Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH INDIVIDU

“ SEMANTIK BAHASA INDONESIA ”

DISUSUN OLEH :

APRILIA DWI YUSTIKA

1951041021

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UTS Individu Mata Kuliah Semantik

Dosen Pengampu : Dr. Idawati Garim S.Pd.,M.Pd.

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

TAHUN AKADEMIK 2020


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu


wata'ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam yang
selalu kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu wata'ala atas


limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran,
sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas
UTS individu mata kuliah Semantik Bahasa Indonesia dengan judul “Semantik
Bahasa Indonesia”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Makassar, 3 April 2020

Penulis

Aprilia Dwi Yustika

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................................3
A. Konsep dan Batasan Semantik...............................................................................3
B. Objek Kajian Semantik..........................................................................................7
C. Hubungan Semantik dengan Ilmu Lain..................................................................9
D. Pendekatan Semantik...........................................................................................16
E. Jenis-Jenis dan Perubahan Makna........................................................................19
F. Relasi Makna........................................................................................................23
G. Analisis Komponen Makna..................................................................................26
BAB III............................................................................................................................29
PENUTUP.......................................................................................................................29
A. Kesimpulan..........................................................................................................29
B. Saran....................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Bahasa Indonesia sekarang ini dapat diibaratkan seperti mobil


tua yang mesinnya rewel dan sedang melintasi jalur lalu lintas di jalan bebas
hambatan. Betapa tidak, pada satu sisi dunia pendidikan Bahasa Indonesia
saat ini dirundung masalah yang besar dan pada sisi lain tantangan
menghadapi milenium ketiga semakin besar. Dari aspek kualitas, pendidikan
Bahasa Indonesia kita memang sungguh sangat memprihatinkan
dibandingkan dengan kualitas pendidikan bangsa lain.
Semantik merupakan salah satu cabang linguistik yang berada pada tataran
makna. Verhaar, dalam Pateda (2010:7) mengatakan bahwa semantik adalah
teori makna atau teori arti ( Inggris semantics kata sifatnya semantic yang
dalam Bahasa Indonesia dipadankan dengan kata semantik sebagai nomina
dan semantis sebagai ajektiva). Kata semantik disepakati sebagai istilah yang
digunakan untuk bidang linguistik ynag mempelajari hubungan antara tanda-
tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya, (Chaer, 1995 :2).
Sejalan dengan berkembangnya zaman perkembangan bahasa pun juga
ikut berkembang dan mengalami pergeseran-pergeseran makna. Pergeseran
makna bahasa memang tidak dapat dihindari, hal ini dipengaruhi oleh
banyak faktor yang nantinya akan di bahas secara mendalam di dalam
pembahasan. Atas dasar itu, tidak mengherankan dalam beberapa tahun
terakhir ini di Indonesia muncul berbagai kata yang memiliki banyak makna
baru. Meski demikian makna yang melekat terlebih dahulu tidak serta merta
hilang begitu saja. Perubahan makna suatu kata yang terjadi, terkadang
hampir tidak disadari oleh pengguna bahasa itu sendiri. Untuk itu perlu bagi
kita mengetahui dan memahami ilmu kebahasaan secara utuh.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat kita rumuskan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud konsep dan batasan semantik?
2. Apa sajakah objek kajian semantik?
3. Bagaimana hubungan semantik dengan ilmu lain?
4. Bagaimana pendekatan semantik?
5. Bagaimanakah jenis-jenis dan perubahan makna ?
6. Apa yang dimaksud dengan relasi makna?
7. Apakah yang dimaksud dengan analisis komponen makna ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk:
1. Menjelaskan konsep dan batasan semantik.
2. Memamparkan objek kajian semantik.
3. Memaparkan hubungan semantik dengan ilmu lain.
4. Menjelaskan pendekatan semantik.
5. Memaparkan jenis-jenis dan perubahan makna.
6. Menjelaskan relasi makna.
7. Menguraikan analisis komponen makna.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep dan Batasan Semantik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), secara linguistic konsep


adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar
bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal2 lain. Konsep
sematik dalam pembelajaran bahasa merupakan integrasi yang mendukung
pemahaman makna bahasa. Sebagai cabang penilaian linguistik pada
pembahasan kaedah (seperangkat aturan). Belajar, sebuah bahasa yang
berorientasi pada kaedah-kaedah tata bahasa. Kata kunci: frasa, klausa dan
kalimat. Latar belakang teori dan didukung yang menjadi dasar pengkajian
bidang ini yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (1966) yaitu
ditandai (yang diartikan) dan signifier (yang mengartikan): konsep sematik
yang dirancang dalam bahasa yang dikembangkan oleh Hatsh dan Brown
(1995: 64) yaitu model hubungan sematik. Semantik merupakan salah satu
bidang yang mempelajari tentang makna. Pengertian dari makna sendiri
sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah
makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut
selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam
Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan
antara makna dengan pengertian.

Dalam kamus linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :

1. Maksud pembicara;
2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku
manusia atau kelompok manusia;
3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa
atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya, dan
4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana,
2001: 132).

3
Makna merupakan aspek penting dalam sebuah bahasa karena dengan
makna maka sebuah komunikasi dapat terjadi dengan lancar dan saling
dimengerti. Tetapi seandainya para pengguna bahasa dalam bertutur satu sama
lain tidak saling mengerti makna yang ada dalam tuturannya maka tidak
mungkin tuturan berbahasa bisa berjalan secara komunikatif. Di sini dituntut
antara penutur dan lawan tuturnya harus saling mengerti makna bahasa yang
mereka tuturkan.
Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure,
makna adalah ’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada
sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri
dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified)
dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang
diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau
makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau
signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang
bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi
dan unsur makna.

Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bunyi yaitu [b-u-k-
u] dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku.
Selain itu misalnya kursi, makna kata kursi adalah konsep kursi yang
tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata [k-u-r-s-i] dan
memiliki makna sebuah perabotan yang di gunakan untuk duduk.

Dalam analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat
unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya
maka, analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak
dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Misalnya, kata ikan dalam
bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa
dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi

4
kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan
juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk.
Di dalam penggunaannya dalam penuturan yang nyata makna kata atau
leksem seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau
konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Contohya : Dasar buaya ibunya
sendiri ditipunya. Oeh karena itu, banyak pakar mengatakan bahwa kita baru
dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam
konteks kalimatnya.
Ketika seseorang mengucapkan sebuah kata.

Dalam suatu kalimat “Saya belajar di perpusatakaan”. Kalimat


tersebut memiliki empat unsur atau kata. Jika seseorang mengucapkan kata
saya, maka yang akan terbayang pada diri kita adalah diri kita sendiri. Jika
seseorang mengucapkan kata belajar, maka yang akan terbayang adalah
kegiatan belajar bukan menari. Kegiatan belajar tersebut terjadi dalam
perpustakaan bukan ditempat lain. Hal ini terjadi karena adanya ujaran dari
seseorang.

Bunyi ujaran atau lambang yang tertulis dipahami karena makna


tiap-tiap kata, ada didalam otak kita. Begitu ada rangsangan berupa kalimat
yang terdiri dari kata-kata, maka makna tiap satuan unsur bahasa yang disebut
kata yang ada didalam otak, secara otomatis keluar dari persemayamannya.
Dalam proses bahasa, maksudnya jika terjadi komunikasi, pada pihak
pendengar terjadi proses pemecahan kode fonologis, pemecahan kode
gramatikal, dan pemecahan kode semantik.
Jadi, kalimat ”saya belajar di perpustakaan” memiliki konsep dalam
otak kita. Kata saya memiliki konsep, demikian pula kata belajar, ke dan
perpustakaan. Konsep saya adalah orang pertama bentuk hormat jika sedang
berkomunikasi dengan kawan dalam bahasa Indonesia. Konsep saya berbeda
dengan konsep engkau, dia, kami, kamu, dll. Demikian pula konsep belajar
berbeda dengan konsep bermain, menari, dan menyanyi.

5
Untuk lebih jelasnya lagi, disaat seseorang menyebut kata kucing,
terbayang pada diri kita apa yang disebut kucing. Demikian halnya dengan
orang mengujarkan kucing. Bahkan sebelum menyebutkan kucing
sesungguhnya ada desakan dari jiwa kita yang bekerja sama dengan otak kita
untuk mengatakan kucing karena pada otak kita telah ada konsep mengenai
kucing jadi ada desakan untuk mengatakan kucing. Jadi kucing memiliki
konsep kucing yang siap diujarkan. Hal ini sulit dijelaskan tentang bagaimana
konsep kucing berproses hingga menghasilkan ujaran kucing.
Konsep itu dapat dipahami melalui kemandirian kata atau melalui
realisasi dengan kata yang lain. Jadi akan ada kata yang bebas konteks kalimat
dan kata yang bebas tetapi terikat konteks kalimat. Makna kata yang bebas
konteks kalimat mudah dianalisis, sedangkan makna kata yang terikat konteks
kalimat sulit dianalisis. Makna kata yang bebas tetapi terikat konteks kalimat
sulit akan jelas, jika berada dalam relasi dengan kata yang lain. Misalnya
makna kata ‘yang’ sulit dijawab. Makna kata ini akan mudah dipahami jika
ditempatkan dalam suatu kalimat misalnya “Bagian mana yang kau pilih?”.

Katakanlah A dan B berkomunikasi. Sebelum A mengujarkan


sesuatu, tentu didahului oleh rangsangan. Rangsangan menyebabkan A
memilih kata yang konsepnya ia pahami (tentu saja kata-kata ini akan
bergabung dalam bentuk kalimat). Kata-kata yang tergabung dalam kalimat
dilafalkan.Si B mendapat rangsangan berupa kata-kata yang tergabung dalam
kalimat yang dilafalkan oleh si A. Pada si B terjadi pemecahan kode yakni
kode fonologis, kode gramatikal dank ode semantic..demikian sebaliknya
selama A dan B berkomunikasi.

Pada diagram yang dikemukakan oleh Saussure terjadi proses dalam


otak. Konsep yang akan dikatakan berwujud kata yang kemudian bergabung
dalam bahasa yang bersangkutan. Konsep yang berwujud kata yang bergabung
dalam kalimat siap untuk dilafalkan. Lafal berupa bunyi-bunyi bahasa tersebut
dapat didengar oleh karena aada udara sebagai perantara, dan alat dengar
sipendengar bekerja normal. Apa yang dilafalkan akan melewati udara dan

6
menyentuh alat dengar pendengar yang kemudin berproses seperti yang terjadi
pada pembicara.

Hubungan antara kata dan acuan hanya ungkin dipahami melalui


konsep yang ada didalam otak, baik pada pembicara maupun pada pendengar.
Palmer mengemukakan melalui pemikiran atau referensi, konsep tentang
pemikiran kita.1 Konsep itu berupa

Bayangan, berupa pemahaman, berupa pengertian. Jadi disaat


seseorang mengemukakan kucing maka terbayanglah bentuk seekor kucing,
ukurannya, suaranya, gerakannya.

A. Kerangka Konsep Semantik


1. Apa Bentuk linguistik (dengan maknanya) yang menjadi definisi
2. Apa bentuk wacananya
3. Apa jenis makna bahasa yang di rujuk
B. Konsep Semantik dalam Pembelajaran Bahasa
1. Model komponen makna
2. Model semantik primitif
3. Model hubungan semantik

B. Objek Kajian Semantik

Objek kajian semantik adalah makna atau arti suatu bahasa. Leech, (1983:8-
10) menjelaskan bahwa objek kajian semantik adalah makna satuan bahasa yang
tidak dihubungkan dengan konteks tuturan. Semantik mengkaji tanda bahasa
dengan konsep serta acuan baik secara leksikal maupun gramatikal.Makna
leksikal adalah makna kata berdasarkan yang sebenarnya. Makna leksikal bersifat

7
umum atau lugas artinya makna kata yang tidak dipengaruhi oleh bentuk
lain.Makna gramatikal adalah makna kata yang diperoleh karena adanya proses
gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, atau perubahan bentuk kata (misalnya play
menjadi playing, plays, atau played). Makna gramatikal umumnya diperoleh
melalui proses infleksional dan derivasional.Semantik mengkaji arti.
Djajasudarma (1993:4) menjelaskan bahwa satuan bahasa yang dikaji maknanya
itu mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana. Penjelasan
fatimah dapat dijabarkan brerikut ini.

Kajian semantik pada tataran fonologi berupa analisis fonem sebagai pembeda
makna dalam kontras minimal. Perlu kita ketahui bahwa fonologi membahas
bunyi ujaran yang ditekankan pada fungsinya sebagai penanda pembeda makna
ada pun satuan bunyi terkecil mampu memunculkan pembeda makna misalnya
huruf h adalah fonem karena membedakan makna kata harus dan arus. Kajian
semantik dalam tataran morfologi berupa makna leksem (satuan leksikal dasar
yang abstrak yang mendasari pelbagai bentuk kata) dan kata. Kajian semantik
dalam tataran sintaksis berupa makna satuan bahasa berupa frasa, klausa, dan
kalimat. Kajian semantik tataran wacana berupa makna paragraf atau makna
sebuah teks.

Leech (1983/1993:8-10) mengatakan bahwa makna yang terbentuk akibat satu


satuan bahasa dihubungkan dengan konteks non linguistik, yaitu situasi tutur dan
nilai-nilai budaya tertentu merupakan objek kajian pragmatik. Wijana (1996: 2-3)
dan Purwo (1990:16) menyatakan bahwa makna yang di telaah semantik yang
bebas konteks, sedangkan makna yang dikaji dalam opragmatik adalah makna
yang terikat konteks.

Dari uraian diatas dapat dipahami, bahwa semantik adalah subsistem kajian
bahasa yang mengkaji makna satuan bahasa yang tidak disertai dengan konteks
non linguistik. Lingkup kajian semantik itu berupa makna satuan bahasa dalam
kata, frasa, klausa dan kalimat, dan teks.

8
Objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuan-
satuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Bahasamemiliki
tataran-tataran analisis, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Bagian-bagian
yang mengandung masalah semantik adalah leksikon dan morfologi(Chaer,
1990:6).

Ada beberapa jenis semantik, yang dibedakan berdasarkan tataran atau bagian
dari bahasa penyelidikannya adalah leksikon dari bahasa itu, maka jenis
semantiknya disebut semantik leksikal. Semantik leksikal ini diselidiki makna
yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut. Oleh kerena itu, makna
yangada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. Leksem adalah istilah
yanglazim digunakan dalam studi semantik untuk menyebut satuan bahasa
bermakna. Istilah leksem ini kurang lebih dapat dipadankan dengan istilah kata
yang lazimdigunakan dalam studi morfologi dan sistaksis, dan yang lazim
didefinisikans ebagai satuan gramatikal bebas terkecil (Chaer, 1990:7-8).

C. Hubungan Semantik dengan Ilmu Lain

Pengetian yang mudah dipahami perihal semantik disampaikan oleh Verhaar


(1999:385) yang mengemukakan bahwa semantik merupakan cabang dari ilmu
linguistik yang meneliti arti atau makna. Dengan kata lain semantik menjadikan
makna sebagai objek penelitian ataupun kajiannya. Para ahli yang lain seperti
Samuel dan Kiefer, Lehrer, serta Kambartel juga memberi pengertian yang tidak
jauh beda dengan pengertian yang dikemukakan oleh Verhaar.

1. Hubungan semantik dengan ilmu linguistik

Sudah dibahas sebelumnya bahwa semantik merupakan salah satu cabang ilmu
linguistik. Tentu antara semantik dengan cabang ilmu linguistik lainnya memiliki
hubungan yang bisa dikatakan sangat dekat. Seseorang yang melakukan
komunikasi dengan orang lainnya tentu memiliki makna yang ingin disampaikan
dalam struktur bahasa yang diutarakan. Jadi, pemaknaan itu penting dalam
berbahasa karena jika berbahasa tanpa makna sama saja dengan berbicara tanpa

9
arah dan tujuan yang jelas. Penjelasan tentang hubungan semantik dengan cabang
ilmu linguistik lainnya akan dibahas pada paragraf berikutnya.

Pada tataran cabang ilmu linguistik, cabang ilmu tingkat pertama adalah
fonologi. Fonologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bunyi bahasa.
Dalam ilmu fonologi, bunyi bahasa itu dapat membedakan makna. Contoh
perbedaan bunyi bahasa yang membedakan makna yaitu :

• Kata apel yang bermakna buah dengan kata apel yang bermakna upacara.

• Kata perang yang bermakna pertempuran dengan kata perang yang bermakna
merah kecoklatan atau kekuningan.

Makna yang berhubungan dengan ilmu fonologi ini lebih kepada makna yang
muncul karena perbedaan bunyi pada beberapa kata yang berbeda dan perbedaan
satu huruf saja pada sebuah kata yang mampu memunculkan makna baru.

Cabang ilmu linguistik setelah fonologi adalah morfologi. Morfologi


merupakan ilmu yang mengkaji tentang morfem atau kata. Kata yang sudah
ditetapkan artinya dalam kamus tentu berbeda dengan kata yang sudah
ditambahkan kata lain didepannya. Sebagai contoh perhatikan kata dasar dan
rangkaian kata lain berikut.

• Kaki

• Kaki meja

• Kaki gunung

Dari ketiga contoh tersebut, contoh pertama dan kedua pasti kita ketahui
maknanya meskipun membaca sepintas. Makna yang kita tangkap dari contoh
kaki meja dan kaki gunung tentu berbeda dengan bentuk dasar kaki yang sudah
memiliki arti tersendiri di dalam kamus. Penambahan-penambahan kata pada kata
atau bentuk dasar dapat mempengaruhi makna dari bentuk dasar itu sendiri.

10
Cabang ilmu linguistik setelah morfologi adalah sintaksis. Menurut Rostina
Taib (2012:5) Sintaksis merupakan ilmu yang mengkaji hubungan antar kata
dalam kalimat. Ruang lingkup yang dipelajari tidak hanya kalimat tetapi juga
frasa dan klausa. Dalam membuat kalimat yang sekurang-kurangnya harus terdiri
atas unsur subjek dan predikat juga harus memiliki makna yang padu. Pateda
(2001:12) menyatakan bahwa kalimat yang digunakan oleh manusia untuk
berkomunikasi merupakan kalimat yang bermakna dan masuk akal bagi pembaca
atau pendengar. Sebagai contoh :

• Katak yang berlari mengejar musang

• Wahyu memakan batu-bata

Dari kedua contoh kalimat tersebut, memang secara struktur kalimat dapat
dikatakan benar tetapi makna yang dimiliki kalimat ini tidak benar karena tidak
logis. Pada kalimat pertama, ketidaklogisan terdapat pada katak yang berlari
karena pada kenyataannya katak tidak dapat berlari tetapi hanya dapat melompat.
Jadi tidak masuk akal jika katak itu berlari. Pada kalimat kedua, ketidaklogisan
terdapat pada subjek wahyu yang seorang manusia makan batu. Tidak logis jika
manusia makan batu selapar apapun orang itu. Intinya, kalimat tidak hanya harus
benar sesuai struktur tetapi juga harus sinkron antara makna dan kenyataan.

2. Hubungan semantik dengan ilmu psikologi

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa psikologi itu merupakan ilmu tentang


jiwa. Dalam berkomunikasi menggunakan kalimat dengan orang lain tentu
kalimat yang dihasilkan oleh penulis atau pembicara bergantung pada suasana hati
maupun keadaan jiwanya. Akan berbeda kalimat yang dihasilkan oleh orang yang
sedang bahagia dengan orang yang sedang sedih dan berbeda pula kalimat yang
dihasilkan oleh orang yang terganggu jiwanya dengan orang yang sehat jiwanya.
Sebagai contoh :

• Ucha sedang malas bertemu dengan Sri

• Iswani ingin melompat dari lantai tiga gedung FKIP

11
• Sapu itu terlihat terbang tadi malam

Contoh yang pertama, Ucha sedang malas bertemu dengan Sri dapat dimaknai
oleh seorang psikolog dengan mengaitkan makna kalimat ini dengan keadaan jiwa
atau suasana hati penulis atau pembicara. Analisis yang dilakukan seorang
psikolog dari kalimat tersebut antara lain:

• Mengapa Ucha malas bertemu Sri?

• Apakah yang mengganggu Ucha jika bertemu Sri?

• Siapakah yang mengujarkan kalimat ini? Uchakah atau orang lainkah?

Contoh yang kedua, Iswani ingin melompat dari lantai tiga gedung FKIP.
Analisis yang dilakukan oleh psikolog terhadap pemaknaan kalimat tersebut
antara lain :

• Mengapa Iswani ingin melompat dari lantai tiga?

• Bagaimana keadaan jiwanya?

• Apakah yang mengganggu jiwanya sehingga dia ingin berbuat demikian?

Contoh yang ketiga, kalimat sapu itu terlihat terbang tadi malam juga dianalisis
oleh seorang psikolog tidak jauh berbeda dengan dua contoh kalimat sebelumnya.
Analisis tersebut antara lain:

• Siapakah yang mengujarkan kalimat ini?

• Bagaimanakah keadaan jiwanya?

• Apakah yang mengganggu pikirannya?

• Apakah dia sedang berhalusinasi ketika mengujarkan kalimat ini?

Setidaknya begitulah analisis yang akan dilakukan seorang ahli psikologi


terhadap makna dari kalimat yang diujarkan seseorang. Makna yang dilahirkan
bergantung pada keadaan jiwa orang yang mengujarkan. Penting bagi psikolog

12
untuk mengetahui keadaan jiwa dalam pemaknaan sebuah kalimat karena psikolog
akan mempelajari reaksi manusia, gejala jiwa, baik yang melewati kegiatan verbal
maupun yang nonverbal (Pateda:16).

3. Hubungan semantik dengan ilmu logika

Dalam berbahasa memang dituntut agar berbahasa yang logis atau masuk akal
sehingga dapat diterima apa yang ingin disampaikan tersebut. Bahasa ilmiah
berbeda dengan bahasa sastra yang tidak menuntut harus selalu menggunakan
bahasa yang bermakna logis karena sastra itu pembebasan pikiran menuju alam
imajinasi yang mampu menciptakan dunia baru yang berbeda dengan dunia nyata
yang kita jalani sebagaimana mestinya. Kembali kepada bahasa yang kita pelajari
adalah kalimat-kalimat yang harus logis. Perhatikan contoh kalimat berikut.

• Kambing menangkap Ina

• Kotak itu tidak dapat diangkat

• Aku akan mencintaimu sampai si bisu mengatakan bahwa si tuli mendengar si


buta melihat si pincang sedang berjalan.

Kalimat yang pertama secara struktur kalimat dapat diterima karena unsurnya
lengkap mulai dari subjek, predikat, dan adanya kehadiran objek. Namun, secara
ilmu logika tentu tidak berterima karena tidak masuk akal jika hewan bernama
kambing menangkap manusia yang bernama Ina. Kambing merupakan hewan
pemamah biak yang memakan rumput dan biasa dijadikan hewan ternak. Tidak
mungkin jika hewan ternak mampu menangkap seorang manusia. Tentu tidak ada
alasan bagi seekor kambing untuk melakukan pekerjaan menangkap manusia. Jadi
kalimat ini tentu sangat tidak masuk akal.

Kalimat kedua kotak itu tidak dapat diangkat dijelaskan oleh (Parera 1991:187)
bahwa kalimat ini tidak masuk akal karena belum jelas tidak dapat diangkat oleh
siapa dan berapa orang. Di samping itu, tidak diketahui kotak tersebut terbuat dari
apa sehingga tidak dapat diangkat oleh orang yang tidak diketahui jumlahnya
sehingga kalimat ini masih tergolong kalimat yang tidak masuk akal.

13
Contoh ketiga juga secara struktur kalimat dapat diterima tetapi secara logika
kalimat aku akan mencintaimu sampai si bisu mengatakan bahwa si tuli
mendengar si buta melihat si pincang sedang berjalan sangat tidak logis. kata-kata
seperti bisu yang dapat berbicara, tuli yang dapat mendengar, buta yang dapat
melihat dan pincang yang dapat berjalan merupakan rangkaian kata yang mustahil
dalam bahasa ilmiah karena terjadi kontradiksi antar kata tersebut. Misalanya kata
bisu yang berkontradiksi dengan berkata, kata tuli yang berkontradiksi dengan
mendengar, kata buta berkontradiksi dengan melihat, begitu pula kata pincang
yang berkontradiksi dengan kata berjalan.

Bahasa merupakan sarana berpikir logis sehingga kehadiran makna menjadi hal
yang sangat urgen di sana. Bahasa yang tidak logis seperti bahasa yang tidak
memberikan keterukuran, pengalaman, nyata, dan bersifat kontradiksi tidak
memenuhi bahasa keilmuan atau bahasa ilmiah yang menuntut kelogisan makna
di dalamnya.

4. Hubungan semantik dengan ilmu filsafat

Dalam ilmu filsafat, bahasa yang memproduksi kalimat-kalimat untuk


berkomunikasi dipertanyakan asal penamaannya. Filsuf memang orang yang
sanggup mempertanyakan kebenaran sampai ke dasar-dasarnya. Tidak heran jika
mereka memiliki pandangan luas dan tidak ingin dibatasi pemikirannya terhadap
kebenaran sesuatu. Perhatikan analisis mereka terhadap kalimat berikut.

• Kelompok satu sedang mempresentasikan makalah mereka.

• Dosen kami merupakan lulusan luar negeri

contoh kalimat pertama akan dianalisis pemaknaannya oleh ahli filsafat antara
lain:

• Mengapa manusia yang berkumpul lebih dari satu orang itu disebut kelompok?

• Mengapa setiap yang di awal atau yang menjadi yang pertama itu disebut satu?
bukan sati atau sata?

14
• Mengapa menampilkan atau menyajikan sesuatu untuk khalayak ramai itu
disebut presentasi?

• Mengapa digunakan kata makalah? bukan makalih, makeleh, atau sebagainya?

Contoh kalimat kedua pun tidak jauh berbeda bentuk analisisnya oleh filsuf
seperti yang telah dianalisis pada kalimat sebelumnya. Analisisnya antara lain:

• Mengapa digunakan kata dosen untuk orang yang mengajar di perguruan


tinggi?

• Mengapa digunakan kata kami? mengapa tidak digunakan kata kama, kimi dan
sebagainya?

Analisis yang sama terjadi pada kata-kata berikutnya yang intinya


mempertanyakan asal dari kata tersebut dan mengapa digunakan kata itu untuk
makna yang menunjukkan seperti ini, dari mana dasarnya, mengapa demikian, dan
sederetan pertanyaan mendasar yang susah untuk kita jelaskan. Pertanyaan-
pertanyaan yang apabila ditanyakan kepada orang yang bukan ahli filsafat hanya
bisa menjawab dengan kalimat “karena memang sudah seperti itu sejak dulu”.
Analisis-analisis yang membuntukan pemikiran kita sebagai orang yang awam
ilmu filsafat.

5. Hubungan semantik dengan ilmu politik

Ada satu ilmu lagi yang sangat mementingkan semantik di dalamnya. Ilmu
tersebut adalah ilmu politik. Ilmu politik merupakan ilmu yang memperlajari
tentang seluk-beluk ketatanegaraan baik mengenai sistem, dasar, maupun siasat
negara. Pateda (2001:14) menjelaskan beberapa contoh keterkaitan semantik
dengan ilmu politik. Perhatikan cotoh kalimat berikut ini.

• Pemerintah sedang berusaha menyesuaikan tarif BBM tahun ini.

• Jika tarif BBM naik tahun ini dikhawatirkan masyarakat akan mengganggu
ketertiban.

15
Urutan kata menyesuaikan tarif pada contoh kalimat pertama digunakan untuk
menggantikan urutan kata menaikkan harga karena pertimbangan politik.
Sebenarnya makna dari kedua urutan kata tersebut sama. Namun digunakan
urutan kata menyesuaikan tarif karena dirasa urutan kata tersebut lebih halus dan
dapat diterima masyarakat dengan mudah. Begitu pula urutan kata mengganggu
ketertiban digunakan untuk menggantikan kata berontak. Hal yang sama terjadi
pada urutan kata ini yaitu digunakan karena lebih halus, sopan, berpendidikan,
dan mudah diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, semantik dalam hal ini
pemaknaan terhadap kata-kata yang dipilih oleh politikus sangat penting. Tidak
heran jika politikus yang profesional itu sangat ahli dalam berbahasa dan biasanya
bahasa mereka lebih halus sehingga sampai ke masyarakat dan menjadi mudah
membujuk masyarakat jika terjadi sesuatu yang menyebabkan perdebatan.

Demikianlah penjelasan hubungan antara semantik dengan beberapa disiplin


ilmu lain yang jika dikaji dan paham sangat bermanfaat bagi kehidupan kita.
Banyak yang dapat menjadi pelajaran baru dan banyak pula yang akan membuka
wawasan kita bahwa setiap ilmu itu tidak mutlak berdiri sendiri. Ilmu itu pasti
membutuhkan ilmu lain dalam perkembangannya.

D. Pendekatan Semantik

Makna dapat dibicarakan dari dua pendekatan, yakni pendekatan analitik atau
referensial dan pendekatan operasional. Pendekatan analitik adalah pendekatan
yang ingin mencari esensi makna dengan cara menguraikannya atas segmen-
segmen utama, sedangkan pendekatan operasional adalah pendekatan ingin
mempelajari kata dalam penggunaannya. Pendekatan operasional lebih
menekankan bagaimana kata dioperasikan di dalam tindak fonasi sehari-hari.
Pendekatan operasional ini menggunakan tes substitusi untuk menentukan tepat
tidaknya makna sebuah kata.

Contoh:

16
- Ia tidak pergi ke sekolah karena sakit
- Ia tidak pergi ke sekolah sebab sakit
Dari kedua contoh di atas dapat dilihat bahwa kata karena maupun sebab
dapat digunakan dalam kedua kalimat tersebut.
Contoh: kata istri

Dilihat dari pendekatan analitik, kata istri dapat diuraikan menjadi:


         Perempuan
         Telah bersuami
         Kemungkinan telah beranak
         Manusia
         Ramah-tamah
         Berambut panjang
         Berfungsi sebagai pendamping suami
         Hak dan kewajibannya tidak berbeda dengan hak dan kewajiban suami

Jika kata istri dilihat dari pendekatan operasional, akan terlihat dari
kemungkinan-kemungkinan pemunculannya dalam kalimat-kalimat, misalnya
sebagai berikut:

         Si Dula mempunyai istri


         Istri si Ali telah meninggal
         Banyak istri yang bekerja di kantor
         Apakah istrimu sudah naik haji?

Tetapi tidak mungkin orang mengatakan:

         Istri Ali berkaki tiga


         Istri tidak pernah melahirkan

17
Kedua pendekatan di atas dikemukakan oleh Wittgenstein (1953) dalam
bukunya Philosophical Investigation (1953). Pendekatan operasional
menggunakan tes substitusi untuk menentukan tepat tidaknya makna sebuah kata.
Misalnya, apakah kata memberitakan sama dengan makna kata memberitahukan,
dan apakah kata sebab sama maknanya dengan kata “karena” Untuk itu dicoba
dengan tes (khusus kata sebab dan karena):

- Ia sakit karena mandi hujan.


- Ia sakit karena mandi hujan.

Terlihat bahwa kata “sebab” maupun kata “karena” dapat digunakan dalam
kedua kalimat ini.
Selain dua pendekatan ini, pendekatan makna dapat dilihat pula dari
hubungan-hubungan fungsi yang berbeda di dalam bahasa. Pada umumnya orang
membedakan pendekatan ekstensional (extensional) dan pendekatan intensional
(intensional).
Yang dimaksud dengan pendekatan ekstensional ialah pendekatan yang
memusatkan perhatian pada struktur-struktur konseptual yang berhubungan
dengan unit-unit utama (bandingkan dengan pendekatan analitik).
Pendekatan ekstensional boleh saja menunjuk pada keseluruhan, kejadian,
abstraksi atau reaksi pembicara terhadap satuan-satuan. Misalnya kita melihat
kendaraan bertabrakan, maka dengan cepat kita berkata “Ada kecelakaan.”
Analisis kita segera berhubungan dengan (i) pola-pola yang hadir bersama-sama,
(ii) substitusi, binatang – kucing; dan (iii) lawan kata. Pada peristiwa tabrakan
tadi, kita mengetahui bahwa kejadian seperti itu namanya tabrakan. Dengan kata
lain kita mengerti makna kata tabrakan, bertabrakan.
Sebaliknya, pendekatan intensional memusatkan perhatian pada struktur-
struktur konseptual yang berhubungan dengan unit linguistik tertentu dan
meramalkan bagaimana unit-unit tersebut dapat digunakan di dalam usaha
memaknakan acuan tertentu. Pendekatan intensional di dasarkan pada prosedur
mengontraskan dan membandingkan. Pada mental image terjadi proses

18
pembayangan. Proses pembayangan itu dapat terwujud bayangan terhadap wujud
konkretnya, sifat, besar, warna, tinggi, panjang.

E. Jenis-Jenis dan Perubahan Makna

a) Jenis – Jenis Makna


1. Referensial dan Non Referensial

Referensial adalah kata-kata yang memiliki referen. Sedangkan, Non-


Referensial adalah kata-kata yang tidak memiliki referen.

Contoh:

a.Referensial: kata meja bermakna referensial karena memiliki referen, yaitu


sejenis perabot rumah tangga yang disebut meja.

b.Non-referensial: kata karena tidak mempunyai referen sebab kata “karena”


termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

2. Denotatif dan Konotatif

Denotatif adalah kata yang memilliki makna yang sebenarnya. Sedangkan,


konotatif adalah kata yang memiliki makna rasa baik positif maupun negatif.

Contoh:

a. Denotatif : kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai dua makna
yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.

b. Konotatif: kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti
’cerewet’, tetapi sekarang konotasinya positif.

3. Kata dan Istilah

Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna
kata itu baru menjadi jelas kalau “kata” itu sudah berada di dalam konteks
kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, “istilah” mempunyai

19
makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks
kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya
perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau
kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari
contoh berikut :

(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.

(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.

Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau
bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna
yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan;
sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.

4. Konseptual dan Asosiatif

Konseptual adalah makna yanng dimiliki oleh sebuah kata yang terlepas dari
konteks asosiasi. Sedangkan, Asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem
atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada
di luar bahasa.

Contoh:

a. Kata kuda memiliki makna konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang
biasa dikendarai’.
b. Kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.

5. Idiomatikal dan Peribahasa

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.
Sedangkan, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak
dari makna unsur- unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan
maknanya sebagai peribahasa.

20
Contoh:

a. bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan
makna ’pengadilan’.

b. peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang bermakna ’dikatakan ihwal dua
orang yang tidak pernah akur’.

b) Perubahan Makna
1. Perluasan Makna (generalisasi)
Perluasan makna ialah perubahan makna dari yang lebih khusus atau
sempit ke yang lebih umum atau luas. Cakupan makna baru tersebut lebih
luas daripada makna lama.
Contoh:

Makna Lama Makna Baru

Bapak (orang tua laki- Bapak (semua orang laki-


laki) laki yang lebih tua atau
berkedudukan lebih tinggi)

Saudara (anak yang Saudara (orang yang sama


sekandung) umur/ derajat)

2. Penyempitan Makna (Spesialisasi)


Penyempitan makna ialah perubahan makna dari yang lebih umum/ luas ke
yang lebih khusus/ sempit. Cakupan baru/ sekarang lebih sempit daripada
makna lama (semula).
Contoh:

Makna Lama Makna Baru

sarjana : cendikiawan sarjana : lulusan perguruan

21
tinggi

pendeta : orang yang pendeta : guru Kristen


berilmu

3. Peninggian Makna (ameliorasi)


Peninggian makna ialah perubahan makna yang mengakibatkan makna
yang baru dirasakan lebih tingg/ hormat/ halus/ baik nilainya daripada
makna lama.
Contoh:

Makna Lama Makna Baru

Buruh Pekerja Pabrik/Karyawan

Bunting Hamil

4. Penurunan Makna (Peyorasi)


Penurunan makna ialah perubahan makna yang mengakibatkan makna baru
dirasakan lebih rendah/ kurang baik/ kurang menyenangkan nilainya
daripada makna lama.
Contoh:

Makna Lama Makna Baru

Mengeluarkan Mendepak

Memasukkan Menjebloskan

5. Persamaan (asosiasi)
Asosiasi ialah perubahan makna yang terjadi akibat persamaan sifat antara
makna lama dan makna baru.
Contoh:

22
Makna Lama Makna Baru

Amplop (sampul surat) Amplop (uang sogok)

Bunga (bagian dari Bunga (gadis cantik)


tumbuhan)

Mencatut (mencabut Mencatut (menarik


dengan catut) keuntungan)

6. Pertukaran (sinestesia)
Sinestesia ialah perubahan makna akibat pertukaran tanggapan dua indera
yang berbeda dari indera penglihatan ke indera pendengar, dari indera
perasa ke indera pendengar, dan sebagainya.
Contoh:
1) suaranya terang sekali (pendengaran - penglihatan)
2) rupanya manis (penglihat - perasa)
3) namanya harum (pendengar - pencium)

F. Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan


bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain.

a) Sinonimi

Sinonimi adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama tetapi berbeda
bentuk kata. Contohnya “menyenangkan” dengan “memuaskan”; “bingung”
dengan “galau”.

b) Antonimi (Oposisi)

23
Antonimi adalah kata yang berupa timbal balik dari kata itu sendiri.
Contohnya baik dan buruk. Antonimi berkaitan erat dengan oposisi
(perlawanan kata).

c) Homonimi, Homofoni, Homografi

Homonimi adalah hubungan diantara dua kata atau lebih, sedemikian rupa
sehingga bentuknya sama dan maknanya berbeda (bentuk, ucapan, tulisannya
sama tetapi beda makna). Contohnya bisa dalam arti mampu, dan bisa dalam
arti racun. Disamping homonimi ada pula istilah homofoni (yang mempunyai
kesamaan bunyi tanpa memperhatikan ejaanya, dengan makna yang berbeda)
dan homografi (kata yang memiliki ejaan sama, tetapi ucapan dan maknanya
beda). Homofoni dilihat dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi),
sedangkan homografi dilihat dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama,
grafo=tulisan).
Contoh:
Homofon

1. Bang : sebutan saudara laki-laki


2. Bank : tempat penyimpanan dan pengkreditan uang

Homograf

1. Apel : buah
2. Apél : rapat, pertemuan

d) Hiponimi Dan Hipernimi

Hiponimi dalam pasangan kata adalah hubungan kata antara yang lebih
kecil (secara ekstensional) dan kata yang lebih besar (secara ekstensional
pula). Contohnya :

- merah merupakan hiponimi dari warna,


- ikan hipernimnya tongkol, gabus, lele, teri.

24
Jika relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan
berhomonim bersifat dua arah, maka relasi anatar dua buah kata yang
berhiponim ini adalah searah.

e) Polisemi

Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari
satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam
satu aluran arti. Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama ( yang
didaftarkan kamus) adalah makna leksikal, makna denotatif dan makna
konseptualnya. Yang lainnya adalah makna yang dikembangkan berdasarkan
salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh
karena itu, makna pada polisemi masih berkaitan satu sama lain.

Contoh:
Rambut di kepala nenek sudah putih.( Kepala yang berarti bagian tubuh yang
bagian atas)
Pak Harjo adalah seorang kepala sekolah.( Kepala yang menyatakan
pimpinan)

f) Ambiguitas

Ambiguitas adalah gejala yang terjadi akibat kegandaan makna


akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tergantung jeda dalam kalimat.
Umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena bahasa tulis unsur
suprasegmentalnya tidak dapat digambarkan secara akurat.
Contoh:
Buku sejarah baru. Dapat diartikan (1) buku sejarah yang baru. Dapat juga
bermakna (2) buku tentang sejarah baru.

g) Redundansi

25
Makna redudansi diartikan sebagai kata yang berlebih-lebihan pemakaian
unsur segmental dalam satu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redudansi
sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila
bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda.

Contoh :

Hamid menggenakan topi berwarna ungu, tidak akan berbeda maknanya


dengan Hamid bertopi ungu.

h) Meronimi

Meronimi adalah bentuk ujaran yang maknanya merupakan bagian atau


komponen dari bentuk ujaran yang lain. Contohnya pintu, jendela, dan atap
adalah meronimi dari rumah.

i) Makna Asosiatif

Makna asosiasi adalah makna kata yang berkenaan dengan adanya


hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Contohnya kata
melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian, kata merah
berasosiasi berani.

j) Makna Afektif

Makna afektif adalah makna yang berkenaan dengan perasaan pembicara


terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Contohnya
”tutup mulut kalian !” bentaknya kepada kami.

G. Analisis Komponen Makna

Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen
yang disebut komponen makna, yang membentuk keseluruhan makna kata itu.
Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dimilikinya.

26
Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari
perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim; untuk membut prediksi
makna-makna gramatikal afikasi, reduplikasi, dan komposisi dalam bahasa
Indonesia; dan digunakan untuk meramalkan makna gramatikal, dapat juga
kita lihat pada proses redupliakasi dan komposisi.

Contoh:

Komponen makna Ayah Ibu

1.      Manusia + +

2.      Dewasa + +

3.      Jantan + -

4.      Betina - +

 Analisis ekstensional dan analisis intensional.

Makna ekstensional adalah makna pragmatis, menurut makna


ekstensionalnya kata X merujuk pada hal-hal yang ekstralingual, misalnya
kata perabot merujuk pada perabot yang bermacam-macam. Menurut makna
intensional kata X terdiri dari semantis tertentu, misalnya makna ‘’perabot’’,
dalam kata perabot secara intensional mengandung unsur-unsur semantis
“perlengkapan” rumah tangga dan lain sebagainya.

Hukum semantis menyangkut hubungan antara makna intensional dan


ekstensional adalah sebagai berikut : semakin besar jumlah unsur semantis
intensional, semakin kecil jumlah objek yang dirujuk, dan sebaliknya.
Semacam perbandingan terbalik. Misalnya, secara intensional jumlah unsur
semantis kata perabot adalah kecil, tetapi besar secara ekstensional, karena
yang dirujuk adalah perabot yang bermacam-macam seperti kursi, meja,
tempat tidur, dan lain-lain.

27
 Analisis komponensial.

Analisis komponensial adalah teori analisis makna yang menggunakan


pendekatan melalui komponen-komponen makna. Pendekatan analisis
komponensial ini berdasarkan kepada kepercayaan bahwa makna kata dapat
dipecah-pecah menjadi elemen-elemen makna yang merupakan ciri makna
yang bersangkutan. Elemen-elemen itu disebut komponen makna, oleh karena
itu analisis ini disebut analisis komponensial (Kentjono, 1990: 82).

Analisis ini dapat dipergunakan untuk mendeskripsikan tata hubungan


antar butir leksikal dalam sebuah medan makna atau mendeskripsikan sistem
dan struktur medan leksikal (Wedhawati (1999) dalam Ainin dan Asrori,
2008: 110). Oleh karena itu cara ini lebih tepat dipakai untuk memerikan
makna leksikon. Makna suatu leksikon dapat diungkap bila unsur-unsur
pemberi makna bisa diungkapkan.

Kentjono (1990: 83) memberikan contoh komponen makna yang disusun


dan digambarkan dengan diagram seperti berikut.

Dewasa = kawin

Manusia = anak-anak belumkawin

Bernyawa = hewan

Benda = tidak bernyawa

28
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam studi bahasa (linguistika), semantik sangat diperlukan guna
mempermudah telaah unsur-unsur bahasa yang dijadikan objek kajian.

Seperti yang telah dijelaskan, Semantik adalah ilmu tentang makna, suatu
cabang dari ilmu bahasa (linguistika). Maka, guna memperoleh dasar dalam
penelitian bahasa, seorang linguis harus menguasai semantik agar tidak terjadi
kesalahan dalam proses penelitian bahasa yang ia lakukan, mengingat begitu
banyaknya variasi makna dalam satu atau dua kata.

Semantik dibedakan menjadi dua, yaitu semantik leksikal dan semantik


gramatikal. Sedangkan berdasarkan maknanya, terdapat beberapa jenis makna,
yaitu referensial dan non-referensial, denotatif dan konotatif, kata dan istilah,
konseptual dan asosiatif, idiomatikal dan peribahasa. Makna dalam semantik
pun mengalami proses yaitu relasi makna (sinonimi, antonimi, homofoni,
homonimi, homografi, hiponimi, hipernimi, polisemi, ambiguitas, meronimi,
redundansi, makna asosiatif, makna afektif) dan perubahan makna
(generalisasi, spesialisasi, ameliorasi, peyorasi, asosiasi, dan sinestesia).
Dalam analisisnya, terdiri dari dua analisis yaitu analisis ekstensional dan
analisis intensional, dan analisis komponensial.

29
B. Saran

Sebagai penerus tongkat estafet bangsa dengan di dorong oleh semangat


sebagai pecinta bahasa persatuan. Mari kita tanamkan dalam diri kita untuk
senantiasa bersahaja dan turut andil dalam perkembangan bahasa bangsa,
dengan tetap mempelajari dan mendalami bahasa kesatuan Negara kita
tercinta. Dan sebagai pengguggah muda jangan hanya diam jika ada sesuatu
yang mengganjal dipikiran mengenai tulisan ini.

30
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 1990. Pengantar semantik bahasa Indonesia. Rineka Cipta.

Kurniawati, Dwi. 2010. “Relasi Makna Kata Sebentar dengan Sinonimnya


dalam Bahasa Indonesia.” PhD Thesis. Fakultas Ilmu Budaya.

Masduki, Masduki. 2013. “Relasi Makna (Sinonimi, Antonimi, dan


Hiponimi) dan Seluk Beluknya.” Prosodi 7(1).

Parera, J. D. 1991. “Teori Semantik: Penerbit Erlangga.” Jl. Kramat IV


(11).

Pateda, Mansoer. 1986. Semantik leksikal. Nusa Indah.

Nur, Andri Astuti. 2013. “Makalah Sinonimi Semantik”. (internet) di


http://andriastutinur.blogspot.com/2013/07/sinonimi-semantik.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai