Anda di halaman 1dari 7

Edward Said : Orientalisme

Biografi Edward W. Said


Nama lengkap beliau adalah Edward Wadie Said, lahir di Yerussalem,
tepatnya di daerah Talbiyah (sebuah kawasan terpencil di Palestina Barat) pada 1
November 1935 dari pasangan ibu yang bernama Hilda (seorang Palestina kelahiran
Nazareth) dan ayah yang bernama Wadie Said (seorang Amerika Serikat kelahiran
Yerussalem).
Edward W. Said belajar di sekolah-sekolah elit Inggris. Ia memulai pendidikan
formalnya pada 1941 di GPS (Gezira Preparatory School) di Lebanon. Sedangkan
pendidikan rohaninya ia dapatkan di Gereja All Saints’ Cathedral. Selepas lulus dari
GPS, Said melanjutkan sekolah pada 1946 di CSAC (Cairo School for American
Children). Kemudian, Said melanjutkan sekolah pada 1949 di VC (Victoria College)
cabang Mesir.
Pada 1951, Edward W. Said kemudian pindah ke Amerika Serikat dan masuk
ke Princeton University dengan jurusan Sejarah dan Sastra Inggris, di kampus inilah
karakter Said mulai terbentuk. Said akhirnya berhasil meraih gelar Sarjana di
Princeton University pada 1957. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di
Universitas Harvard dengan jurusan Sastra Inggris dan berhasil meraih gelar Magister
pada 1960 dan gelar Doktoral pada 1964.
Edward W. Said berhasil menjadi Profesor Pelawat pada Perbandingan Sastra
di Universitas Harvard pada 1974. Kemudian ia juga merupakan Profesor Parr dalam
bidang Sastra Inggris dan Perbandingan Sastra di Columbia pada 1977 serta menjadi
Profesor Old Dominion Foundation dalam Ilmu Budaya. Setelah itu, pada 1979, ia
merupakan Profesor Pelawat Ilmu Budaya di Universitas Johns Hopkins. Pada
akhirnya, Edward W. Said meninggal dunia pada hari Kamis, 25 September 2003 di
rumah sakit New York dalam usianya yang ke- 67 tahun. Sebelum meninggal Said
masih sempat untuk menulis prolog untuk perayaan ke-25 buku Orientalisme.
Orientalisme sendiri berasal dari kata orient dan oriental diartikan sebagai
penjelasan tentang Timur. Secara etimologi, berarti “matahari terbit”, masuk dalam
kosa kata politik melalui orientalisme, yakni sebuah kajian tentang sejarah, sastra dan
seni yang ada di Eropa yang dipelopori oleh Edward Said. Orientalisme sendiri
kemudian menjadi sebuah ideologi yang menjadikan Barat sebagai pusat dalam
relasinya dengan Timur.
Menurut Said, “Orientalisme adalah doktrin politik yang diarahkan kepada
Timur, pada saat Timur lebih lemah dan budaya Barat lebih dominan”. Dalam konteks
ini, Timur digambarkan sifat-sifatnya yang despotik, sensual, pasif, terbelakang,
mentalitas menyimpang, dan banyak lagi. Dengan adanya pandangan semacam ini
sudah ada sejak abad ke-18 sebagai suatu kebenaran, dan menurut Said,
“konsekuensinya, para pengamat Eropa cenderung rasis, imperialis dan etnosentrik,
juga eropasentrik terhadap yang lain”.
Menurut Edward W. Said yang memandang orientalisme itu selalu terkait
dengan adanya tiga fenomena, yaitu:
1. Orientalisme adalah orang yang mengajarkan, menulis, dan meneliti Timur,
baik orang yang bersangkutan ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun
filologi, baik dari segi umum maupun khusus, dengan mengklaim bahwa
dirinya memiliki pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan Timur.
2. Orientalisme ialah gaya berpikir yang berlandaskan pada pembedaan
ontologis dan epistemologis yang dibuat antara Timur (the orient) dan Barat
(the occident).
3. Orientalisme dapat didiskusikan dan dianalisis sebagai institusi yang
berbadan hukum untuk menghadapi Timur, berkepentingan membuat
pernyataan tentang Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang
Timur, mendeskripsikannya, mengajarinya, memposisikannya, dan kemudian
menguasainya. Dengan kalimat lain, orientalisme adalah cara/gaya Barat
untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan menguasai dunia Timur.
Selanjutnya, Edward W. Said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang
hidup dalam orientalisme, yaitu:
1. Kekuasaan politis, yaitu pembentukan kolonialisme dan imperialisme.
2. Kekuasaan intelektual, yaitu mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan
pengetahuan lain.
3. Kekuasaan kultural, yaitu kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya
Timur memiliki estetika kolonial, yang secara mudah bisa ditemukan di India,
Mesir dan negara-negara bekas koloni lain.
4. Kekuasaan moral, yaitu apa yang baik dilakukan dan tidak dilakukan oleh
Timur.
Selain itu, Said membuat distingsi antara “latent orientalism” dan “manifest
orientalism”,“latent” sendiri merujuk pada kehendak berkuasa dari negara Barat untuk
menguasai Timur dan “manifest” juga merujuk pada aspek yang ada di dalam
diskursus, seperti disiplin (sosiologi, sejarah, sastra, dll), produk budaya, sarjana, dan
tradisi bangsa. Perbedaan antara keduanya adalah aspek pengetahuan yang “manifest”
dari orientalisme ini selalu berubah, sementara aspek “latent” dari orientalisme yang
sifatnya relatif konstan atau bias disebut juga tetap dan tidak berubah, karena
kepentingan politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, terdapat dua metode yang
digunakan orientalisme untuk membawa dunia Timur ke dalam pengamatan dunia
Barat, yaitu:
1. Lewat persebaran kapasitas pembelajaran modern berikut aparatusnya seperti
profesi, universitas, masyarakat profesional, organisasi eksplorasi dan geografikal
serta industri penerbitan. Ini melibatkan prestise para sarjana, pelancong dan
penyair pertama yang membentuk Timur esensial. Menurut Said, ini semua adalah
manifestasi doktrinal dari “latent orientalism” yang memberikan para orientalis itu
kapasitas “enunciative (deklaratif)” untuk berbicara dalam bahasa yang rasional
mengenai dunia Timur.
2. Lewat bertemunya pengetahuan orientalis dengan kekuasaan Barat. Orientalis
adalah “agen khusus” kekuasaan Barat, “penasehat” yang memasok pengetahuan
untuk penciptaan kebijakan kolonial di dunia jajahannya.
Dengan demikian, orientalisme dibentuk secara “latent” atau dari kehendak
berkuasa oleh kategori identitas yang bersifat oposisional seperti “kita” dan “mereka”.
“Kita” ini merujuk pada bangsa Eropa, yang berkulit putih, yang dideskripsikan oleh
para orientalis sendiri sebagai liberal, paling benar, terdidik, dan rasional. Namun Di
sisi yang lain, identitas ini diperkuat dan dibedakan oleh “mereka” yang digambarkan
sebagai terbelakang, primitif, bodoh dan tidak berpendidikan.
Kesalahan utama para orientalis itu adalah menganggap ada satu esensi yang
bisa dipakai untuk menjabarkan Islam. Mereka merasa bisa mendefinisikan hakikat
masyarakat Arab dan kebudayaan Islam – sebuah kebudayaan dengan sejarah yang
kaya dan pengaruh yang menjangkau hingga ke Granada bahkan Asia Tenggara –
dalam suatu generalisasi atau simplifikasi yang serba tunggal dan pukul rata (“Islam
adalah…”, “Arab adalah…”). Dasar keyakinan ini sebenarnya adalah kecongkakan
Barat yang merasa bahwa apa yang dinamakan “peradaban” (ilmu pengetahuan, seni,
teknologi, dan perdagangan) hanya berjalan maju di wilayah dan sejarah mereka
sementara Timur itu statis, terbelakang, eksotis, dan pasif.

Lalu orang Timur sendiri mempunyai suatu pemikiran baru dimana, secara
kasar dibuat sebagai tandingan pemikiran Barat atas Timur. Pemikiran ini disebut
Oksidentalisme,dalam konsep ini oksidentalisme mengarah pada kajian baru dalam
menghadapi hegemoni keilmuan barat atau biasa disebut dengan kajian kebaratan.
Dunia barat selama ini dipandang sangat mendominasi dalam kajian ketimuran,
khususnya kajian ke-islaman.
Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap sebagai suatu senjata untuk
menundukan para bangsa-bangsa timur. Hegemoni sendiri diartikan sebagai bentuk
penguasaan terhadap suatu kelompok atau etnis tertentu dengan memanfaatkan
kepemimpinan intelektual dan moral secara konsensus. Artinya, kelompok-kelompok
yang terhegemoni secara tidak sadar menyepakati nilai-nilai ideologis penguasa.
Oksidentalisme ini muncul sebagai anggapan menjadi tandingan adanya orientalisme
yang sudah ada lebih dahulu
Namun, oksidentalisme sendiri sebenarnya bukanlah hal atau wacana baru
dalam masyarakat timur, melainkan masyarakat timur sendiri sudah berhubungan
dengan bangsa barat sudah sejak zaman Yunani yang pada saat itu juga islam sedang
berjaya dan menyebarkan peradabannya di negara-negara barat yang tradisinya
mewakili bangsa timur sebagai objek pengkaji Yunani dan Romawi, yang mana
Yunani dan Romawi menjadi tempat kesadaran dunia barat, tetapi memang pada saat
itu belum ada yang menyatakan bahwa keilmuan pengkajian kebudayaan menjadi
suatu ilmu tertentu atau khusus.
Banyak juga pada pencetus pendapat tentang konsep atau pengertian
oksidentalisme, namun salah satu tokoh yang terkenal adalah Hasan Hanafi yang
menganggap bahwa konsep oksidentalisme merupakan suatu kajian kebudayaan dan
berbagai aspek dunia barat, tetapi konsep oksidentalisme sendiri menjadi suatu
keilmuan yang menjadi lawan dari konsep orientalisme.

Beberapa perbedaan orientalisme dengan oksidentalisme adalah :


1. Orientalisme muncul membawa revolusi aliran politik yang menjadi
kecenderungan utama abad 19 yang merupakan puncak kesadaran Eropa. Sedang
oksidentalisme muncul di tengah ideologi paradigma penelitian yang sama sekali
berbeda dengan dimana konsep ini lahir sebelumnya, seperti politik ideologi
pembebasan tanah air.
2. Orientalisme sekarang telah berubah bentuk menjadi antropologi sosiologi
budaya. Oksidentalisme bahkan belum mempunyai suatu bentuk apapun.
Orientalisme lahir sejak abad 17, sedang oksidentalisme lahir sejak akhir abad 20.
3. Orientalisme tak netral. Banyak dominasi paradigma yang merefleksikan
kesadaran Eropa. Sedangkan oksidentalisme mengambil sikap netral. Tak
memburu kekuasaan dan hak kontrol.

Dalam beberapa poin yang telah disampaikan diatas telah jelas tujuan dari
adanya kajian ketimuran dan kebaratan. Kajian ketimuran lebih mengarah pada
hegemoni, penguasaan dan kontrol, sedangkan kebaratan mengarah pada kekuasaan.
Hanafi sendiri juga sudah memprediksi apabila oksidentalisme dapat diterapkan
maka banyak hasil positif yang akan dicapai, Antara lain :
1. Menghapus rasa inferioritas (rendah diri) kita dihadapan Eropa dan begitu juga
otomatis menghapus rasa superioritas yang tumbuh dalam diri Eropa.
2. Penulisan ulang sejarah, agar dapat semaksimal mungkin mewujudkan
persamaaan bagi setiap bangsa di dunia yang sebelumnya kebudayaan negaranya
di ekploitasi oleh bangsa kulit putih.
3. Menciptakan oksidentalisme sebagi ilmu yang akurat.
4. Membentuk peneliti-peneliti yang mempelajari peradabannya dari kacamata
sendiri dan mengkaji peradaban lain secara lebih netral dari yang pernah
dilakukan Barat dalam megkaji bangsa lain.
5. Tak ada rasialisme terpendam, seperti yang ditimbulkan akibat dari orientalisme.

Kesimpulannya adalah terbangunnya konsep oksidentalisme sangat relevan


untuk menjadi revolusi besar kebebasan kita sebagai bangsa timur dari pengekangan
intelektual maupun peradaban. Dunia timur kini tak perlu lagi merasa rendah diri
dihadapan Barat. Timur kini sudah tak lagi sebongkah batu, melainkan sebuah bangsa.

Sebenarnya banyak kajian dan penelitian dengan membandingkan antara


Orientalisme dan Oksidentalisme. Hal tersebut pun dilakukan semata-mata untuk
mengungkap doktrin-doktrin yang ada. Membandingkan antara keduanya tidak ada
habisnya. Banyak pendapat yang saling menyudutkan satu sama lain.
Orientalisme merupakan sebuah doktrin dimana doktrin – doktrin politik
tersebut diarahkan kepada bangsa bangsa Timur. Dalam konsep semacam ini dapat
diartikan bahwa paham orientalisme itu menganggap bahwa bangsa – bangsa Timur
memiliki sifat yang ada dibawah bangsa barat, seperti tidak berpendidikan, jauh dari
kata teknologi, bodoh dan pasif. Dan dalam orientalisme sendiri ada pembedaan
epistemologis antara timur dan barat, karena bangsa – bangsa barat merasa bahwa
merekalah yang berkuasa dan lebih mendominasi.
Sedangkan konsep oksidentalisme sendiri memutarbalikkan realistis
kebangsaan yang tadinya objek menjadi subjek dan begitupun sebaliknya. Serta sikap
netralistis sebuah oksidentalisme akan membawa kemajuan pada bangsa timur dan
keberhasilan oksidentalisme itu sendiri, walaupun sebenarnya pada dasarnya kita
masih berkiblat pada teori bangsa barat, namun kajian oksidentalisme akan membawa
perubahan besar walaupun masih belum sempurna dan menghilangkan adanya
eksploitasi kebudayaan bangsa lain, rasisme dan lain sebagainya
Dapat disimpulkan bahwa orientalisme dan oksidentalisme memiliki konsep
yang saling berlawanan dan persamaannya sama – sama mengkaji tentang
pertentangan antara timur dan barat.
Menurut sejarah orientalisme ini sendiri sebenarnya memiliki tujuan untuk
melemahkan dan menghancurkan islam di Timur dari para pemeluk pemeluknya,
karena islam dianggap menjadi sebuah ancaman untuk agama masehi pada waktu itu.
Disamping hal tersebut pecahnya Perang Salib (The Crusades) antara umat Islam dan
umat Nashrani juga merupakan pemicu bagi orang-orang Eropa untuk melakukan
kajian terhadap dunia Islam. Dan gerakan orientalis ini juga timbul pasca perang salib
dengan cara, antara lain mulai mengadakan studi tentang bahasa Arab dan Islam..
Pada intinya bagi mereka, islam adalah suatu ancaman bagi masa depan dunia barat
dan mereka juga beranggapan bahwa islam adalah kelompok yang menyimpang dari
agama mereka (Nasrani).
Dengan adanya orientalisme sudah banyak sekali memengaruhi kehidupan di
dalam bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur. Penulisan sejarah sendiri dianggap
sangat penting, karena dengan adanya penulisan sejarah bisa membangun karakter
dan timbul rasa nasionalisme, tetapi pada kenyataannya penulisan sejarah Indonesia
sendiri masih banyak pengalaman dari Eropa. Dan parahnya Indonesia melakukan
perspektif sejarah Eropa dan akan diajarkan dan diterapkan pada Negara Indonesia.
Inilah yang sebenarnya menjadi faktor utama para generasi bangsa yang selalu lebih
mengedepankan budaya Eropa sedangkan mereka sendiri malu terhadap budaya
negaranya. Dan hasil akhir dari semua itu adalah yang awalnya sejarah sebagai suatu
pembelajaran untuk para generasi mudanya agar cinta terhadap negaranya, namun
hasilnya berlawanan dengan tujuan yang diinginkan.

Daftar Pustaka

Hassan hanafi. 2000. Oksidentalisme : sikap kita terhadap tradsisi Barat. Terj. Jakarta :
Paramsdina

https://lukmanhakim1994.wordpress.com/2015/04/02/oksidentalisme-sejarah-dan-
perkemabangannya/

https://rahimark.wordpress.com/2015/10/23/biografi-dan-pemikiran-edward-w-said/

http://anismufarrochah.blogspot.com/2013/04/pengertian-sejarah-dan-tujuan-orientalis.html

http://historinu.blogspot.com/2016/03/kritik-penulisan-sejarah.html

Anda mungkin juga menyukai