Anda di halaman 1dari 8

BAHASA DAN KELAS SOSIAL

1. Pengertian Kelas Sosial


Kelas sosial (social class) mengacu kepada golongan masyarakat yang
mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi,
pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya.
Seorang individu mungkin mempunyai status sosial yang lebih dari satu.
Misalnya si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial
sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri, dia juga masuk ke dalam kelas
pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan
“terdidik”. Begitulah kita juga mengenal kelas pegawai, kelas buruh, kelas
manajer, kelas pedagang, kelas petani. Di negara-negara industri, kelas buruh
sebagai kelas terendah biasanya masih digolongkan lagi menjadi kelas,
menengah, atas; dan kelas atas dan menengah pun masih dibagi lagi menjadi
dua golongan, menjadi kelas atas-atas dan kelas atas-bawah, kelas menengah-
atas dan menengah-bawah.
Kasta biasanya memang dianggap sejenis kelas sosial. Tetapi ada satu
yang membedakan kasta dari kelas sosial yang lain: pada kasta orang tidak
boleh seenaknya bebas memasuki golongan. Orang yang dilahirkan dari
keluarga kasta brahmana pasti dan harus menjadi anggota kasta itu. Orang
yang lahir dari keluarga kasta sudra tidak boleh masuk menjadi anggota kasta
brahmana.
Sebaliknya, di negara industri, misalnya seorang buruh pabrik karena
ketekunan dan usahanya untuk belajar terus akan bisa mampu segera naik
kariernya, menjadi seorang manajer. Kalau sudah demikian dia akan
bergabung dengan anggota-anggota kelas manajer. Jadi kasta itu bersifat
tertutup, sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka, memungkikan adanya
mobilitas sosial, yaitu berpisahnya seseorang dari kelas ke kelas.
2. Ragam Bahasa Kelas Sosial
Kelas orang kebanyakan atau kelas bawah di Amerika, berbicara dalam
bahasa Inggris nonbaku, dengan ciri-ciri tertentu. Ragam bahasanya boleh
dikatakan merupakan dialek sosial tersendiri. Jika anggota dari kelas bawah
ini masuk ke perguruan tinggi menjadi mahasiswa, dia segera meninggalkan
dialek sosialnya, menggantikannya dengan bahasa Inggris ragam baku yang
memang bisa dipakai di kalangan universitas dan kalangan akademis.
Kita melihat di Indonesia kelas sekelompok pejabat yang mempunyai
kedudukan tinggi. Tetapi ragam bahasanya justru nonbaku. Ragam bahasa
mereka dapat dikenali dari segi lafal mereka, yaitu akhiran –kan yang
dilafalkan –ken. Jadi perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat
manusia bisa tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu.
Ragam bahasa dialek regional dapat dibedakan secara cukup jelas dengan
dialek regional yang lain. Batas perbedaan itu bertepatan dengan batas-batas
alam seperti laut, sungai, gunung, jalan raya, hutan, dan sebagainya. Atau
mungkin, batas itu ditentukan berdasarkan ketentuan politik atau administrasi
pemerintahan. Secara linguistik dapat dikatakan, jika dua dialek regional
berdampingan, di dekat perbatasan itu bisa jadi kedua unsur dialek itu akan
“bercampur”. Semakin jauh dari batas itu, perbedaan itu semakin “besar”.
Sekurang-kurangnya hal ini benar pada beberapa situasi. Misalnya di Inggris
ada sungai Humber, yang memisahkan antara dialek “utara” dan “selatan”.
Ciri dialek utara sungai ialah penggunaan monoftong seperti pada lafal kata
house/hu: s / ; sedangkan para penutur di sebelah selatan sungai menggunakan
diftong /haus/, sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Di Bali kita temukan
dialek regional Gianyar, Klungkung, Karangasem yang mempunyai vokal /ǝ /
(e-pepet) untuk kata-kata sepertit kija ’ke mana’. Di dalam dialek Tabanan
fonem itu dilafalkan /O / (seperti pengucapan o pada kata bahasa Indonesia
tokoh). Di wilayah Denpasar dan sekitarnya, yang secara geografis terletak
diantara wilayah Gianyar-Klungkung dan Tabanan, sering terdengar (setidak-
tidaknya untuk telinga penulis yang bukan penutur bahasa Bali) lafal fonem
yang berkisar antara bunyi / i/ dan /a / itu.
Barangkali jarak geografis inilah salah satu faktor yang menyebabkan
terpecahnya suatu bahasa menjadi sekian banyak bahasa. Setidaknya batas
alam itu makin mengokohkan status bahasa yang tadinya mungkin hanya
berupa dialek saja. Ini mungkin terjadi pada apa yang sekarang kita sebut
bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Madura.
Situasi pada ragam kelas sosial, berbeda. Anggota masyarakat atau
guyup tutur (speech community) dari suatu dialek sosial tertentu tetap
berkumpul dengan anggota masyarakat tutur dari dialek-dialek sosial yang
lain di dalam suatu wilayah tertentu. Tetapi kedekatan ini tidak selalu
membawa kedekatan bentuk bahasa bahkan perbedaan bentuk bahasa dalam
kelas sosial yang satu dengan kelas sosial yang lain sangat jauh berbeda, lebih
jauh dari perbedaan yang ada pada dua dialek regional. Contoh yang cukup
menonjol adalah ragam bahasa di Bali yang mengenal lapisan masyarakat
(social stratification) dalam bentuk kasta. Lihatlah tabel sederhana berikut
(yang mungkin berlaku pada masa lampau).
Tabel 1. Perbedaan regional dan kasta dalam bahasa Bali
Bahasa Indonesia Tabanan Klungkung
Brahmana Sudra Brahmana Sudra
1 2 3 4 5
ke mana kij kij kij kij
sudah sampUn sub sampUn sub

Bandingkan kata pertama pada kolom 2 dan 4, dan antara kolom 3 dan 5.
Perbedaan /kij/ dengan /kij/ tidak begitu besar, padahal jarak Tabanan –
Klungkung kira-kira 60 km. Perbedaan antara ragam halus yang biasa dipakai
kaum brahmana di Tabanan sedikit berbeda dengan ragam yang dipakai oleh
kaum brahmana di Klungkung. Tetapi lihat kata kedua. Dalam satu wilayah,
Tabanan, perbedaan bentuk antara ragam halus (untuk brahmana) sangat
berbeda dengan yang dipakai kasta sudra /sampUn/–/sub/. Bandingkan juga
kata-kata pada kolom 2 dengan 3 dan kolom 4 dengan 5. Pada saat ini kita
mengenal ragam halus (singgih) dan kasar (sor).
Situasi di atas, hampir sama dengan bahasa Jawa yang mengenal tingkat
bahasa krama dan ngoko, tetapi tidak mempunyai kasta dalam masyarakatnya.
Lihatlah tabel berikut, kemudian bandingkan kata-kata pada kolom 2 dengan
kolom 4, kolom 3 dengan kolom 5; kolom 2 dengan kolom 3, dan kolom 4 dan
5.
Tabel 2. Perbedaan regional dan kelas sosial dalam bahasa Jawa
Bahasa Indonesia Yogya-Solo Surabaya
Krama Ngoko Krama Ngoko
1 2 3 4 5
saya kula aku kula ku
kamu sampeyan kowe sampeyan kon
tidak mboten ora mboten gak; dak
sudah sampun wis sampun wis

3. Peranan Labov
Perlu kita catat peranan seorang sarjana, William Labov, dalam hubungan
dengan kelas sosial ini, khususnya tentang lapisan sosial. Sudah kita ketahui,
dialektologi semula hanya memperhatikan dialek geografis. Ketika tahun 1930
diadakan pemetaan bahasa di Amerika dan Kanada, para ahli memasukkan
unsur pendidikan penutur ke dalamnya. Ini berarti masuknya dimensi sosial ke
dalam dialektologi. Kemudian mereka juga mulai mencoba-coba meneliti
logat orang-orang di kota, padahal selama ini mereka hanya meneliti dialek-
dialek dari desa ke desa. Setelah Perang Dunia II mereka benar-benar
menyadari pentingnya perhatian terhadap tutur masyarakat kota. Yang
menjadi masalah ialah bagaimana seorang linguis dapat melukiskan misalnya
“tutur kota New York” yang berpenduduk 8 juta lebih. Yang secara tepat
diacu oleh “tutur New York”. Dengan kata lain, apakah ada manfaatnya kita
memasukkan metode dialektologi yang biasanya “membagi-bagi” wilayah
menjadi berkecil-kecil ke dalam lingkup perkotaan. Bermanfaatkah
masyarakat itu dibagi-bagi. Orang-orang dialektologi menjawab “Tidak”.
Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas
tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of English in
New York City (Lapisan sosial Bahasa Inggris di kota New York). Ia
mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan
(sebagaimana dilakukan oleh para ahli linguistik dan dialektologi), melainkan
dengan 340 orang. Dan yang lebih penting lagi, informannya dipilih bukan
melalui teman-temannya atau melalui kontak pribadi (seperti yang biasa
dilakukan orang sebelumnya), melainkan dengan menggunakan sampel acak
(random sampling). Dengan ini dimaksudkan tiap orang mempunyai
kesempatan yang sama untuk diwawancarai dan direkam tuturnya.
Dengan ini Labov sudah memasukkan metode sosiologi ke dalam
penelitiannya. Sosiologi memang berawal dari penelitian terhadap masyarakat
industri di kota, bukan di desa. Sosiologi menggunakan metode pengukuran
kuantitatif dengan jumlah besar, dan menggunakan metode sampling. Dengan
cara itu Labov dapat menegaskan, informan-informannya benar-benar
mewakili tutur kota New York. Dan penelitiannya ternyata sangat penting
bagi penelitian dialek dan variasi kelas sosial. Selama ini penelitian memulai
dengan satu atau beberapa orang informan, kemudian membuat generalisasi
tentang hukum-hukum bahasa. Labov tidak melakukan ini.
Menurut para linguis, orang-orang New York mengucapkan kata guard
dengan memakai /r/ atau kadang-kadang tanpa /r/. Ini tampak sangat acak dan
tidak bisa diramalkan kapan menggunakan /r/, kapan tidak, siapa
menggunakan /r/ dan siapa tidak. Para linguis menyebut /r/ itu sebagai variasi
bebas, artinya variasi yang bisa dipilih, memakai atau tidak memakai /r/ sama
benarnya. Labov menyatakan /r/ itu “bukan variabel bebas” dan bisa
diramalkan. Ia bukan acak, melainkan ditentukan oleh faktor-faktor di luar
bahasa dengan cara yang dapat diramalkan. Faktor itu adalah faktor sosial.
Labov dapat membuktikan, seseorang individu tertentu dari kelas sosial
tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi
bentuk tertentu, sejumlah kira-kira sekian kali atau sekian persen dan dalam
suatu situasi tertentu. Dengan cara ini kita sekarang dapat membuat korelasi
antara ciri-ciri linguistik (kebahasaan) dengan kelas sosial. Dan inilah awal
dari sosiolinguistik.
Begitulah, jika kita ingin memperoleh gambaran yang tepat tentang
hubungan antara bahasa dan lapisan masyarakat, kita harus mampu mengukur
gejala linguistik (kebahasaan) dan gejala sosial agar kita dapat mengadakan
korelasi antara keduanya. Mari kita lihat penelitian lain yang menyangkut
bahasa dan kelas sosial.

4. Kelas Sosial dan Ragam Baku


Ada kaidah yang baku di dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata
ganti orang ketiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya harus
menggunakan sufiks –s. Di kota industri Detroit, Amerika Serikat, ternyata –s
ini kadang-kadang tidak muncul pada bahasa sejumlah orang. Kemudian
diadakanlah penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan
gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu Detroit (AS) dan di
Norwich, Inggris. Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial. Kelas
menengah tinggi (KMT), kelas menengah atas (KMA), kelas menengah
bawah (KMB), kelas pekerja atas (KPA), kelas pekerja (buruh) menengah
(KPM), dan kelas pekerja bawah (KPB). Hasilnya dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 3. Kata kerja tanpa –s (nonbaku) dalam bahasa Inggris di Norwich dan
Detroit
Norwich Detroit
Kelas % Kelas %
KMT 0 KMA 1
KMB 2 KMB 10
KPA 70 KPA 57
KPM 87
KPB 97 KPB 71

Tabel di atas menunjukkan korelasi (kaitan) yang jelas antara kelas sosial
dengan penggunaan bentuk tanpa –s (nonbaku). Terlihat di sana, semakin
tinggi kelas sosial semakin sedikit pemakaian kata kerja tanpa –s, atau
semakin sedikit jumlah orang yang menggunakan bentuk nonbaku. Semakin
rendahh kelas sosialnya, semakin banyak pemakai bentuk nonbaku. Konon,
golongan kelas bawah di Detroit kebanyakan terdiri dari orang-orang Negro.
Struktur persentase ini (yang menyangkut segi morfologi) juga terjadi
pada ciri linguistik yang lebih rumit, yaitu kalimat. Kalimat baku bahasa
Inggris I can eat anything ‘Saya dapat makan apa saja’ dapat dijadikan kalimat
negatif (ingkar) yang sama-sama baku:
1. I can’t eat anything (bentuk ingkar di depan predikat)
2. I can eat nothing (bentuk ingkar di belakang predikat)
Tetapi ada bentuk ragam bahasa yang memberi k emungkinan bentuk ke 3
nonbaku, yaitu:
3. I can’t eat nothing (ada dua bentuk ingkar: can’t dan nothing)
Pemakaian bentuk kalimat nonbaku ini di Detroit menunjukkan
persentase berikut:
Kelas %
KMA 2
KMB 11
KPA 38
KPB 70
Di sini pun terlihat, semakin tinggi kelas sosial, semakin kecil
penggunaan kalimat nonbaku.
Lafal atau pengucapan konsonan pun pernah diteliti dengan hasil yang
kira-kira sama seperti pada bidang morfologi dan sintaksis di atas. Tiga
konsonan diteliti sekaligus, yaitu konsonan /n/ seperti pada kata talking yang
kadang-kadang diucapkan lebih pendek (yang dianggap nonbaku), konsonan
/t/ seperti pada kata bet ‘be rtaruh’ yang sering diucapkan seperti hamzah /?/;
dan konsonan /h/ seperti pada kata hammer ‘palu’ yang sering dihilangkan
saja. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Anda mungkin juga menyukai