PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Pengertian Orientalisme
Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang
Barat. Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur.
Secara etnologis, orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara
geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang
lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis.
Kata isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi, orientalisme
bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang
berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.
Ada beberapa definisi mengenai pengertian orientalisme diantaranya
menurut Muh. Natsir Mahmud, ia mendefinisikan orientalisme sebagai
sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran,
menyangkut agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan masalah lain yang
menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran.1 Sedangkan menurut Ismail
Yakub, bahwa orientalisme adalah :
Ahli tentang soal-soal Timur, yakni segala sesuatu mengenai negerinegeri Timur, terutama, negeri Arab-Islam, yaitu kebudayaanya,
keagamaanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain dari bangsa
dan negeri Timur.2
Maxime
menerangkan
Rodinson
bahwa
sebagaimana
orientalisme
dikutip
mula-mula
oleh
Muh.
Natsir
mempelajari
Islam,
Muh. Natsir Mahmud, Orientalisme : Al Quran di mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif),
(Semarang: Dina Utama Semarang (DIMAS), t.t.), hlm. 36.
2
Ismail Yakub, Orientalisme dan Orientalisten, (Surabaya: CV. Faiza, t.t.), hlm. 17.
3
Ibid, hlm. 38.
kesusastraannya,
dan
masalah-masalah ketimuran,
sebagainya. Oleh
karena
itu
Menurut Edward Said bahwa Timur dan Barat bukanlah berdasarkan letak geografis,
Timur menjadi Timur karena ia dibuat (orientized), demikian juga Barat. Hubungan Timur
dan Barat didasarkan pada kekuasaan atau dominasi dan berbagai tingkat hegemoni yang
kompleks. Lihat The Crisis of Modern Islam : A Preindustrial Culture in The Scientifs
Technological Age (Krisis) Peradaban Islam Modern : Sebuah Kultur Praindustri dalam
Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), oleh Bassam Tibi, terj. Yudian W. Asmin, Naqiyah
Muchtar dan Afandi Muchtar,( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1994), hlm. 35.
5
Edward W Said, Orientalism, terj. Achmad Fawaid (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
hlm. 2.
6
Ibid.
7
M. Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 233.
belahan Barat (Andalus) kepada kuasa Kristen dan perang salib di kota-kota
suci Islam di daerah Syam dan Palestina. 8 Sebagai dua bangsa yang
bertentangan berada dalam suasana konflik perang dengan sendirinya akan
sulit melahirkan persepsi yang positif satu sama lain. Akibat perang salib
bangsa Barat mengenal Islam dalam pandangan yang negatif. Pandangan
negatif tersebut disebabkan dua faktor, pertama, memandang Timur
khususnya Islam sebagai bangsa dan agama inferior. Bangsa Barat yang
8
Pengenalan Barat terhadap Islam mulai terutama di masa perang salib pertama (1096-1099
M). akibat perang salib masyarakat Barat, khususnya intelektual mulai menaruh perhatian
terhadap Islam. Tetapi akibat perang salib itu pula menimbulkan kesalahpahaman bangsa
Barat terhadap Islam. Lihat Muh. Natsir, Orientalisme.. hlm. 17.
Kristen. Ketiga, Islam dipandang sebagai salah satu sekte Yahudi / Kristen
yang sesat.9
Ada tiga tahapan penting dalam sejarah terbentuknya orientalisme.
Pertama, tahapan diolah antara bangsa Barat dengan bangsa Timur (Arab
Islam, India dan Persia) baik secara langsung maupun tidak. Dalam level
penerjemahan karya kaum muslimin, buku-buku filsafat dan kedokteran
merupakan karya yang paling diminati dan terus diselidiki, buku tentang optik
karya Ibnu Kaitham, merupakan buku pertama para ilmuan muslim yang
diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Tokoh-tokoh penting gerakan
orientalisme ini adalah John of Servile, Romanus, Agustinus dan Adilard.
Tahapan kedua adalah era pasca perang salib. Kalau pada tahapan pertama
para penyelidik Barat masih mempunyai jarak dengan kaum muslim di
belahan Timur, maka pada tahapan kedua ini setelah gelombang perang salib
di jantung kota Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Barat yang
menyertai misi suci tersebut dengan leluasa berkenalan dekat dengan
sumber-sumber asli peradaban Islam. Lalu pada akhir abad ke-15 dan awal
abad ke-16, dimulailah gerakan orientalisme yang sebenarnya.
Setelah tahapan kedua ini, datang era kolonisme dan imperialisme
Eropa ke hampir seluruh negeri dan bangsa non-Barat, dunia Islam
khususnya. Pada tahapan ketiga, merupakan ajudan para kolonialis dan alat
yang paling ampuh untuk mendalami kondisi sosial-historis negeri-negeri
jajahan baru. Dalam tahapan
sebelumnya sebagai pengkaji dan peneliti Timur dan ketimuran dengan sedikit
banyak adanya nilai obyektif dan keilmuan, kini perannya telah bertukar
menjadi penguasaan dalam perampasan hak-hak Timur dilegitimasi lewat
9
makalah
ini
penulis
menfokuskan
pembahasan
studi
menarik
BAB II
PEMBAHASAN
10
A.Luthfi Asy Syukanie, Oksidentalisme : Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme, Ulumul
Quran, no. 5 dan 6, vol. V, 1994, hlm.119-192.
11
Ismail Yakub, Orientalisme, hlm. 21-26.
Edwar W. Said, Out Of Place, (New York: Vintage Book, 2000), hlm. 191.
Hal yang menarik dari pendidikan Said adalah bahwa ia bersekolah dalam
suasana multi-etnis dan multi-religius dalam komunitas Timur Tengah.13
Tiga hal menarik muncul sebagai kesadarannya ketika ia bersekolah di
Kairo ini yaitu berkaitan dengan strata sosial, musik, dan agama. Demikian ia
berujar berkaitan dengan strata sosial:
Kairo pasca perang memberi saya perasaan tersendiri untuk pertama
kalinya tentang strata sosial begitu dibedakan. Perubahan yang terjadi
adalah tergesernya lembaga-lembaga Inggris dan penduduknya oleh
orang-orang Amerika yang baru saja menang, kerajaan lama diambil
oleh kerajaan baru.14
Kisah hidupnya dalam olah musik berkaitan erat dengan upayanya untuk
membaca realita hidup sehari-hari. Ia pun berkata:
Hanya Beethoven yang paling mengilhami pengetahuan musik
otodidak saya secara konsisten. Saya dianggap bukan pianis yang
tepat untuk sonatanya, saya tidak menyukai Mozart, meskipun saya
berkali-kali memainkan Sonata Pathetique dan dalam proses itu
mengembangkan rasa pembacaan diluar kemampuan saya.15
Pendidikan kristiani dengan ritus Timur mempengaruhi cara berpikirnya yang
berbeda dengan kristiani ritus Barat. Hal itu dinyatakan dalam ungkapannya,
sebagai berikut:
Saya bersikukuh untuk menjalani Komuni Pertama pada minggu
awal Juli 1949 dengan Bibi Nabiha, yang bersebelahan dengan saya
di katedral itu. Fedden berada disana namun hanya dengan peran
13
Tahun 1980-an Said aktif dalam lobi politik PLO untuk mengevaluasi
strategi kebebasan nasional. Selama decade ini, ia adalah target yang jelas
untuk gerakan Yahudi dan Zionis.
16
17
18
19
cara
pandangnya,
mendeskripsikannya,
dengan
mengajarinya,
10
Ibid, hlm. 3.
Ibid.
22
Ibid, hlm. 4
21
11
mudah akan lenyap tertiup angin. Said sendiri yakin bahwa orientalisme ini
khususnya, lebih bermanfaat sebagai suatu tanda kekuasaan Atlantik-Eropa
atas dunia Timur dari pada sebagai wacana murni mengenai Timur
(sebagaimana yang didakwakannya dalam bentk akademisi dan ilmiah).23
C. Orientalisme dan Wacana Kolonial
Pada bagian ini akan diperlihatkan bagaimana Ania Loomba
memahami orientalisme dari Edward W. Said yang terpengaruh konsep
wacana Michel Faucoult. Orientalisme memakai konsep wacana untuk
menata kembali studi kolonialisme. Buku ini menelaah bagaimana studi
formal atas Timur (sekarang Timur Tengah), bersama naskah-naskah kunci
literer dan kultural, mengkonsolidasi cara-cara tertentu untuk melihat dan
memikirkan yang kemudian membantu berfungsinya kekuasaan kolonial.
Semua ini bukanlah bahan-bahan yang telah dibahas
12
marginal,
gagasan-gagasan
dengan
lembaga-lembaga.
Ini
25
Edward W. Said, Orientalism, (London: Penguin Books, 1978), hlm. 46-47, Bdk Ania
Loomba, Colonialism/Postcolonialism, (New York: Routledge, 1998), hlm. 45-46.
13
biner.
Tulisan
perjalanan
merupakan
sarana
penting
untuk
14
15
Edward W. Said, Orientalism, terj. Achmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm. 19-22.
16
17
istilah-istilah
akademis
lainnya
yang
kerap
teks
marginal
yang
menjanjikan,
menyingkap,
18
MTv dan pop culture lainnya dengan mudahnya masuk dan melakukan
penetrasi ke dalam relung-relung kesadaran anak muda di negara Dunia
Ketiga.
Contoh kasus dalam masyarakat Indonesia yaitu hiburan di berbagai
media elektronik Indonesia, beberapa tahun terakhir ini berkembang
keistimewaan kepada wajah Indo atau campuran. Para artis yang punya wajah
indo menjadi idola publik di dunia entertainment. Ini menunjukkan bahwa
mentalitas kolonial masih melekat dalam wacana budaya Indonesia. Selain
itu, akhir-akhir ini juga berkembang keistimewaan penguasaan bahasa Inggris
ketimbang bahasa lokal ataupun bahasa Indonesia. Kondisi ini pun tidak jauh
berbeda dengan zaman kolonial Belanda, di mana bahasa Belanda lebih
istimewa dan menunjukkan status sosial dibandingkan bahasa Melayu
(Indonesia). Terbukti misalnya menjadi bahan perdebatan di perkumpulan
Budi Utomo, apakah setiap pembicaraan formal dalam organisasi mesti
menggunakan bahasa Belanda.
Pendidikan Indonesia kini, yaitu sekolah-sekolah, baik negeri ataupun
swasta, berlomba-lomba menjadi sekolah internasional yang menggunakan
bahasa Inggris. Alasannya sederhana, anak-anak yang unggul sudah
semestinya menguasai bahasa Inggris untuk dapat bersaing di kancah
internasional. Mental berikutnya adalah kecenderungan pop culture anak
muda, yang mengarah pada musik rock, rap, hip metal, punk, menggunakan
pakaian dengan merek internasionalisasi merek seperti Nike, Adidas dan lain
sebagainya, makanan (Coca Cola), nongkrong di kafe, dan gaya hidup
kebarat-baratan lainnya.
Pembongkaran bagaimana bekerjanya imperialisme Barat (Eropa dan
Amerika) terhadap dunia Islam, Timur Tengah dan Timur hingga kini
misalnya, oleh Edward Said menjadi bukti akan hal ini. Karya
besarnya Orientalism menunjukkan bagaimana ia men-dekonstruksi perilaku
kultural dan epistemologis Barat yang ingin terus menguasai Timur. Kerja
keras Said terutama karena upayanya membongkar muatan idiologis di balik
konsep Timur atau Orient yang direproduksi oleh Barat.
19
20
dari penanaman alam pikir kolonial barat, dan lupa akan identitasnya sendiri
sebagai masyarakat Indonesia.
BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
21
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana Aktualitas, dan Aktor Sejarah,
(Jakarta: PT. Gramedia, 2002), hlm. 186-187.
22