Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDIDIKAN NILAI DAN NORMA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Pendidikan Nilai dan Norma

Dosen Pengampu:
Tri Astuti, M. Pd.

Oleh:
Kelompok 1
1. Selda Arifani 1401422337
2. Anitasari 1401422347
3. Fariza Ika Saputri 1401422350
4. Melia Putri 1401422368

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada
halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Tri Astuti, M.Pd. sebagai
dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Nilai dan Norma yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan
kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Semarang, 10 Februari 2023

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… iii
BAB I: PENDAHULUAN………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………… 1
1.4 Tujuan Penulisan ………………………………………………….......... 1
BAB II: PEMBAHASAN…………………………………………………. 2
2.1 Konsep Dasar Pendidikan Nilai dan Norma …………………………… 2
2.2 Filosofis Pendidikan Nilai dan Norma ………………………………… 3
2.3 Landasan Pendidikan Nilai dan Norma ……………………………….. 6
BAB III: PENUTUP ……………………………………………………… 10
3.1 Simpulan……………………………………………………………...... 10
3.2 Saran……………………………………………………………………. 10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan nilai da norma memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan budi pekerti dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga
negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang
baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara
umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan nilai dan
norma dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah budi pekerti, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan nilai dan
norma adalah sebuah wadah pembinaan sikap dan perilaku. Maka hal ini perlu
adanya sebuah pendekatan yang akan membawa siswa atau peserta didik untuk
memaknai dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep dasar pendidikan nilai dan norma?
2. Bagaimana filosofis pendidikan nilai dan norma?
3. Apa saja landasan pendidikan nilai dan norma?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian pendidikan nilai dan norma.
2. Untuk mengetahui dan memahami filosofi pendidikan nilai dan norma.
3. Untuk mengetahui dan memahami macam-macam landasan pendidikan nilai
dan norma.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Pendidikan Nilai Dan Norma


2.1.1 Konsep Dasar Pendidikan Nilai dan Norma
Pada dasarnya pendidikan nilai dan norma dapat dirumuskan dari tiga
pengertian dasar yang terkandung dalam istilah pendidikan, nilai, dan norma.
Jika ketiga konsep ini digabungkan, makna dari ketiga itu melebur menjadi
definisi pendidikan nilai dan norma. Namun, karena makna pendidikan, makna
nilai dan makna norma yang dimaksud dapat diartikan berbeda, maka definisi
pendidikan nilai dan norma juga dapat berbeda-beda sesuai dengan penekanan
dan susunan kata dari ketiga istilah tersebut.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Nilai merupakan sesuatu yang ditentukan oleh subyek yang menilai dan
obyek yang dinilai. Misalnya, emas dan berlian itu merupakan barang-barang
yang bernilai, namun nilai dari emas dan berlian itu baru akan menjadi kenyataan
(riil) apabila ada subyek yang menilainya. Jadi, adanya nilai adalah sebab dari
hasil interaksi antara subyek yang menilai dan dan obyek yang dinilai.
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh
dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu
dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila
norma tidak dilakukan (Widjaja, 1985: 168).
Pendidikan nilai adalah proses pembinaan melalui suri tauladan, yang
bertujuan untuk menanamkan nilai kehidupan yang meliputi nilai-nilai agama,
budaya, etika dan estetika, kepada pengembangan pribadi peserta didik yang
memiliki kecerdasan spiritual, kontrol diri, kepribadian yang utuh, akhlak terpuji
dan keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, serta negara.
Pendidikan nilai dan norma adalah pendidikan yang mempertimbangkan
objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang

2
meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera
pribadi, serta etika, yaitu menilai benar/salahnya dalam hubungan antarpribadi.

2.1.2 Tujuan Pendidikan Nilai dan Norma


Tujuan pendidikan nilai menurut Hufad dan Sauri (2007 : 66) adalah
membantu peserta didik agar memahami, menjalani, dan mengalami nilai-nilai
serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Sementara
menurut Mulyana (2011 : 119) secara umum pendidikan nilai dimaksudkan untuk
membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai
serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Lalu, adapun
tujuan pendidikan nilai menurut agnive UNESCO (1996 : 184) adalah untuk
membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui
pengujian kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas
berpikir dan perasaannya.
Adapun tujuan pendidikan nilai yang dinyatakan oleh Komite APAID (Asia
and The Pasific Program of Education Innovation for Development) sebagaimana
dikutip Hufad dan Sauri (2007 : 66) adalah untuk ; 1) menerapkan pembentukan
nilai kepada peserta didik, 2) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai
yang diinginkan, dan 3) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai
tersebut.
Tujuan Pendidikan nilai dan norma pada dasarnya membantu
mengembangkan kemahiran berinteraksi pada tahapan lebih tinggi serta
meningkatkan kebersamaan dan kekompakan interaksi atau yang disebut Piaget
sebagai ekonomi interaksi atau menurut Oser dinyatakan dengan peristilahan
kekompakan komunikasi. Pendidikan nilai dan norma berfungsi untuk
membentuk kemampuan individu dalam mengembangkan nilai dan norma yang
sesuai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tujuan
Pendidikan nilai dan norma tidak dapat tercapai tanpa aturan-aturan , indoktrinasi,
atau pertimbangan prinsip-prinsip belajar.

2.2 Filosofis Pendidikan Nilai Dan Norma


Secara filosofis, pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, yaitu
perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup sehingga mengubah dan menentukan
hidup manusia. Jadi, mendidik adalah suatu perbuatan yang fundamental karena

3
mengubah dan menentukan hidup manusia. Pendidikan itu memanusiakan
manusia (Driyarkara, 1991).
Pendidikan adalah untuk kehidupan, bukan untuk memenuhi ambisi- ambisi
yang bersifat pragmatis. Pendidikan bukan non vitae sed scholae discimus (belajar
bukan untuk kehidupan, melainkan untuk sekolah). Pendidikan harus bercorak
non scholae sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk
kehidupan.
Dalam pendidikan untuk kehidupan, hal utama yang dilakukan adalah
menanamkan nilai-nilai. Pendidikan nilai bukan hanya perlu karena dapat
mengembalikan filosofi dasar pendidikan yang seharusnya non scholae sed vitae
discimus, melainkan juga perlu karena ciri kehidupan yang baik terletak dalam
komitmen terhadap nilai-nilai: nilai kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan,
kesopanan, kesusilaan, dan lain-lain. Menurut Piet G.O. (1990), nilai adalah sifat
yang berharga dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan
elementer manusia yang serba butuh atau menyempurnakan manusia yang tidak
kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan
tuntas.
Selaras dengan pemikiran tersebut, Hans Jonas (Na-Ayudhya, 2008: 8-9 dan
Kneller, 19971: 2) menyatakan bahwa nilai adalah the addresse of a yes, nilai
adalah sesuatu yang selalu kita setujui. Jadi, pendidikan nilai adalah manifestasi
dari non scholae sed vitae discimus. Nilai merupakan kebenaran atau realitas
sejati yang akan terus dicari oleh setiap individu. Sejak manusia lahir, ia mulai
melakukan pencarian. Ia ingin berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Ia
menyentuh benda-benda, memasukkan benda ke dalam mulut, melemparkan, dan
mengamati hasilnya.
Berpijak pada pola kandungan filsafat, pendidikan nilai juga mengandung
tiga unsur utama, yaitu ontologi pendidikan nilai, epistemologi pendidikan nilai,
dan aksiologi pendidikan nilai.

a. Filosofi Ontologi
Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari pendidikan nilai. Adapun
aspek realitas yang dijangkau teori dan pendidikan nilai melalui pengalaman
pancaindera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materiil
pendidikan nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang aspek kepribadiannya
lengkap. Objek formal pendidikan nilai dibatasi pada manusia seutuhnya dalam

4
fenomena atau situasi pendidikan. Dalam situasi sosial, manusia sering
berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau
makhluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antarpribadi yang
menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan
mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri
secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula.
Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian, menurut Gordon (1975), akan
menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta
didik-pendidik atau antara siswa dan guru. Dengan demikian, pendidikan hanya
akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas
manusianya belum tentu utuh.
Secara ontologis, dapat disimpulkan pula bahwa pendidikan nilai adalah
pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi
untuk dididik dengan bekal akal (rasio) yang menempatkan dirinya sebagai hamba
Tuhan dan memiliki tanggung jawab untuk memelihara nilai-nilai kemanusiaan
di muka bumi.

b. Filosofi Epistemologis
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan nilai atau pakar pendidikan
nilai demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab.
Pendidikan nilai memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin
studi empirik dengan studi kualitatif fenomenologis. Hal itu disebabkan penelitian
tidak hanya tertuju pada pemahaman dan pengertian, tetapi juga untuk mencapai
kearifan fenomena pendidikan.
Inti dasar epistemologis adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam
menjelaskan objek formalnya, telaah pendidikan nilai tidak hanya
mengembangkan ilmu terapan, tetapi juga menuju pada telaah teori dan
pendidikan nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal atau
problematikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan
kuantitatif ataupun eksperimental (Campbell dan Stanley, 1963). Dengan
demikian, uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren, sekaligus secara praktis dan/atau pragmatis (Randall dan Buchler,
1942).

5
c. Filosofi Aksiologis
Kemanfaatan teori pendidikan nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang
otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi
pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena
itu, nilai pendidikan nilai tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni
untuk seni, tetapi juga nilai ekstrinsik. Ilmu pun digunakan untuk menelaah dasar-
dasar kemungkinan bertindak dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh
yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan nilai tidak bebas nilai, mengingat hanya
terdapat batas yang sangat tipis antar-pekerjaan pendidikan nilai dan tugas
pendidik sebagai pedagog. Dalam hal ini sangat relevan untuk memerhatikan
pendidikan nilai sebagai bidang yang sarat nilai. Oleh sebab itu, pendidikan nilai
memerlukan teknologi, tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Walaupun
demikian, harus diakui bahwa pertumbuhan pendidikan nilai belum jauh
dibandingkan dengan ilmu sosial dan ilmu perilaku pada umumnya.

2.3 Landasan Pendidikan Nilai Dan Norma


2.3.1 Landasan Filosofis
Pemahaman tentang hakikat manusia telah melahirkan beragam tafsiran yang
mengkristal pada sejumlah aliran filsafat pendidikan dan disiplin ilmu. Sebagian
besar filsuf beranggapan bahwa hakikat manusia adalah hewan yang dapat
dididik. Dalam sejarah pemikiran Eropa Barat terkenal dengan sebutan homo
sapiens (manusia yang mengetahui dan dibekali dengan akal), homo rational
(hewan yang rasional), homo recens (manusia yang membuat sejarah), dan homo
lainnya. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa hakikat manusia adalah
terletak pada semangat spiritualnya dalam menjalin hubungan dengan Tuhan.
Menurut pandangan ini, manusia yang paling hakiki adalah manusia yang
beragama.
Berdasarkan penafsiran yang diajukan oleh ahli dari berbagai disiplin ilmu
yang berbeda-beda tersebut, pada akhirnya mengerucut pada satu hipotesis
ataupun kesimpulan bahwa hakikat manusia adalah terletak dalam dunia
kehidupan yang bermakna.
Dengan asumsi bahwa makna memiliki kesejajaran arti dengan nilai,
landasan filosofis pendidikan nilai yang dapat ditegakkan pada dua kemungkinan
posisi, yaitu filsafat pendidikan nilai pada dasarnya tidak berpihak pada salah satu

6
kebenaran tentang hakikat manusia yang dicapai oleh suatu aliran pemikiran. Hal
itu disebabkan nilai adalah esensi hakikat manusia yang dapat mewakili semua
pandangan.
Filsafat pendidikan nilai berlaku selektif terhadap kebenaran hakikat manusia
yang dicapai oleh suatu aliran pemikiran tertentu karena selain sebagai esensi
hakikat manusia, nilai juga menyangkut substansi kebenarannya yang dapat
berlaku konstektual dan situasional.

2.3.2. Landasan Psikologis


Dalam telaah psikologi manusia terletak pada pandangan bahwa manusia
sebagai individu selalu tampil unik. Keunikan manusia dilihat dari sisi mental dan
tingkah lakunya berimplikasi pada asumsi psikologis berikutnya bahwa pada
hakikatnya tidak ada seorang pun manusia yang sama persis dengan manusia
lainnya.
Meskipun demikian, aspek psikologi mencoba untuk menarik batas-batas
kemiripan melalui kaidah-kaidah perkembangan mental manusia beserta ciri-ciri
perilakunya. Keutuhan manusia sebagai organisasi dijelaskan melalui aspek-
aspek psikis yang berkembang secara dinamis. Demikian pula, perbedaan
individu ditarik pada prinsip-prinsip dasar perkembangan yang diwakili setiap
fase pertumbuhan dan perkembangan manusia.
a. Motivasi
Motivasi merupakan penyebab yang diduga telah mendorong seseorang ke
arah perilaku atau tindakan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan nilai
sebagai upaya penyadaran nilai pada peserta didik, motivasi menjadi aspek
penting yang perlu dikembangkan.
Sejumlah kajian tentang motivasi menunjukkan bahwa dorongan psikologis
manusia bergerak secara dinamis dalam suatu kontinum yang menempatkan nilai
pada ujung pertimbangan psikologis. Hal tersebut berimplikasi bahwa pendidikan
nilai harus mampu membangkitkan motivasi peserta didik ke arah tindakan yang
didasarkan pada pilihan kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Tindakan yang
positif itu harus senantiasa dijaga agar berlangsung lama dan terinternalisasi pada
diri peserta didik.
b. Perbedaan Individu

7
Perbedaan individu berimplikasi pada kurikulum pendidikan nilai dalam
mengajarkan dan membimbing peserta didik ke arah pilihan nilai kehidupan yang
tepat, fungsional, kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan hidup mereka.
Masalah krusial pada Pendidikan nilai terletak pada bagaimana pembelajaran
nilai dapat dilakukan secara adil. Adil dalam arti nilai diajarkan dengan baik yang
tidak mengabaikan perkembangan nilai subjektif yang lahir secara perorangan
dan tidak melupakan nilai objektif yang berasal dari kelompok. Dengan kata lain,
nilai objektif dan subjektif harus dikembangkan secara seimbang.
c. Tahapan Belajar Nilai
Dalam memahami nilai, anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan
pengalamannya. Hal ini tidak berarti semua pengalaman anak berlangsung dalam
suatu kejadian dan kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, diperlukan strategi dasar
yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu meliputi:
• Mengidentifikasi nilai dan tujuan yang hendak dicapai oleh anak;
• Menyusun pengalaman kehidupan yang menantang terhadap pertimbangan
nilai;
• Menyediakan sejumlah pengalaman yang memperluas kemampuan anak
dalam membangun nilai secara mandiri.

2.3.3. Landasan Sosial


Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa
adanya keterlibatan orang lain atau tanpa melibatkan diri dengan orang lain.
Hubungan saling membutuhkan antarindividu menandakan bahwa manusia tidak
dapat hidup terisolasi dari dunia sekitar. Oleh sebab itu, manusia dalam sejarah
pemikiran Eropa Barat disebut homo concors, yaitu makhluk yang dituntut untuk
hidup secara harmonis dalam lingkungan masyarakatnya.
Manusia tidak mungkin mementingkan dirinya sendiri secara mutlak
(absolute egoism). Manusia pun tidak akan mampu hidup sepenuhnya hanya
untuk mementingkan orang lain (absolute altruism). Dalam pandangan Emile
Durkhem, kedua karakteristik perilaku ekstrem tersebut merupakan batas ideal
yang tidak pernah dicapai dalam realitas kehidupan manusia.
Target utama pendidikan nilai secara sosial adalah membangun kesadaran-
kesadaran interpersonal yang mendalam. Peserta didik dibimbing untuk mampu
menjalin hubungan social secara harmonis dengan orang lain melalui sikap dan
perilaku yang baik. Ia dilatih untuk berprasangka baik kepada orang lain,

8
berempati, suka menolong, jujur, bertanggung jawab, dan menghargai perbedaan
pendapat. Semua sikap dan perilaku itu dapat membantu peserta didik untuk hidup
secara sehat dan harmonis dalam lingkungan social yang dihuninya.

2.3.4. Landasan Estetik


Manusia adalah makhluk yang memiliki cita rasa keindahan (estetik). Cita
rasa tersebut berkembang sesuai dengan potensi setiap individu dalam menilai
objek-objek yang bernilai seni atau menuangkan karya seni. Pada tingkatan
tertentu cita rasa keindahan berkembang secara subjektif. Artinya, setiap orang
dapat mengekspresikan kualitas dan intensitas keindahan yang berbeda. Akan
tetapi, pada tingkatan yang lebih tinggi, cita rasa keindahan dapat sampai pada
penemuan makna keindahan yang hakiki sehingga berada di wilayah yang
objektif, yaitu kebenaran dan kebaikan estetik yang bernilai universal.
Dalam perkembanganya, cita rasa keindahan melibatkan semua domain yang
ada pada diri seseorang meskipun yang paling dominan adalah aspek perasaan.
Proses ini berbeda dari verifikasi empirik dalam menguji kebenaran ilmu
pengetahuan.
Nilai-nilai estetik berkembang dan dibangun berdasarkan kriteria tertentu
yang berstandar pada keindahan yang terdapat dalam objek seni. Oleh karena itu,
seseorang yang hendak mengembangkan intuisi estetiknya harus mampu
mengelompokkan, menimbang, dan menilai fakta keindahan atau menciptakan
bentuk karya seni.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Pendidikan nilai dan norma adalah pendidikan yang mempertimbangkan
objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang
meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera
pribadi, serta etika, yaitu menilai benar/salahnya dalam hubungan antarpribadi .
Berpijak pada pola kandungan filsafat, pendidikan nilai juga mengandung tiga
unsur utama, yaitu ontologi pendidikan nilai, epistemologi pendidikan nilai, dan
aksiologi pendidikan nilai. Pendidikan nilai dan norma memiliki beberapa
landasan, antara lain landasan filosofis, landasan psikologis, landasan social dan
landasan estetik.

3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan dapat menmbah pengetahuan
penulis dan pembaca tentang konsep dasar, filosofi,dan landasan pendidikan nilai
dan norma. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kata
sempurna dan masih banyak kekurangan. Kritik dan saran yang membangun
sangat diperlukan penulis agar menjadi lebih baik bagi masa yang akan
mendatang. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
mata kuliah Pendidikan Nilai dan Norma yang telah membimbing kelompok
kami.

10
DAFTAR PUSTAKA
Aeni, A. N. (2010). PENDIDIKAN NILAI DI SEKOLAH DASAR. Pendidikan Dasar, 4-5.

UU No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (n.d.).

Fakhruddin, A. (2014a). Urgensi pendidikan nilai untuk memecahkan problematika nilai


dalam konteks pendidikan persekolahan. Jurnal Pendidikan Agama Islam-
Ta’lim, 12(1), 83–84. http://jurnal.upi.edu/file/07_-
_Urgensi_Pendidikan_Nilai_-_Agus_F.pdf

Zakiyah, Q. Y., & Rusdiana. (2014). Pendidikan Nilai Kajian Teori dan Praktik di Sekolah.
In Konsep dan Filosofi Pendidikan Nilai (pp. 68-71). Bandung: CV Pustaka
Setia.

Romadhona, S. (2020) “Muatan Nilai, Norma, Dan Moral Dalam Buku Tablet untuk
Naiffa Pada literasi digital di Sekolah Dasar,” JURNAL DIDIKA:
WAHANA ILMIAH PENDIDIKAN DASAR, 6(1). Available at:
https://doi.org/10.29408/didika.v6i1.2061.

11

Anda mungkin juga menyukai