Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1. Pengertian Orientalisme
Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang
Barat. Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur.
Secara etnologis, orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara
geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang
lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis.
Kata isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi, orientalisme
bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang
berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.
Ada beberapa definisi mengenai pengertian orientalisme diantaranya
menurut Muh. Natsir Mahmud, ia mendefinisikan orientalisme sebagai
sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran,
menyangkut agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan masalah lain yang
menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran.1 Sedangkan menurut Ismail
Yakub, bahwa orientalisme adalah :
Ahli tentang soal-soal Timur, yakni segala sesuatu mengenai negerinegeri Timur, terutama, negeri Arab-Islam, yaitu kebudayaanya,
keagamaanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain dari bangsa
dan negeri Timur.2
Maxime
menerangkan

Rodinson
bahwa

sebagaimana

orientalisme

dikutip

mula-mula

oleh

Muh.

Natsir

mempelajari

Islam,

mempelajari bukan sekedar mengenal tetapi mempelajari secara sistematis,


profesional, dan terorganisir.3 Adapun orientalisme, dengan menambahkan
isme dibelakang kata orientalis berarti ajaran atau paham tentang dunia
1

Muh. Natsir Mahmud, Orientalisme : Al Quran di mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif),
(Semarang: Dina Utama Semarang (DIMAS), t.t.), hlm. 36.
2
Ismail Yakub, Orientalisme dan Orientalisten, (Surabaya: CV. Faiza, t.t.), hlm. 17.
3
Ibid, hlm. 38.

Timur yang dibentuk oleh opini Barat.4 Walaupun orientalisme mengandung


konotasi negatif di kalangan para penulis Timur, tetapi dalam makalah ini
menggunakan pengertian secara definitif yaitu sarjana Barat yang
mempelajari dunia Timur termasuk dunia Islam dan agama Islam.
Kritikus orientalisme bernama Edward W. Said menyatakan bahwa
orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur didasarkan pada
keeksotikannya di mata orang Eropa atau dalam pengalaman manusia Barat
(Eropa).5 Timur sebagai jajahan Eropa sering dianggap oleh mereka sebagai
sumber peradaban dan bahasa Eropa, saingan atas budaya dan menjadi bagian
imajinasi mereka yang terdalam. Timur adalah yang lain (the other) bagi
Eropa.6 Penguasaan dunia Barat terhadap dunia Timur terlihat dari cara
pandang yang menganggap Timur sebagai "yang lain", baik itu karena bahasa,
budaya, tradisi, dan segala hal yang berkaitan dengan dunia Timur. Kemudian
tidak berhenti sampai situ, dunia Barat menganggap "lainnya" Timur sebagai
sesuatu yang bermutu lebih rendah, sehingga perlu dijadikan sama dengan
Barat yang "lebih maju".
Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais7,
orientalis adalah sarjana yang menguasai
bahasa-bahasanya,

kesusastraannya,

dan

masalah-masalah ketimuran,
sebagainya. Oleh

karena

itu

orientalisme dapat dikatakan merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu


yang menjadi ideologi ilmiah kaum orientalis.

2. Latar Belakang dan Tujuan Munculnya Orientalisme


4

Menurut Edward Said bahwa Timur dan Barat bukanlah berdasarkan letak geografis,
Timur menjadi Timur karena ia dibuat (orientized), demikian juga Barat. Hubungan Timur
dan Barat didasarkan pada kekuasaan atau dominasi dan berbagai tingkat hegemoni yang
kompleks. Lihat The Crisis of Modern Islam : A Preindustrial Culture in The Scientifs
Technological Age (Krisis) Peradaban Islam Modern : Sebuah Kultur Praindustri dalam
Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), oleh Bassam Tibi, terj. Yudian W. Asmin, Naqiyah
Muchtar dan Afandi Muchtar,( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1994), hlm. 35.
5
Edward W Said, Orientalism, terj. Achmad Fawaid (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
hlm. 2.
6
Ibid.
7
M. Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 233.

Munculnya orientalisme tidak terlepas dari beberapa faktor yang


melatarbelakanginya, antara lain akibat perang Salib atau ketika dimulainya
pergesekan politik dan agama antara Islam dan Kristen Barat di Palestina.
Argumentasi mereka menyatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk
antara umat Islam dan Kristen selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan
Shalahuddin al-Ayyubi. Karena kekalahan demi kekalahan yang dialami
pasukan Kristen maka semangat membalas dendam tetap membara selama
berabad-abad.
Faktor lainnya adalah bahwa orientalisme muncul untuk kepentingan
penjajahan Eropa terhadap negara-negara Arab dan Islam di Timur, Afrika
Utara dan Asia Tenggara, serta kepentingan mereka dalam memahami adat
istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan itu demi memperkokoh kekuasaan
dan dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan. Faktor-faktor
tersebut mendorong mereka menggalakkan studi orientalisme dalam berbagai
bentuknya di perguruan-perguruan tinggi dengan perhatian dan bantuan dari
pemerintah mereka.
Sejarah orientalisme adalah sejarah dendam dan niat penguasaan
terhadap budaya lain yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman buat
eksistensi Barat khususnya yang menyangkut dunia Arab Islam. Sejarah
orientalis bermula dari kajian atas karya-karya ilmiah dari karya budaya kaum
muslim setelah adanya interaksi

dan pergantian kuasa wilayah Islam di

belahan Barat (Andalus) kepada kuasa Kristen dan perang salib di kota-kota
suci Islam di daerah Syam dan Palestina. 8 Sebagai dua bangsa yang
bertentangan berada dalam suasana konflik perang dengan sendirinya akan
sulit melahirkan persepsi yang positif satu sama lain. Akibat perang salib
bangsa Barat mengenal Islam dalam pandangan yang negatif. Pandangan
negatif tersebut disebabkan dua faktor, pertama, memandang Timur
khususnya Islam sebagai bangsa dan agama inferior. Bangsa Barat yang
8

Pengenalan Barat terhadap Islam mulai terutama di masa perang salib pertama (1096-1099
M). akibat perang salib masyarakat Barat, khususnya intelektual mulai menaruh perhatian
terhadap Islam. Tetapi akibat perang salib itu pula menimbulkan kesalahpahaman bangsa
Barat terhadap Islam. Lihat Muh. Natsir, Orientalisme.. hlm. 17.

merasa sebagai superior menimbulkan pandangan bahwa selain bangsa,


budaya dan agama, Barat tergolong bangsa,ideologi dan agama yang inferior.
Mereka melihat Islam sebagai agama teror, agama perusuhan dan gerombolan
orang-orang yang patut dibenci. Kedua, sikap apologis, yang bertujuan
menyerang keyakinan dasar Islam dan

untuk memperkuat kedudukan

Kristen. Ketiga, Islam dipandang sebagai salah satu sekte Yahudi / Kristen
yang sesat.9
Ada tiga tahapan penting dalam sejarah terbentuknya orientalisme.
Pertama, tahapan diolah antara bangsa Barat dengan bangsa Timur (Arab
Islam, India dan Persia) baik secara langsung maupun tidak. Dalam level
penerjemahan karya kaum muslimin, buku-buku filsafat dan kedokteran
merupakan karya yang paling diminati dan terus diselidiki, buku tentang optik
karya Ibnu Kaitham, merupakan buku pertama para ilmuan muslim yang
diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Tokoh-tokoh penting gerakan
orientalisme ini adalah John of Servile, Romanus, Agustinus dan Adilard.
Tahapan kedua adalah era pasca perang salib. Kalau pada tahapan pertama
para penyelidik Barat masih mempunyai jarak dengan kaum muslim di
belahan Timur, maka pada tahapan kedua ini setelah gelombang perang salib
di jantung kota Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Barat yang
menyertai misi suci tersebut dengan leluasa berkenalan dekat dengan
sumber-sumber asli peradaban Islam. Lalu pada akhir abad ke-15 dan awal
abad ke-16, dimulailah gerakan orientalisme yang sebenarnya.
Setelah tahapan kedua ini, datang era kolonisme dan imperialisme
Eropa ke hampir seluruh negeri dan bangsa non-Barat, dunia Islam
khususnya. Pada tahapan ketiga, merupakan ajudan para kolonialis dan alat
yang paling ampuh untuk mendalami kondisi sosial-historis negeri-negeri
jajahan baru. Dalam tahapan

ini orientalisme bertukar peran, kalau

sebelumnya sebagai pengkaji dan peneliti Timur dan ketimuran dengan sedikit
banyak adanya nilai obyektif dan keilmuan, kini perannya telah bertukar
menjadi penguasaan dalam perampasan hak-hak Timur dilegitimasi lewat
9

Ibid, hlm. 18.

kolonialisme. Timur telah menjadi obyek kekuasaan dan kesemena-menaan


bangsa yang lebih kuat bukan lagi menjadi obyek studi yang harusnya. 10
Namun dalam hal ini, tidak bisa disimpulkan bahwa seluruh orientalis adalah
jahat, mempunyai niat buruk dalam mengkaji timur terutama Islam. Tetapi
ada juga para oprientalis yang mempunyai niat murni untuk mempelajari
Islam dan Ketimuran. Berkaitan dengan tujuan orientalis melakukan kajian
mengenai Islam dan ketimuran, Ismail Yakub mengklasifikasi menjadi
beberapa macam tujuan. Yaitu, ada yang didorong oleh rasa keagamaan, ada
yang karena dorongan penjajahan, dorongan perniagaan, politik dan ada pula
yang karena dorongan keilmuan.11
B. Permasalahan
Dalam

makalah

ini

penulis

menfokuskan

pembahasan

studi

orientalisme atas pemikiran Edward W. Said yang dituangkan dalam bukunya


berjudul Orientalism, sebuah karya yang begitu fenomenal dan

menarik

untuk menjadi kajian studi Islam khususnya masalah Oriantalisme.


Permasalahan yang menggelitik yang perlu dikemukakan adalah siapakah
sosok Edward W. Said? Apakah pokok-pokok pemikirannya yang telah
mengguncang sendi-sendi orientalisme?

BAB II
PEMBAHASAN
10

A.Luthfi Asy Syukanie, Oksidentalisme : Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme, Ulumul
Quran, no. 5 dan 6, vol. V, 1994, hlm.119-192.
11
Ismail Yakub, Orientalisme, hlm. 21-26.

A. Hidup dan Karya Edward W. Said


Edward Wadie Said lahir pada tanggal 1 November 1935 di
Yerusalem, Palestina. Ibunya bernama Hilda, orang Lebanon, berasal dari
Nazareth dan ayahnya bernama Wadie. Seorang pedagang alat-alat tulis dan
buku. Wadie mempunyai bisnis di Kairo, Mesir. Gambarannya tentang
ayahnya dapat dilihat dalam kesannya berikut ini:
Kenyataan sejarah apapun yang telah terjadi, ayah telah menjadi figur
dan kombinasi aneh antara kekuasaan dan otoritas, kedisiplinan,
rasional dan emosi yang tertekan; dan semua ini kelak saya sadari,
telah membebani hidup saya dan memberi efek yang baik, namun
sekaligus menghambat dan melumpuhkan.12
Dia mempunyai dua kakak perempuan bernama Jean dan Rocy, Ia juga
mempunyai adik perempuan bernama Grace dan Joyce. Pada tahun 1937,
keluarga Edward kembali ke Kairo. Sebelum kelahiran Edward, keluarga ini
tinggal di Kairo. Karena pengalaman ibunya yang melahirkan bayinya dan
meninggal, maka keluarga ini memutuskan melahirkan Edward di Yerusalem.
Selama perang dunia, keluarga ini bolak-balik dari Kairo ke Palestina. Mereka
tinggal di Yerusalem Utara, di kota Ramallah.
Ada tiga pengaruh dari masa kecil Edward, yang menyebabkan ia
sungguh tertarik terhadap sastra. Pertama, cerita-cerita tentang peri kitab suci
yang dibacakan rutin oleh nenek dan ibunya. Pada usia tujuh tahun, ia
diperbolehkan untuk membaca mitos-mitos Yunani. Kedua, film-film yang
diperbolehkan oleh orang tuanya pada masa kecilnya adalah film-film untuk
anak-anak. Misalnya, film seribu satu malam dan film-film Walt Disney. Film
tarzan juga ia sukai pada masa-masa kecil dan remajanya. Ketiga, ia juga
menyukai konser di masa kecil dan remaja. Ia suka menghadiri konser-konser
yang diadakan di Kairo. Perjalanan pendidikannya di Kairo secara singkat
dapat dituliskan sebagai berikut:
12

Edwar W. Said, Out Of Place, (New York: Vintage Book, 2000), hlm. 191.

Tahun 1941-Mei 1942 Edward masuk Gezira Prepatory School (GPS).


Antara tahun 1942-1943 ia meninggalkan Kairo sehingga berhenti
sekolah.

Tahun 1943-1946 ia kembali masuk sekolah Gezira Prepatory School


(GPS) dan pada tahun 1946, musim gugur, ia masuk ke Cairo School for
American Children.

Pada tahun 1949, ia masuk Victoria College.

Hal yang menarik dari pendidikan Said adalah bahwa ia bersekolah dalam
suasana multi-etnis dan multi-religius dalam komunitas Timur Tengah.13
Tiga hal menarik muncul sebagai kesadarannya ketika ia bersekolah di
Kairo ini yaitu berkaitan dengan strata sosial, musik, dan agama. Demikian ia
berujar berkaitan dengan strata sosial:
Kairo pasca perang memberi saya perasaan tersendiri untuk pertama
kalinya tentang strata sosial begitu dibedakan. Perubahan yang terjadi
adalah tergesernya lembaga-lembaga Inggris dan penduduknya oleh
orang-orang Amerika yang baru saja menang, kerajaan lama diambil
oleh kerajaan baru.14
Kisah hidupnya dalam olah musik berkaitan erat dengan upayanya untuk
membaca realita hidup sehari-hari. Ia pun berkata:
Hanya Beethoven yang paling mengilhami pengetahuan musik
otodidak saya secara konsisten. Saya dianggap bukan pianis yang
tepat untuk sonatanya, saya tidak menyukai Mozart, meskipun saya
berkali-kali memainkan Sonata Pathetique dan dalam proses itu
mengembangkan rasa pembacaan diluar kemampuan saya.15
Pendidikan kristiani dengan ritus Timur mempengaruhi cara berpikirnya yang
berbeda dengan kristiani ritus Barat. Hal itu dinyatakan dalam ungkapannya,
sebagai berikut:
Saya bersikukuh untuk menjalani Komuni Pertama pada minggu
awal Juli 1949 dengan Bibi Nabiha, yang bersebelahan dengan saya
di katedral itu. Fedden berada disana namun hanya dengan peran
13

Stephen P. Sheehi, Edward Said dalam Encyclopedia of Postcolonial Studies, JohnC.


Hawled (Ed), (London: Greenwood Press)
14
Edward W. Said, Out of Place, hlm. 128.
15
Ibid, hlm. 155.

yang kecil, sementara Uskup Allen memimpin upacara dalam sikap


yang nyaris oriental (lilin-lilin, doa-doa yang dilantunkan, salib-salib,
lagu, organ dan koor, prosesi, dll).16
Tahun 1951, pada usia 17 tahun ia dikeluarkan dari Victoria College
karena kenakalannya. Edward pindah ke Amerika dan masuk ke Princeton
University dengan jurusan sejarah dan sastra Inggris. Ia mengatakan bahwa
masa pendidikannya selama sebelas tahun hingga ia mendapat gelar doktoral
dari Harvard University. Selama tahun 1958-1963, ia menjadi mahasiswa
Harvard University Jurusan Sastra. Pergulatan intelektualnya terpengaruh oleh
gagasan para tokoh-tokoh filsafat besar, hingga akhirnya ia menuliskan
disertasi tentang Joseph Conrad. Ia menuliskan:
Bacaan-bacaan seperti New Science dari Vico, History of Class
Consciousness dari Lukas, Sartre, Heidegger, dan Marleau Ponty,
semuanya memperkaya disertasi saya tentang Conrad, di bawah
bimbingan para dosen yang baik hati, yakni Monroe Engel dan Harry
Levin.17
Beberapa catatan karya-karya dan karir Edward W. Said, dapat dilihat
dalam daftar berikut ini:

Tahun 1968, ia menuliskan artikel pertamanya tentang Arab dan Palestina


dengan judul Arab Portrayed.

Tahun 1977, ia terpilih sebagai anggota dari Palestinian National


Congress.

Tahun 1975-1976, mulai menuliskan gagasan dari buku Orientalism.

Tahun 1978, ia menerbitkan buku Orientalism.

Tahun 1981, menerbitkan buku Covering Islam.

Tahun 1989, menerbitkan The Question of Palestine.

Tahun 1980-an Said aktif dalam lobi politik PLO untuk mengevaluasi
strategi kebebasan nasional. Selama decade ini, ia adalah target yang jelas
untuk gerakan Yahudi dan Zionis.

16
17

Ibid, hlm. 225.


Ibid, hlm. 461.

Pada tahun 1990-an setelah ibunya meninggal, ia terkena penyakit


leukemia (kanker darah). Pada masa inilah ia menuliskan Out of Place
(terasing).

Tahun 1993 ia menerbitkan buku Culture and Imperalism.

Thaun 1994 ia menerbitkan essay: Representations of the Intellectual.

Tahun 1995, ia menerbitkan The Politics of Dispossession and Its


Discontents.

Tahun 1998 ia menjadi ketua Modern Language Association.


Pada akhir hidupnya, ia masih menderita leukemia. Pada tanggal 25

September 2003, Edward W. Said meninggal dunia di Amerika.


B. Orientalisme Edward W. Said
Dalam bukunya Orientalism, Edward W. Said merekonstruksi ulang
istilah orientalisme. Ada 3 (tiga) definisi yang ia sebutkan dalam pengantar
bukunya. Pertama, Orientalisme adalah suatu cara untuk memberi nama bagi
dunia Timur, berdasarkan tempat-tempat tertentu di Timur menurut
pengalaman manusia Barat (Eropa).18 Disini dipahami, bahwa orientalisme
dilihat oleh para akademisi Barat yang melihat dunia Timur. Kedua,
Orientalisme adalah satu gaya berpikir yang berlandaskan pada pembedaan
ontologi dan epistemologi antara Timur dan (hampir selalu) Barat. 19 Istilah ini
khusus dipakai oleh para akademisi di level perguruan tinggi atau universitas.
Dan ketiga, Orientalisme dipahami sebagai sesuatu yang didefinisikan secara
historis dan material dari pada kedua yang telah diterangkan sebelumnya.
Dengan mengambil konteks akhir abad XVIII sebagai suatu batasan titik tolak
yang nyata, orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga hukum
(corporate institution) yang berurusan dengan dunia Timur, berurusan
dengannya berarti juga membuat istilah-istilah tentangnya, mempunyai kuasa
atas

18
19

cara

pandangnya,

mendeskripsikannya,

dengan

Edward W. Said, Orientalism, (London: Penguin Books, 1978), hlm. 9.


Ibid, hlm. 23.

mengajarinya,

10

menempatinya, mengaturnya. Singkatnya, Orientalisme sebagai gaya Barat


untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai dunia Timur.20
Disini dipahami bahwa dalam menggunakan orientalisme sudah ada
pengandaian adanya jalinan kekuasaan-kekuasaan yang kemudian perlu untuk
ditelaah. Said mengungkapkan pemahaman ketiga ini untuk melanjutkan
pembahasannya mengenai orientalisme. Tujuan penulisan buku Orientalism
adalah untuk menunjukkan bahwa budaya Eropa mendapat kekuatan dan
identitasnya yang menempatkan diri berhadapan dengan dunia Timur sebagai
semacam pelindung.21 Hal ini dapat dipahami bahwa buku tersebut ingin
menunjukkan bahwa upaya Barat dalam menjelaskan Timur adalah upaya
untuk menerangkan diri mereka sendiri. Untuk bisa mencapai tujuan itu,
kemudian Said menunjukkan bagaimana ia mengumpulkan data-data:
Argumentasi saya tidaklah berdasarkan banyaknya buku-buku
tentang dunia Timur yang dijadikan sumber bacaan, atau pun pada
terbatasnya jumlah buku-buku, pengarang-pengarang, ide-ide yang
bersama-sama membentuk kitab orientalis. Alih-alih, saya
mendasarkan diri pada alternatif metodologi yang berbeda-yang
tulang punggungnya dalam suatu arti adalah seperangkat generalisasi
sejarah yang sejauh ini telah saya kemukakan pada bagian depan,
generalisasi inilah yang nantinya akan saya bahas lebih detil.22
Ada 3 (tiga) catatan yang perlu untuk disadari bagi orang yang
merekonstruksi kembali orientalisme ala Said ini, antara lain: Pertama, perlu
dipahami bahwa sangatlah salah jika menarik kesimpulan bahwa dunia Timur
pada dasarnya adalah sebuah ide, atau suatu ciptaan tanpa bertautan dengan
realita. Kedua, bahwa ide-ide, budaya-budaya, sejarah-sejarah tidak mungkin
mampu dengan jeli ditangkap atau dipelajari tanpa kekuatan, atau lebih
tepatnya pembetukan dari kekuatan itu. Hubungan antara Barat dan Timur
adalah hubungan kekuatan, dominasi, hubungan berbagai derajat hegemoni
yang kompleks. Dan yang ketiga, seseorang tidak bisa mengungkap bahwa
struktur orientalisme tidak lebih dari pada struktur kebohongan atau mitosmitos belaka yang, seandainya kebenaran tentangnya diungkapkan, dengan
20

Ibid, hlm. 3.
Ibid.
22
Ibid, hlm. 4
21

11

mudah akan lenyap tertiup angin. Said sendiri yakin bahwa orientalisme ini
khususnya, lebih bermanfaat sebagai suatu tanda kekuasaan Atlantik-Eropa
atas dunia Timur dari pada sebagai wacana murni mengenai Timur
(sebagaimana yang didakwakannya dalam bentk akademisi dan ilmiah).23
C. Orientalisme dan Wacana Kolonial
Pada bagian ini akan diperlihatkan bagaimana Ania Loomba
memahami orientalisme dari Edward W. Said yang terpengaruh konsep
wacana Michel Faucoult. Orientalisme memakai konsep wacana untuk
menata kembali studi kolonialisme. Buku ini menelaah bagaimana studi
formal atas Timur (sekarang Timur Tengah), bersama naskah-naskah kunci
literer dan kultural, mengkonsolidasi cara-cara tertentu untuk melihat dan
memikirkan yang kemudian membantu berfungsinya kekuasaan kolonial.
Semua ini bukanlah bahan-bahan yang telah dibahas

oleh para analis

tradisional tentang kolonialisme, tetapi kini bisa dilihat menjadi sangat


penting dan sentral untuk pembentukan dan fungsinya masyarakat kolonial.
Berkat adanya buku Orientalism dan perubahan-perubahan perspektifperspektif ideologi dan budaya yang dijelaskan di atas. Dan Edward W. Said
menjelaskan bahwa naskah-naskah tertentu diberi:
otoritas akademis, lembaga-lembaga, pemerintah-pemerintah. Yang
terpenting adalah bahwa naskah-naskah seperti itu bisa menciptakan
bukan saja pengetahuan, tetapi juga realitas yang justru mereka
paparkan itu. Pada saatnya nanti pengetahuan dan realitas
menghasilkan suatu tradisi, atau yang disebut Michel Foucoult, suatu
wacana, yang kewibawaan atau bobot materialnya itulah, bukan
orisinalitas penulisnya, yang benar-benar bertanggungjawab untuk
naskah-naskah yang dihasilkan darinya.24
Orientalisme bisa disebut mengantarkan satu jenis studi baru atas
kolonialisme. Said menyatakan bahwa pengambaran-penggambaran timur
dalam naskah-naskah literer Eropa, kisah-kisah perjalanan, dan tulisan-tulisan
lain membantu terciptanya suatu dikotomi antara Eropa dan pihak-pihak
23
24

Ibid, hlm. 5-64.


Edward W. Said, Orientalism, (London: Penguin Books, 1978) hlm. 94. Bdk Ania Loomba,
Colonialism/Postcolonialism, (New York: Routledge, 1998), hlm. 44.

12

lain-nya, suatu dikotomi yang menempati posisi sentral dalam pembentukan


budaya Eropa, selain mempertahankan dan meluaskan hegemoni Eropa atas
negeri-negeri lain. Proyek Said, adalah untuk memperlihatkan pengetahuan
tentang orang-orang non Eropa yang merupakan bagian dari proses
mempertahankan kekuasaan Eropa atas mereka (Timur); itu jadi status
pengetahuan didemistifikasikan, dan batas-batas antara yang ideologi
dengan yang obyektif menjadi kabur. Jadi pengetahuan para orientalis yang
mengesankan itu disaring melalui bias kultural mereka, karena studi atas
Timur itu tidak obyektif melainkan:
Suatu visi politis atas realitas yang strukturnya mengemukakan
perbedaan antara yang dikenal Eropa (Barat, kita) dan yang asing
(orient, Timur, mereka), ketika orang menggunakan kategorikategori seperti Oriental dan Barat, sebagai titik awal dan mau pun
titik akhir dari analisis, riset-riset, kebijakan publik, maka hasilnya
biasanya adalah memoralisasi perbedaan yang Timur manjadi makin
Timur, dan yang Barat semakin Barat, dan membatasi pertemuan
manusiawi antara berbagai budaya tradisi dan masyarakat yang
berbeda.25
Analisis wacana di atas memungkinkan kita menelusuri hubunganhubungan antara yang konkrit dengan yang tersembunyi, yang dominan
dengan

marginal,

gagasan-gagasan

dengan

lembaga-lembaga.

Ini

memungkinkan kita melihat bagaimana kekuasaan itu bekerja melalui bahasa,


sastra, budaya, dan lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan kita seharihari. Dengan menggunakan definisi yang diperluas tentang kekuasaan ini,
Said bisa meninggalkan pemahaman sempit dan teknis tentang otoritas
kolonial dan memperlihatkan bagaimana otoritas ini berfungsi dengan
menghasilkan suatu wacana Timur, yaitu dengan melahirkan strukturstruktur pemikiran yang terlihat dalam produk literer dan artistik, dalam
tulisan-tulisan politis dan ilmiah dan terutama, dalam penciptaan stuid-studi
Timur. Tesis dasar Said adalah bahwa orientalisme, atau studi Timur,
akhirnya merupakan suatu visi politis tentang realitas yang strukturnya

25

Edward W. Said, Orientalism, (London: Penguin Books, 1978), hlm. 46-47, Bdk Ania
Loomba, Colonialism/Postcolonialism, (New York: Routledge, 1998), hlm. 45-46.

13

mengemukakan suatu perlawanan biner antara yang dikenal (Eropa, Barat,


Kita) dengan yang terasing (Orient, Timur, mereka).
D. Hubungan Orientalisme dengan Kolonialisme dan Pengetahuan
Kolonialisme membentuk kembali struktur-struktur pengetahuan
manusia yang telah ada. Tidak ada cabang pengetahuan yang tidak disentuh
oleh pengalaman kolonial. Prosesnya mirip dengan berfungsinya ideologi itu
sendiri, dan sekaligus merupakan suatu kekeliruan gambaran realitas serta
penetaan ulangnya. Seperti ideologi, kolonialisme itu berasal dari keadaankeadaan material dan efek-efek material. Sebuah aspek penting dari proses
ini adalah pengumpulan dan penataan informasi tentang tanah-tanah dan
penduduknya yang dikunjungi, dan kemudian menjadi tunduk kepada,
kekuasaan kolonial. Petualangan-petualangan orang-orang Eropa abad ke XV
dan XVI ke Asia, Amerika, dan Afrika bukan merupakan pertemuanpertemuan pertama antara orang Eropa dan non Eropa, tetapi tulisan-tulisan
tentang periode ini memang menandai suatu cara pemikiran baru tentang,
malaham memproduksinya, bahwa kedua kategori rakyat ini sebagai lawanlawan

biner.

Tulisan

perjalanan

merupakan

sarana

penting

untuk

memproduksi konsepsi-konsepsi Eropa tentang dirinya. Perlu untuk diingat,


bahwa produksi kolonialis bukanlah suatu yang sederhana. Proses ini tentu
melibatkan konflik, dan marginalisasi terhadap, sistem-sistem pengetahuan
dan keyakinan dari mereka yang ditaklukkan, selain juga dengan pandanganpandangan yang bertentangan di negara negara asal (Eropa). Tetapi, jika
proses penaklukan itu menonjolkan kebrutalan dan perbedaan kultural, maka
bersamaan dengan ituproses ini juga merupakan suatu pengaburan terusmenerus posisi-posisi murni dari diri dan pihak lain. Pengetahuanpengetahuan kolonialis dihasilkan juga melalui negosiasi dengan, atau
pemasukan, gagasan-gagasan pribumi untuk memperoleh akses ke tanahtanah jajahan baru dan rahasia-rahasia mereka.26
E. Kolonialisme Sebagai Bentuk Orientalisme Barat Terhadap Dunia Timur
1. Era Kolonialisme
26

Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism, (New York: Routledge, 1998), hlm. 57.

14

Kolonialisasi adalah contoh paling nyata akan bukti kemunduran harga


diri bangsa Timur. Pada waktu itu, selama berabad-abad umat Islam berhasil
menaklukkan berbagai belahan dunia dari Eropa Timur, Afrika, Timur Tengah
hingga Asia tunduk di bawah kekuasaan Islam. Namun, kemenangan itu kini
hanya menjadi sejarah. Diawali abad ke-19 umat Islam dipaksa tunduk di
bawah Adikuasa kolonial Barat. Harapan terakhir umat Islam bertumpu pada
kekhalifahan Turki Utsmani, Namun tahun 1942 kekhalifahan itu diruntuhkan
Kemal attaturk, bangsa Turki sendiri yang menganti sistem khalifah menjadi
negara repubrik yang sekular.
Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani serta koalisi bersama Jerman
di Perang Dunia, justru semakin memperparah keadaan, Sehingga praktik
kolonialisasi Barat terhadap Timur semakin merajalela. Saudi Arabia berusaha
membebaskan diri justru dipatahkan oleh Turki. Libanon dan Palestina
dirampas Inggris, tahun 1789 Napoleon datang ke Mesir, Belanda mendarat
di Malaka tahun 1602. Inggris dan Perancis pun berebutan tanah kekuasaan di
Afrika. Hingga pada tahun 1914, wilayah Timur menjadi lahan subur adikuasa
Barat. Pada Abad ke-18 Eropa mulai masuk menembus perekonomian dan
politik. Sejalan dengan itu pula, negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda
dan Perancis saling berebut tanah kekuasaan di negara-negara yang
berpenduduk Islam. Seperti India, dan sebelah selatan timur Asia, termasuk
Indonesia.
Abad ke-19, adalah abad di mana orientalis mencapai puncaknya
dalam membentuk kebudayaan Barat. Orientalis menkaji hampir semua
disiplin ilmu seperti eksotika, ekonomi, historis, dan teks politik. Secara
umum, orientalis telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan
budaya dan peradaban Barat. Kolonialisme dan imperialisme di Indonesia
adalah fakta sejarah sekian puluh tahun lalu yang tak bisa dibantah.
Kolonialisme pada mulanya adalah penguasaan rempah rempah dan hasil
bumi untuk memperkaya negeri penjajah dalam meluaskan kekuasaannya.
Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis adalah sebagian dari negeri
penjajah itu. Mereka menjarah dan menguasai. Tak salah jika tujuan

15

penguasaan barat ke timur disimbolkan pertama dengan gold, selain gospel


dan glory.
Pada fase selanjutnya, kolonialisme tak hanya berpusat pada rempah,
beras, dan sagu, melainkan juga penguasaan masyarakat atau hegemoni.
Hegemoni berjalan pada wilayah kesadaran, bahwa dominasi tidak harus
diatur dengan senjata dan kekerasan, tetapi juga bisa ditata dengan peraturan,
undang undang, dan kebijakan, yang pada hakekatnya adalah menjajah tapi
tak terasa dijajah. Sehingga masyarakat tanpa terasa terpaksa mengikutinya.
Kebijakan politik etis: edukasi, irigasi, dan transmigrasi, sebetulnya
adalah sebentuk hegemoni yang diluncurkan kolonial Belanda untuk meredam
bangsa pribumi. Politik etis dirancang agar tingkah laku inlander sesuai
dengan apa yang dikehendaki. Selanjutnya, kolonialisme berganti menjadi
orientalisme. Tepatnya, orientalisme adalah bentuk halus dari penguasaan
gaya baru di jaman yang lebih maju. Edward W Said dalam magnus opus-nya,
Orientalisme, menjelaskan tentang bagaimana Barat mengatur kehidupan
timur dengan melacak akar historis, etnografis, antropologis, bahasa, adat
istiadat dan lain-lain, kemudian memberi stereotype terhadapnya. Buku ini
secara nyata menunjukkan bahwa Timur yang dikaji adalah hasil dari
imajinasi geografis dari Barat sebagai objek pengkaji. Said menyebutnya
sebagai Orientalis. dalam konteks keindonesiaan kita menyebutnya sebagai
ketimuran.
Penguasaan kolonial Belanda dalam Sejarah Indonesia dicatat selama
350 tahun, hal ini membuktikan bahwa masa lalu Indonesia sebenarnya
terletak di Belanda. Dengan telaten dan tekun, Belanda melalui para orientalis
dan lembaga-lembaga kajian timur secara intensif mengupas dan mempelajari
aspek-aspek nusantara. Dalam hal ini Said, menemukan adanya hubungan
antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme, dengan
kekuasaan kolonial di negara-negara koloninya. 27 Pada awalnya orientalisme
ini seperti gerakan ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat,
budayanya, struktur bahasanya, dll. Tetapi dalam praktiknya pengetahuan ini
27

Edward W. Said, Orientalism, terj. Achmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm. 19-22.

16

digunakan untuk melanggengkan kolonialisme. Bahkan Nyoman Kuta Ratna


dalam buku Poskolonialisme Indonesia relevansi sastra menyebutkan
orientalisme tidak berbeda dengan kolonialisme atau imperialisme itu
sendiri.28 Kata Said orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur.
Sejarawan, antropolog, sosiolog, sastrawan dan ilmuwan barat dengan
kekuatan wacana mengkonstruksi timur sebagai inferior. Konstruksi itulah
yang masih tersisa dari proses pengulang-ulangan pengetahuan tentang
'inferioritas' Timur oleh orientalisme dalam bentuk mental Inlander.
Kolonialisme membentuk orientalisme ini seperti mengerahkan alam pikir
negara kolonial untuk menundukkan warga pribumi yang dikoloni. Mereka
memproduksi pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, gaya hidup (life style), dan
secara jangka pajang membangun nalar pribumi.
Hal inilah yang ingin dibongkar oleh Edwar W. Said. Meruntuhkan
hegemoni teori pengetahuan Barat yang ternyata tidak pernah netral dan jujur,
namun memuat struktur ideologi tertentu yang disusupkan dengan datadata ilmiah. Mungkin Said ingin berpesan bahwa sudah saatnya dunia
(khususnya dunia yang dikatakan Timur, Dunia Ketiga atau negara
berkembang) membuka mata akan kepalsuan metodologis Barat. Dibanding
terlalu memuja barat, akan lebih baik meletakkannya dalam persoalan yang
lebih kritis.
Pengalaman dengan kolonialisme menyisakan banyak hal yang
berubah dari kebudayaan, tradisi, nalar dan sejarah masyarakat yang dikoloni.
Karena itu, lepas dari kolonialisme secara fisik bukanlah berarti bangsa
Indonesia merdeka seratus persen, tetapi malah harus berusaha untuk keluar
dari belenggu kolonialitas wajah baru, atau minimal sisa-sisa dari
kolonialisme.
2. Post-Kolonialisme
Negara bangsa yang baru merdeka hanya membagikan buah secara
selektif dan timpang kepada rakyat. Digulingkannya pemerintahan kolonial
tidak secara otomatis membawa perubahan ke arah perbaikan status
28

Nyoman Kutha Ratna, Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 27.

17

perempuan, kelas pekerja, atau petani di kebanyakan negara jajahan. Oleh


sebab kenyataan bahwa banyak hal yang belum selesai dari proses
pemerdekaan kita maka berkembanglah studi poskolonial. Bahwa perjumpaan
dengan kolonialisme menghasilkan peruabahn dalam struktur kebudayaan dan
nalar suatu masyarakat yang pernah dijajah. Dan berkembangnya suatu
pendekatan baru negara kolonial untuk melanjutkan imperialismenya dalam
bentuk yang lain, yakni penguasaan pikiran.
Sebagaimana

istilah-istilah

akademis

lainnya

yang

kerap

menggunakan istilah post seperti post-modernisme, post-strukturalisme, maka


post-kolonialisme juga berarti setelah kolonialisme. Semangat wacana postcolonial hendak menunjukkan kepada Barat (sebagai penjajah) perlawanan
negara non-Barat sebagai bekas koloni. Jika wacana post-colonial ditelaah,
maka secara akademis ide-idenya banyak dipengaruhi oleh kritik-kritik poststrukturalisme, lewat dekonstruksi-nya. Upaya dekonstruksi itu menjadi
penting, sebagaimana dikutip Madhan Sarup, yakni sebagai upaya untuk:
menemukan

teks

marginal

yang

menjanjikan,

menyingkap,

membongkar momen yang tidak dapat dipastikan dengan alat


penanda yang positif, membalikkan hierarki yang ada, agar dapat
diganti; agar dapat membangun kembali apa yang selalu telah
tertulis.29
Dengan dekonstruksi, post-kolonialisme menjadi kritik atas kerangka
pikiran Barat yang mapan, superior, maju, beradab terhadap dunia non-Barat
yang terbelakang sehingga mesti diarahkan, dicerahkan, diterjemahkan
menurut standar humanisme Barat. Upaya pem-barat-an ini dilakukan
secara lembut, dari kurikulum pendidikan di sekolah hingga narasi ekonomipolitik-globalisasi internasional oleh imperialisme. Eksploitasi intelektual dan
mental Dunia Ketiga diarahkan dengan sistematis oleh Dunia Pertama.
Misalnya dengan mengontrol buku teks, majalah, surat kabar, televisi, dan
media lainnya. Media Barat mencuci otak negara bekas jajahan. Bagaimana
29

Sarup, Madhan, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis,


(Yogyakarta: Jendela, 2004), hlm. 85-86.

18

MTv dan pop culture lainnya dengan mudahnya masuk dan melakukan
penetrasi ke dalam relung-relung kesadaran anak muda di negara Dunia
Ketiga.
Contoh kasus dalam masyarakat Indonesia yaitu hiburan di berbagai
media elektronik Indonesia, beberapa tahun terakhir ini berkembang
keistimewaan kepada wajah Indo atau campuran. Para artis yang punya wajah
indo menjadi idola publik di dunia entertainment. Ini menunjukkan bahwa
mentalitas kolonial masih melekat dalam wacana budaya Indonesia. Selain
itu, akhir-akhir ini juga berkembang keistimewaan penguasaan bahasa Inggris
ketimbang bahasa lokal ataupun bahasa Indonesia. Kondisi ini pun tidak jauh
berbeda dengan zaman kolonial Belanda, di mana bahasa Belanda lebih
istimewa dan menunjukkan status sosial dibandingkan bahasa Melayu
(Indonesia). Terbukti misalnya menjadi bahan perdebatan di perkumpulan
Budi Utomo, apakah setiap pembicaraan formal dalam organisasi mesti
menggunakan bahasa Belanda.
Pendidikan Indonesia kini, yaitu sekolah-sekolah, baik negeri ataupun
swasta, berlomba-lomba menjadi sekolah internasional yang menggunakan
bahasa Inggris. Alasannya sederhana, anak-anak yang unggul sudah
semestinya menguasai bahasa Inggris untuk dapat bersaing di kancah
internasional. Mental berikutnya adalah kecenderungan pop culture anak
muda, yang mengarah pada musik rock, rap, hip metal, punk, menggunakan
pakaian dengan merek internasionalisasi merek seperti Nike, Adidas dan lain
sebagainya, makanan (Coca Cola), nongkrong di kafe, dan gaya hidup
kebarat-baratan lainnya.
Pembongkaran bagaimana bekerjanya imperialisme Barat (Eropa dan
Amerika) terhadap dunia Islam, Timur Tengah dan Timur hingga kini
misalnya, oleh Edward Said menjadi bukti akan hal ini. Karya
besarnya Orientalism menunjukkan bagaimana ia men-dekonstruksi perilaku
kultural dan epistemologis Barat yang ingin terus menguasai Timur. Kerja
keras Said terutama karena upayanya membongkar muatan idiologis di balik
konsep Timur atau Orient yang direproduksi oleh Barat.

19

Menurut Said, Timur yang primitif dipakai sebagai cermin untuk


membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban. Selain itu, mitos dan
stereotipe tentang Timur dimanfaatkan sebagai sarana pembenaran Eropa
untuk melakukan kolonialisasi: menguasai, menjinakkan, dan mengontrol
keberadaan the others. Upaya penelanjangan politik jahat orientalisme yang
dilakukan Said merangsang kesadaran baru bagi negara-negara berkembang
untuk bangkit melawan. Sejak tahun 80-an para intelektual terlibat dalam
diskusi intensif mempertimbangkan gagasan Said yang mengkritik bekerjanya
kolonialisme modern.
Studi post-kolonialisme dimaknai sebagai suatu perlawanan terhadap
dominasi kolonialisme dan warisan kolonialisme. Pada masa ini era
globalisasi harus diakui telah membawa pengaruh luar biasa terhadap
perkembangan teknologi, tak terkecuali bagi industri komunikasi modern.
Dampak-dampak itu adalah subversi kebudayaan dan ideologi Barat. Dampak
nyata globalisasi media adalah sistem kepemilikan global yang menjadi trend
industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi
dalam struktur media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh
pada masalah transmisi kebudayaan global ke tingkat lebih rendah dalam hal
ini nasional dan lokal. Ancaman media global tidak berhenti pada masalah
sosial politik saja tetapi masuk dalam nilai-nilai budaya masyarakat.
Orientalisme menggabungkan kekuasaan dengan pembentukan ilmu
pengetahuan kolonial. Oleh karena kolonialisme adalah pemaksaan kekuasaan
secara penuh terhadap tanah jajahan, maka orientalisme melibatkan satu
program pembentukan cara pikir yang bukan saja untuk kepentingan kolonial
tetapi juga dapat melahirkan ilmu kolonial. Budaya masyarakat jajahan
dirancang sedemikian rupa supaya sesuai dengan keinginan penguasa
kolonial. Budaya masyarakat di tanah jajahan itu mengikuti skema terori
evolusi, dimana budaya masyarakat yang satu dengan yang lainnya dibangun
menurut kelas evolusi. Dalam konteks ini budaya nusantara yaitu sebuah
entitas yang sangat kecil dilihat sebagai penyerap unsur-unsur budaya yang
lebih tinggi dan besar. Dalam hal ini masyarakat sekarang ini adalah bentuk

20

dari penanaman alam pikir kolonial barat, dan lupa akan identitasnya sendiri
sebagai masyarakat Indonesia.

BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN

Edward W. Said adalah guru besar Universitas Colombia, New York.


Kemunculannya berkaitan erat dengan penerbitan buku Orientalism (1978)
yang menimbulkan kehebohan dan kontroversi di lingkungan dunia akademis
Barat yang biasa disebut sebagai kaum orientalis.

21

Menurut Said, sebagaimana dikutip azyumardi Azra30, orientalisme


(paham dan pengetahuan Barat tentang dunia Timur), yang dalam istilah Arab
disebut al-istisyra>q, bukan sekedar wacana akademis, tetapi juga
memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan religious. Secara politis,
penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia oriental - dalam kajian
Said, khususnya dunia Islam bertujuan untuk kepentingan politik
kolonialisme Eropa, untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim (Da>r alIsla>m). Dan, kolonialisme Eropa, tidak lain berkaitan dengan kepentingan
ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran
Kristen (kristenisasi). Ketiga kepentingan yang saling terkait satu sama lain
ini tersimpul dalam slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi Eropa ke
kawasan dunia Islam, yang mencakup three Gs (tiga G), yakni Glory,
kejayaan kekuasaan politik kolonialisme; Gold, kemelimpahan emas dan
kekayaan ekonomi; dan , Gospel, atau penginjilan.
Semua motif dan kepentingan orientalisme ini, yang dibungkus
dengan wacana ilmiah dan akademis bahkan, dalam pandangan Said, secara
implisit juga cenderung bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan Barat
umumnya semacam mission civilatrace - misi pembudayaan terhadap
dunia Timur yang terbelakang, jika tidak primitif. Hal ini juga terlihat
dalam Monroe Doctrine yang dijadikan prinsip belakangan oleh Amerika
dalam interaksinya dengan dunia Islam atau Timur pada umumnya.
Kritik keras Said yang sangat menusuk itu, mau tidak mau sangat
mengguncangkan sendi-sendi kajian Barat terhadap dunia Timur, yang lazim
disebut orientalisme itu. Hasilnya, di kalangan banyak sarjana Barat yang
biasa disebut orientalis, istilah orientalisme manjadi pejoratif, jika tidak
disgusting. Oleh karena itu, mereka tidak mau lagi disebut sebagai
orientalis (al-mustasyriqu>n), tetapi sebagai Islamis jika mereka
mengkaji Islam, atau Indonesianis bila mereka mengkaji Indonesia.
Selanjutnya, kritikan Said mendorong kalangan sarjana-sarjana Muslim untuk
30

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana Aktualitas, dan Aktor Sejarah,
(Jakarta: PT. Gramedia, 2002), hlm. 186-187.

22

mengembangkan sebuah ilmu baru yang disebut oksidentalisme. Dengan


ilmu ini, mereka bertujuan untuk menggali dan mengungkapkan dunia Barat
berdasarkan perkembangan berbagai aspek kehidupan Barat itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai