Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rina Khuzaimah Basri

Nim : 205110701111027
Kelas : Sosiologi Sastra A
SASTRA NON-KANON
 Pengertian
Sastra non kanon merupakan jenis sastra yang seringkali diabaikan oleh kalangan
akademisi dan kritikus sastra. Sastra non kanon biasanya tidak memiliki status atau label
sebagai karya sastra terkenal atau klasik, sehingga sulit ditemukan dalam kajian sastra resmi.
Sastra non kanon mencakup berbagai jenis karya sastra, seperti puisi, prosa, drama, dan
sebagainya. Namun, kebanyakan sastra non kanon ditulis oleh para penulis yang tidak
memiliki pengaruh kuat dalam sastra dunia, sehingga tidak dianggap sebagai karya sastra yang
penting.

 Sejarah dan perkembangan sastra non-kanon dan estetika Marxis di Indonesia

Sejarah sastra non kanon dan estetika Marxis di Indonesia dimulai pada era kolonial
Belanda dan berlanjut hingga masa Orde Baru. Pada awalnya, sastra Indonesia banyak
dipengaruhi oleh sastra Eropa dan India. Sastrawan Indonesia pada saat itu, seperti R.A.
Kartini, Raden Ajeng Kartini, dan Tirto Adhi Soerjo, lebih mengutamakan tema-tema
nasionalisme dan perjuangan bangsa. Namun, pada awal abad ke-20, beberapa sastrawan
Indonesia mulai memperkenalkan ideologi Marxis dalam karya-karyanya.

Pada masa pendudukan Jepang, terbentuk kelompok sastra "Angkatan '45", yang
terdiri dari beberapa sastrawan Indonesia yang berpaham kiri. Kelompok ini memperjuangkan
pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan dan menuntut kesetaraan sosial dan ekonomi
bagi rakyat Indonesia. Beberapa tokoh penting dari kelompok ini antara lain Chairil Anwar,
Sutan Takdir Alisjahbana, dan Rivai Apin. Setelah kemerdekaan Indonesia, kelompok sastra
"Lekra" didirikan pada era 1950-an dan memperjuangkan estetika Marxis dalam karya sastra.
Kelompok ini terdiri dari beberapa sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer, Sitor
Situmorang, dan Arifin C. Noer.

 Tokoh-tokoh sastra non-kanon dan estetika Marxis di Indonesia


Beberapa tokoh sastra non kanon yang terkait dengan paham estetika Marxis di
Indonesia antara lain :

HB Jassin dikenal sebagai kritikus sastra Indonesia yang berpengaruh pada era 1950-
an hingga 1980-an. Ia memiliki pandangan yang kritis terhadap sastra dan seni yang terpisah
dari konteks sosial dan politik. Menurut HB Jassin, sastra dan seni harus selalu berkaitan
dengan realitas sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

Mochtar Lubis adalah seorang penulis, jurnalis, dan aktivis sosial yang terkenal
dengan karya-karyanya yang kritis terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia. Meskipun
begitu, Mochtar Lubis juga memiliki pandangan estetika Marxis yang mengedepankan nilai-
nilai kejujuran, keterbukaan, dan kebebasan dalam karya sastra.

Jujur Prananto adalah seorang penulis, penyair, dan seniman Indonesia yang dikenal
karena karyanya yang mengangkat tema sosial dan politik. Ia juga memiliki pandangan
estetika Marxis yang mengedepankan nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kebebasan dalam
seni dan sastra.

Nh. Dini adalah seorang penulis Indonesia yang terkenal dengan karya-karyanya yang
berbicara tentang kehidupan perempuan di Indonesia. Ia juga memiliki pandangan estetika
Marxis yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan persamaan dalam sastra.

 Tanggapan masyarakat

Karya sastra non kanon dan estetika Marxis di Indonesia memiliki tanggapan yang
beragam dari masyarakat. Sebagian besar tanggapan terhadap karya sastra non kanon dan
estetika Marxis di Indonesia berasal dari akademisi, kritikus sastra, dan penggemar sastra.
Beberapa orang merespon karya sastra non kanon dengan antusiasme karena karya-karya
tersebut memperkenalkan suara-suara baru yang belum pernah didengar sebelumnya. Namun,
sebagian orang lainnya menolak karya sastra non kanon karena merasa bahwa karya tersebut
kurang memenuhi standar sastra yang ada atau terlalu provokatif.

Secara umum, estetika Marxis dalam sastra dilihat sebagai cara pandang yang
memandang sastra sebagai media politik dan sosial. Estetika Marxis cenderung mengkritisi
kondisi sosial-politik saat itu dan memperjuangkan keadilan sosial melalui sastra. Tanggapan
masyarakat terhadap estetika Marxis juga bervariasi. Beberapa orang menganggap estetika
Marxis sebagai suatu yang penting dalam mengkritisi ketidakadilan sosial dalam masyarakat.
Namun, sebagian lainnya melihat estetika Marxis sebagai suatu yang berlebihan dan
mengganggu keharmonisan sosial.

 Sastra non kanon memperjuangkan kepentingan sosial dan politik

Sastra non-kanon merujuk pada karya sastra yang tidak dianggap sebagai karya klasik
atau yang diakui secara resmi oleh institusi sastra. Karya-karya sastra non-kanon sering kali
dihasilkan oleh penulis-penulis yang berasal dari latar belakang sosial, politik, dan budaya
yang beragam, dan karena itu, seringkali karya-karya ini mengandung tema dan isu-isu sosial
dan politik yang berbeda dari karya sastra kanonik.

 Tantangan Dan Dampak Dari Sastra Non-Kanon Dan Estetika Marxis Di Indonesia

Sastra non-kanon dan estetika Marxis memiliki tantangan dan dampak yang signifikan
di Indonesia. Tantangan-tantangan ini meliputi:

Tantangan penerimaan: Sastra non-kanon dan estetika Marxis sering kali tidak
diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan sastra klasik atau
populer. Beberapa karya sastra non-kanon dan estetika Marxis mungkin dianggap
kontroversial atau provokatif, sehingga sulit untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan
dari masyarakat luas.

Tantangan distribusi: Karya-karya sastra non-kanon dan estetika Marxis mungkin sulit
didistribusikan karena tidak mendapatkan dukungan penerbit atau media mainstream. Ini
berarti bahwa karya-karya ini sering kali hanya tersedia dalam jumlah terbatas atau sulit
diakses, sehingga sulit bagi masyarakat umum untuk mengenalinya.

Tantangan ideologis: Sastra non-kanon dan estetika Marxis sering kali mengusung
pandangan-pandangan sosial dan politik yang berbeda dari mainstream. Oleh karena itu,
karya-karya ini mungkin dianggap sebagai ancaman oleh kelompok-kelompok yang
memegang kekuasaan atau ideologi yang dominan.

Anda mungkin juga menyukai