Bandingkan kata pertama pada kolom 2 dan 4, dan antara kolom 3 dan 5.
Perbedaan /kij/ dengan /kij/ tidak begitu besar, padahal jarak Tabanan –
Klungkung kira-kira 60 km. Perbedaan antara ragam halus yang biasa dipakai
kaum brahmana di Tabanan sedikit berbeda dengan ragam yang dipakai oleh
kaum brahmana di Klungkung. Tetapi lihat kata kedua. Dalam satu wilayah,
Tabanan, perbedaan bentuk antara ragam halus (untuk brahmana) sangat
berbeda dengan yang dipakai kasta sudra /sampUn/–/sub/. Bandingkan juga
kata-kata pada kolom 2 dengan 3 dan kolom 4 dengan 5. Pada saat ini kita
mengenal ragam halus (singgih) dan kasar (sor).
Situasi di atas, hampir sama dengan bahasa Jawa yang mengenal tingkat
bahasa krama dan ngoko, tetapi tidak mempunyai kasta dalam masyarakatnya.
Lihatlah tabel berikut, kemudian bandingkan kata-kata pada kolom 2 dengan
kolom 4, kolom 3 dengan kolom 5; kolom 2 dengan kolom 3, dan kolom 4 dan
5.
Tabel 2. Perbedaan regional dan kelas sosial dalam bahasa Jawa
Bahasa Indonesia Yogya-Solo Surabaya
Krama Ngoko Krama Ngoko
1 2 3 4 5
saya kula aku kula ku
kamu sampeyan kowe sampeyan kon
tidak mboten ora mboten gak; dak
sudah sampun wis sampun wis
3. Peranan Labov
Perlu kita catat peranan seorang sarjana, William Labov, dalam hubungan
dengan kelas sosial ini, khususnya tentang lapisan sosial. Sudah kita ketahui,
dialektologi semula hanya memperhatikan dialek geografis. Ketika tahun 1930
diadakan pemetaan bahasa di Amerika dan Kanada, para ahli memasukkan
unsur pendidikan penutur ke dalamnya. Ini berarti masuknya dimensi sosial ke
dalam dialektologi. Kemudian mereka juga mulai mencoba-coba meneliti
logat orang-orang di kota, padahal selama ini mereka hanya meneliti dialek-
dialek dari desa ke desa. Setelah Perang Dunia II mereka benar-benar
menyadari pentingnya perhatian terhadap tutur masyarakat kota. Yang
menjadi masalah ialah bagaimana seorang linguis dapat melukiskan misalnya
“tutur kota New York” yang berpenduduk 8 juta lebih. Yang secara tepat
diacu oleh “tutur New York”. Dengan kata lain, apakah ada manfaatnya kita
memasukkan metode dialektologi yang biasanya “membagi-bagi” wilayah
menjadi berkecil-kecil ke dalam lingkup perkotaan. Bermanfaatkah
masyarakat itu dibagi-bagi. Orang-orang dialektologi menjawab “Tidak”.
Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas
tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of English in
New York City (Lapisan sosial Bahasa Inggris di kota New York). Ia
mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan
(sebagaimana dilakukan oleh para ahli linguistik dan dialektologi), melainkan
dengan 340 orang. Dan yang lebih penting lagi, informannya dipilih bukan
melalui teman-temannya atau melalui kontak pribadi (seperti yang biasa
dilakukan orang sebelumnya), melainkan dengan menggunakan sampel acak
(random sampling). Dengan ini dimaksudkan tiap orang mempunyai
kesempatan yang sama untuk diwawancarai dan direkam tuturnya.
Dengan ini Labov sudah memasukkan metode sosiologi ke dalam
penelitiannya. Sosiologi memang berawal dari penelitian terhadap masyarakat
industri di kota, bukan di desa. Sosiologi menggunakan metode pengukuran
kuantitatif dengan jumlah besar, dan menggunakan metode sampling. Dengan
cara itu Labov dapat menegaskan, informan-informannya benar-benar
mewakili tutur kota New York. Dan penelitiannya ternyata sangat penting
bagi penelitian dialek dan variasi kelas sosial. Selama ini penelitian memulai
dengan satu atau beberapa orang informan, kemudian membuat generalisasi
tentang hukum-hukum bahasa. Labov tidak melakukan ini.
Menurut para linguis, orang-orang New York mengucapkan kata guard
dengan memakai /r/ atau kadang-kadang tanpa /r/. Ini tampak sangat acak dan
tidak bisa diramalkan kapan menggunakan /r/, kapan tidak, siapa
menggunakan /r/ dan siapa tidak. Para linguis menyebut /r/ itu sebagai variasi
bebas, artinya variasi yang bisa dipilih, memakai atau tidak memakai /r/ sama
benarnya. Labov menyatakan /r/ itu “bukan variabel bebas” dan bisa
diramalkan. Ia bukan acak, melainkan ditentukan oleh faktor-faktor di luar
bahasa dengan cara yang dapat diramalkan. Faktor itu adalah faktor sosial.
Labov dapat membuktikan, seseorang individu tertentu dari kelas sosial
tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi
bentuk tertentu, sejumlah kira-kira sekian kali atau sekian persen dan dalam
suatu situasi tertentu. Dengan cara ini kita sekarang dapat membuat korelasi
antara ciri-ciri linguistik (kebahasaan) dengan kelas sosial. Dan inilah awal
dari sosiolinguistik.
Begitulah, jika kita ingin memperoleh gambaran yang tepat tentang
hubungan antara bahasa dan lapisan masyarakat, kita harus mampu mengukur
gejala linguistik (kebahasaan) dan gejala sosial agar kita dapat mengadakan
korelasi antara keduanya. Mari kita lihat penelitian lain yang menyangkut
bahasa dan kelas sosial.
Tabel di atas menunjukkan korelasi (kaitan) yang jelas antara kelas sosial
dengan penggunaan bentuk tanpa –s (nonbaku). Terlihat di sana, semakin
tinggi kelas sosial semakin sedikit pemakaian kata kerja tanpa –s, atau
semakin sedikit jumlah orang yang menggunakan bentuk nonbaku. Semakin
rendahh kelas sosialnya, semakin banyak pemakai bentuk nonbaku. Konon,
golongan kelas bawah di Detroit kebanyakan terdiri dari orang-orang Negro.
Struktur persentase ini (yang menyangkut segi morfologi) juga terjadi
pada ciri linguistik yang lebih rumit, yaitu kalimat. Kalimat baku bahasa
Inggris I can eat anything ‘Saya dapat makan apa saja’ dapat dijadikan kalimat
negatif (ingkar) yang sama-sama baku:
1. I can’t eat anything (bentuk ingkar di depan predikat)
2. I can eat nothing (bentuk ingkar di belakang predikat)
Tetapi ada bentuk ragam bahasa yang memberi k emungkinan bentuk ke 3
nonbaku, yaitu:
3. I can’t eat nothing (ada dua bentuk ingkar: can’t dan nothing)
Pemakaian bentuk kalimat nonbaku ini di Detroit menunjukkan
persentase berikut:
Kelas %
KMA 2
KMB 11
KPA 38
KPB 70
Di sini pun terlihat, semakin tinggi kelas sosial, semakin kecil
penggunaan kalimat nonbaku.
Lafal atau pengucapan konsonan pun pernah diteliti dengan hasil yang
kira-kira sama seperti pada bidang morfologi dan sintaksis di atas. Tiga
konsonan diteliti sekaligus, yaitu konsonan /n/ seperti pada kata talking yang
kadang-kadang diucapkan lebih pendek (yang dianggap nonbaku), konsonan
/t/ seperti pada kata bet ‘be rtaruh’ yang sering diucapkan seperti hamzah /?/;
dan konsonan /h/ seperti pada kata hammer ‘palu’ yang sering dihilangkan
saja. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.