Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Teori Resepsi Sastra

Istilah resepsi sastra atau disebut juga estetika resepsi sudah tidak asing lagi
bagi telinga pengamat sastra Indonesia. Apalagi sejak tahun 80-an karena telah
terbit dua buku penting yang membicarakan masalah ini terutama dari Prof Teeuw
dan Umar Junus (Pradopo, dkk, 2003: 107).
Namun, sebenarnya pemberian tanggapan pembaca terhadap karya sastra
sudah berlangsung lama dalam kehidupan sastra. Pengamat sastra pun menyadari
akan fungsi komunikasi sastra tersebut. Mukarovsky, misalnya sejak tahun 1980-
an telah membicarakan hal ini dalam sistem semiotiknya. Dikatakannya, karya
sastra sebagai sistem tanda dibedakan dalam dua aspek, yaitu penanda dan
petanda. Penanda merupakan artefak, struktur mati, petandalah yang
menghubungkan artetak itu ke dalam kesadaran penyambut menjadi objek estetik.
Dengan kata lain, karya sastra tidak dapat dipahami dan diteliti lepas dari konteks
sosial. Dalam perkembangan pemikirannya Mukarovsky akhirnya sampai pada
definisi bahwa karya sastra merupakan ragam realisasi diri seorang subjek
terhadap dunia luar. Jadi, lewat fungsi kesenian pembaca melaksanakan diri,
dialah yang menjadi pusat peristiwa semiotik. Di satu pihak Mukarovsky melihat
karya sastra merupakan arus kesinambungan sepanjang masa, sebagai struktur
yang dinamik, tetapi di pihak lain pembaca pun merupakan variabel daiam ruang
dan waktu. Seperti dikatakannya bahwa karya sastra menyatakan dirinya sebagai
tanda dalam struktur intrinsik, dalam hubungannya dengan kenyataan, dan juga
dalam hubungannya dengan masyarakat, pencipta dan penanggapnya. Fokkema
memandang pernyataan tersebut sebagai formulasi terpendek tentang program
teori resepsi yang dasar konsepnya dan bidang risetnya dapat diperoleh (Pradopo,
dkk, 2003: 107-108).
Gagasan Mukarovsky ini dikembangkan oleh Felix Vodicka dengan
menggabungkan dengan pandangan fenomenologi Roman Ingarden yang

3
4

diuraikan dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk. Dalam pandangan Roman


Ingarden karya sastra mempunyai empat strata yakni strata formasi bunyi
linguistik, strata kesatuan arti, strata objek yang dilukiskan, dan strata aspek
skematik yang menghadirkan objek yang dilukiskan. Ingarden sampai pada
pendirian bahwa dalam karya sastra terdapat tempat-tempat tidak tentu, tempat
kosong. Pada proses konkretisasi karya sastra, pembaca harus mengisi tempat-
tempat kosong tersebut dalam rangka struktur objektif karya itu (Pradopo, dkk,
2003: 108).
Vodicka sebagai murid Mukarovsky, mendasarkan konsep konkretisasinya
pada pertentangan artefak dan objek estetis. Baginya kebebasan pembaca jauh
lebih besar. Masyarakat pembacalah yang menikmati, menafsir, mengevaluasi
secara estetis karya tersebut sehingga mencapai realisasinya sebagai objek estetik.
Sebuah karya sastra selalu berubah di bawah perubahan kondisi waktu, tempat,
masyarakat, dan bahkan individu. Menurutnya, problem resepsi sastra yang
terpenting adalah studi konkretisasinya. Pandangannya ini nanti akan
memperlihatkan kedekatannya dengan pandangan Jauss yang melihat resepsi
sastra sepanjang sejarahnya. Bagi Vodicka makna sebuah karya sastra tidak
diberikan secara objektif, melainkan sebuah proses konkretisasi yang diadakan
terus-menerus oleh pembaca yang susul-menyusul dalam waktu atau berbeda-
beda menurut situasinya (Pradopo, dkk, 2003: 108).
Pandangan kedua tokoh strukturalis aliran Praha ini yang ditulis dalam
bahasa Cekoslovakia barulah dikenal luas di dunia Barat dalam tahun 70-an
setelah karya-karya penting mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Karena itu, melalui tulisan Hans Robert Jauss pada tahun 1967 yang berjudul
Literaturqeschichte als Provokation (Sejarah sastra sebagai tantangan)
mempunyai daya gugah yang lebih besar dalam dunia keilmuan sastra. Ia mampu
mengalihkan orientasi terhadap karya sastra kepada pemberian peranan yang lebih
kepada pembaca, sedangkan sebelumnya lebih dititikberatkan perhatian pada
karya sastra, pengarang ataupun hubungan antara karya sastra dengan alam
(Pradopo, dkk, 2003: 108). Bagi Jauss, sejarah resepsi itu merupakan
perkembangan dalam “pemahaman terus menerus”, yang akhirnya memuncak
5

dalam pemahaman pribadi. Pembaca bertitik pangkal pada “cakrawala harapan”-


nya sendiri. Dengan melacak kembali resepsi dari zaman ke zaman akhirnya dapat
sampai pada “cakrawala kejadian”. Konfrontasi antara berbagai resepsi
(“cakrawala peleburan”) memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan mana yang
dapat direalisasikan oleh sebuah karya dalam bidang pemberian arti (Luxemburg,
dkk, 1984: 211).

B. Konsep Dasar Teori Resepsi Sastra

Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception
(Inggris) yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam
arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian
makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respons terhadapnya (Ratna,
2013: 165). Dengan resepsi sastra terjadi suatu perubahan besar dalam penelitian
sastra, yang berbeda dari kecenderungan yang biasa selama ini. Selama ini
tekanan diberikan kepada teks, dan untuk kepentingan teks ini, biasanya untuk
pemahaman seorang peneliti mungkin saja pergi kepada penulis (Junus, 1985: 1).
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam
memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang,
waktu, dan golongan sosial (Sastriyani, 2001: 253).
Resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks
sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan
terhadap teks itu. Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang,
waktu, dan golongan sosial-budaya. Hal itu berarti bahwa karya sastra tidak sama
pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya sepanjang masa atau dalam seluruh
golongan masyarakat tertentu. Ini adalah fakta yang diketahui oleh setiap orang
yang sadar akan keragaman interpretasi yang diberikan kepada karya sastra
(Pradopo, dkk, 2003: 108-109).
Kemudian, Endraswara (2008: 118) mengemukakan bahwa resepsi berarti
menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran
yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi
6

reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra
bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya
karya sastra itu.
Jauss memiliki pendekatan yang berbeda dengan Iser tentang resepsi sastra,
walaupun keduanya sama-sama menumpukan perhatian kepada keaktifan
pembaca dalam menggunakan imajinasi mereka. Jauss melihat a) bagaimana
pembaca memahami suatu karya seperti yang terlihat dalam pernyataan/penilaian
mereka dan b) peran karya tidak penting lagi. Yang terpenting di sini yaitu
aktivitas pembaca itu sendiri. Sedangkan Iser, a) lebih terbatas pada adanya
pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakannya secara aktif dan
b) karya memiliki peranan yang cukup besar. Bahkan kesan yang ada pada
pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri (Junus, 1985: 49).

C. Pemikiran Tokoh-tokoh Pelopor Teori Resepsi Sastra

Tokoh-tokoh yang mempelopori munculnya teori resepsi sastra yakni Hans


Robert Jauss dan Wolfgang Iser. Berikut ini uraian pemikiran mengenai resepsi
sastra tokoh-tokoh tersebut:

1. Hans Robert Jauss

Sejarawan estetika dan yang juga sebagai seorang ahli sastra Jerman telah
menawarkan satu pendekatan atau penulisan sejarah sastra dengan
mengedepankan pada tanggapan atau respons dari para pembaca. Hans Robert
Jauss telah mengenalkan satu pendekatan terhadap sejarah sastra dengan
menitikberatkan pada tanggapan dari pembaca. Hans Robert Jauss merupakan
seorang ahli sastra dari Universitas Konstanz di Jerman. Hans Robert Jauss juga
mendapat pendidikan sebagai seorang filolog terutama filolog tradisi Romawi.
Hans Robert Jauss juga terpengaruh oleh fenomenologi dari sang gurunya, Hans
Georg Gadamer. Hans Robert Jauss dalam bukunya Toward an Aesthetic of
Reception (1982) terutama juga dalam bagian “Literary History as a Challenge to
Literary Theory” memberikan satu uraian tentang dasar-dasar teori estetika resepsi
yang dia kembangkan. Menurut Hans Robert Jauss, teori yang dikembangkan oleh
7

dirinya merupakan satu usaha untuk memberikan jembatan antara dua tradisi
dalam teori kesusastraan yakni tradisi formalistik dan tradisi Marxisme. Estetika
resepsi sendiri pada hakikatnya merupakan satu sintesis dari teori puitik dan juga
teori penafsiran atau sering disebut dengan hermeneutika (Susanto, 2011: 211).
Seperti yang telah diungkapkan, teori ini bertujuan untuk menulis sejarah
sastra. Jauss beranggapan bahwa tulisan-tulisan sejarah yang ada selama ini
dipandang sebagai sejarah palsu. Tulisan-tulisan yang dimaksudkan itu di
antaranya adalah tulisan yang hanya menyebutkan karya, tahun, dan
pengarangnya. Karya sastra dipandang sebagai objek yang tidak mati pada
zamannya saja. Karya sastra bukanlah satu objek yang dapat didefinisikan. Karya
sastra akan dianggap sebagai karya sastra bila dia mendapat tanggapan dari
pembaca melalui kegiatan membaca. Atau dengan bahasa yang lain, karya sastra
itu akan ada atau hadir bila diciptakan kembali melalui aksi konkretisasi. Wujud
dari konkretisasi itu hadir dalam pikiran atau otak si pembacanya. Hans Robert
Jauss memfokuskan pada cara seorang pembaca dalam mengasimilasikan sebuah
teks. Dalam konteks ini, Jauss juga menempatkan hasil pembacaan sebagai dasar
kajian dari teori estetika resepsinya guna menyusun sejarah kesusastraan (Susanto,
2011: 211).
Untuk mendukung teorinya, Hans Robert Jauss mengenalkan tujuh tesis.
Tujuh tesis berhubungan dengan realisasinya dalam menuliskan sejarah sastra.
Tujuh tesis itu diantaranya adalah pengalaman pembaca, horizon harapan, jarak
estetik, semangat zaman, rangkaian sastra, sinkronik dan diakronik, dan sejarah
khusus dan sejarah umum (Susanto, 2011: 213).
Tesis pertama adalah pengalaman pembaca. Sejarah kesusasteraan pada
dasarnya tidak tergantung pada satu bentuk fakta-fakta kesusastraan yang telah
ada. Akan tetapi, kesejarahan sastra pada dasarnya terletak pada pengalaman
karya sastra yang telah dibaca oleh pembaca sebelumnya (Susanto, 2011: 213).
Tesis kedua adalah horizon harapan. Horizon harapan sendiri dapat dikenali
melalui beberapa karakteristik. Pertama, horizon harapan dapat dikenali melalui
norma-norma yang sudah mapan atau puitika genre yang tetap serta telah dikenal.
Kedua, horizon harapan dapat dikenali melalui hubungan yang implisit dengan
8

karya yang sudah akrab. Ketiga, horizon harapan dapat dikenali juga melalui
pertentangan antara fiksi dan realitas, antara fungsi bahasa puitik dan fungsi
bahasa sehari-hari (Susanto, 2011: 213-214).
Tesis ketiga adalah jarak estetik. Jarak estetik dapat didefinisikan sebagai
perbedaan antara horizon harapan yang ada dengan kehadiran karya yang baru.
Pembaca dalam hal ini akan menghasilkan satu respon yang baru bila terdapat
perubahan horizon harapan terhadap karya yang dibacanya (Susanto, 2011: 214).
Tesis keempat adalah semangat zaman. Horizon harapan memiliki peran
dalam menciptakan semangat zaman. Hal ini dilihat dari rekonstruksi horizon
harapan pada masa lalu ketika karya itu dihadirkan. Dengan asumsi ini, pembaca
masa kini akan memberikan semacam pertanyaan tentang bagaimanakah teks ini
dihadirkan dan diberi tanggapan pada masa lalunya (Susanto, 2011: 215).
Tesis kelima adalah rangkaian sastra. Rangkaian sastra ini memiliki arti
bahwa seorang pembaca dapat mempertimbangkan karya yang lain atau individual
ke dalam rangkaian sastra. Hal ini memiliki maksud bahwa karya yang diteliti
tanggapannya itu pada masa kini ditentukan posisi historisnya dengan karya-karya
yang lain pada sezamannya, baik yang hadir dalam masa lalu ataupun baru saja
diproduksi (Susanto, 2011: 215-216).
Tesis keenam adalah sinkronik dan diakronik. Konsep sinkronik dan
diakronik ini pada dasarnya merupakan model yang diambil dari ilmu linguistik,
terutama linguistik struktural. Bila dalam perspektif diakronik hanya dipraktikkan
untuk menulis sejarah sastra, kini perspektif sinkronik juga perlu mendapat
tempat. Penampang melintang dari perspektif sinkronik ini juga mampu
memberikan semacam momen dalam perkembangan kehadiran suatu karya.
Sejarah sastra baru dapat terbentuk dengan menggunakan penampang melintang.
Namun, kesejarahan sastra sendiri juga muncul dari kedua sisi, yakni sinkronik
dan diakronik. Penampang sinkronik harus memiliki dua elemen, yakni unsur
masa lampau dan masa depan yang tidak dapat terpisahkan (Susanto, 2011: 216).
Tesis ketujuh adalah sejarah khusus dan sejarah umum. Sejarah sastra
harus menunjukkan satu dimensi atau satu ciri sebagai secara khusus yang
berbeda dengan sejarah umum. Namun, sejarah khusus yang dimaksudkan dengan
9

sejarah umum itu menunjukkan satu hubungan. Hubungan itu bukan hanya
terletak pada persoalan realitas dan kesusastraan bersama imaji, idealisasi tentang
realitas, dan lain-lain. Hubungan itu terlihat dari fungsi sosial dari kesusastraan itu
sendiri. Fungsi sosial dari kesusastraan itu akan terwujud melalui kesadaran
pembaca dalam memasuki satu horison harapan melalui kehidupan praktis dari
pembaca sebelum menciptakan pemahamannya terhadap dunia. Artinya, hal itu
berhubungan dengan pengaruh terhadap tingkah laku sang pembaca (Susanto,
2011: 216)

2. Wolfgang Iser

Bila Hans Robert Jauss menekankan resepsi sastra untuk tujuan penulisan
sejarah sastra dan hasil tanggapannya, Wolfgang Iser lebih memfokuskan pada
efek atau wirkung, yakni cara sebuah teks mengarahkan reaksi-reaksi pembaca
untuk memahaminya. Teori Iser ini sering juga disebut dengan teori estetika
resepsi yang menekankan pada proses pembacaan. Iser ini memiliki pandangan
bahwa teks sastra itu tidak dapat disamakan, baik dengan objek-objek nyata dari
dunia pembaca ataupun dengan pengalaman pembacanya sendiri. Ketidaksamaan
itu oleh Iser sering disebut dengan ruang yang kosong yang harus diisi oleh
pembaca. Bagi Iser, teks sastra ditetapkan secara eksternal oleh wilayah yang
samar-samar atau kosong itu yang mana wilayah itu harus tidak dihadirkan seperti
dalam sebuah artikel ilmiah. Secara internal, teks sastra diberi ciri atau sifat
melalui ruang-ruang yang samar-samar. Ruang kosong itu secara berlawanan
dapat menjadi unsur yang dasar dalam tanggapan estetik. Wilayah yang samar-
samar itu menjadi satu yang utama untuk memperoleh efek teks sebab pembaca
sendiri mempunyai tugas untuk mengisi ruang yang samar-samar. Bila jumlah
yang diisi dalam ruang yang samar-samar oleh pembaca itu sangat sedikit, hal ini
menunjukkan bahwa teks itu seakan tidak berarti bagi pembaca sebab sangat
membosankan dalam proses pembacaan (Susanto, 2011: 217).
Iser berpandangan bahwa teks sastra akan memiliki makna bila mendapat
tanggapan melalui pembacaan atau ketika dibaca. Atas asumsi itu, Iser
berpendapat bahwa adalah sesuatu yang tidak mungkin bila mendeskripsikan
10

sebuah tanggapan pembaca tanpa melihat atau meneliti proses pembacaannya.


Efek-efek ataupun tanggapan-tanggapan itu pada hakikatnya bukanlah milik dari
teks atau pembaca. Teks sendiri pada dasarnya hanya menghadirkan semacam
efek yang potensial yang mana hal itu dapat terealisasi melalui proses pembacaan.
Satu teori komunikasi sastra akan dapat terlahir dengan mengedepankan persoalan
interaksi teks dan pembaca ataupun hubungan dialektika antarkedua kubu tersebut
(Susanto, 2011: 218).
Iser mengatakan bahwa sebuah teks itu seperti sebuah kapal pesiar yang
mana pengarang membawa kata-kata dan pembaca membawa maknanya.
Perkataan yang dikutip dari Boehme ini pada hakikatnya dapat digunakan sebagai
deskripsi yang nyata tentang karya seni, tidak terkecuali sastra. Dalam konteks ini,
bila peneliti berkeinginan untuk melihat hubungan pembaca, teks, dan pengarang,
akan timbul suatu persoalan yang utama, yakni ke manakah atau kepada siapakah
pembaca mengacu makna dari karya yang dibacanya (Susanto, 2011: 218).
Berdasarkan konteks ini, Iser membedakan macam-macam pembaca dalam
interaksi tersebut. Bila pembaca itu menekankan pada sejarah tanggapan, maka
pembaca itu sering disebut sebagai pembaca yang nyata (real reader). Pembaca
berjenis real reader dapat diketahui melalui tanggapan-tanggapan yang sudah
ditulis. Maksudnya adalah yang terdokumentasikan. Bila yang ditekankan adalah
efek terhadap potensi teks, pembaca yang muncul adalah jenis pembaca hipotesis
(hypothetical reader) (Susanto, 2011: 218).
Pembaca yang nyata atau dapat diterjemahkan sebagai pembaca sebenarnya
ini hanya muncul dalam kajian sejarah tanggapan. Kajian sejarah tanggapan
pembaca terhadap satu karya tentu saja akan menggunakan pembaca sebenernya
atau yang nyata ini. Kajian seperti ini memfokuskan pada tanggapan satu karya di
dalam suatu masyarakat, yakni masyarakat pembaca yang khusus. Bagi Iser,
penilaian berbentuk apapun juga terhadap satu karya sastra pada hakikatnya
mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca. Karya sastra sendiri akhirnya
dapat didefinisikan sebagai cermin kode budaya yang mengarahkan pada jenis
penilaian-penilaian tersebut (Susanto, 2011: 218-219).
11

Untuk mengetahui pembaca yang nyata ini tentu saja harus melihat
dokumen-dokumen yang ada hingga masa kini. Bila karya itu hadir di masa lalu,
misalnya berabad-abad yang lalu, tentu saja akan membawa semacam kesulitan
dalam menentukan pembaca yang nyata karena persoalan ketersediaan data-data
yang terdokumentasi. Bila dokumen-dokumen itu tidak tersedia secara cukup,
muncullah satu pertanyaan yakni bagaimanakah menyusun satu tanggapan yang
telah ada. Untuk mengatasi hal itu, bagaimanakah pengarang dapat mengharapkan
asumsi dari pembaca (Susanto, 2011: 219).
Untuk menjawab kebekuan tersebut, muncullah jenis pembaca yang disebut
dengan pembaca hipotesis. Pembaca ini berada di segala kesempatan dalam
merealisasikan sebuah teks. Pembaca sering dibagi menjadi dua, yakni pembaca
ideal dan pembaca kontemporer. Pembaca idel sendiri tidak dapat ditemukan
keberadaannya secara objektif. Pembaca kontemporer ini dibagi menjadi tiga tipe
yakni yang real dan historis, dan dua yang hipotesis. Yang real dan historis dapat
ditemukan dalam tanggapan-tanggapan yang terdokumentasikan. Pembaca yang
historis pada satu waktu tertentu. Pembaca hipotesis yang kedua dapat diprediksi
dari peran pembaca yang berada di suatu teks (Susanto, 2011: 219).
Pembaca ideal pada dasarnya muncul melalui para pengkritik, yakni dari
pikiran sang filolog ataupun kritikus sastra/teks pada zamannya. Pembaca ideal
lahir sebagai satu kontribusi hipotesis yang dibentuk oleh para kritikus ataupun
teoretikus dalam proses interpretasi itu sendiri. Sebagai contoh, ketika penulis
sedang merencanakan struktur cerita, secara tidak sadar penulis telah menciptakan
yang namanya pembaca ideal sebab dia mengetahui seluruh cerita itu (Susanto,
2011: 219).
Iser mengatakan bahwa tidak terdapat teori yang berkaitan dengan teks
sastra yang dapat menjadi panduan utama tanpa membawa serta pembaca ke
dalamnya. Peran pembaca kemudian ditingkatkan ke suatu kerangka referensi
potensi semantik dan pragmatik teks. Iser menyatakan bahwa pembaca harus
diberikan keleluasaan tanpa terlebih dahulu memberikan katakter dan situasi
historis. Pembaca implisit sebagai suatu konsep memiliki akar yang muncul dari
struktur teks merupakan sebuah konstruksi dan tidak dapat diidentifikasi dengan
12

pembaca nyata. Konsep pembaca ini merupakan suatu struktur tekstual yang
mengantisipasi kehadiran penerima tanpa perlu menentukan siapa dia. Lebih
lanjut, konsep pembaca ini menunjuk kepada sebuah jaringan struktur yang
mengundang tanggapan yang merangsang pembaca untuk memahami teks. Ada
dua aspek pembaca dalam konsep ini, yakni (1) peran pembaca sebagai sebuah
struktur tekstual dan (2) peran pembaca sebagai yang terstruktur (Susanti, 2001:
221-222).
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa Wolfgang lser lebih
memfokuskan diri terutama pada konsep tentang efek. Iser juga mengungkapkan
bahwa dalam sebuah teks sastra juga terdapat tempat kosong yang menjadi tempat
pembaca berpartisipasi dalam proses komunikasi antarkeduanya. Dengan kata
lain, proses pembacaan tersebut melibatkan interaksi antara teks dan pembaca.
Jadi, pemaknaan terhadap karya sastra (teks) tidak hanya memerhatikan teks-teks
saja, melainkan menberikan tempat yang sejajar terhadap keterlibatan tanggapan
terhadap teks yang tidak lain dilakukan oleh pembaca. Setiap pemaknaan karya
sastra pembaca harus melibatkan diri dengan struktur teks dan norma-norma yang
melatari teks tersebut (Susanti, 2011: 222).
Iser menanggapi hal tersebut dengan mengenalkan konsep repertoire.
Pembaca dituntut untuk tidak melupakan repertoire sebagai salah satu faktor yang
melibatkan proses pembacaan. Repertoire merupakan keseluruhan lingkup yang
dikenal dalam teks. Repertoire dapat berupa referensi-referensi terhadap karya-
karya terdahulu, norma-norma sosial dan historis, dan keseluruhan struktur tempat
munculnya teks. Makna repertoire ini mengingatkan pembaca pada kaum
strukturalis Praha yang mengenalkan konsep realitas-ekstratekstual. Repertoire
sebagai salah satu faktor yang melibatkan pemahaman pembaca terjadi implikasi
ganda dari dua hal tersebut, yakni (1) realitas yang muncul tidak sebatas pada
tataran tekstual, dan (2) elemen-elemnen yang diseleksi sebagai referensi tidak
dimaksudkan sebagai replika saja. Dengan demikian, kehadiran elemen-elemen
tersebut dalam teks biasanya berarti mengklaim transformasi yakni, aspek
intregral dalam komunikasi (Susanti, 2011: 222).
13

D. Metode-metode dalam Penerapan Teori Resepsi Sastra

Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu
sejak terbitnya selalu mendapat tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss,
apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan
diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke
generasi. Tugas resepsi estetik berkenaan dengan interpretasi adalah meneliti
konkretisasi pembaca terhadap sebuah teks sastra. Pakar yang mengetahui jumlah
kemungkinan konkretisasi akan mampu memberikan interpretasi yang lebih
masuk akal, apalagi jika konkretisasi itu diberikan oleh pembaca-pembaca
canggih. Konkretisasi yang tidak didasarkan pada struktur teks dan struktur sistem
nilai dipandang tidak relevan (Pradopo, dkk, 2003: 110).
Penerapan metode penelitian resepsi sastra, bertolak dari uraian di atas,
dapat dirumuskan ke dalam tiga pendekatan: (1) penelitian resepsi sastra secara
eksperimental, (2) penelitian resepsi lewat kritik sastra, (3) penelitian resepsi
intertekstualitas (Pradopo, dkk, 2003: 110).
Penelitian (1) telah dibuktikan dengan meyakinkan oleh Segers. Penelitian
ini di satu pihak nampak menarik, tetapi di pihak lain mengalami berbagai
kesukaran dalam praktik di lapangan, seperti yang terlihat dari percobaan yang
dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia. Penelitian (1) ini cukup
rumit, tidak hanya dalam memilih dan menentukan responden, praktik lapangan,
pemilihan teks, tetapi juga dari segi teori, metode, dan teknik. Kelemahan lain
penelitian (1) ini menurut Teeuw, karena hanya dapat dilakukan untuk resepsi
masa kini saja, sedangkan untuk masa lampau tidak mungkin dijangkau (Pradopo,
dkk, 2003: 110-111).
Penelitian (2) dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara sinkronik dan cara
diakronik. Secara sinkronik, maksudnya meneliti resepsi sastra dalam satu kurun
masa atau periode. Dalam periode sebelum lewat polemik sastra antara Sutan
Takdir Ali Syahbana dengan Sanusi Pane, tercermin “horizon harapan” pembaca
sastra pada masa itu. Kaitan tersebut terlihat juga dalam penolakan terhadap novel
Belenggu, atau sikap Takdir terhadap drama Syandhyakala ning Majapahit karya
Sanusi Pane. Tanggapan-tanggapan lainnya tentulah dapat dihimpun lewat
14

berbagai penerbitan yang ada pada masa itu sehingga menggambarkan “horizon
harapan” pembaca sastra dalam periode tersebut (Pradopo, dkk, 2003: 111).
Penelitian resepsi dengan metode sinkronik adalah penelitian resepsi sastra
yang menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang
digunakan sebagai responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian resepsi
dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis tanggapan pembaca
sezaman dengan menggunakan teknik wawancara maupun teknik kuesioner.
Penelitian resepsi sastra menggunakan metode sinkronik ini pernah dilakukan
oleh Dini Eka Rahmawati, mahasiswa program studi Sastra Jawa Unnes, yang
meneliti resepsi masyarakat atas cerita rakyat Bledhug Kuwu dalam skripsinya
yang berjudul Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu  (2008). Dalam penelitiannya,
Rahmawati menggunakan pendekatan reseptif dengan metode penelitian
sinkronik. Artinya penelitian resepsi sastra yang dilakukan atas cerita Bledhug
Kuwu dilakukan pada tanggapan pembaca yang berada pada satu zaman.
Penelitian yang dilakukan Rahmawati menganalisis hasil konkretisasi masyarakat
Bledhug Kuwu di Kabupaten Grobogan. Hasil penceritaan ulang dianalisis
struktur cerita dengan perbandingan atas sebuah teks cerita yang diterbitkan Dinas
Pariwisata Kabupaten Grobogan. Pembaca yang menjadi responden dalam
penelitian tersebut merupakan masyarakat Bledhug Kuwu yang berada dalam satu
periode. Sehingga dapat dikatakan penelitian Rahmawati termasuk penelitian
resepsi sinkronik. Masih jarang penelitian resepsi sinkronik yang dilakukan oleh
ilmuwan sastra maupun para mahasiswa sastra. Hal ini dapat disebabkan karena
beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan penelitian resepsi
sinkronik (Susanto, 2017, https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2017/03/26/
teori-resepsi-sastra-dan-penerapannya/, diakses pada 7 Maret 2020).
Secara diakronik, dapat diteliti misalnya tanggapan pembaca terhadap sajak-
sajak Chairil Anwar sepanjang sejarahnya. Redaktur Panji Poesaka menolak
sajak-sajak Chairil, dianggap tidak berharga, tetapi kemudian H. B. Jassin
menanggapi sajak-sajak Chairil itu secara positif seperti terlihat dalam bukunya
yang berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1962). Dalam masa jayanya
paham “seni untuk rakyat”, kritikus Lekra menolak pandangan hidup Chairil
15

(Pradopo, dkk, 2003: 111). Dalam Kehidupan sastra lama, tanggapan itu tidak
diberikan dalam bentuk kritik sastra, melainkan dalam berbagai versi yang diturun
oleh sang penyalin dan “disempurnakan” sesuai dengan “horizon harapan”
masyarakatnya pada masa itu. Hal serupa terlihat juga dalam kehidupan sastra
modern yang menerbitkan kembali karya sastra lama, seperti yang dilakukan oleh
Mangunwijaya dengan cerita Roro Mendut, drama parodi Akhadiat yang berjudul
Joko Tarub, novel Arjuna Mencari Cinta, dan sebagainya (Pradopo, dkk., 2003:
111).
Penelitian resepsi sastra dengan metode diakronik merupakan penelitian
resepsi sastra yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam
beberapa periode. Tetapi periode waktu yang dimaksud masih berada dalam satu
rentang waktu. Penelitian resepsi diakronik ini dilakukan atas tanggapan-
tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berupa kritik sastra atas karya
sastra yang dibacanya, maupun dari teks-teks yang muncul setelah karya sastra
yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi diakronik dilakukan atas tanggapan
pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun
dalam jurnal ilmiah (Susanto, 2017, https://bagawanabiyasa.wordpress.com
/2017/03/26/teori-resepsi-sastra-dan-penerapannya/, diakses pada 7 Maret 2020).
Metode diakronik yang banyak dilakukan adalah penelitian tanggapan yang
berupa kritik sastra. Penelitian resepsi diakronik pernah dilakukan oleh beberapa
ahli sastra, misalnya Yusro Edy Nugroho dalam artikel berjudul Serat
Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca (2001), Agus
Nuryatin dengan artikel Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk
Karya Umar Kayam (1998), Siti Hariti Sastriyani dengan artikel berjudul Karya
Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia (2001),
dan Muhammad Walidin dengan artikel berjudul Seksualitas dalam Novel
Indonesia Kontemporer (2007). Nugroho (2001) dalam artikel berjudul Serat
Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca  menggunakan
karya sastra turunan sebagai respondennya. Penelitian ini menggunakan metode
diakronik karena karya sastra yang digunakan muncul pada kurun waktu yang
berbeda. Karya sastra turunan yang digunakan adalah Wedhatama Winardi
16

(1941), Wedhatama Kawedar (1963), dan Wedhatama Jinarwa (1970). Dalam


penelitiannya, Nugroho dapat menunjukkan bagaimana seorang pembaca dapat
memiliki kebebasan dalam menafsirkan makna dari Serat Wedhatama sesuai
dengan apa yang dikuasai dan diharapkan atas keberadaan serat tersebut. Pencipta
teks turunan ini telah meresepsi Serat Wedhatama dengan tujuan untuk
memertahankan serat ini agar tetap dikenal pada zaman selanjutnya. Penelitian
lain yang menggunakan metode resepsi diakronik adalah penelitian yang
dilakukan Nuryatin (1998) atas tanggapan pembaca terhadap cerita Sri Sumarah
dan Bawuk karya Umar Kayam. Dalam penelitian yang berjudul Resepsi Estetis
Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam ini, Nuryatin
menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra yang
berupa artikel maupun resensi yang termuat di media massa. Pembaca yang
digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berada dalam rentang waktu
antara tahun 1970 hingga 1980. Sehingga penelitian ini dapat dimasukkan ke
dalam penelitian diakronik. Dalam penelitian ini, Nuryatin dapat menunjukkan
kelompok-kelompok tanggapan pembaca atas cerita Sri Sumarah dan Bawuk
karya Umar Kayam, yaitu tanggapan positif dan negatif. Pembaca yang digunakan
dalam penelitian Nuryatin ini adalah pembaca ideal. Pembaca ini melakukan
pembacaan terhadap karya sastra secara mendalam, karena ada tujuan lain dari
proses pembacaan itu (Susanto, 2017, https://bagawanabiyasa.wordpress.com
/2017/03/26/teori-resepsi-sastra-dan-penerapannya/, diakses pada 7 Maret 2020).
Penelitian resepsi diakronik juga pernah dilakukan oleh Sastriyani dalam
artikel yang berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan
Resepsinya di Indonesia. Dalam penelitian resepsi sastra ini, Sastriyani
menggunakan pembaca ideal sebagaimana yang dilakukan oleh Nuryatin. Proses
penelitian terhadap tanggapan pembaca dilakukan atas kritik yang diberikan oleh
pembaca ideal. Dalam penelitiannya Sastriyani juga membandingkan tanggapan
antara Madame Bovary dengan Belenggu. Dari proses penelitian diakronik ini,
Sastriyani dapat menunjukkan pengaruh-pengaruh munculnya karya Madame
Bovary di Indonesia. Penelitian terakhir yang menggunakan penelitian resepsi
dengan metode diakronis adalah Walidin yang menganalisis tanggapan pembaca
17

terhadap seksualitas dalam novel Indonesia kontemporer, yaitu novel Saman


karya Ayu Utami yang mengungkap heteroseksualitas secara vulgar, Supernova
karya Dewi Lestari yang memperkenalkan homoseksualitas kaum gay, dan Garis
Tepi Seorang Lesbian karya Herliniatin yang mengangkat cinta sejenis kaum
lesbian. Walidin menggunakan hasil kritik beberapa pembaca terhadap salah satu
atau ketiga novel tersebut. Hasil kritik ini diperoleh dari hasil wawancara maupun
dari sumber lain, seperti internet atau koran yang berbentuk ulasan. Hasil yang
diperoleh Walidin dari penelitian dalam artikel Seksualitas dalam Novel Indonesia
Kontemporer ini adalah bentuk-bentuk tanggapan atas ketiga novel yang dikaji,
baik tanggapan positif maupun tanggapan negatif. Dari penelitian ini juga dapat
diketahui bahwa resepsi pembaca atas karya sastra bergantung pada periode
pembaca itu berada. Perbedaan periode memengaruhi tanggapan yang diberikan
pembaca terhadap suatu karya sastra (Susanto, 2017, https://bagawana
biyasa.wordpress.com/2017/03/26/teori-resepsi-sastra-dan-penerapannya/, diakses
pada 7 Maret 2020).
Penelitian (3) dalam kaitannya dengan kesusastraan Indonesia modern,
terlihat baik dalam prosa maupun puisi. Menurut Muhardi, roman-roman Balai
Pustaka memperlihatkan hubungan interteks yang jelas dengan Kaba
Minangkabau. Dari segi konsep hipogram Riffaterre terlihat juga hubungan
interteks antara novel Layar Terkembang dengan novel Belenggu, sejak Berdiri
Aku karya Amir Hamzah dengan sajak Chairil Anwar, Senja di Pelabuhan Kecil
(Pradopo, dkk, 2003: 111).
Faktor tradisi dalam konvensi sastra lama dan unsur formula dalam
kehidupan sastra lisan dalam sastra daerah di Indonesia menimbulkan kesukaran
dalam menerapkan teori hipogram Riffaterre. Penyair lisan tiap kali
menyampaikan puisinya memetik berbagai adegan siap pakai yang telah
disediakan oleh tradisi. Keadaan ini tentulah sangat berbeda dengan kehidupan
sastra klasik Perancis yang diteliti oleh Riffaterre. Karena itu dalam kehidupan
sastra lama, aspek intertekstual itu hanya mungkin dijajaki pada karya-karya besar
saja. Sebab karya-karya besar selalu mendapat sambutan dan seringkali dijadikan
tolak ukur keberhasilan penciptaan (Pradopo, dkk, 2003: 111).

Anda mungkin juga menyukai