Anda di halaman 1dari 16

MACAM-MACAM BENTUK, ALIRAN

DAN KRITIK SASTRA

Oleh : Oktaviani Arnanta P.

( 0911110234)

JURUSAN SASTRA INGGRIS


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan

hidayah- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah dengan judul “Macam-

macam Bentuk, Aliran dan Kritik Sastra” dengan lancar.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas makalah sebagai pengganti Ujian

Akhir Semester mata kuliah Bahasa Indonesia.

Penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penulis juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Sehingga

saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan

datang.

Malang, Juni 2010

Penulis

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penulisan makalah ini ditujukan untuk menambah wawasan mahasiswa
tentang kesusasteraan Indonesia dalam pengelompokkannya menurut bentuk,
aliran-aliran dan kritik sastra. Penulis memilih tema ini dikarenakan tema ini
memiliki banyak buku sumber serta tema yang dipilih cukup dan sesuai
terhadap apa yang selama ini dipelajari. Penulis juga, khususnya memilih tema
aliran dan kritik sastra karena selama ini tidak pernah mendapatkan ajaran
tersebut. Dan penulisan tema tersebut sekaligus menambah pengetahuan dan
wawasan penulis.
Makalah ini juga ditujukan untukm memenuhi tugas sebagai pengganti
Ujian Akhir Semester II. Sehingga dengan menambahnya wawasan, rasa cinta
terhadap kesusasteraan Indonesia juga bisa menambah.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa bentuk-bentuk dari karya sastra? Jelaskan !
b. Apa saja aliran-aliran sastra di Indonesia? Jelaskan dan berikan contoh !
c. Bagaimana periodesasi kritik sastra Indonesia? Jelaskan beserta pelopornya!

C. TUJUAN
1. Menambah wawasan-wawasan tentang perkembangan bentuk, aliran, kritik
sastra di Indonesia
2. Menambah rasa cinta dan kepedulian terhadap sastra Indonesia

D. MANFAAT
Menambah wawasan terhadap sastra Indonesia, untuk kemudian bisa memiliki rasa
cinta dan peduli kesusasteraan Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. BENTUK KARYA SASTRA


A.1 PROSA
Prosa adalah karangan bebas (tidak terikat sajak, rima, baris). Dalam khasanah
sastra Indonesia dikenal dua macam kelompok karya sastra menurut temanya, yakni
karya sastra lama dan karya sastra baru. Hal itu juga berlaku bagi karya sastra
bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra prosa lama dan karya sastra prosa baru.

PROSA LAMA

Prosa lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh
dari sastra atau kebudayaan barat. Dalam hubungannya dengan kesusastraan
Indonesia maka objek pembicaraan sastra lama ialah sastra prosa daerah
Melayu yang mendapat pengaruh barat. Hal ini disebabkan oleh hubungannya
yang sangat erat dengan sastra Indonesia. Karya sastra prosa lama yang mula-
mula timbul disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya
bentuk tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan kebudayaan Islam
masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal tulisan. Sejak itulah sastra
tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam
rentetan sejarah sastra Indonesia mulai ada.

BENTUK-BENTUK SASTRA PROSA LAMA


a. Mite adalah dongeng yang banyak mengandung unsur-unsur ajaib dan
ditokohi oleh dewa, roh halus, atau peri. Contoh Nyi Roro Kidul
b. Legenda adalah dongeng yang dihubungkan dengan terjadinya suatu
tempat. Contoh: Sangkuriang, SI Malin Kundang
c. Fabel adalah dongeng yang pelaku utamanya adalah binatang. Contoh:
Kancil
d. Hikayat adalah suatu bentuk prosa lama yang ceritanya berisi kehidupan raja-raja
dan sekitarnya serta kehidupan para dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah Hikayat,
Si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan
e. Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Contoh: Cerita Pak
Belalang.
f. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang
dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam

CIRI CIRI PROSA LAMA


a. Cenderung bersifat stastis, sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang
mengalami perubahan secara lambat.
b. Istanasentris ( ceritanya sekitar kerajaan, istana, keluarga raja, bersifat
feodal).
c. Hampir seluruhnya berbentuk hikayat, tambo atau dongeng. Pembaca
dibawa ke dalam khayal dan fantasi.
d. Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan Arab.
e. Ceritanya sering bersifat anonim (tanpa nama)
f. Milik bersama

PROSA BARU

Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat


pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa baru timbul sejak pengaruh Pers
masuk ke Indonesia yakni sekitar permulaan abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima
karangan G. Fransis, Siti mariah karangan H. Moekti.

CIRI-CIRI PROSA BARU


a. Prosa baru bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai dengan
perkembangan masyarakat)
b. Masyarakatnya sentris ( cerita mengambil bahan dari kehidupan
masyarakat sehari-hari)
c. Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah, drama. Berjejak di dunia yang
nyata, berdasarkan kebenaran dan kenyataan
d. Dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
e. Dipengaruhi siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan jelas
f. Tertulis

JENIS-JENIS PROSA

1. Roman adalah cerita yang mengisahkan pelaku utama dari kecil sampai mati,
mengungkap adat/aspek kehidupan suatu masyarakat secara
mendetail/menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan).
Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam
cerita tersebut. Contoh: karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang,
Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam
2. Cerpen adalah jenis prosa yang berisi cerita sebuah peristiwa kehidupan
sang pelaku pada suatu saat, yang tidak memungkinkan adanya digresi.
Pertikaian yang terjadi tidak menimbulkan perubahan nasib pelaku.
3. Antologi adalah buku yang berisi kumpulan karya terplih beberapa orang.
Contoh Laut Biru Langit Biru karya Ayip Rosyidi
4. Kisah adalah riwayat perjalanan seseorang yang berarti cerita rentetan
kejadian kemudian mendapat perluasan makna sehingga dapat juga berarti
cerita. Contoh: Melawat ke Jabar – Adinegoro, Catatan di Sumatera – M.
Rajab.
5. Novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan
suatu kejadian yang luar biasa dan kehidupan orang-orang. Contoh:
Roromendut karangan YB. Mangunwijaya.
A.2 PUISI
Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah
baris serta ditandai oleh bahasa yang padat.

UNSUR-UNSUR PUISI
a. tema adalah tentang apa puisi itu berbicara
b. amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada pembaca
c. rima adalah persamaan-persamaan bunyi
d. ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang teratur
e. metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang dibentuk oleh
persamaan jumlah kata/suku tiap baris
f. majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek estetis maupun
maksimalisasi ekspresi
g. kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih, haru,
mencekam, berapi-api, dll.)
h. diksi adalah pilihan kata/ungkapan
i. tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi

Puisi di bagi menjadi dua yaitu:

PUISI LAMA
1. Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.

2. Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan

3. Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata
maupun rima.

BENTUK-BENTUK PUISI LAMA


1. Pantun merupakan puisi Indonesia asli. Pantun adalah puisi yang bercirikan
bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris
awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun
menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki,
jenaka
2. Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
3. Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
4. Seloka adalah pantun berkait.
5. Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a,
berisi nasihat.
6. Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris,
bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
7. Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.

PUISI BARU

Puisi baru masuk dalam kesusasteraan Indonesia sebagai akibat pengaruh


kebudayaan bangsa Eropa yang menjajah bangsa Indonesia. Puisi ini sangat
berbeda dengan yang dikenal bangsa Indonesia. Puisi baru populer di tahun 1930,
yakni pada masa Pujangga Baru. Berdasarkan jumlah lariknya puisi baru dibedakan
menjadi :
1. Distikon adalah bentuk puisi yang tiap baitnya terdiri atas dua baris.
2. Tersina adalah puisi baru yang terdiri atas yiga baris setiap baitnya
3. Kuatren adalah bentuk puisi baru yang terdiri atas empat baris dalam setiap
baitnya.
4. Kuint adalah bentuk puisi baru yang terdiri atas lima baris setiap baitnya.
5. Septime adalah bentuk puisi baru yang tiap baitnya terdiri atas tujuh baris.
6. Stanza adalah bentuk puisi baru yang terdiri atas delapan baris dalam setiap
baitnya.
7. Soneta, puisi yang berasal dari Italia ini merupakan bentuk puisi baru yang
memiliki ciri: terdiri atas empat belas baris; dengan susunan dua kuatren dan
dua tersina;bagian dua kuatren berupa sampiran dan bagian sekstet merupakan
bagian isi; bersajak a-b-b-a, c-d-c-, d-c-d.

PUISI MODERN

Berbeda dengan puisi lama atau puisi baru yang masih terikat oleh
aturan jumlah baris atau irama, puisi modern merupakan bentuk puisi yang
benar-benar bebas. Puisi modern lebih mengutamakan isi, bentuk tidak
dipentingkan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila ada puisi
modern yang hanya berisi beberapa kata atau satu kalimat saja. Berdasarkan
isinya, puisi modern meliputi

1. Balada adalah puisi yang berisi cerita.


2. Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan kasih sayang
terhadap kekasih.
3. Elegi adalah puisi ungkapan rasa duka atau sedih, karena kematian.
4. Ode adalah puisi yang bertema mulia, berciri nada dan gaya yang resmi
dan bersifat menyanjung. Puisi ini dapat menlukiskan peristiwa yang
menyangkut kehidupan pribadi. Puisi ini merupakan puisiyang berisi
puji-pujian terhadap Sang Pencipta atau sesuatu yang dimuliakan seperti
pahlawan bangsa.
5. Satire adalah bentuk karya sastra yang berupa puisi biasa atau puisi
naratif yang berisi kritikan atau sindirian dan cemoohan terhadap
masalah-maslah sosial.

A.3 DRAMA

Drama atau film merupakan karya yang terdiri atas aspek sastra dan asepk
pementasan. Aspek sastra drama berupa naskah drama, dan aspek sastra film
berupa skenario. Unsur instrinsik keduanya terdiri dari tema, amanat/pesan,
plot/alur, perwatakan/karakterisasi, konflik, dialog, tata artistik (make up,
lighting, busana, properti, tata panggung, aktor, sutradara, busana, tata suara,
penonton), casting (penentuan peran), dan akting (peragaan gerak para pemain).

B. ALIRAN-ALIRAN KARYA SASTRA

B.I Realisme
Realisme adalah aliran dalam kesusastraan yang melukiskan suatu keadaan atau
kenyataan secara sesungguhnya. Para tokoh aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni
adalah untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan
subjektif. Pengarang realis melukiskan orang-orangnya dengan perasaan-perasaan dan
pikiran-pikirannya sampai sekecil-kecilnya, dengan tidak memihak memberi simpati
atau antipati. Pengarang sendiri berada di luar, ia sebagai penonton yang objektif.
Kenyataan-kenyataan itu tidak boleh ditafsirkan secara berlebihan seperti kaum
romantik. Itu sebabnya karya-karya realis banyak yang berkisar pada golongan
masyarakat bawah seperti kaum tani, buruh, gelandangan, pelacur dan sebagainya.
B.2 Naturalisme
Karya naturalisme sebenarnya merupakan lanjutan dari realisme. Jika realisme
menyajikan kejadian yang nyata daam kehidupan sehari-hari, naturalisme cenderung
melukiskan kenyataan tampa memilih dan memilahnya. Persamaan dengan realisme
adalah sama-sama melukiskan realitas dengan terperinci dan teliti namun
perbedaannya pada seleksi materi.

B.3 Impresionisme
Impresionisme adalah pelahiran kembali kesan kesan sang penyair atau pengarang
terhadap sesuatu yang dilihatnya. Pengarang takkan melukiskan sampai mendetail,
sampai yang sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme.

B.4 Ekspresionisme
Aliran kesusasteraan ekspresionisme merupakan gambaran dunia batin, imaji
tentang sesuatu yang dipikirkan. Dalam ekspresionisme ini, pengarang menyatakan
sikap jiwanya, emosinya, tanggapan subyektifnya tentang masalah manusia,
ketuhanan, kemanusiaan. Dalam sajak, misalnya, penyair tidak mengungkapkan
kisah, tetapi ia langsung berteriak, menyatakan curahan hatinya.

B.5 Absurdisme
Aliran sastra ini munyuguhkan pada ketidakjelasan kenyataan. Pada dasarnya, yang
dihadirkan adalah realitas manusia tetapi selalu hal-khal yang irasonal, tidak masuk
akal. Mengapa demikian? Karena bentuk sastra absurdisme ini memberi ruang yang
terbuka bagi para apresiator untuk memberi tafsiran masing-masing dan semuanya
dikembakiakan kepada pembaca. Aliran absurdisme dapat kita temui dalam karangan
Putu Wijaya, Sitor Situmorang, Budi Darma dan Iwan Simatupang.
B.6 Romantisme
Romantisme adalah aliran kesenian kesusasteraan yang mengutamakan perasaan.
Oleh karena itu, romantisme bisa dikatakan aliran yang mementingkan penggunaan
bahasa yang indah.dan bisa mengharukan.

B.7 Determinisme
Determinisme merupakan aliran kesusasteraan yang menekankan pada takdir.dalam
determinisme ini, Takdir ditentukan oleh unsur-unsur biologis dan lingkungan bukan
oleh sesuatu yang gaib seperti, Tuhan, Dewa-dewi. Penganut aliran determinisme
berangkat dari paham materialisme dan tidak percaya bahwa tuhanlah yang
menakdirkan demikian. Akan tetapi, takdir itu diakibatkan oleh sifat biolgis dari
orangtua dan linkungan keadaan masyarakat. Tokoh Yah dalam Belenggu,
Atheis,Neraka Dunia, Katak Hendak Menjadi Lembu dan Pada Sebuah Kapal
adalah beberapa contoh determinisme.

B.8 Idealisme
Idealisme merupakan cabang dari aliran romantik. Rahasia alam semesta dan
misteri kehidupan , dalam realisme dan naturalisme mengandalkan pada realitas.
Sebaliknya, idealisme menekankan pada ide atau cita-cita. Aliran idealisme adalah
aliran romantik yang mendasarkan citanya pada cita-cita si peniulis atau pada
pengarangnya semata. Pengarang idealisme memandang jauh ke masa yang akan
datang, dengan segala kemungkinannya yang sangat diharapkan akan terjadi. Pada
dasarnya, idealisme ini mirip ramalan. Pengarang mirip tukang ramal yang
menujumkan sesuatu, dan sesuatu itu adalah ide atau cita-citanya sendiri. Pengarang
merasa yakin bahwa fantasinya mampu direfleksikan ke dalam realitas, sebagaimana
tokoh Tuti dalam Layar terkembang, Siti Nurbaya, Katak Hendak Menjadi Lembu,
Pertemuan Jodoh.

B.9 Satirisme
Karya sastra yang dimaksudkan untuk menimmbulkan cemooh, nista, atau perasaan
muak terhadap penyalahgunaan dan kebodohan manusia serta pranata; tujuannya
untuk mengoreksi penyelewengan dengan jalan mencetuskan kemarahan dan tawa
bercampur dengan kecaman dan ketajaman. Beberapa cerita pendek Budi Darma
misalnya “ Kecap Nomor Satu di Sekeiling Bayi”, dan A.A Navis dalam kumpulan
cerita pendeknya “Robohnya Surau Kami” mrupakan bentuk dari contoh karya sastra
aliran absurdisme di Indonesia.

B.10 Lokalisme
Adalah istilah lain untuk jenis cerita lokal. Karya sastra ini menggambarkan corak
atau ciri khas suatu masa atau daerah tertentu serta pemakainan bahasa atau kata kata
daerah yang bersangkutan, dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik atau
keasliannya tampak. Sikap dan lingkungan tokoh juga ikut mendukung corak
setempat.Sejumlah fiksi para pengarang yang berasal dari Sumatera Barat merupakan
karya warna lokal yang kuat di zaman Balai Pustaka. Nama Marah Rusli dan Abdul
Muis yang kemudian disusul dengan B Nurdin Jakub, A.A Navis, Chairul Harun
merupakan para pengarang yang membawa corak khas warna lokal dari Sumatera
Barat. I Gusti Panji Tisn, Putu Arya Tirtaewirya, Faisal Baraas merupakan
pengarang yang memperlihatkan corak warna local Bali Lombok. Warna Lokal ini
merupakan genre yang berkembang bersama genre sastra lainnya sebab sesungguhnya
di dalam cerita-cerita yang berwarna lokal muncul juga aliran-aliran lainnya.

B.11 Didaktikisme
Corak didakitisme merupakan salah satu bentuk sastra bertendens, yaitu karya
sastra yang ditulis dengan maksud tertentu. Yang diutamakan dalam aliran ini adalah
bagaimana pengarang menyakinkan pembacanya sehingga pembaca itu mampu
mengambil teladan dan makna dari karya sastra itu. Pada zaman Angkatan Balai
Pustaka para pengarang menyajikan bentuk karangan yang menentang adat dan tradisi.
Adat dan tradisi kawin paksa itu lebih banyak membawa dampak negatif daripada
positif. mereka ini menulis cerita-cerita yang menentang adat, seperti Abdul Muis,
Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, A.A Navis, Chairul Harun ,Darman Moenir dan
Harris Effendi Thahar.

B.12 Atavisme
Atavisme merupaka suatu ciri bila pengarang atau sastrawan menampikan
kembali bentuk dan unsur sastra lama di dalam karyanya. Seperti penggunaan pantun,
atau mantra.

B.13 Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran di dalam kesusasteraan yang mula-mula dikenal
dalam dunia filsafat. Pada dasarnya aliran eksistensialisme ini menganut paham bahwa
manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan ditentukan oleh faktor luar diri, seperti
Tuhan, nasib, masyarakat dan keturunan. Eksistensialisme karya sastra yang
menegaskan bahwa pembentukan sifat tabiat manusia adalah tanggung jawabnya
sendiri. Dalam arya sastra ini gaya bahasa yang khas bukannah sesuatu yang
terpenting. Yang terpenting adalah pandangan pengarang tentang kehidupan dan
keberadaan manusia.

B.14 Detektivisme
Cerita detektif merupakan genre fiksi yang menekankan cerita pada misteri dan
teka teki serta ketegangan. Karya ini mengungkapkan sebuah misteri melalui
kumpulan dan tafsiran isyarat-isyarat tertentu. Hukum yang lazimnya berlaku dalam
cerita detektif adalah bahwa isyarat-isyarat yang menuju penyelesaian harus
diungkapkan tepat ketika sang detektif menemukan isyarat-syarat tersebut. Di
Indonesia bentuk cerita detektif dimulai dari Suman Hs,. yang menulis beberapa cerita
detektif panjang seperti, Kasih tak tarlarai, Percobaan Setia, Mencari pencuri Anak
Perawan, Kasih tersesat dan sebagainya.

B.16 Popularisme
Cerita Populer merupakan salah satu jenis fiksi yang paling banyak dibaca dan
digemari oleh para pebaca karena sifat utamanya memberi hiburan. Cerita popular ini
sering disebut cerita picisan. Cerita picisan ini bila ditinjau dari sudut seni sastra tidak
bermutu karena pada umumnya memperlihatkan corak suatu usaha tidak kearah
kepentingan mencari uang belaka. Namun jenis bacaan popular ini menjadi kesukaan
para pembaca karena sifatnya yang ringan dan gampang dicerna.

B.17 Tragedisme
Cerita tragedisme melukiskan pertentangan daintara protagonis dengan kekuatan
yang luar biasa, yang berakhir dengan keputusasaan atau kehancuran sang protaginis. .
karangan dramatik sering berbentuk sajak, bertema serius dan seih, yang tokoh
utamanya menemui kehancuran karena suatu kelemahan seperti keangkuhan atau iri
hati. Bentuk karya tragedi lebih merupakan bencana yang dialami para tokoh cerita
seperti halnya tokoh-toko cerita Tohs Mohtar, Motinggo Busye, Bur Rasuanto dan
sebagainya.

B.18 Ironis- Sarkasme


Karya sastra beraliran ini pemakaiannya untuk mencemooh yang bersangkutan
dengan kontras dari apa yang sebenarnya.

B.19 Eksotisisme
Karya sastra yang menunjukkan cirri-ciri eksotisme adalah yang bersangkut paut
dengan latar, tokoh, dan peristiwa yang mengasyikan, mempesona, dan asing. Dengan
kata lain, eksotisime menunjukkan suatu cirri khas yang sangat spesifik daam
penampilan setting, dimana setting yang dipih terasa aneh dan asing bagi pembaca.

B.20 Futurisme
Aliran dalam sastra yang menganjurkan agar neninggalkan segala bentuk ekspresi
gaya baru, bentuk baru, pokok baru dengan menekankan pentingnya pengganmbaran
kecepatan, kekuatan dankekerasan. Menurut kaum futuris, karya sastra hendaknya
menyesuaikan diri dengan zaman modern yang bergerak cepat.

D. KRITIK SASTRA

D.1 Kritik Sastra Pada Zaman Balai Pustaka

Kegiatan kritik sastra Indonesia baru dimulai pada periode Balai Pustaka. Yang
menulis kritik sastra pada waktu itu adalah para sastrawan. Di samping menulis karya
sastra, mereka terkadang juga menulis kritik sastra. Adapun yang boleh dikatakan
kritik sastra pertama ialah terkenal dengan nama Nota Rinkes, yakni Nota over de
Vlkslectuur pada zaman Balai Pustaka (tahun 1920-an) yanh memuat aturan-aturan
untuk buku yang diterbitkan oleh balai pustaka.
Nota rinkes dapat dikatakan sebagai kritik sastra karena menjadi pedoman
penulisan karya sastra yang antara lain berisi aturan tentang keharusan bersikap netral
terhadap agama, memperhatikan syarat-syarat budi pekerti yang baik, menjaga
ketertiban dan tidak boleh berpolitik melawan pemerintah sesuai dengan Politik Balas
Budi. Oleh Karena itu, teori kritik sastra ini merupakan kritik normatif dan pragmatik.
Hasilnya kelihatan dalam roman yang diterbitkan oleh balai pustaka, yaitu roman yang
berorientasi pragmatik (memiliki tujuan tertentu) untuk memajukan dan mendidik
rakyat untuk bebudi pekerti yang baik dan taat pada pemerintah. Di luar Balai pustaka,
pada zaman itu ada juga penulisan kritik sastra yang meskipun sederhana oleh
Mohammad Yamin. Kritik tersebut merupakan kritik sastra Indonesia yang pertama
walaupun mengkritik karya sastra lama.

E.2 Kritik Sastra Pada Zaman Pujangga Baru

Kritik Sastra zaman Pujangga Baru memiliki beberapa kritikus yang


berorientasi pada ekspresif dan romantik. Para kritikus tersebut adalah Sutan Takdir
Alisyahbana, Armijn Pane, Sutan Syahrir dan J.E. Tatenkeng. Mereka menetujui
adanya konsep sastra ‘ seni untuk seni’ (l’ art pour l’art).
Sebagai kritikus sastrawan pujangga baru, Armijn Pane mengungkapakan
bahwa, dalam kesusasteraan yang terpenting adalah isi dari karya sastra. Sementara
rupa dan bentuk hanya sebagai penarik perhatian. Ia menambahkan, bila hasil karya
sastra seorang pengarang dikritik, iut menjadi ukuran pengarangnya sendiri, karena
dialah cermin masyarakat dan zamannya.
Kritikus pujangga baru lainnya yaitu , J.E Tatenkeng juga berorientasi yang
sama, ekspresif. Selain itu, Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh kritikus yang produktif
pada zaman itu, menambahkan bahwa tujuan sastra adalah untuk membangun bangsa.
Serta karya sastra harus mengandung optimisme perjuangan , semangat jangan
sampai ada karya satra lembek, yang hanya akan melemahkan pembaca (masyarakat).
Sedangkan Sutan Syahrir, agak berbeda dengan Takdir, ia lebih mengarahkan
kesusasteraan Indonesia kearah kiri sosialis-politis. Yaitu pragmatik sektoral, bukan
pragmatik nasional. Namun keduanya memiliki kesamaan,yaitu sastra untuk
pendidikan dan bertendens.
W.J.S Poerwadaminta mengatakan bahwa sastrawan Pujangga Baru,
berorientasi ekspresif karena mendasarkan karya sastra sebagai curahan perasaan,
pikiran, jiwa sastrawan dan gerak sukma sebagai pertimbangan dan gerak intrepertasi.

E.3 Kritik Sastra Pada Periode Angkatan 45’

Dalam periode ini, kritik sastra berupa esai dan terapan kritik. Dan di antara
para kritikus zaman ini, HB Jassin muncul sebagai kritikus yang paling menonjol.
Aliran sastra realisme, naturalisme dengan gaya ekspresionalisme adalah aliran yang
terkenal pada zaman ini. Kritik sastra beraliran realisme dan naturalisme dilaksanakan
pertama kali oleh HB Jassin pada periode ini sebagai suatu teori kritik.
Pada saat itu juga timbul paham individualisme dan humanisme universal.
Paham individualisme baru tampak dalam karya ‘Aku’ Chairil anwar sastrawan
angkatan 45. Dan sajak itu kemudian menjadi lambang individulisme angkatan ’45.

E.4 Teori Sastra Kelompok Lekra (Lembaga Kebudayaan


Rakyat)

Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950 atas inisiatif para tokoh PKI , antara lain
Aidit, Nyoto, Henk Ngantung, A.S. sehingga tak heran jika corak Lekra adalah
komunistis. Para seniman dan simpatisannya menganut paham realisme sosialis yang
berkonsep ‘seni untuk rakyat’ dan menolak ‘seni untuk seni’ konsep dari zaman
pujangga baru. Saat itu tokoh sastrawan Lekra Pramoedya Ananta Toer
mempertentangkan realisme sosialis dengan realisme barat meskipun tidak tampak
jelas perbedaan antara keduanya. Iaa juga menjelaskan sastra, politik dan filsafat itu
tidak dapt dipisahkan. Akan tetapi, intinya seluruhnya selalu bernapaskan perlawanan
terhadap segala yang berbau ‘humanisme Borjuis’ dan untuk memenangkan
‘humanisme proletar’. Dan jelaslah kritik sastra Lekra bertipe juga pragmatik

E.5 Teori Kritik Sastra Revolusioner

Teori Kritik Sastra Revolusioner adalah varian dari Teori Lekra. Teori ini
berkembang pada saat Dekrit Presiden Juli 1959 dan berpusat pada gagasan Sitor
Situmorang dalam bukunya Sastra Revolusioner yang mengatakan bahwa teori
revolusioner berorientasi pragmatik. Menurut Sitor, untuk mengambil peran dalam
revolusi serta mendapat isi revolusionernya, tradisi sastra perjuangan masa lalu harus
dibangkitkan, untuk mencapai sastra nasional dan bukan sastra internasional yang
diindonesiakan. Karena sesungguhnya sastra adalah milik rakyat tidak ada kelas-kelas
dalam sastra. Pada hakikatnya teori lekra dan reviolusioner sama, teori pragmatik
yang mengarahkan sasarannya pada penulisan sastra bagi tujuan politik.

E.6 Teori Kritik Sastra Akademik

Pada sekitar pertengahan tahun 1950-an timbul kritik sastra corak baru, yaitu
kritik sastra akademik. Disebut demikian karena kritik sastra ini ditulis oleh kritikus
dari kampus universitas dan mendominasi kurun waktu 1950-1988. Kritik akademik
ini berlangsung dari tahun 1956-1975. Munculnya corak kritik baru ini menimbulkan
reaksi sampai akhirnya timbul perdebatan. Dan kemudian periode ini cepat berakhir.

E.7 Teori Kritik Sastra Periode 1956-1975


Dari kelompok sastrawan, teori kritik sastra dalam periode ini diwakili oleh
Rustandi Kartakusumah, Harijadi S. Hrtowardoyo dan Ajib Rosidi.
Rustandi Kartakusumah mengatakan kunci selera sastra adalah pengajaran.
Pengajaran di kuliah sastra, mempengaruhi penciptaan sastra dan akhirnya
mempengaruhi selera sastra di Indonesia. Adapun jenis kritik sastranya adalah
judisial, atau memberi penilaian.
Berbeda dengan Rustandi, Harijadi menyatakan membaca adalah menggali
hikmahnya. Atau, menemukan diri penyair dalam karangannya.kritik sastra harus
mampu menyelidiki sampai mana penyair dapat mengungkapkan isi hatinya.
Kritik Ajib Rosidi adalah kritik judisial. Ia mengemukakan bahwa untuk
memahami karya sastra seseorang, diperlukan pembicaraan dan penelitian latar
belakang sosio-budaya pengarang.
R.H Lome dalam kritik sastra, ia melakukan pendekatan objektif, bersifat induktif
dan mimetik. Sedangkan Umar Junus mengemukakan teori penciptaan, yaitu
teoripenilaian yang intinya menyatakan bahwa suatu ciptaan harus bisa menimbulkan
emosi pembaca. Atau juga bisa dikenal dengan teori induktif.
Kritik Subagyo Sastrowardoyo termasuk dalam kelompok kritik ilmiah. Tugas
sastra adalah mengorganisasikan dunia seni menjadi dunia pemikiran. Kesusasteraan
tidak terpisah dari penilaian, dan dalam penilaian, subaqgyo menggunakan kriteria
estetik.
Aliran Rawamangun adalah kelompok sastra dari Univ. Indonesia yang lahir di
daerah Rawamangun. Diprakarsai oleh M.S Hutagalung tahun 1975. dasar kritik
aliran ini adalah teori objektif.

E.8 Teori kritik Sastra Periode 1976-1988

Pada tahun 1980-an teori sastra dan kritik sastra Barat yang bermacam
coraknya itu diterapkan di Indonesia oleh para sastrawan dan akademik. Seperti kritik
sastra teori semiotik, kritik sastra kontekstual, realisme sosialis. Teori sastra yang
dirasakan kurang sesuai dengan karya sastra Indonesia yang bercorak latar budayanya
sendiri oleh sastrawan Indonesia dilakukan penyaringan. Para tokoh kritikus pada
periode ini adalahKorrie Layun Rampan, Budi Darma, Pamusuk Eneste.

E.9 Teori Kritik Sastra Indonesia/Nusantara Lama/Kuna

Banyak bemunculan kajian dan kritik sastra Indonesia / Nusantara Lama/


Kuna yang menerapkan teori sastra Barat sekirtar tahun 1980-an. Beberapa
mahasiswa mengedisikannya seprti naskah bali, Babad Buleleng oleh P.J Wrsley,
Hikayat Sri Rama oleh Univ Indonesia, Hikayat Hang Tuah dari Fakultas sastra
UGM, Kakawin Gajah Mada oleh Univ. Padjajaran, disertsi Merong Mahawangsa
berbahasa Melayu Kuno, dan disertasi Hikayat Iskandar Zulkarnaen oleh UGM.
Demikianlah bukti bahwa teori modern Barat bisa di adaptasi hingga kritik sastra
Nusantara Lama.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Karya sastra Indonesia memiliki 3 bentuk. Yaitu : bentuk prosa, bentuk
Puisi dan bentuk drama
2. Prosa adalah karangan bebas. Sedangkan puisi adalah karangan yang
terikat oleh aturan. Dan drama adalah sastra dalam bentuk pementasan.
3. Karya sastra memiliki banyak aliran-aliran.
4. kritik sastra Indonesia memiliki masing-masing zamannya, masing-masing
pelopornya dan banyak teori baru.
DAFTAR PUSTAKA
Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta : Grasindo.
Ulfah, Suroto. 2000. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Layun Rampan, Korrie. 1999. Aliran-Jenis Cerita Pendek. Jakarta : Balai Pustaka.
Sardjono Pradotokusumo, Partini. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta : Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai