Anda di halaman 1dari 11

“FUNGSI DAN TOLOK

UKUR KRITIK
SASTRA”
KELOMPOK 2 :
APRILIA DWI YUSTIKA (1951041021)
INTAN RAHMANIAR (1951041019)
HASNUL (1951041015)
A. Fungsi Kritik Sastra
Mengingat kritik sastra adalah sebagai kegiatan ilmiah yang mengikat kita pada asas-asas
keilmuan yang ditandai oleh adanya kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis dan objek
empiris, maka setidaknya ada tiga fungsi utama kritik sastra yang perlu untuk kita ketahui, yakni
sebagai berikut.
1. Kritik Sastra Berfungsi Membina dan Mengembangkan Sastra
Dalam mengkritik karya sastra, seorang kritikus berusaha menunjukkan struktur sebuah karya
sastra, memberikan penilaian, menunjukan kekuatan dan kelemahan juga memberikan alternatif
untuk pengembangan karya sastra, serta menunjukan hal-hal yang baru dalam karya sastra. Sehingga
akan tercipta karya sastra yang lebih baik.
2. Kritik Sastra Berfungsi untuk Penerangan bagi Penikmat Sastra
Dalam melakukan kritik, seorang kritikus akan memberikan ulasan, komentar, penafsiran
kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan
demikian, pembaca yang awam akan lebih mudah untuk memahami karya sastra yang telah dikritik
oleh kritikus.
3. Kritik Sastra Berfungsi bagi Ilmu Sastra Itu Sendiri
Seorang kritikus seringkali harus mencari teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang justru
akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri, dimana seorang pengarang akan dapat belajar melalui
hasil dari kritikan seorang kritikus sastra sehingga akan berdampak pada meningkatnya kualitas
karya sastra yang dihasilkannya.
B. Tolok Ukur dalam Kritik Sastra
Seorang kritikus harus mempunyai ukuran, norma, atau kriteria sebagai alat kerja mengkritik

karya sastra. Ukuran, norma, atau kriteria di sini merupakan aturan, kaidah, atau ketentuan

yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau membandingkan suatu karya sastra.
1. Tolok Ukur Dasar
Tolok ukur dasar adalah tolok ukur pokok yang digunakan kritikus sebagai dasar dalam menilai
karya sastra. Pada pokoknya ada dua macam tolok ukur yang digunakan oleh seorang kritikus sastra,
yaitu (1) tolok ukur formal, dan (2) tolok ukur moral.
Tolok ukur formal adalah ukuran dasar yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom
dengan aturan, konvensi, atau norma-norma tersendiri.
Sebaliknya, tolok ukur moral memandang karya sastra sebagai bagian dari aktivitas kemanusian
dan nilai-nilai tertentu dalam kehidupan manusia, serta menjelaskan dengan referensi yang bertolak
pada keseluruhan kode moral atau nilainilai tertentu yang mengandung unsur baik dan buruk.
2. Tolok Ukur Estetis, Epistemis, dan Normatif
Dari tolok ukur dasar kritik sastra tersebut, kemudian berkembanglah menjadi norma-norma,
kriteria, dan tolok ukur yang lain, misalnya: (1) tolok ukur estetis, (2) tolok ukur epistemis, dan
(3) tolok ukur normatif.
Tolok ukur epistemis Tolok ukur normatif
Tolok ukur estetis adalah ukuran karya adalah ukuran karya
adalah ukuran karya sastra yang sastra yang
sastra yang mencoba memperlihatkan nilai- memperlihatkan
memperlihatkan nilai kebenaraan dan norma-norma yang
nilai-nilai keindahan kegunaan praktis dari khas dalam karya
dalam karya sastra. suatu karya sastra. sastra.
3. Tolok Ukur Keaslian Ekspresi
Selain ketiga kriteria di atas, dalam kritik sastra juga ditemukan sistem norma atau tolok ukur
keaslian ekspresi. Kriteria ini menuntut karya sastra harus asli, orisinal, dan sesuatu yang baru dan
bahkan aneh-aneh.

4. Tolok Ukur Tunggal, Benar, Baik, dan Indah


Dick Hartoko dalam bukunya Manusia dan Seni (Yogyakarta: Kanisius, 1984) mengusulkan
satu kriteria penilaian karya sastra, yaitu dengan tolok ukur tunggal, benar, baik, dan indah. Suatu
karya sastra harus mengandung nilai-nilai yang bersifat tunggal, benar, baik, dan indah.
5. Tolok Ukur Beradasarkan Paham Tertentu
Terdapat tiga paham atau aliran dalam penilaian yang menjadi ukuran dalam kritik sastra, yaitu

1. Relativisme,
2. Absolutisme , yaitu paham penilaian karya
yaitu paham 3. Perspektivisme , yaitu
sastra yang mendasarkan pada paham, aliran,
penilaian yang paham penilaian karya
politik, moral, ataupun berdasar pada ukuran-
menghendaki sastra dari berbagai sudut
ukuran tertentu yang sifatnya dogmatis dan
“tidak adanya pandang, yaitu dengan
berdasarkan pandangan yang sempit sehingga
penilaian lagi”, jalan menunjukkan nilai-
penilaiannya tidak berdasarkan pada hakikat
atau penilaian yang nilai karya sastra pada
karya itu sendiri atau tidak berdasarkan pada
dihubungkan waktu terbitnya dan nilai-
metode literer, misalnya penilaian sastra
dengan tempat dan nilai karya sastra pada
berdasarkan paham Marxis yang bersifat
zaman terbitnya masa-masa berikutnya
mutlak.
karya sastra.
6. Tolok Ukur Psikologi Modern

Dalam menilai karya sastra harus dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya,

sebab karya sastra itu merupakan penjelmaan pengalaman jiwa sastrawan ke dalam suatu karya

dengan mediaum bahasa.

Berdasarkan analisis ilmu jiwa modern itu menerangkan bahwa jiwa manusia terdiri atas lima

tingkatan, begitu juga pengalaman jiwa manusia itu juga terdiri atas lima tingkatan atau niveau.
7. Tolok Ukur Menurut Luxemburg
Jan van Luxemburg et al. (1989:47–48) dalam bukunya tentang Sastra (Jakarta: ILDEP dan
Intermasa) menyatakan bahwa sutau penilaian tidak lepas dari interpretasi. Pilihan tentang metode
interpretasi dan tolok ukur bergantung pada pendirian tentang sastra yang dianut. Adapun beberapa
tolok ukur yang secara umum digunakan oleh kritikus adalah dari segi struktur, estetika,
ekspresivitas, realisme. kognitif, nilai rasa, moral, tradisi dan pembaruan.

8. Tolok Ukur Ironi dan Pradoks


Para penganut New Criticism di negeri asalnya gemar menganalisis puisi hingga berkesimpulan
sebuah karya sastra yang baik bercirikan paradoks atau ironi. Tolok ukur paradoks dan ironi ini
dijadikan panduan menilai karya sastra, terutama puisi.
Sekian
Terima Kasih!

Anda mungkin juga menyukai