Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TEORI BELAJAR MENURUT PANDANGAN BEHAVIORISME, KOGNITIF,


KONSTRUKTIVISME, HUMANISME, DAN LANDASAN FILOSOFISNYA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran

Dosen Pengampu: Dr. Sri Mulyati, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 1 Kelas 3A

MUHAMMAD AMIN MAKRUF (2152000008)

DHEA REGITA SEPTIANI (2152000015)

PUTRI DIAH RAHMAWATI (2152000019)

DEWI SRI ASTUTI (2152000021)

BAGAS KRISNA MUKTI (2152000026)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS VETERAN BANGUN NUSANTARA

SUKOHARJO

2022/ 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah yang berjudul
“Menganalisis Teori-Teori belajar menurut pandangan Behaviorisme, Kognitif,
konstruktivisme, Humanisme dan Landasan Filosofisnya” ini dengan lancar dan tepat waktu.

Dalam makalah ini, kami membahas mengenai Menganalisis Teori-Teori belajar


menurut pandangan Behaviorisme, Kognitif, konstruktivisme, Humanisme dan Landasan
Filosofisnya demi terwujudnya kegiatan pembelajaran yang baik. Tujuan dari penulisan makalah
ini adalah memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran. Selanjutnya, kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Sri Mulyati, M.Pd selaku dosen mata kuliah Belajar
dan Pembelajaran yang telah memberikan tugas ini, sehingga kami dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang selalu membantu dalam pembuatan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga dapat kami
jadikan bekal dalam membuat makalah di kemudian hari dengan lebih baik lagi. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan kita.

Sukoharjo, 11 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................2
C. Tujuan..................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................3
A. Pengertian Teori dan Landasan Filosofi Behaviorisme.......................................................3
B. Pengertian Teori dan Landasan Filosofosi Kognitif............................................................5
C. Pengertian Teori dan Landasan Filosofi Konstruktivisme..................................................7
D. Pengertian Teori dan Landasan Filosofi Humanisme........................................................11
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................13
A. Simpulan............................................................................................................................13
B. Saran..................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................14

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

4 Teori Belajar (Behavioristik, Kognitif, Konstuktivisme, & Humanistik) –


Belajar sangatlah penting dalam kehidupan. Selama manusia masih menghembuskan
napas maka manusia akan terus belajar. Pada dasarnya ketika belajar kita tidak bisa
melakukannya dengan sendiri. Dengan kata lain, ketika belajar kita membutuhkan orang
lain untuk mengajarkannya. Jika digambarkan, belajar itu seperti bayi yang sedang
mencoba untuk berjalan, makan, duduk, dan lain sebagainya. Secara naluriah bayi akan
bisa melakukan aktivitas-aktivitas seperti itu, tetapi diperlukan manusia lain untuk
mengajarkannya agar aktivitas-aktivitas itu dilakukan dengan baik. Dengan bantuan
manusia lain maka bayi akan memaksimalkan kepandaiannya yang akan bermanfaat bagi
kehidupannya di kemudian hari.

“Belajar” dalam dunia pendidikan merupakan konsep pengetahuan yang banyak


dilakukan oleh pendidik. Guru yang berperan sebagai pendidik atau pengajar akan
berusaha menyampaikan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya atau peserta didik
dengan sungguh-sungguh dan giat. Satu hal yang perlu diketahui dari proses belajar
mengajar adalah ilmu pengetahuan yang didapat dan bertambahnya ilmu pengetahuan
hanya salah satu bagian kecil dari kegiatan untuk membentuk kepribadian seutuhnya.
Dalam proses belajar ada yang namanya teori belajar. Teori belajar adalah suatu langkah-
langkah yang dapat membantu guru atau pendidik untuk mendidik dan menyampaikan
ilmu pengetahuan kepada murid atau peserta didik.

Namun, ada beberapa guru yang lebih suka mengajar berdasarkan pengalaman
saat belajar. Maksudnya, dalam beberapa kasus, guru sudah menemukan cara jitu untuk
mendidik dan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya tanpa harus
mengetahui teori belajar. Pada dasarnya teori belajar sangatlah banyak, tetapi yang sering
digunakan oleh beberapa guru atau pendidik ada empat, yaitu teori belajar behavioristik,
teori belajar kognitif, teori belajar konstruktivistik, dan teori belajar humanistik. Simak
penjelasan lebih lanjut tentang empat teori belajar tersebut.

iv
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Teori Behaviorisme dan Landasan Filosofinya ?
2. Apa Pengertian dari Teori Kognitif dan Landasan Filosofinya?
3. Apa Pengertian dari Teori Konstruktivisme dan Landasan Filosofinya?
4. Apa Pengertian dari Teori Humanisme dan Landasan Filosofinya?

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui Arti dan Landasan dari Teori Behaviorisme
2. Mengetahui Arti dan Landasan dari Teori Kognitif
3. Mengetahui Arti dan Landasan dari Teori Behaviorisme
4. Mengetahui Arti dan Landasan dari Teori Behaviorisme

v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Behavioristik
Dalam teori behavioristik, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang
dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori
belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku
organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia
baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana
perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih
menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang
memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku
mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus).
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon,
menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan
kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada
teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan
oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian
dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan
stimulusnya.
Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan
reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar. Kaum behavioris menjelaskan
bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan
punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang
masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan
menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan
tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai
yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan
teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine,
Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada
konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini
tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus
dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak
dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan
yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih
tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran
atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

vi
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses
pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor
yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Menurut Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang itu untuk
belajar antara lain sebagai berikut:
1. Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas
2. Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju
3. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman
4. Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik
dengan koperasi maupun dengan kompetensi
5. Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman
6. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar

Landasan Teori Belajar Behavioristik


Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna hakikat sesuatu,
yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti: apakah sesuatu itu, mengapa sesuatu itu
dtperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuannya dan sebagainya .
Dalam melaksanakan terori ini ada beberpa prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-
prinsip itu adalah:
a) Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari
jiwa atau mental yang abstrak.
b) Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem
untuk sciene, harus dihindari.
c) Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya
subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
d) Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi
oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya
pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan
faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
e) Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat
positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
f) Banyak ahli membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal
dan yang lebih belakangan

vii
B. Teori Belajar Kognitif
Secara umum kognitif diartikan sebagai potensi intelektual yang terdiri dari tahapan:
pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa
(analysis), sintesa (sinthesis), dan evaluasi (evaluation). Teori kognitif lebih menekankan
bagaiamana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki
seseorang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teori kognitif ini berkaitan tentang bagaiamana
seseorang melakukan proses untuk mendapatkan pengetahuan baru dengan cara berpikir secara
rasional.
Menurut teori kognitif, belajar merupakan suatu proses atau aktifitas mental yang terjadi
dalam akal pikiran manusia. Jadi, belajar adalah suatu proses kegiatan yang melibatkan aktivitas
mental yang terjadi dalam diri manusi sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan
lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman,
tingkah laku, keterampilan, dan sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan memfokuskan pada perubahan proses
mental dan struktur yang terjadi sebagai hasil dari upaya untuk memahami dunia. Teori belajar
kognitif yang digunakan untuk menjelaskan tugas-tugas yang sederhana seperti mengingat nomor
telepon dan kompleks seperti pemecahan masalah yang tidak jelas. Teori belajar kognitif
didasarkan pada empat prinsip dasar:
·         Pembelajar aktif dalam upaya untuk memahami pengalaman.
·         Pemahaman bahwa pelajar mengembangkan tergantung pada apa yang telah
mereka ketahui.
·         Belajar membangun pemahaman dari pada catatan.
·         Belajar adalah perubahan dalam struktur mental seseorang.
Teori kognitif muncul karena adanya keterbatasan pada toeri behaviorisme. Menurut
pandangan teori kognitif bahwa manusia merupakan makhluk belajar yang aktif dan selalu ingin
tahu serta makhluk sosial. Teori ini menekankan bahwa belajar meruoakan suatu proses yang
terjadi dalam akal pikiran manusia, yang proses tersebut tidak dapat mereka amati. Proses belajar
bukan hanya sekedar interaksi antara stimulus dan respon saja, melainkan melibatkan juga aspek
psikologi lain (seperti: mental,emosi dan  persepsi) dalam memproses informasi yang tidak
tampak, dalam memberikan respon terhadap stimulus belajar. Oleh karena itu, faktor inilah
(mental, emosi, persepsi dan lain-lain) yang disebut dengan faktor internal.
Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti
tentang sesuatu. Usaha untuk mengerti sesuatu tersebut dilakukan aktif oleh siswa atau si belajar.
Keaktifan tersebut dapat berupa:
·         Mencari pengalaman
·         Mencari informasi
·         Memecahkan masalah
·         Mencermati lingkungan
·         Mengolah stimulus yang bermakna untuk mencapai tujuan belajar

viii
Salah satu teori belajar yang berasal dari psikologi kodnif ialah teori pemrosesan
informasi dalam otak manusia. Informasi yang masuk ke saraf pusat akan direkan dan diseimoan
dalam memori jangka pendek dalam waktu yang amat singkat.  Penyimpanan yang sebentar ini
juga mengalami pemrosesan, yaitu sebagian informasi yang tidak bermakna hilang dari sistem
informasi (tidak berhasil dikode) dan yang bermakna akan diproses lebih lanjut. Proses
pereduksian ini disebut dengan persepsi  selektif. Informasi dalam memori jangka pendek ini
kemudian ditransformasikan dalam memori jangka panjang. Saat ditransformasikan, informasi
yang baru tersebut akan berintegrasi dengan informasi lama yang sudah tersimpan dalam memori
jangka panjang. Hal ini disebut dengan pemanggilan. 
Landasan Filosofis Teori Belajar Menurut Pandangan Kognitif
Teori Kognitif Jean Piaget (teori perkembangan kognitif)
Perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu proses yang didasari
mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Piaget mengembangkan teori
perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa abad. Dalam teorinya, Piaget
membahas tentang bagaimana anak belajar, menurutnya dasar belajar adalah aktivitas anak
bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Anak tidak berinteraksi
dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari
kelompok sosial. Interaksi anak dengan masyarakat merupakan peran penting dalam
mengembangkan pandangannya terhadap alam. Semakin bertambahnya usia seseorang maka
susunan sel syaraf mereka akan semakin kompleks dan kemampuannya akan
meningkat.Piaget membangun teorinya dengan memunculkan istilah intelegensi, skema,
asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium.
Intelegensi adalah suatu adaptasi mental pada lingkungan yang baru (menurut Stern
dalam Paul, 2001) atau suatu kemampuan untuk memecahkan masalah (menurut Gardner).
Sehingga dapat dikatakan bahwa intelegensi tidak terlepas dari pemrosesan informasi atau
kognisi untuk mengolah stimulus agar dapat beradaptasi dengan lingkungan.
Skema adalah struktur mental seseorang dimana secara intelektual beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya. Skema bukan benda yang dapat dilihat, tetapi suatu rangkaian proses
dalam sisitem kesadaran seseorang. Contohnya: seeorang anak mengenali ayam dari cerita
orang tuanya atau melihat ayam secara langsung, kemuadian ia beranggapan bahwa ayam
adalah hewan berkai dua, warna putih dan bentuknya besar (ayam kalkun). Seiring
berjalannya waktu, ia melihat ayam berbeda yaitu berwarna hitam, bisa berkokok,
bentuknya kecil (ayam kate), bentuknya sedang (ayam kampung), mempunyai cengger besar
(ayam jago) dan lain-lain. Skema tentang ayam semakin berkemabang dan lengakap.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep,
atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dipikirannya. Asimilasi
tidak menyebabkan perubahan skema tetapi hanya mengembangakan skema yang sudah ada.
Contohnya: awalnya seorang anak tahu bahwa ayam berkaki dua, warna putih, makan
jagung, bentuk sedang. Kemuadian ada warna lain, lehernya pendek, bentuknya kecil dan
lain-lain. Dengan demikian skema tentang ayam menjadi bertambah. Skema awal tetap
dipakai dan ditambahi informasi yang baru.
Akomodasi adalah perubahan skema ke dalam situasi yang baru karena skema lama tidak
cocok dengan pengalaman baru. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Membentuk skema baru yang cocok dengan pengetahuan baru yang diperoleh

ix
b. Memodifikasi (mengubah) skema yan gtelah ada agar cocok dengan pengetahuan yang
baru diperoleh.
Contohnya: skema lama: “semua benda padat tenggelam di ai”r. Akan tetapi seorang
anak melihat kapal yang mengapung di laut. Oleh karena itu, skema lama yang tidak cocok
diubah dengan skema baru yaitu “tidak semua benda padat tenggelam dalam air”.
Ekuilibrium adalah proses penyeimbangan berkelanjutan antara asimilasi dan akomodasi.
Perubahan yang dimaksud terjadi pada saat informasi atau pengalaman baru yang diterima
sesorang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai (asimilasi) dengan skema kognitif
yang dimiliki sebelumnya. Apabila asimilasi tidak terjadi karena adanya informasi baru
yang tidak bersesuaian, maka perlu adanya penyesuaian struktur kognitif dengan
pengetahuan baru yang diterima. Proses ini disebut akomodasi
Adapun tahapan-tahapan perkembangan anak sebagai berikut:
a. Sensory Motor Stage (0-2 tahun)
Pada tahap ini, perkembangan mental ditandai seorang anak menjelajah lingkungan
melalui indra dan kemampuan motoriknya. Contoh: memindahkan objek pada tempat
yang ia kehendaki melalui gerakan dan tindakan fisik.
b. Pra-Operational Stage (2-7 tahun)
Pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar. Contoh:
seorang anak menggambar kotak dengan lingkaran dibawahnya, ia katakan gambar
itu seperti mobil,
c. Concrete Operational Stage (7-11 tahun)
Pada tahap ini anak melakukan penalaran logika tetapi hanya pada situasi yang
kongkret. Contoh: ada 3 tongkat yaitu A (pendek), B (sedang), C (panjang). Maka ia
dapat menyimpulkan A lebih pendek dari B, B lebih pendek dari C, kemuadian ia
simpulkan bahwa A lebih pendek dari C.
d. Formal Operational Stage (11-15 tahun)
Pada tahap ini individu melampui dunia nyata, pengalaman-pengalaman nyata dan
berpikir secara abstrak dan logis. Contoh: seorang anak mampu memecahkan
masalah dan menyelesaikannya secara sistamatis.
Perlu diingat selalu bahwa setiap tahap tidak bisa berpindah ke tahap berikutnya
apabila tahap sebelumnya belum bisa diselesaikan, di setiap selesainya tahapan, umur
tidak bisa menjadi patokan utama seseorang berada pada tahap tertentu, hal ini
disebabkan perbedaan perkembangan individu satu dengan yang lain.

C. Teori Belajar Konstruktivisme


Konstruktivisme adalah teori belajar yang mengusung pembangunan kompetensi,
pengetahuan, atau keterampilan secara mandiri oleh peserta didik yang difasilitasi oleh pendidik
melalui berbagai rancangan pembelajaran dan tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan
perubahan yang dibutuhkan pada peserta didik.
Menurut Thobroni & Mustofa (2015, hlm. 107) Teori konstruktivisme memberikan
keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau
teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya. Artinya, belajar dalam
pandangan konstruktivisme betul-betul menjadi usaha aktif individu dalam mengonstruksi makna
tentang sesuatu yang dipelajari.

x
Sementara itu, Yaumi & Hum (2017, hlm. 42) meungungkapkan bahwa konstruktivisme
mengasumsikan bahwa siswa datang ke ruang kelas dengan membawa ide-ide, keyakinan, dan
pandangan yang perlu diubah atau dimodifikasi oleh seorang guru yang memfasilitasi perubahan
ini, dengan merancang tugas dan pertanyaan yang menantang seperti membuat dilema untuk
diselesaikan oleh peserta didik. Dalam hal ini, meskipun guru tidak melakukan transfer ilmu,
guru harus tetap melakukan tindakan-tindakan yang akan memfasilitasi terbangunnya perubahan
positif terhadap pada siswa. Sehingga siswa dapat membangun suatu pengetahuan, keterampilan,
atau afeksi positif yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Selanjutnya, Mudlofir & Fatimatur (2017, hlm. 12-13) menjelaskan bahwa dalam
konstruktivisme, belajar lebih diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan
berdasarkan pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian
dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Oleh karena itu, aksentuasi
dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar.
Pembelajaran menurut teori belajar konstruktivistik lebih menekankan kepada proses dalam
pembelajaran.
Berdasarkan keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konstruktivisme
adalah teori belajar yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk aktif belajar menemukan
sendiri kompetensi dan pengetahuannya guna mengembangkan kemampuan yang sudah ada pada
dirinya untuk diubah atau dimodifikasi oleh guru yang memfasilitasi, dengan merancang berbagai
tugas, pertanyaan, atau tindakan lain yang memancing rasa penasaran siswa untuk
menyelesaikannya

Filsafat Pendidikan Kontruktivisme


Tema utama filsafat Kontruktivisme yaitu berkenaan dengan hakikat pengetahuan.
Filsafat Kontruktivisme berimplikasi terhadap pendidikan, khususnya dalam bidang pendidikan
sains dan matematika. Pada tahun 1710 Giambatista Vico dalam karyanya De Antiquissima
Itolarum sapienta, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata “Tuhan adalah penciptaan alam
semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. “Mengetahui” berarti “ mengetahui bagaimana
membuat sesuatu”. Artinya, seseorang dipandang mengetahui jika ia dapat menjelaskan unsur-
unsur yang membangun sesuatu itu serta bagaimana membuatnya. Menurut Vico, hanya
Tuhanlah yang dapat mengerti alam raya ini, sebab hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya
dan dari apa Ia membuatnya. Sedangkan manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah
dikontruksikannya.
Ada beberapa pandangan dalam Filosofis Pendidikan Kontruktivisme, yaitu:
a. Pandangan Metafisika
Hakikat Realitas. Menurut kontruktifisme, manusia tidak pernah dapat mengerti
realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang dapat kita mengerti hanyalah struktur
kontruksi akan sesuatu objek (Shapiro:1994). Bangsa Indonesia menyakini bahwa realitas
atau alam semesta tidaklah ada dengan sendirinya, melainkan sebagai ciptaan (makhluk)
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah Sumber Pertama dari segala yang ada, Ia adalah sebab
pertama dari segala sebab, tetapi Ia tidak disebabakan oleh sebab-sebab yang lainnya, dan Ia
juga adalah tujuan akhir segala yang ada.
Di alam semesta, bukan hanya realitas fisik atau hanya realitas non fisik yang ada,
realitas yang bersifat fisik dan non fisik tampak dalam pluralitas fenomena alam semesta
sebagai isi, nilai, norma atau hukum didalamnya. Alam tersebut adalah tempat dan sarana
bagi manusia dalam rangka hidup dan kehidupannya, dalam rangka melaksanakan tugas
hidup untuk mencapai tujuan hidupnya. Dibalik itu, terdapat alam akhir yang abadi dimana

xi
setelah mati manusia akan dimintai pertanggung jawaban dan menerima imbalan atas
pelaksanaan tugas dari Tuhan YME. Dalam uraian diatas tersurat dan tersirat makna adanya
realitas yang besifat abadi dan realitas yang bersifat fana.
Termasuk dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bahwa hakikat hidup bangsa Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan perjuangan yang didorong oleh keinginan luhur untuk mencapai dan mengisi
kemerdekaan. Adapun yang menjadi keinginan luhur tersebut yaitu:
1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur
2) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
3) Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan social.

Dari pernyataan diatas dapat dipahami bahwa realitas juga hakikatnya tidak bersifat
given (terberi) dan final, melainkan juga “mewujud” sebagaimana kita manusia dan semua
anggota alam semesta berpartisipasi “mewujudkannya”.
Hakikat Manusia. Manusia adalah makhluk Tuhan YME. Manusia adalah kesatuan
badan-rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran (consciousness) dan
penyadaran diri (self-awareness), mempunyai berbagai kebutuhan, dibekali naluri dan nafsu,
serta memiliki tuuan hidup. Manusia dibekali potensi untuk mampu beriman dan bertakwa
kepada Tuhan YME dan untuk berbuat baik, namun disamping itu karena hawa nafsunya
manusia pun memiliki kemungkinan untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki
potensi untuk: mampu berfikir (cipta), berperasaan (rasa), berkemauan (karsa), dan berkarya
(karya). Adapun dalam eksistensinya, manusia berdimensi individulitas atau personalitas,
sosialitas, cultural, moralias, dan religius. Adapun semua itu menunjukkan adanya dimensi
interaksi atau komunikasi (vertical maupun horizontal, historistis dan dinamika pada diri
manusia).
Pancasila mengajarkan bahwa eksistensi manusia bersifat mono-pluralis tetapi
bersifat integral, artinya bahwa manusia yang serba dimensi itu hakikatnya adalah satu
kesatuan utuh. Pancasila menganut asas Ketuhanan Yang Maha Esa: manusia diyakini
sebagai makhluk Tuhan YME (aspek religius) asas mono dualisme, manusia adalah kesatuan
badani-ruhani, ia adalah pribadi atau individual tetapi sekaligus insan social. Asas mono-
pluralisme, meyakini keragaman manusia, baik suku bangsa, budaya, dan sebagainya, tetapi
adalah satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia (Bhineka Tunggal Ika). Asas nasionalme,
dalam eksisitennya manusia terikat oleh ruang dan waktu, sebab itu ia mempunyai relasi
dengan daerah, jaman, dan sejarahnya yang diungkapkan dengan sikapnya mencintai tanah
air, nusa, dan bangsa. Asas internasionalisme, manusia Indonesia tidak meniadakan eksistensi
manusia lain baik sebagai pribadi, kelompok, atau bangsa lain. Asas demokrasi, dalam
mencapai tujuan kesejahteraan bersama, kesamaan hak dan kewajiban menjadi dasar
hubungan antara warga negara dan hubungan antara warga negara dan negara dan sebaliknya.
Asas keadilan social, dalam merealisasikan diri manusia harus senantasa menjungjung tinggi
tujuan kepentingan bersama dalam membagi hasil pembudayaannya (BP-7 Pusat:1995).
b. Pandangan Epistemologi
Hakikat Pengetahuan. Segala pengetahuan hakikatnya bersumber dari Sumber Pertama
yaitu Tuhan YME. Tuhan telah menurunkan pengetahuan baik melalui Utusan-Nya (berupa
wahyu) maupun meelalui berbagai hal yang digelarkan Nya di alam semesta termasuk
hukum-hukum yang terdapat didalamnya. Manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui

xii
keimanan atau kepercayaan, berfikir, pengalaman empiris, penghayatan, dan intuisi.
Kebenaran pengetahuan ada yang bersifat mutlak (seperti dalam pengetahuan keagamaan
atau revealed knowledge yang diimani), tetapi ada pula yang besifat relative (seperti dalam
pengetahuan ilmiah sebagai hasil upaya manusia melalui riset, dan sebagainya). Pengetahuan
yang bersifat mutlak (ajaran agama atau wahyu Tuhan) diyakini mutlak kebenarannya atas
dasar keimanan kepada Tuhan YME. Pengetahuan yang bersifat relative (filsafat, sains, dan
lain-lain) diuji kebenarannya melalui uji konsistensi logis ide-idenya, kesesuaiannya dengan
data atau fakta empiris, dan nilai kegunaan praktisnya bagi kesejataraan manusia dengan
mengacu kepada kebenaran dan nilai-nilai yang bersifat mutlak.
c. Pandangan tentang Pendidikan
1.) Pendidikan (mengajar)
Dalam Kontruktivisme istilah pendidikan lebih diartikan sebagai mengajar. Ada
beberapa pengertian dari mengajar diantaranya:
a) Mengajar berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam mengkontruksi
pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, dan
mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri
(Bettencourt:1989).
b) Mengajar dalam konteks ini adalah membantu seseorang berfikir secara benar
dengan membiarkannya berfikir sendir (von Glasersfeld:1989).
c) Mengajar adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik,
melainkan juga intuisi (Paul Suparno:1997).
2.) Tujuan pendidikan (Pengajaran)
Tujuan pengajaran Kontruktivisme lebiah menekankan pada perkembangan
konsep dan pengertian yang mendalan sebagai hasil konstruksi aktif si pelajar
(Fosnot:1996). Menurut Maturasionisme jika seseorang mengikuti langkah-langkah
perkembangan yang ada, dengan sendirinya akan menemukan pengetahuan yang
lengkap. Sedangkan menurut Kontruktivisme, jika seorang tidak mengkontruksikan
pengetahuannya sendiri secara aktif, meskipun ia berumur tua, pengetahuannya akan
tetap tidak berkembang (Paul Suparno:1997).
3.) Kurikulum
Driver dan Oldham (Matthews:1994) menyatakan bahwa perencana kurikululm
kontruktivis tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang menekankan
siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan dari guru kepada
murid. Kurikulum bukan sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan keterampilan
(skill), melainkan lebih sebagai program aktivitas dimana pengetahuan dan
keterampilan dapat dikontruksikan. Kurikulum bukan Kumpulan bahan yang sudah
ditentukan sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan
yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti (Paul Suparno:1997).
4) Metode
Setiap pelajar mempunyai caranya sendiri untuk mengerti, karena itu mereka
perlu menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam konteks

xiii
ini maka tidak ada satu metode mengajar yang tepat, satu metode mengajarcsaja tidak
akan banyak membantu pelajar belajar, sehingga pengajar sangat mungkin untuk
mempertimbangkan dan menggunakan berbagai metode yang membantu pelajar belajar.
Selain itu, mengingat pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka
kelompok belajar dapat dikembangkan (Paul Suparno:1997).
5) Peranan guru dan peserta didik
Dalam kegiatan mengajar guru hendaknya berperan sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan bai. Menurut
Tobin, dkk.,(1994) “bagi siswa, guru berfungsi sebagai mediator, pemandu, dan sekaligus
teman belajar (Paul Suparno, 1977). Dalam artian ini, guru dan peserta didik atau pelajar
lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan. Adapun peserta didik
dituntut aktif belajar dalam rangka mengontruksi pengetahuannya, dank arena itu peserta
didik sendirilah yang harus bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
Pembelajaran dalam pendekatan humanisme ini dipahami sebagai pembelajaran
yang mengarah pada proses memanusiakan manusia sebagaimana yang digagaskan oleh
berbagai pakar pendidikan bahwa pendidikan yang memanusiakan manusia adalah proses
membimbing, mengembangkan, dan mengarahkan potensi dasar manusia baik jasmani
maupun rohani secara seimbang dengan menghormati nilai humanistik lainnya
(Supriyadi, 2011:3). Pada dasarnya segala sesuatu yang berhubungan dengan metode
pembelajaran dilihat dari hasil pembelajarannya, dengan itu tidak lain terjadi karena ada
prinsip-prinsip pada pendekatan yang kita gunakan, seperti pada prinsip pendekatan
humanisme adalah sebagai berikut (Alauddin, 2015:29):
1. Kematangan Jasmani dan Rohani
2. Memiliki Persiapan
3. Memahami Tujuan
4. Memiliki Kesungguhan
5. Ulangan dan Latihan

D. Teori Humanisme dalam Pembelajaran


Humanisme memiliki landasan bahwa pendidikan tidak hanya sekedar mentransfer ilmu
pengetahuan kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai. Selain itu,
pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu
mengembangkan potensi dan daya kreativitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam
hidupnya (Anany, 2010:18). Karena itu, daya kritis dan partisipatif harus selalu muncul dalam
jiwa peserta didik.
Anehnya, pendidikan yang telah lama berjalan tidak menunjukan hal yang tidak
diinginkan. Justru pendidikan hanya dijadikan alat indoktrinasi berbagai kepentingan.
Praktik pendidikan dan pembelajaran hingga saat ini masih ada yang belum
dikembangkan secara optimal sepert diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan
yang muncul di masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari ketidak selarasan antara pendidikan
dengan kehidupan sosial di kalangan masyarakat. Melihat dari dilema dalam setiap jenjang

xiv
pendidikannya ada beberapa cara agar proses pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan
humanistik (Supriyadi, 2013:126), yaitu:
1. Self esteem approach; dalam rangka mengembangkan kepercayaan diri peserta didik.
2. Creatifity approach; dengan mengembangkan potensi kreatif peserta didik, karena pada
hakikatnya manusia mempunyai potensi kreatif. Kreatifitas membedakan manusia dengan
hewan dan apabila kita melakukan aktifitas potensi diri akan berkembang yang
dikarenakan oleh individu itu sendiri.
3. Value clarification and moral development approach; dimaksudkan untuk membantu
peserta didik dalam mengembangkan proses-proses yang digunakan dalam menentukan
nilai-nilai mereka sendiri. Secara teknis, pendidik menyajikan problema yang dapat
mendorong peserta didik untuk mengidenifikasi nilai-nilainya sendiri atau memecahkan
problema yang mengandung dua macam nilai yang saling bertentangan.
4. Multiple talent approach; dalam rangka mengembangkan bakat-bakat lain disamping
kemampuan akademis. Hal ini mungkin dilakukan dengan mengajukan suatu tawaran
dalam berupa pertanyaan.

xv
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan maslah yang kita bahas, dapat diambil kesimpulan bahwa Teori
behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah
laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Teori behaviristik
terdiri dari dari 4 landasan: koneksionisme, pengkondisian, penguatan, dan Operant
conditioning. Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan suatu proses
perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dianggap telah belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan tingkah
lakunya. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.

B. SARAN
Sebagai calon pendidik hendaknya kita mampu menciptakan suasana belajar yang
kondusif dan efektif, lalu menerapkan metode dan teori yang tepat, sehingga proses
belajar mengajar berjalan dengan baik. Oleh karena itu sebagai calon pendidik (guru)
hendaknya kita mempelajari teori-teori pembelajaran yang ada, agar kita mampu
menemukan kecocokan dalam metode mengajar yang tepat.

xvi
DAFTAR PUSTAKA

Setiawan,adi.2011.Teori Behavioristik Dan Landasan Filosofisnya.(online)

http://adiadelsetiawan.blogspot.com/2011/10/teori-behavioristik-dan landasan.

html.Diakses pada 14 September 2012.

Zidan.2011.Teori Belajar Behavioristik.(online)

http://zidandemak.blogspot.com/2011/12/teori-belajar

behavioristik.html.Diakses pada 14 September 2012

Suyono dan Hariyanto. 2001. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT
Rosda Karya

Mudlofir, Ali & Fatimatur, Evi. (2017). Desain Pembelajaran Inovatif dari Teori ke Praktik.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Thobroni. (2015). Belajar & Pembelajaran, Teori dan Praktik. Yogyakarta: ArRuzz Media.

Yaumi, M. & Hum, M. (2017). Prinsip – Prinsip Desain Pembelajaran Disesuaikan dengan
Kurikulum 2013 Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Wahyudin, Dinn. 2011. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Syarifudin, Tatang. Nur’aini. 2006.Landasan pendidikan.bandung : UPI Press

Markus Basuki 22.07Filsafat Konstruktivisme

xvii

Anda mungkin juga menyukai