastra
3. Mengetahui apa saja Kreteria dalam Penilaian Kritik Sastra
4. Mengetahui Prinsip-prinsip dalam Kritik Sastra
5. Mengetahui Bagaimana Paham penilaian dalam kritik Sastra

2
BAB II
Pembahasan
2.1 Kritik Sastra
Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang
berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti
"instruksi" atau "ajaran". Menurut Wellek (1971), hakikatnya karya sastra adalah karya
imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan. Berbicara
tentang sastra tidak dapat dilepaskan dari bidang-bidang studi sastra. Menurut Rene Wellek
dan Austin Warren (2016), studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori
sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling
berkaitan. Salah satu bidang sastra itu adalah ilmu tentang kritik sastra.
Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang
melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra. Thrall dan Hibbard (1960)
menyebutkan bahwa kritik merupakan keterangan, kebenaran analisis atau judgmen suatu
karya sastra, sedangkan Hardjana (1981) mengemukakan bahwa kritik sastra merupakan
basil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat
pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Sementara
itu Abrams (1981) menyatakan bahwa kritik sastra merupakan suatu studi yang berkenaan
dengan pembatasan, pengkelasan, penganalisisan, dan penilaian karya sastra. Secara
lebih sederhana lagi Jassin (1962) menyatakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan
baik buruknya suatu karya sastra.
Begitu juga pendapat Wellek, Jassin, dan Hudson yang disebutkan oleh Pradopo (2002),
bahwa kritik sastra adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki
suatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memeriksa karya sastra mengenai
kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, juga menyatakan pendapatnya tentang hal tersebut.
Jadi kritik sastra mencoba mengkaji dan menafsirkan karya sastra secara lebih luas dengan
melihat kualitas berupa kelebihan dan kekurangan dari sebuah kacamata fokus tertentu.
Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi atau
penilaian. Penilaian ini menunjukkan nilai seni karya sastra yang sedang. Penilaian ialah
usaha menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya sastra yang dikritik. Dengan

3
mengetahui penilaian karya sastra, orang dapat memilah-milahkan mana karya sastra yang
bemilai dan mana yang tidak, mana karya yang bermutu tinggi dan mana yang rendah atau
sedang-sedang saja.

2.2 Menilai Sastra


Luxemburg dalam bukunya Pengantar Ilmu Sastra, menguraikan bahwa ilmu sastra
tidak menilai, tidak bertindak sebagai hakim, tetapi bersama dengan para ahli estetika kita
dapat mempelajari fakta dan relasi-relasi mana diungkapkan dalam sebuah penilain. Bila kita
mengatakan Ramayana merupakan karya sastra dunia terbaik, maka ucapan itu, seperti
penilaian, mengandung beberapa implikasi. Karena penilaian itu membandingkan semua
karya literer lainnya dianggap lebih rendah daripada Ramayana. Bila kita mengatakan
Ramayana adalah karya Sansekerta terbaik, maka perbandingan itu tidak terlalu jauh, tetapi
memang diimplikasikan suatu perbandingan dengan karya-karya Sansekerta lainnya.
Sebuah penilaian yang masuk akal hendaknya memerhitungkan sejauh mana objek
yang satu dapat dibandingkan dengan objek yang lain. Perbandingan misalnya hendaknya
dilakukan dalam batas suatu priode tertentu atau dalam batas satu jenis sastra tertentu. Bila
kita mengadakan perbandingan di luar batas satu priode atau jenis sastra, maka baiknya
dikatakan , butir-butir mana atau aspek-aspek mana yang ingin dibandingkan. Syair
Ramayana dalam teks Sanskerta misalnya dapat dibandingkan dengan versi Jawa Kuno
dalam Jawa Modern. Dialog-dialog dalam karya seorang pengarang Inggris dari abad ke-17
dapat dibandingkan dengan dialog-dialog dalam karya Graham Greene misalnya. Selain itu,
kalau kita ingin mengadakan perbandingan atau penilaian, maka seyogyanya diperhitungkan
juga pandangan mengenai sastra yang dapat berubah dan sidang pembaca yang disapa oleh
seorang pengarang. Sebuah legenda dari zaman dahulu jangan dibandingkan dengan cerita
dongeng bagi anak-anak zaman sekarang. Selaian itu, suatu penilaian selalu menimbulkan
dua pertanyaan, kreteria mana dipergunakan sang kritikus dalam penilaiannya. Dan alas an-
alasan mana yang diajukannya untuk mendukung penilaiannya.
Penilaian-penilaian tidak tetap sama dari zaman ke zaman, sementara seniman tidak
dihargai oleh orang-orang sezaman dan baru di kemudian hari diakui kebesarannya. Ada pula
kurun-kurun waktu sebuah karya tertentu seolah-olah dilupakan. Karya-karya sastra yang kini
dianggap sebagai puncak-puncak kesastraan, dulu diremehkan. Hamlet karangan Shakespeare
oleh Voltaire dianggap tulisan seorang yang sedang mabuk, tetapi lima tahun kemudian
Victor Hugo menilai Shakespeare lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine, “dewa”

4
drama di Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19 menulis tentang
soneta-soneta Shakespeare, mengemukakan bahwa lebih baik Shakespeare tidak pernah
menulis sonata-sonetanya. Pada abad ke-19 penilaian yang senegatif itu dianut oleh
kebanyakan kritikus.
Perubahan dalam penghargaan bahwa tidak ada seorang kritikus yang memiliki sifat-
sifat yang menjamin bahwa karya itu sepanjang masa akan dijunjung tinggi. Namun dapat
diduga bahwa karya-karya yang sering dan untuk jangka waktu yang cukup panjang dinilai
tinggi, mengandung unsur-unsur dan struktur-struktur yang pantas dinilai tinggi. Tetapi
sampai sekarang tak ada seorang pun untuk karya apa pun yang mengajukan alasan-alasan
yang meyakinkan, bahwa karya itu memiliki struktur-struktur dan unsur-unsur yang harus
dinilai tinggi untuk selama-lamanya.
Sementara itu, perubahan dalam penilaian tentu saja berkaitan dengan perbedaan
dalam keadaan sosial dan historik masyarakat umum dan dengan pandangan mengenai sastra
yang berubah. Aliran Romantik menolak soneta-soneta Shakespaere karena aliran tersebut
suka yang alami dan spontan, padahal soneta Shakespaere tersusun dengan berbelit-belit.
Penghargaan yang berubah dapat juga disebabkan karena penafsiran baru yang dapat
dilakukan terhadap salah satu karya tertentu.
Perbedaan dalam penilaian tidak hanya terjadi dari zaman ke zaman, tetapi dalam
kurun waktu yang sama kelihatan juga antara pembaca-pembaca dari berbagai aliran.
Keyakinan pribadi, sosial, relegius, dan politik dapat menyebabkan perbedaan dalam
penilaian. Lagu-lagu perjuangan dari Amerika Selatan dinilai tinggi oleh kaum cendekiawan
kiri. Selain itu perubahan dalam pandangan mengenai sastra ada pengaruhnya. Bila kita
perpedoman pada fiksionalitas sastra, maka lagu-lagu perjuangan tidak akan dinilai tinggi.
Kritisi yang menjunjung tinggi kesatuan logik dalam sebuah karya sastra pasti tidak suka
akan prosa eksperimental.

2.3 Kreteria dalam Penilaian


Dalam buku Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg menjelaskan bahwa suatu penilaian
diberikan berdasarkan kreteria. Seringkali kreteria itu diungkapkan, tetapi kadang-kadang
dapat kita lacak kembali, kreterium mana yang dianut. Penilaian terhadap suatu karya sastra
juga dipengaruhi oleh pandangan seseorang mengenai fungsi sastra. Fungsi yang berlainan
pula menimbulkan kreteria lain atau memengaruhi hirarki kreteria, mana yang paling
dipentingkan.

5
Berkaitan uraian Luxemburg, Pradopo sementara itu menguraikan bahwa kritik sastra
adalah pertimbangan baik buruk karya sastra, pertimbangan bernilai baik tidaknya. Dalam
kata pertimbangan terkandung arti memberi nilai. Sebab itu, dalam kritik sastra tak dapat
ditinggalkan pekerjaan menilai. Karya sastra adalah termasuk karya seni dan di dalamnya
sudah mengandung penilaian seni. Dan kata seni itu berhubungan dengan pengertian “indah”
atau “keindahan”.
Tepatlah apa yang diungkapkan oleh Rene Wellek bahwa kita tidak dapat memahami
atau menganalisis karya seni tanpa menunjuk kepada nilai, karena kalau kita menyatakan
suatu sruktur sebagai karya seni, kita sudah memakai timbangan penilaian. Dengan begitu,
jika kita mengeritik karya sastra tanpa penilaian, maka karya sastra yang kita kritik tetap
tidak dapat kita pahami baik-buruknya, atau berhasil tidaknya sastrawan mengungkapkan
pengalaman jiwanya.
Membicarakan atau menganalisis karya sastra tanpa pembicaraan penilaian menjadi
kehilangan sebagian artinya, kehilangan “rasanya” karena di dalam karya sastra yang menarik
adalah sifat seninya, dan sifat estetik hanyalah yang dominan pada karya sastra. Sebab itu,
membicarakan karya sastra sebagai karya seni harus disertai penilaian, karena kritik sastra
tidak dapat dipisahkan dengan penilaian.
Berkaitan dengan penilaian, maka timbullah berbagai pertanyaan, “Bagaimanakah
karya sastra yang bernilai?”; syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi supaya karya sastra
dapat dikatakan bernilai? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menghubungkan arti
dan hakikat karya sastra serta fungsinya. Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan
gunanya. Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat
dan fungsi karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya
seni, hanya menjadi alat propaganda, yang sama nilainya dengan teks pidato.
Hadimadja (1952) mengemukakan bagaimana H.B. Jasssin menyaring sajak-sajak
yang diterimanya, maka syarat pertama yang dilakukan ialah kepada keindahan, kemudian
pada moral. Baik keindahan maupun moral keduanya subjektif. Oleh karena itu, menurut
Hadimadja berkaitan penerimaan H.B.Jassin menjawab bahwa “sebuah keindahan seni
biasanya tidak perlu menuntut pengertian yang diletakkan dalam hasil seni itu. Apabila
keindahan terasa, cukuplah bagi si pendengar atau si peninjau untuk menerimanya. Akan
tetapi bila pengertian itu didapatnya, maka lebih senanglah dia”.
Dalam menjawab bagaimana baik buruknya sajak, Hadimadja menggunakan perasaan
intuitif sehingga tidak ada ketentuan apakah dasar-dasar konkret untuk menentukan indah
tidaknya karya sastra. Hadimadja tidak menganalisis hubungan nilai, hakikat sastra, dan
6
fungsi seni sastra sehingga jawabannya sangat subjektif dan tidak jelas. Padahal hubungan
nilai, hakikat sastra, dan fungsi sangat penting dalam menilai karya sastra, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Rene Wellek bahwa “bagaimana orang menilai dan menentukan nilai sastra?
Harus kita jawab dengan definisi-definisi. Seharusnya orang menilai seni sastra apa adanya;
dan menaksir nilai itu menurut kadar sastra, hakikat, fungsi, dan penilaian erat
hubungannya.”
2.4 Prinsip-prinsip Kritik Sastra
Untuk mengetahui apakah hakikat seni sastra, Pradopo menjawab bahwa kita terlebih
dahulu meninjau definisi sastra. Adapun definisi sastra yang dikutip oleh Pradopo dalam
bukunya Prinsip-prinsip Kritik Sastra, sebagaimana berikut ini.
1. Sastra (castra) dari bahasa Sansekerta yang artinya tulisan atau bahasa yang indah:
yakni hasil ciptaan bahasa yang indah. Jadi kesusastraan ialah pengetahuan mengenai hasil
seni bahasa perujudan getaran jiwa dalam bentuk tulisan (Gazali, 1958). Sementara itu, arti
seni bagi Gazali ialah segala sesuatu yang indah. Keindahan yang menimbulkan kesenangan
yang dapat menggetarkan sukma, yang menimbulkan keharuan, kemesraan, kebencian, atau
peradangan hati, gemas, dan dendam.
2. Kesusastraan = kumpulan buku-buku yang indah bahasa dan baik isinya. Oleh karena
itu, kesusastraan itu adalah seni bahasa yang meliputi (a) kepandaian seni yang dipergunakan
orang, jika ia hendak menyatakan yang seni, indah, dan permai dengan bahasa sebagai
alatnya (Simorangkir, 1959).
3. Hasil pekerjaan pengarang dan penyair itu dinamakan kesusastraan atau seni sastra.
Kesusastraan adalah cabang dari kesenian dan kesenian seperti itu kita maklum bagian dari
kebudayaan. Di samping itu, kesusastraan pokok katanya sastra (castra. Skt) = tulisan atau
bahasa; su (Skt); indah, bagus . . . susastra = bahasa yang indah, maksudya hasil ciptaan
bahasa yang indah atau seni bahasa. Kesusastraan mendapat awalan dan akhiran (ke-an).
Yang dimaksud dengan kesusastraan ialah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan
atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat
atau anggota masyarakat.” ( Usman, 1960).
4. Kesusastraan atau kesenian bahasa atau seni sastra adalah “kesenian” suatu bangsa
dalam melahirkan pikiran, perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai alatnya. Kesenian
adalah keindahan-keindahan yang terkandung atau tersembunyi di dalam “kebudayaan” dan
berjiwa kecantikan.” (Suparlan, 1959). Di samping itu Suparlan membagi kesusastraan
menjadi dua bagian, yaitu kesusastraan umum dan kesusastraan khusus Kesusastraan umum

7
adalah “pendek, segala buah pikiran, buah pena yang berwujud cerita dongeng, surat-surat, isi
kitab ilmu pengetahan yang sudah menjadi milik satu bangsa”; kesusastraan khusus, yang
mempergunakan bahasa kesusastraan, ialah bahasa yang indah, bahasa pilihan dapat
membuat pembacanya atau pendengarnya terharu, baik karena pilihan-pilihan susun katanya
maupun disebabkan susunan jiwa kalimat-kalimatnya.
5. Kata kesusastraan adalah kata pinjaman. Diambil dari bahasa Sanskerta. Artinya: segala
yang tertulis yang menerbitkan rasa senang disebabkan keindan kata-kata dan susunannya
serta ketepatannya dengan yang diperkatakan. Bahasa yang tertulis itulah kesusastraan, tetapi
tidak semua bahasa tulis dinamakan kesusastraan, yang isinya merupakan ilmu pengetahuan
tidak termasuk kesusastraan. Warta berita yang serupa dengan itu pun tidak termasuk
kesusastraan. Kata seni menunjukkan bahwa pemakaian bahasa harus berkesan keindahan
bagi si pembaca atau si pendengar (Sitompul, 1954).
6. Dalam Theory of Literature, Rene Wellek mengemukakan ada tiga definisi, pertama,
seni sastra ialah segala sesuatu yang dicetak; kedua, seni sastra terbatas pada buku-buku yang
terkenal, dari sudut isi dan bentuknya. Artinya definisi ini bercampur dengan penilaian, dan
penilaian itu hanya didasarkan pada segi estetiknya saja atau segi intelektualnya saja; ketiga,
Rene Wellek mengatakan agaknya lebih baik jika isilah “kesusastraan” dibatasi pada seni
sastra yang bersifat imaginative, sifat imaginative ini menunjukkan dunia anagan dan
khayalan hingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik, dan drama karena ketiganya itu yang
ditunjuk adalah dunia angan. Dengan begitu, kesusastraan mengakui adanya sifat fictionaly,
(sifat menghayalkan), invention (penemuan atau penciptan), dan imagination (mengandung
kekuatan menyatukan angan untuk mencipta) sebagai hakikat seni sastra. Fictionaly di sini
menunjukkan dunia khayalan, artinya dunia yang adanya hanya karena khayalan sastrawan,
bukan dunia yang nyata, yang sungguh-sungguh ada. Invention, menunjukkan pengertian
adanya penemuan-penemuan yang baru akibat pengkhayalan, jadi ini adanya keaslian cipta.
Sedangkan imagination menunjukkan adanya daya mengangankan dan menyatukan sesuatu
yang baru, yang asli, untuk menghasilkan dunia angan. Karya sastra dengan begitu, Rene
Wellek mengungkapkan ialah karya-karya yang fungsi estetiknya dominan.

Karya sastra yang bermutu seni adalah kaya sastra yang imaginatif dan yang seni. Dalam arti
karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-
penciptaan baru (kreativitas) dan keaslian cipta, di samping itu yang bersifat seni. Sementara
ini dipergunakan istilah “seni” bukan kata “indah”, karena pada zaman sekarang pemakaian
kata “indah” itu rasanya tidak cocok dengan keadaan kesusastraan sekarang, kemudian
8
keindahan itu bukan lagi tujuan penciptan sastra. Oleh karena itu, Herbert Read berpendapat
bahwa : . . . karena seni tidak perlu indah; hingga tak dapat dikatakan begitu diributkan.
Apakah kita menilai persoalan itu menurut sejarah, maupun secara kemasyarakatan, kami
dapati bahwa seni sering tidak punya keindahan atau bukan barang yang indah.”
Demikian pula apa yang dikatakan oleh Leo Tolstoy bahwa keindahan (beauty) bukan tujuan
seni, karena “ . . . orang akan sampai kepada pengertian bahwa arti makan terletak pada
pemberian zat-zat makanan pada tubuh, hanya bila mereka tidak menganggap lagi bahwa
objek dari aktivitas tersebut adalah kesenangan. Dan ini sama halnya dengan kesenian. Orang
akan sampai kepada pengertian arti seni hanya bila mereka berhenti menganggap bahwa
tujuan aktivitas itu adalah keindahan, ialah kesenangan. Pengakuan keindahan ialah sebagai
tujuan seni, tak hanya menganggalkan kita untuk mendapatkan jawaban apakah seni itu,
tetapi sebaliknya dengan memindahkan pertanyaan itu ke daerah lain yang sangat berlainan
dengan seni, tak mungkin hal itu memberikan definisi.” Dengan demikian, indah menurut
sementara pendapat sudah tidak dapat dipakai sebagai kreteria karya seni (sastra) karena itu
lebih baik dipakai kata atau istilah “seni” untuk menyatakan sifat-sifat estetik karya sastra.
Arti indah tidak dapat meliputi atau mencakup keseluruhan arti seni karena dalam pengertian
seni ada unsur lainnya, yaitu pengalaman jiwa yang bersifa “seni” juga, karena dapat berhasil
diungkapkan dengan indah. Untuk pengalaman jiwa yang seni ini biasanya disebut sublim
atau agung. Jadi, dalam perkataan seni itu terkandung arti indah dan agung, besar atau
sublim. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tjernisvcki bahwa jika estetika dimaksudkan ilmu
seni, maka sudah tentu ia harus berbicara tentang sublim karena daerah seni meliputi
kesubliman. Sublim menurut Tjernisvcki keindahan dan kesubliman adalah dua pengertian
sama sekali berbeda yang memiliki ciri-ciri “lebih besar dan lebih kuat”. Memang sering
para ahli estetika kesubliman itu disatuartikan dengan keindahan, disebut difficult beauty, dan
di samping itu ada easy beauty (keindahan mudah) didapat dari bahan yang mudah (bunyi
indah, kenangan indah, dan sebagainya), dan difficult beauty (sublimes, keindahan sukar)
atau keindahan yang mengandung, kesakitan, keburukan (Rene Wellek, 1978).
Berdasarkan beberapa pendapat tentang apa itu kesusastraan, apa itu indah dan seni, maka
dalam hal ini jawaban yang ditawarkan bahwa karya sastra bernilai seni bila di dalamnya
terdapat sifat seni, yaitu yang mengandung keindahan dan kesubliman. Sifat indah, sublim
dan besar itu kian banyak yang terdapat dalam karya sastra, dan kian banyak menunjukkan
daya cipta dan keaslian cipta, maka makin tinggi nilai seninya. Sementara menilai karya
sastra berdasarkan fungsinya, haruslah dipakai kreteria hakikatnya yaitu menyenangkan dan
berguna. Hal ini sejalan apa yang diuraikan oleh Darma bahwa Horace (baca Horatius)
9
menganggap, karya seni yang baik, termasuk sastra selalu memenuhi dua kreteria, yaitu dulce
et utile (rasa nikmat dan manfaat atau kegunaan). Tentu saja kenikmatan ini hanya dimiliki
oleh pembaca yang bermutu. Sastra harus memberi manfaat atau kegunaan, yaitu kekayaan
batin, wawasan kehidupan (insight into life), dan moral.
Masalah moral akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan yang ujungnya menyangkut
kreativitas. Pengarang menulis tidak lain untuk menciptakan karya sastra yang estetis.
Sementara itu, pembaca yang kritis akan merasa digurui. Moral dengan demikian, dapat
mengurangi nilai estetis, dan karena itu mengganggu kenikmatan pembaca.
Sebagai contoh, tengoklah novel Sutan Takdir Alsyahbana Layar Terkembang. Novel ini
menuai berbagai kritik, karena moral novel ini sangat jelas; semua bangsa Indonesia,
khususnya pemuda dan pemudi harus berpikir ke depan, ke dunia barat yang maju. Karena
itulah, novel ini dianggap sebagai “esai berbaju novel”. Pengertin esai di sini tidak lain adalah
khotba.
Dalam jangka panjang tampak bahwa nilai estetika novel Armijn Pane Belenggu lebih
menonjol daripada Layar Terkembang. Belenggu tidak menggurui, sedangkan Layar
Terkembang menggurui. Bukan hanya itu. Berbeda dengan Layar Terkembang, Belenggu
tidak membawakan moral yang baik.
Dalam Belenggu tampak kehidupan keluarga yang bobrok. Tokoh-tokoh utamanya bukanlah
orang-orang yang bersih. Tono, sang suami, menyeleweng dengan seorang perempuan
bernama Rohaya, sementara Tini, istrinya, patut diragukan keperawanannya ketika menikah
dengan Tono. Sebagai seorang yang berpikiran modern dengan orientasi Barat, Tono dapat
menerima Tini dengan baik, tanpa memertimbangkan masa lalu Tini. Ketika sudah menjadi
istri Tono, Tini pernah pula berhubungan dengan mantan kekasihnya dulu. Perkawinan
akhirnya buyar.
Dari segi moral. Belenggu benar-benar negatif. Namun justru moral negatif inilah nilai estetik
Belenggu lebih baik daripada Layar Terkembang. Nilai kontemplatif Belenggu lebih tinggi,
dan karena itu sampai sekarang Belenggu masih diperbincangkan dengan semangat tinggi,
sementara Layar Terkembang hanya dicatat sebagai sebuah bagian sejarah sastra.
Karya Tolsytoy juga mengalami masalah yang sama, sesuai dengan konsep kreatvitasnya.
Pada waktu masih muda, dia hidup bergelimang dalam dunia keduniaan. Novel-novel
puncaknya, antara lain Perang dan Damai dan Anna Karenina ditulis tidak memikirkan
masalah moral.
Cerpen Tolstoy “Tuhan Tau, Tapi Menunggu’ menandai bagian tengah perjalanan hidupnya.
Dia masih mementingkan dunia duniawi, namun sudah mulai masuk ke dunia rohani. Moral
10
dalam cerpen ini juga meragukan; seorang yang begitu tulus mulia hatinya harus kehilangan
segala-galanya, dan mati dengan stigma sebagai pembunuh. Mungkin dalam cerpen ini
Tolstoy memikirkan masalah kehidupan sesudah mati: kebahagiaan sebenarnya tidak terletak
dalam kehidupan sehari-hari, namun akan datang setelah seseorang memasuki alam kubur.
Bagian ketiga kehidupan Tolstoy membawa warna yang jauh berbeda. Dia menjadi sangat
relegius dan karya-karyanya berubah menjadi semacam khotbah keagamaan. Semua karyanya
pada bagian ketiga hidupnya ini dianggap sebagai khotbah belaka, dan karena itu tidak
dianggap sebagai karya sastra yang baik.
Dalam semua novel-novel Jane Austen, sementara itu, tampak dengan jelas bahwa kerja
paling berat dalam menulis baginya tidak lain adalah memadukan nilai-nilai estetika dan
nilai-nilai moral. Semua tokohnya harus menarik, dan untuk benar-benar dapat menarik,
nilai-nilai moral harus dilanggar. Dia berhasil dengan baik karena dia akhirnya sanggup
memadukan tuntutan estetika dan tuntutan moral.
Keberhasilan Jane Austen dan pengarang lain dalam mengatasi dilema tuntutan estetika dan
tuntuan moral melahirkan kreteria lain, yaitu bentuk atau form dan isi atau content harus
seimbang. Bentuk adalah cara atau teknik menulis, sedangkan isi adalah pemikiran yang akan
dituangkan dalam karya sastra. Bentuk yang terlalu baik akan melahirkan karya sastra yang
kosong, sedangkan isi yang baik tanpa diimbangi oleh bentuk yang tepat akan melahirkan
karya sastra yang menggurui.
Salah satu bagian bentuk adalah bahasa yang baik dengan isi yang tidak bermutu akan
melahirkan retorika kosong belaka. Kesukaran pemakaian bahasa ini dialami oleh semua
penulis, khususnya penyair. Perjuangan penyair untuk menyusun bahasa pada hakikatnya
identik dengan perjuangan untuk menyampaikan gagasan berbobot tinggi.
Moral sementara itu, masuk pada bagian isi. Perimbangan yang baik antara bentuk dan isi,
dengan demikian, menyangkut masalah moral. Namun dalam sastra modern ada
kecenderungan untuk mengabaikan moral, sebagaimana yang tampak dalam Belenggu.
Karena itu, dalam perkembangannya, isi cenderung hanya berupa pemikiran yang belum
tentu ada kaitanya dengan moral.
Isi dengan sendirinya tidak lepas dari konsep pengarangnya. Konsep ini tampak antara lain
dalam aliran masing-masing pengarang. Sajak-sajak William Wordsworth, misalnya, selalu
dipenuhi oleh bahasa sehari-hari serta pemujaan terhadap alam sebagai penuntun kehidupan
manusia. Semua sajaknya sesuai dengan aliran dia, yaitu romantise. Teodore Dreiser,
sementara itu, selalu menggambarkan dunia kelas bawah yang ambisius dan akhirnya gagal
mencapai kebahagiaan, tidak lain karena dia penganut aliran naturalisme.
11
Dalam perkembangan berikutnya, isi dapat pula identik dengan ideologi politik, sebagaimana
yang tampak dalam sajak para penyair Lekra. Semua sajak mereka tidak lain adalah alat
untuk memerjuangkan komunisme. Makna ideologi dapat meluas, antara lain menyangkut
masalah agama dan kepercayaan, sebagaimana misalnya sastra Islam, sastra sufi, dan lain-
lain.
E.M. Foster, seorang novelis dan teoritikus sastra, dalam Asects of the Novel antara lain
menulis mengenai cerita dan plot, serta tokoh dan penokohan. Cerita adalah sebuah peristiwa
yang diikuti oleh peristiwa lain, kemudian diikuti oleh peristiwa lain lagi, dan demikianlah
seterusnya. Plot, sementara itu, rangkaian peristiwa yang diikat oleh sebab-akibat.
Contoh cerita, Dia kemarin berangkat dari rumah ke kantor jam 7.00 pagi, sampai di kantor
jam 8.00 pagi, kemudian dia langsung bekerja sampai jam 12.00, lalu beristrahat makan siang
sampai jam 13.00, melanjutkan pekerjaannya sampai jam 17.30, lalu dia pulang, sampai di
rumah dia membaca Koran sebentar, lalu mandi, dan seterusnya.
Contoh plot, Raja sakit, karena itu dokter segera dipanggil. Namun ternyata dokter tidak
sanggup menyembukan raja, dan karena itu dipanggillah dokter terkenal dari luar negeri.
Ternyata dokter inipun tidak sanggup menyembuhkan raja. Sakit raja makin parah, dan
karena itu Ratu makin sedih. Pada suatu hari, setelah melalui masa-masa kritis, Raja pun
wafat Ratu bertambah sedih, dan akhirnya Ratu pun meninggal pula.
Demikianlah perbedaan antara cerita dan plot dalam teori, kendati dalam praktek cerita dapat
bermakna karya sasta, dapat pula berarti plot. Namun, menurut teori, karya sastra yang baik
bukan sekedar cerita, tapi plot. Antara satu peristiwa dan peristiwa lain diikat oleh hukum
sebab-akibat.
Kunci penting sebab akibat tidak lain adalah konflik, dan kunci penting konflik adalah tokoh
dan penokohan. Sebagaimana halnya manusia dalam kehidupan sehari-sehari masing-masing
tokoh mempuyai watak sendiri-sendiri dan kadang-kadang bertentangan satu sama lain.
Perbedaan watak inilah yang memicu timbulnya konflik, apalagi watak-watak itu saling
bertetangan.
E.M. Forser membagi tokoh menjadi dua, yaitu tokoh bulat atau roud character dan tokoh
pipih atau flat character. Tokoh bulat mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar dari
pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Konflik pada umumnya tercipta oleh
interaksi antara satu tokoh bulat dan toh bulat lainnya. Tokoh pipih sebaliknya, tidak
mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan diri
dengan keadaan. Mulai dari awal sampai akhir tokoh pipih tidak mengalami perubahan watak
sama sekali.
12
Dalam sastra dunia ada tokoh-tokoh yang tampaknya tidak dapat beruba, namun pada
hakikatnya berubah. Tokoh sentral tragedi Shakespeare Macbeth, misalnya, sejak awal
sampai akhir tetap serakah dan kejam. Namun titik berat keserakahan dan kekejamannya
terletak pada sifat buruk dia, yaitu ambisi yang berlebihan. Dia ingin menjadi raja, dan karena
itu semua orang dianggap dapat menghalangi keinginannya harus dimusnahkan.
Ambisi Macbeth baru tampak ketika tiga peri meramalkan dia akan menjadi raja pada suatu
saat kelak. Seandainya ia tidak pernah bertemu dengan tiga peri itu, ambisinya akan tetap
berkobar, kendati mungkin dengan bentuk dan proses lain. Lalu, dengan cerdik, namun juga
licik, bersama dengan istrinya dia membuat rencana dengan cermat untuk menghabisi semua
pihak yang dapat menghalangi ambisinya. Tindakan dia bersama istrinya untuk membunuh
mereka menunjukkan bahwa dia belajar dari keadaan, dan karena itu dia bukan tokoh pipih.
Sebagai ekoran teori E.M. Forster, berkembanglah berbagai macam kreteria untuk
menentukan apakah tokoh bulat dari segi estetika sastra dapat dianggap baik atau tidak. Dapat
diambil kesimpulan, tokoh bulat yang baik harus konsisten dari setiap perubahn dan harus
mempunyai motivasi yang kuat untuk berubah. Konsistensi dan motivasi Macbeth terletak
pada ambisinya, dan ambisi inilah salah satu kunci kekuatan dia sebagai tokoh bulat.
Tanpa interaksi tokoh satu dengan tokoh lain, sekali lagi konflik tidak akan tercipta. Karena
konflik merupakan bagian integral yang harus ada, maka sebagai ekoran dari teori E.M.
Forster lahirlah berbagai kreteria untuk menilai apakah sebuah konflik itu baik atau tidak.
Dari berbagai kreteria itu dapat disimpulkan bahwa konflik yang baik adalah konflik
delematis, tokoh berhadapan dengan dilemma yang bernar-benar tidak memberi kesempatan
untuk melarikan diri.
Contoh konflik yang sangat baik dalam sastra dunia tampak dalam drama tregedi Yunani
Kuno Antine, karya Sophocles. Dalam drama tragedi ini Raja Creon dari Thebes dikisahkan
mempunyai dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Dua anak laki-laki ini bermusuhan
dalam perang saudara dan akhirnya dua-duanya tewas. Oleh Creon salah satu anaknya yang
lain dianggap pengkhianat. Mayat anak yang dianggap pahlawan harus dimakamkan dengan
upacara kebesaran, sedangkan mayat anak yang dianggap pengkhianat harus dilemparkan ke
padang terbuka untuk menjadi makanan burung-burung liar, tanpa upacara sama sekali.
Antigone anak perempuan tertua, menganggap bahwa dua saudara laki-lakinya dimakamkan
dengan layak, dan karena itu dia mempersiapkan sebuah upacara pemakaman untuk
menghormati abangnya yang mayatnya akan dibuang ke padang terbuka. Creon melarang,
namun dia tetap pada pendiriannya. Konflik delematis harus dihadapi Antigone: kalau dia

13
menuruti kehendak ayahnya, salah satu mayat abangnya akan dinistakan, kalau dia melanggar
perintah ayahnya dia akan dihukum mati.
Konsistensi dan motivasi Raja Creon amat jelas, demikian pula konsistensi dan motivasi
Antigone. Sebagai tokoh-tokoh bulat, Raja Creon dan Antigone sangat memenuhi persyaratan
estetika sastra. Konflik dalam drama tragedi juga tinggi nilai estetika sastranya karena
dilemma Antigone benar-benar tidak mungkin diatasi kecuali dengan kompromi, dan dia
menolak untuk kompromi.
Sebagai konsekuensi keharusan adanya konflik, muncul tuntutan lain, yaitu klimaks sebagai
penentu penutup plot. Makin tinggi nilai estetik sebuah karya konflik, makin tinggi pula nilai
estetika sastra. Karena klimaks memegang kunci penutup plot, maka karya sastra dengan
konflik yang baik an klimaks yang baik juga akan memunyai penutup yang baik.
Contoh klimaks yang baik tampak antara lain dalam cerpen Gu de Maupassant, “Kalung”.
Mathilda, tokoh sentral dalam cerpen ini, bukanlah seorang yang kaya, namun terkenal
rupawan dan selalu berpenampilan menarik. Gaji suaminya juga biasa-biasa saja. Merasa
kurang beruntng karena tidak mungkin hidup mewah, dia bersaha keras untuk bergaul dengan
kelas atas, sebuah kelas yang sebetulnya berada di luar jangkauanya.
Dengan segala daya upaya, akhirnya dia memeroeh undangan untuk menghadiri sebuah pesta
mewah sebuah keluarga kelas atas. Supaya dalam pesta itu tampak anggun, dia meminjam
sebuah kalung. Dengan menganakan kalung pinjaman itu, datanglah dia ke pesta, dan, sesuai
dengan harapnnya, semua orang mengagumi keanggunannya.
Namun tanpa diduga, kalung itu hilang. Sebagai seseorang yang berpenampilan anggun dan
tampak kaya, dengan sendirinya dia tidak mau megakui kepada pemilik kalung bahwa dia
telah menghilangkan kalungnya. Diam-diam hutang ke sana ke mari untuk membeli sebuah
kalung yang sangat mahal untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
Sementara untuk mengembalikan hutang-hutangnya dia harus bekerja siang dan malam
selama bertahu-tahun, sekarang dia tampak sangat tua, kulitnya berkeriput, dan tubuhnya
kurus kering. Secara kebetulan, pada suatu hari pemilik kalung melihat dia sedang bekerja
keras menyapu di pinggi jalan. Kendati dia sudah banyak berubah, akhirnya pemilik kalung
mengenalinya kembali.
Pemilik kalung bukan hanya terperana menyasikan penampilannya sekarang, namun juga
kisahnya mengenai mengapa Mathilda sampai menderita seperti ini. Kalung dahulu itu
sebetulnya hanyalah imitasi, bukan kalung yang sebenarnya. Karena itu, ketika Mathilda dulu
mengembalikannya kepada pemiliknya, pemiliknya tampak tidak begitu peduli. Demikianlah,
Mathilda telah menyengsarakan dirinya sendiri karena menyangka bahwa kalung itu dulu
14
asli, dan untuk memertahankan martabatnya, dia terpaksa menggantinya dengan kalung asli
yang sangat mahal.
Klimaks terjadi ketika kalung hilang, seandainya kalung tidak hilang, penutup plot tentu akan
berbeda. Klimaks sementara itu, sebagai ekoran dari penokohan yang baik dan konflik yang
baik, merupakan salah satu kreteria untuk menentukan apakah sebuah karya sastra mutu
estetiknya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Ada satu hal penting lain bagi penutup plot cerpen ini, yaitu surprice. Marthilda dan pembaca
sama sekali tidak menduga bahwa kalung itu hanyalah imitasi, dan karena itu, baik Martilda
maupun pembaca terkecoh. Sementara itu, pemilik kalung juga sama sekali tidak menduga
bahwa kalung yang dikembalikan Martilda benar-benar asli dan harganya mahal sekali.
Tokoh bulat, konflik, dan klimaks, merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh sebuah
karya sastra yang baik, namun surprise, bukan merupakan tuntutan mutlak. Apakah sebuah
surprise dapat menambah nilai estetika atau tidak terpulang kepada hakikat masing-masing
karya sastra. Beberapa contoh justru menunjukkan bahwa surprise merupakan kelemahan
karya sastra.
Salah satu contoh surprise yang justru memerlemah karya sastra tampak dalam cerpen Edith
Wharton, “Demam Roma”. Pada penutup plot baik pembaca maupun salah satu tokoh dalam
cerpen ini, Elida Slade, baru menyadari bahwa anak perempuan sahabat karibnya, Grace
Ansley, tidak lain adalah anak kandun Elida Slade sendiri. Surprise di sini hanya berfungsi
untuk memberi kejutan kepada Elida Slade dan pembaca, tanpa fungsi lain yang lebih
berbobot.
Menurut Kuntowijoyo, salah satu kelemahan sastra Indonesia adalah lemahnya konflik.
Pengarang tidak mampu menciptakan konflik yang bermakna, tidak lain karena pengarang
adalah produk masyarakat Indonesia, sementara masyarakat Indonesia cenderung
menghindari konflik sehingga berbagai masalah yang seharusnya dapat diselesaikan tidak
pernah terselesaikan dan dibiarkan berlarut-larut sampai hilang dengan sendirinya.
Contoh konflik yang lemah tampak dalam novel Nh. Dini, Namaku Hiroko. Tokoh sentral
novel ini, Hiroko adalah seorang gadis desa, melarat, namun cantik. Tujuan hidupnya hanya
satu, yaitu hidup dengan mudah, mempunyai banyak uang, tanpa bekerja keras. Dia sama
sekali tidak memunyai pertimbangan moral. Ketika dia menyerahkan diri kepada sekian
banyak lelaki untuk mendapatkan uang, dengan sendirinya dia sama sekali tidak mengalami
konflik batin.
Seandainya Hiroko mempunyai prinsip moral yang sangat kuat, tentu tudak akan mau
menyerahkan diri pada laki-laki yang akan menjadikannya perempuan simpanan. Kalau
15
dipaksa untuk menjadi perempuan simpanan tanpa kemampuan untuk melawan, pasti dia
akan dilanda oleh konflik batin yang amat hebat. Karena Hiroko tidak mengalami konflik
maka klimaks dan penutup plot yang bermakna pun tidak ada.
Manun, karena pengarang adalah produk masyarakat, sedangkan masyarakat sendiri adalah
produk kebudayaan, kreteria untuk menentukan nilai estetis sastra Indonesia khususya dan
sastra Asean pada umumnya, juga berbeda. Kreteria estetika Indonesia ditentukan oleh
kebudayaan Indonesia sendiri, tidak selamanya terikat oleh kebudayaan di luar Indonesia.
Konflik dalam karya sastra tidak perlu keras karena kebudayaan Indonesia sendiri berusaha
untuk menghindari konflik.

2.5 kreteria dalam penilaian


Kembali kepada kreteria dalam penilaian yang digagas oleh Luxemburg bahwa pada
dasarnya sama yang digagas oleh Darma, perbedaannya terletak pada ulasan, kendati arah
dan tujuan sama. Menurut Luxemburg
1.Ada kreteria yang mengaitkan karya sastra dengan pengarangnya. Ini nampak dalam
kreteria ekspresivitas: sebuah karya adalah baik bila pribadi dan emosi pengarang
diungkapkan dengan baik. Juga dalam kreterium intensi: sebuah karya adalah baik bila
intensi (maksud) pengarang diungkapkan dengan baik atau selaras dengan norma-normanya.
Bila fungsi sastra dipusatkan pada pengungkapan emosi, seperti yang dilakukan oleh
Romantik, maka keterium ekspresivitas akan dipentingkan dalam menilai sastra.
2. Kreteria yang mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang ditiru atau tercermin di
dalamnya: kreterium realisme atau mimesis, sebuah karya yang dinilai baik bila kenyataan
diungkapkan dengan tepat, lengkap atau secara tipikal (menampilkan ciri-ciri yang khas).
Bila seorang kritikus mengharapkan dari sastra, supaya kenyataan diperjelas, maka kreterium
inilah yang dipergunakan atau yang diutamakan. Pandangan ini juga berpengaruh bila
diharapkan agar sastra secara tidak langsung memantulkan kenyataan. Kreteium ini berkaitan
juga dengan kreteria kognitif yang mengukur mutu sebuah karya sastra sekedar dengan
pengetahuan yang disampaikan.
3.Kreteria yang langsung mengaitkan pendapat pihak kritikus dan karya sastra. Seorang
kritikus dapat mempergunakan kreteria politik, relegius atau moral. Sebuah karya dinilai baik
bila karya itu mengambil sikap yang diharapkan oleh kritikus, atau bila karya itu menyoroti
situasi-situasi yang dianggap penting oleh pihak kritikus, sekalipun itu tidak ditekankan oleh
pengarang sendiri. Kreteria itu dijunjung tinggi bila fungsi sastra ditempatkan dalam biang

16
pendidikan atau emansipasi, ataupun bila diharapkan agar sastra mengambil sikap yang tegas
terhadap keadaan-keadaan tertentu, melibatkan diri dalam situasi itu.
4.Kreteria yang memerhatikan kemampuan karya untuk mengasyikkan pembaca, atau yang
dapat menarik peratiannya ataupun yang dapat mengharukan hatinya:kreteria emotivitas.
Dalam penelitian sastra yang berpangkal pada psikoanalisis diarahkan perhatian kepada
kemampuan sastra untuk mencairkan ketegangan dalam hati pembaca, atau untuk
mengalirkan atau bahkan memecahkannya.
5.Kreteria struktur memerhatikan susunan, keberkaitan, dan kesatuan karya sastra.
Kecenderungan untuk mengutamakan kreteria ini didukung oleh suatu pendekatan terhadap
sastra yang menitikberatkan karya sendiri, yang lebih memerhatikan bagaimananya daripada
apa-nya, jadi yang mendekati sastra secara estetik.
6.Kreteria tradisi menilai sebuah karya menurut daya pembaharuan atau justru sebaliknya,
sejauh karya itu setia kepada tradisi dalam hal gaya dan priode. Kreteria ini ditonjolkan oleh
kaum kritisi yang memusatkan perhatiannya kepada unsur kesastraan di dalam sastra.
Bila seorang kreteria mempergunakan kreteria tertentu ini tidak dengan sendirinya
menentukan penilaiannya. Misalnya dalam pendekatan struktural, maka cara seorang
menafsirkan unsur-unsur tertentu memengaruhi juga penilaiannya. Apakah unsur-unsur
tersebut memperkuat ataupun mengganggu kesatuan karya. Unsur-unsur fiksional hendaknya
menjamin bahwa perhatian pembaca „dapat bertahan terhadap tekanan fakta yang makin
meningkat”. Secara struktural kesalahan, tadi bukan lagi suatu kesalahan, melainkan sebuah
sarana konvensional-literer yang dengan sengaja dipergunakan oleh pengarang yang
mahatahu. Bila kita menyetujui pendapat bahwa tugas sastra ialah menampilkan kenyataan,
maka ini tidak berarti bahwa detail-detail yang sama kita tafsirkan secara mimetik. Karya
Henry Miller pernah ditafsirkan sebagai realistik, tetapi pendapat yang sebaliknya pernah
juga ditemukan.

2.6 Paham penilaian kritik sastra


Beberapa dalam dunia kritik sastra. Pada dasarnya ada 3 (tiga) macam paham penilaian:
1. Relativisme (Critical Relativism).
Paham relativisme beranggapan bahwa nilai suatu cipta sastra itu bergantung kepada masa
cipta sastra itu diterbitkan dan kemudian tidak dimungkinkan adanya penilaian lagi. "That
aesthetic value is not inherent in the work, but dependent upon the approval of an individual,

17
social group, historical period, or culture". Jadi penilaiannya yang relatif berlaku pada suatu
tempat dan zaman tertentu dianggap berlaku untuk umum di segala tempat dan jaman.

2. Absolutisme (Critical Absolutism).


Paham absolutisme berusaha menilai suatu cipta sastra berdasarkan norma-norma di luar
cipta sastra yang umumnya bersifat dogmatis, misalnya berdasarkan paham politik, ukuran-
ukuran moral, atau aliran-aliran tertentu yang berdasar pandangan yang sempit. Paham ini
menilai suatu cipta sastra tidak hakekat dan fungsi sastra, melainkan berdasar ukuran-ukuran
di luar cipta sastra yang sifatnya (absolut/ mutlak), seperti misalnya ukuran yang dipakai
kaum Humanis baru, Marxis dan Neo-Thomisdi Eropa. Di Indonesia paham ini
dikembangkan oleh golongan Lekra, suatu lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah
Partai Komunis Indonesia, suatu partai yang sudah dibubarkan dengan Tap MPRS No.
XXV/MPRS/1966. Dengan paham penilaian ini sastra Indonesia pernah diributkan dengan
usaha "mengganyang" puisi-puisi Chairil Anwar dan roman Tenggelamnya Kapal Van Der
Wyek karangan Hamka, Lekra bersemboyan "politik adalah panglima", artinya segala bentuk
kegiatan kebudayaan harus mengabdi kepada kepentingan politik, yaitu politik komunisme.
Baik absolut maupun relativisme kedua-duanya merupakan paham penulisan yang banyak
mengandung kelemahan, "Relativism reduces the history of leterature to a series of discrete
and hence discontinuous fragments, while most absolutism serve either only a passing present
day situation or are based on some abstract non-literary ideal unjust to the historical variety
of literature".
3. Perspektivisme (Critical Perspectivism)
Paham penilaian perspektivisme berusaha menganalisis sesuatu cipta sastra dari berbagai
sudut pandang atau dari berbagai aspek. Paham ini beranggapan bahwa suatu cipta sastra itu
mempunyai sifat abadi (eternal) dan historis (historical). Abadi dalam memiliki suatu ciri
yang tertentu dan historis dalam arti cita sastra itu telah melewati suatu perkembangan yang
dapat diruntut. Perspektivisme memungkinkan tiap periode atau tiap zaman untuk
memberikan suatu penilaian terhadap suatu cipta sastra, sehingga dengan demikian akan
nampak masa-masa perkembangan yang telah dilalui oleh cipta sastra itu. Perspektivisme
mengakui nilai suatu cipta sastra pada masa terbitnya, pada masa-masa yang telah dilalui dan
pada masa sekarang. Mungkin suatu cipta sastra dipandang bernilai pada masa terbitnya, akan
tetapi kemudian dipandang kurang bernilai pada masa-masa berikutnya atau dapat juga
18
terjadi yang sebaliknya. Puisi-puisi Chairil Anwar pada pertama kali disiarkan banyak
dikecam orang sebagai “puisi liar”, akan tetapi pada masa-masa berikutnya diyakini orang
sebagai puisi yang tinggi nilainya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kritik sastra adalah pertimbangan baik dan buruknya karya sastra.pertimbangan bernilai seni
atau tidaknya.Dalam kata pertimbangan terkandung arti menilai.Sebabitu,dalam kritik sastra
tak dapat ditinggalkan pekerjaan menilai.Karya sastra sebagai karya seni harus di sertai
penilaian.kritik sastra tak dapat di pisahkan dengan penilaian. Hadimadja (1952)
mengemukakan bagaimana H.B. Jasssin menyaring sajak-sajak yang diterimanya, maka
syarat pertama yang dilakukan ialah kepada keindahan, kemudian pada moral. Karya sastra
yang bermutu seni adalah kaya sastra yang imaginatif dan yang seni. Dalam arti karya sastra
yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan
baru (kreativitas) dan keaslian cipta, di samping itu yang bersifat seni. Suatu penilaian harus
di dukung oleh alas an atau argumentasi sehingga dapat di terima.Nilai memang tidak dapat
dibuktikan,tetapi dengan menyatakan titik tolak tertentu.Terdapat 3 macam penilain;
Relativisme (Critical Relativism), Absolutisme (Critical Absolutism),Perspektivisme (Critical
Perspectivism).Jadi dalam menilai suatu karya sastra perlu tolak ukur tertentu dengan
mengemukan alas an atau argument yang jelas dan dapat di terima.

19
Daftar Pustaka
Darma,Yoce Aliah.2013.Analisis Wacana Kritis.Bandung:Yrama Widya.
https://www.academia.edu/41707147/Penilaian_kritik_sastra
https://ragambahasakita.blogspot.com/2015/12/penilaian-dalam-kritik-sastra.html
http://kritiksastraindonesia.blogspot.com/2014/10/penilaian-dalam-karya-sastra.html
https://www.researchgate.net/profile/Puji-Santosa/publication/
326529809_TOLOK_UKUR_DALAM_KRITIK_SASTRA/links/
5b52855e0f7e9b240ff511e4/TOLOK-UKUR-DALAM-KRITIK-SASTRA.pdf

20

Anda mungkin juga menyukai