Anda di halaman 1dari 15

Makalah Individual

Pandangan Tentang Alam, Manusia, Ilmu, Nilai Baik Buruk, dan Waktu Filsuf Muslim
NASHIRUDDIN AT-THUSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Prof. H. Abdul Munir Mulkhan, S.U

Oleh :
Imam Khoriyadi (19204010076)

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2019

1
Pandangan Tentang Alam, Manusia, Ilmu, Nilai Baik Buruk, dan Waktu Filsuf Muslim
NASHIRUDDIN AT-THUSI
A. Biografi Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Khwajah Nasir al Din Abu Ja’far Muhammad bin
Muhammad bin Al-Hasan Nashiruddin Al-Thusi. Ia seorang sarjana yang mahir dalam
bidang ilmu pengetahuan matematika, astronomi, dan politik. Sesuai nama panggilannya
At-Thusi karena ia dilahirkan di kota Tus pada tahun 597 H/1201 M. Ayahnya bernama
Muhammad bin Hasan, yang mendidik Tusi sejak pendidikan dasar. Kemudian dia
mempelajari fiqih, ilmu hikmah, dan ilmu kalam, serta isyaratnya Ibnu Sina dan
matematika.1
Ia lahir pada awal abad ke 13 M ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa
sulit. Karena apada masa itu tentara mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah
kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai
habis tentara Mongol dengan sangat kejam.2 Thusi meninggalkan kota kelahirannya,
pergi ke kota Baghdad. Di sana ia belajar tentang ilmu pengobatan dan filsafat dari guru
Qutb Al Din, matematika dari Kamal Al Din ibnu Yunus, dan fiqh serta ushul fiqh dari
Salim ibn Badran.
Di masa kehidupannya, Nashiruddin Ath-Thusi dikenal sebagai Ilmuwan yang
serba bisa (multi talented). Sumbangannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
modern sungguh tidak ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia
itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu astronomi, biologi, kimia,
matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam. Sebagai seorang ilmuwan
yang amat kondang pada zamannya Nashiruddin memiliki banyak nama, antara lain;
Muhaqqiq Ath-Thusi, Khuwaja thusi, dan Khuwaja Nasir.
Sebagai awal karirnya ia terkenal ahli di bidang astronomi, yakni pada
pemerintahan Nasir Al din ’Abd Al Rahim di benteng gunung Ismailliyah Quhistan.
Popularitasnya semakin melesat sampai pemerintahan ’Ala Al Din Muhammad, Syek
Agung VII dari Alamut.

1
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 311
2
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 246

1
Pada tahun 1259 M, Nashiruddin membentuk Observatiorium Maraghah, yakni
suatu majlis yang hebat yang terdiri atas orang-orang pandai dan terpelajar dengan
membuat rencana khusus untuk pengajaran ilmu-ilmu filsafat. Observatorium Maraghah
mulai beroperasi pada tahun 1262 M. Pembangunan dan operasional observatorium itu
melibatkan sarjana dari Persia dan dibantu oleh ahli astronomi dari Cina. Teknologi yang
digunakan di Observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan
dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di Observatorium itu ternyata
merupakan penemuan Nashiruddin, salah satunya adalah ’kuadran azimuth’. Selain itu,
dia juga membangun perpustakaan di Observatorium itu. Koleksi bukunya terbilang
lengkap, terdiri atas beragam ilmu pengetahuan. Di tempat itu, Nashiruddin tidak hanya
mengembangkan dibidang astronomi saja. Dia pun turut mengembangkan matematika
serta filsafat.3
Di observatorium yang dipimpinnya itu, Nasiruddin Ath-Thusi berhasil membuat
table pergerakan planet yang akurat. Kontribusi lainnya yang amat penting bagi
perkembangan astronomi adalah kitab Zij-Ilkhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan
lalu diterjemahkan kedalam bahasa arab. Kitab itu disusun stelah 12 tahun memimpin
observatorium Maragha. Selain itu Nasiruddin juga berhasil menulis kitab terkemuka
lainnya yang berjudul At-Tadhkira fi‟ilm Al-hay‟a (Memoar Astronomi). Nasiruddin
mampu memodifikasi model semesta apisiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip
mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Nasiruddin meningal
dunia pada tahun 672 H / 1274 M dikota Baghdad, yang pada saat itu dibawah
pemrintahan Abaqa (Pengganti Hulagu) yang masih mendapat dukungan sampai akhir
hayatnya.4
Nasiruddin Ath-Thusi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang
Ilmu, bukan hanya seorang filsuf semata. Hal itu terlihat dari berbagai disiplin keilmuan
yang ditulisnya dalam bentuk buku atau kitab.
Meskipun Ath-Thusi pandai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan namun ia
bukan seorang ilmuwan / filsuf yang kreatif sebagaimana filsuf yang ada ditimur yang
memuat sebelumnya. Ia bukan termaksuk ahli fikir yang kreatif yang memberikan

3
M. M. Syarif, Para Filosof Muslim terjemah dari buku ketiga, bagian ketiga “The Philoshophers”, dari
buku History of Muslim Philoshophy.(Bandung : Mizan, 1998), hal. 236
4
Abu Ahmadi,dkk, Filsafat Islam,(Semarang, Toha Putra, 1988) hal.232

2
gagasan-gagasan murni yang cemerlang. Hal ini tampak pada kedudukan ia sebagai
pengajur gerakan kebangktan kembali dan dalam karya-karyanya kebanyakan bersifat
eklektis yakni bersifat memilih dari berbagai sumber. Tetapi meskipun demikian, ia tetap
memiliki ciri khas tersendiri dalam menyajikan bahan tulisannya. Kepandaiannya yang
beragam sungguh mengagumkan. Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencakup
filsafat, matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, mineralogy, musik, sejarah,
kesusastraan dan dogmatik. Adapun karya-karya Nasiruddin Ath-Thusi sebagi berikut:5
1. Karya dibidang logika diantaranya:
a. Asas Al-Iqtibas
b. At-Tajrid fi Al-Mantiq
c. Syarh-I Mantiq Al-Isyarat
d. Ta‟dil Al-Mi‟yar
2. Di bidang metafisika meliputi :
a. Risalah dar Ithbat-I Wajib,
b. Itsar-I Jauhar Al-Mufariq,
c. Risalah dar Wujud-I Jauhar-I Mujarrad,
d. Risalah dar Itsbat-I „Aqi-I Fa‟al,
e. Risalah Darurat-I Marg,
f. Risalah Sudur Kharat Az Wahdat,
g. Risalah „Ilal wa Ma‟lulat Fushul,
h. Tashawwurat,
i. Talkis Al-Muhassal dan
j. Hall-I Musykilat Al-Asyraf.
3. Di bidang etika meliputi :
a. Akhlak-I Nashiri,
b. Ausaf Al-Asyarf.
4. Sementara di bidang dogmatik adalah :
a. Tajrid Al‟Aqa‟id,
b. Qawa‟id Al-„Aqa‟id,
c. Risalah-I I‟tiqodat.

5
Dedi Supriyadi, Pengantar…, hal. 249

3
5. Di samping itu, beberapa karyanya dalam bidang astronomi terangkum pada :
a. Al-Mutawassithat Bain Al-Handasa wal Hai‟a,: buku suntingan dari sejumlah karya
Yunani, Ikhananian Table (penyempurnaan Planetary Tables)
b. Kitab At-Tazkira fi al-Ilmal-hai‟a; buku ini terdiri dari atas empat bab (I) pengantar
geometrik dan sinematika dengan diskusi-diskusi tentang saat berhenti, gerak-gerik
sederhana, dan kompleks. (II) pengertian-pengertian astronomikal secara umum,
perubahan sekular pembiasan ekliptik. Sebagian bab ini diterjemahkan oleh Carr
De Vaux penuh dengan kritikyang tajam atas Almagest karya Ptolemy. Kritikan ini
merupakan pembuka jalan bagi Copernicus, terutama pembiasan-pembiasan pada
bulan dan gerakan dalam ruangan planet-planet.(III) bumi dan pengaruh benda-
benda angkasa atasnya, termaksuk di dalamnya tentang laut, angin, pasang surut,
serta bagaimana hal ini terjadi. (IV) besar dan jarak antar planet.
c. Zubdat Al-Hai‟a (9 yang terbaik dari astronomi),
d. Al-Tahsil fil An-Nujum,
e. Tahzir Al-Majisti,
f. Mukhtasar fial-ilm At-Tanjim wa Ma‟rifat At-Taqwin (ringkasan astrologi dan
penanggalan),
g. Kitab Al-Bari fi Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Afak wa Ahkam An-Nujum (buku
terunggul tentang Almanak, gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman).
6. Di bidang arritmatika, geometri, dan trogonometri adalah :
a. Al-Mukhtasar bi Jami Al-Hisab bi At-Takht wa At-Turab (ikhtisar dari seluruh
perhitungan dengan tabel dan bumi),
b. Al-Jabr wa Al-Muqabala (risalah tetang Al-Jabar)
c. Al-Ushul Al-Maudua (risalah mengenai Euclidas Postulate),
d. Qawa‟id Al-Handasa (kaidah-kaidah geometri),
e. Tahrir al-Ushul,
f. Kitab Shakl Al-Qatta (risalah tentang Trilateral), sebuah karya dengan keaslian luar
biasa, yang ditulis sepanjang abad pertengahan. Buku tersebut sanagat berpengaruh
di Timur dan di Barat sehingga menjadi rujukan utama dalam penelitian
trigonometri.
7. Di bidang optic, ia tuangkan keilmuannya tersebut dalam:

4
a. Tahrir Kitab Al-Manazir,
b. Mabahis Finikas Ash-Shu‟ar wa in Itaafiha (penelitian tentang refleksi dan defleksi
sinar-sinar).
8. Di bidang seni (syair) meskipun tidak sekeliber Omar Khayam atau pun Jalaluddin
Rumi, ia juga mampu menghasilkan karya yang diabadikan dalam buku yang berjudul
Kitab fi Ilm Al-Mau-Siqi dan Kanz At-Tuhaf.
9. Karya di bidang medical adalah kitab Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah,
buku ini bercerita tentang cara diet, peraturan-peraturan kesehatan dan hubungan
seksual.6

B. Pandangan Al Thusi Tentang Alam


Dalam hal Alam khususnya kosmologi, Al Thusi mendasarkan pemikiranya pada
teori emansi al-Farabi. Herarki penciptaan demikian dalam periodisitas makhluk dengan
keinginan Allah Maha Tinggi mencapai puncak dan kesempurnaannya pada derajat
manusia dan kemampuannya menerima kesempurnaan tersebut yang terdiri dari
pemilikan sarana mental dan kemungkinan fisik yang mencadi ciri watak manusia.
Nyatalah dari sini bahwa meskipun mineral, tumbuhan, dan hewan yang berbicara
mendahului manusia dalam penciptaan, tujuan akhir semua (pemunculan eksistensi) ini
adalah manusia, sesuai sesuai dengan ucapan: pada mulanya datang pikiran atau
tindakan.
Berkenaan dengan perbedaan dalam bentuk berbagai kategori makhluk dapt
dijelaskan sebagai dikarenakan keinginan Allah Maha Tinggi adalah untuk membuat
semua yang potensial pada jiwa individual menjadi aktual dengan pengaruh langit-langit
dan bintang-bintang. Tapi langit selalu berputar dalam gerak yang cepat. Karena itu
perbedaan dari bintang-bintang dapat menghasilkan bentuk yang berbeda pada kategori
dasar wujud.7
Juga menurut Nashiruddin Ath-Tusi, metafisika terdiri atas dua bagian, pertama
ilmu Ketuhanan (’Ilmi Ilahi), kedua filsafat pertama (falsafahi ula). Ilmu Ketuhanan
meliputi Tuhan, akal, dan jiwa, pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang

6
Hadariansyah, Pengantar Filsafat Islam (Banjarmasin, Kafusari Press:2013), hlm. 152
7
Di akses pada halaman http://agungsyifaul.blogspot.com/2012/11/nashiruddin-al-thusi_9087.html pada
tanggal 20 Desember 2019 Pukul 21.00 WIB.

5
berhubungan dengan alam semesta yang merupakan filsafat pertama. Pengetahuan
tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan
kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidak kekalan juga membentuk
bagian dari filsafat pertama tersebut. Di antara cabang (furu’) metafisika itu termasuk
pengetahuan ke-Nabian (nubuwwat). Jelajah subjek itu menunjukkan bahwa metafisika
merupakan esensi fuilsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-
gagasan.8
Bagi Ath-Tusi eksistensi Tuhan sebagai postulat (yang sudah terang akan
kebenaran bahwa Allah Itu ada), harus di yakini oleh manusia , dan bukan harus
dibuktikan. Pembuktian eksistensi Tuhan atau wujud Tuhan bagi manusia adalah
mustahil, karena pemahaman manusia tentang wujud Tuhan sangat terbatas untuk
dipikirkan. Meskipun Ath-Tusi membagi metafisika atas ilmu Ketuhanan dan filsafat
pertama, tetapi di dalamnya tidak mencakup kajian pembuktian eksistensi Tuhan, karena
ini suatu hal yang di luar batas kemampuan pembuktian manusia. Nashiruddin Ath Tusi
berpendapat sama halnya dengan filosof lainnya yang mengulas teori cretio ex nihilo
yaitu sebuah teori yang menyatakan adanya penciptaan sesuatu dari tidak ada.
Sebagaimana dijelaskan Allah dalam Q.S. Yasiin: 82;
ُ ‫ش ْيئًب أ َ ْن يَقُو َل لَهُ ُك ْه فَيَ ُك‬
‫ون‬ َ َ‫إِوَّ َمب أ َ ْم ُرهُ إِذَا أ َ َراد‬
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah Ia.” (Q.S. Yasin 36:82)
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa dalam ajaran Islam memisahkan antara Allah
dengan alam yang pada dasarnya juga berstatus pada teori cretio ex nihilo yakni bahwa
alam pada mulanya tidak ada, kemudian ada dengan perintah Allah. 9 Ia berpandangan
Tuhan sepadan dengan penciptaan dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Akan
tetapi, dalam Fushul, dia meninggalkan sikap itu sepenuhnya. Di situ ia menganggap
Tuhan sebagai pencipta yang bebas dan menumbangkan teori mengenai penciptaan
karena desakan. Jika Tuhan mencipta karena Dia butuh mencipta. Thusi mengemukakan,
berarti tindakan-tindakan-Nya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu, jika satu
bagian dari dunia ini menjadi tak maujud, esensi Tuhan itu tentu juga menjadi tiada. Ini

8
M.M Syarif, Para Filosof …, hal 252
9
A. Mustofa, Filsafat …, hal. 320

6
dikarenakan penyebab keberadaan-Nya itu ditentukan oleh ketiadaan bagian-bagian lain
dari penyebabnya, dan seterusnya. Karena semua yang ada itu bergantung kepada
keperluan Tuhan, ketiadaan mereka akhirnya menjadikan ketiadaan Tuhan sendiri.10[6]
Selanjutnya, mengenai apakah alam ini qadim atau diciptakan oleh Tuhan dari
ketidakadaan (hadis), merupakan suatu masalah yang masih menjadi perdebatan dalam
filsafat Islam. Al Tusi berusaha memarpakan tentang alam ini di dalam bukunya yang
berjudul Tashawwurat (di tulis pada masa pemerintahan Ismailliah), ia melakukan sebuah
perujukan atas pendapat Aristoteles dan Ibnu Maskawaih yang mengatakan bahwa dunia
ini kekal, karena menyifatkan gerakannya pada penciptaan Tuhan. Al Tusi membantah
pendapat ini, ia memulai dengan mengecam doktrin cretio ex nihilo. Pandangan yang
menyatakan adanya waktu ketika dunia ini belum maujud dan kemudian Tuhan
menciptakannya dari ketiadaan, “secara jelas mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah
pencipta sebelu adanya penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaan-Nya masih
potensial yang pada kemudian hari baru diwujudkan, ini merupakan penyangkalan atas
daya cipta-Nya yang kekal. Kemudian Al Tusi menutup pembahasannya dengan
ungkapan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya,
meskipun dalam hak dan kekuatannya sendiri, dan ia tercipta (muhdats).
Adapun dalam karyanya yang lain berjudul Fushul (risalah yang terkenal dan
paling banyak di ulas), Thusi meninggalkan sikap tersebut sekaligus mendukung
sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai cretio ex nihilo. Ia menggolongkan Zat menjadi
yang pasti dan yang mungkin, dia mengemukakan bahwa eksistensi yang mungkin itu
bergantung pada yang pasti; dank arena ia maujud akibat sesuatu yang lain dari dirinya,
tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud sebab penciptaan yang maujud itu
mustahil. Karena sesuatu yang tidak maujud itu tidak ada, begitu juga Kemaujudan Yang
Pasti itu menciptakannya yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut
penciptaan dan hal-hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhdats).

C. Pandangan Al Thusi Tentang Manusia


Pemikiran politik al Thusi didasarkan atas pandangan tentang kemanusiaan
sebagai jalan tengah antara tingkatan intelektual dan spiritual yang lebih tinggi dengan

10
A. Mustofa, Filsafat …, hal. 321

7
tingkatan lahir yang fana. Pendapat ini mirip dengan pemikiran Al Farabi, bahwa setiap
orang mampu mencapai kebahagiaan abadi, tergantung pada upaya masing-masing.
Pandangan tentang kebebasan manusia ini berjalan seiring dengan pandangan keluhuran
fitrah manusia. Menurutnya, manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling mulia,
akan tetapi kesempurnaannya menjadi tanggung jawab penalarannya sendiri yang
merdeka.
Mengenai kecenderungan moral manusia, at-Thusi menyatakan bahwa sebagian
manusia menurut fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”.
Beliau menyimpulkan bahwa kesejahteraan manusia membutuhkan; pertama, pengaturan
dunia materi oleh akal, melalui seni dan keterampilan. Kedua, membutuhkan pendidikan,
disiplin dan kepemimpinan. Menurutnya manusia pada awal penciptaannya diadaptasikan
pada dua keadaan ini, yaitu fisik dan intelektual, sehingga diperlukan para nabi dan filsuf,
imam, pembimbing, tutor dan instruktur.
Dalam hal manusia Al Thusi berpendapat tentang jiwa, menurut Al Thusi jiwa
merupakan subtansi sederhana dan immateri yang dapat merasa sendiri. Ia mengontrol
tubuh melalui otot-otot tubuh dan alat-alat perasa tetapi ia sendiri tidak dapat dirasakan
lewat alat-alat tubuh. Jiwa menurut Al Thusi terbagi menjadi empat yaitu jiwa vegetative,
hewani, manusiawi dan imajinatif. Jiwa imajinatif menepati posisi tengah antara jiwa
hewani dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal (naql) yang
menerima dari akal pertama.11

D. Pandangan Al Thusi Tentang Ilmu


Al Thusi seorang figur intelektual yang memiliki pengaruh besar mulai dari masa
tradisional intelektual Islam Timur sampai periode modern saat ini. Pengaruh dan
prestasinya dapat berupa gelar, penghormatan dan nama kecil yang diberikan kepadanya,
seperti Khadja (Sarjana dan guru terkemuka) , Ustadz al-Bahar (Guru Umat) , dan al-
muallim al-thalith (Guru ketiga). Pandangan Al Thusi tentang Ilmu dapat kita dapatkan
dari karya karya beliau atau sumbangan beliau terhadap ilmu pengetahuan diantaranya :

11
M.M Syarif, Para Filosof …, hal 249-250

8
1. Astronomi
Ia menulis beragam kitab yang mengupas tentang Astronomi. Nasiruddin juga
membangun observatorium yang mampu menghasilkan tabel pergerakan planet secara
akurat. Model sistem plenaterium yang dibuatnya diyakini paling maju pada
zamannya. Dia juga berhasil menemukan sebuah teknik geometrik yang dikenal di
barat dengan a-Tusi-couple. Sejarah juga mencatat, Nasiruddin sebagai astronom
pertama yang mengungkapkan bukti observasi empiris tentang rotasi bumi.
2. Biologi
Nasiruddin juga turut memberi sumbangan dalam pengembangan ilmu hayat
atau biologi. Ia menulis secara luas tentang biologi. Nasiruddin menempatkan dirinya
sebagai perintis awal dalam evolusi biologi. Dia memulai teorinya tentang evolusi
dengan alam semesta yang terdiri dari elemen-eleman yang sama dan mirip.
Menurutnya, kontradiksi internal mulai tampak sebagai sebuah hasil, dan beberapa zat
mulai berkembang lebih cepat serta berbeda dengan zat lain. Dia lalu menjelaskan
bagaimana elemen-elemen berkembang menjadi mineral kemudian tanaman,
kemudian hewan, dan kemudian manusia. Di juga menjelaskan bagaimana variabilitas
heriditas merupakan faktor penting dalam evolusi biologi mahluk hidup.
3. Kimia
Dalam bidang kimia, Nasiruddin mengungkapkan versi awal tentang hukum
kekekalan massa. ''Zat dalam tubuh tak bisa sepenuhnya menghilang. Zat itu hanya
merubah bentuk, kondisi, komposisi, warna, dan bentuk lainnya yang berbeda,'' kata
dia.
4. Matematika
Selain menghasilkan rumus sinus pada segitiga, Nasiruddin juga adalah
matematikus pertama yang memisahkan trigonometri sebagai disiplin ilmu yang
terpisah dari matematika.
5. Pencapaian penemu rumus sinus segitiga
Selama mendedikasikan hidupnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
Nasiruddin Al-Tusi telah menulis beragam kitab yang mengupas bermacam ilmu
pengetahuan. Di antara kitab yang berhasil ditulisnya itu antara lain; kitab Tajrid-al-
'Aqaid (sebuah kajian tentang ilmu kalam) dan Al-Tadhkirah fi Ilm Al-Hay'ah (sebuah

9
memoar tentang ilmu astronomi). Kitab tentang astronomi yang ditulis Nasiruddin itu
banyak mendapat komentar dari para pakar astronomi. Komentar-komentar itu
dibukukan dalam sebuah buku berjudul Syarah Al-Tadhkirah (Sebuah Komentar atas
Al-Tadhkirah) yang ditulis Abdul Ali ibn Muhammad ibn Al-Husayn Al-Birjandi dan
Nazzam Nishapuri. Selain itu, Nasiruddin juga menulis kitab berjudul Akhlaq-i-Nasri
yang mengupas tentang etika. Kitab lainnya yang terbilang populer adalah Al-Risalah
Al-Asturlabiyah (Risalah Astrolabe). Kitab ini mengupas tentang peralatan yang
digunakan dalam astronomi. Di bidang astronomi, Nasiruddin juga menulis risalah
yang amat populer, yakni Zij-i ilkhani (Tabel Ilkhanic). Ia juga menulis Syarah Al-
Isharat, sebuah buku yang berisi kritik terhadap hasil kerja Ibnu Sina.
Selama tinggal di Nishapur, Nasiruddin memiliki reputasi yang cemerlang,
sebagai ilmuwan yang beda dari yang lain. Pencapaian mengagumkan yang berhasil
ditorehkan Nasiruddin dalam bidang matematika adalah pembuatan rumus sinus untuk
segitiga, yakni; a/sin A = b/sin B = c/sin C.12

E. Pandangan Al Thusi Tentang Nilai Baik dan Buruk


Baik dan buruk terdapat di dunia ini. Penonjolan yang buruk tidak sesuai dengan
kebaikan Tuhan. Menurut Tusi, yang baik datang dari Tuhan, sedangkan yang buruk
muncul sebagai kebetulan dalam perjalanan yang baik itu. Kebaikan misalnya,
merupakan biji gandum yang ditaburkan diatas tanah dan disirami hingga tumbuh
menjadi tanaman dan menghasilkan panen yang melimpah. Keburukan itu seperti busa
yang muncul di atas permukaan air. Busa jelas berasal dari gerakan air, bukan dari air itu
sendiri. Dengan begitu maka tidak ada prinsip buruk di dunia ini.
Penilaian kita mengenai keburukan selalu relatif sifatnya dan metaforis , yaitu
bahwa penilaian selalu mengacu pada sesuatu. Misalnya , ketika api membakar gubuk
milik seseorang yang miskin atau banjir melanda sebuah desa, suatu pemburukan
ditimpakan kepada api dan air. Padahal tidak ada kepada api atau air. Malah ketiadaan
keduanya akan menjadi suatu keburukan penuh bila dibandingkan dengan keburukan
yang kadang timbul oleh keberadaan keduanya.

12
Di akses pada halaman https://republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/05/25/m4kooo-nasiruddin-
altusi-ilmuwan-serba-bisa-dari-persia-4habis pada tanggal 20 Desember 2019 Pukul 22.00 WIB.

10
Akhirnya keburukan muncul dari kebodohan atau akibat dari cacat fisik atau
kekurangan sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan. Ketakhadiran siang adalah
malam, kekuarangan harta adalah kemiskinan, dan ketiadaan kebaikan adalah keburukan.
Oleh karena itu , pada hakikatnya keburukan merupakan ketiadaan sesuatu-sesuatu yang
negatif, bukan positif.
Dalam bukunya Akhlaqi Nasiri yang mana karya tersebut dengan menyetir al-
farabi dan ibn Sina, karya tersebut juga merupakan hasil mengkritik pendapat Ibn
Miskawaih yang menurutnya kurang lengkap dalam lingkup moralitas, di situ Thusi
mengklasifikasikan pengetahuan kedalam spekulasi dan praktek. Pengetahuan spekulasi
di bagi juga kedalam metafisika dan teologi, matematika, ilmu-ilmu alam. Sedangkan
praktis termasuk etika, ekonomi domestik, dan politik.
Sebagai bentuk moral baik dan buruk tidak luput dari perhatian Thusi. Kebaikan
datang dari Tuhan, sedangkan yang buruk lahir secara kebetulan dalam perjalanan yang
baik. Kabaikan ibarat gandum yang ditanam dan disiram sehingga tumbuh dengan baik
dan akhirnya dapat dipanen. Sedangkan keburukan, seperti busa yang muncul diatas
permukaan air sebagai akibat gerakan air bukan berasal dari air. Jadi menurut Thusi tidak
ada prisnip buruk di dunia ini, tetapi sebagai sesuatu kebetulan yang diperlukan atau hasil
dari sesuatu hal. Keburukan itu sendiri juga dapat muncul sebagai akibat dari kebodohan
atau cacat fisik, atau kekurangan sesuatu.
Menurut Thusi, bahwa kebaikan utama adalah tujuan moral utama, yang
ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan
lewat kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh. Athusi mendukung pemikiran Plato
sebagai dikembangkan ibn Miskawaih bahwa kebaikan-kebaikan mengacu kepada
kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan yang berasal dari tiga kekutan
jiwa yakni, akal, kemarahan, dan hasrat. Thusi juga menempatkan kebajikan diatas
keadilan, dan cinta sebagai sumber alami kesatuan, diatas kebajikan.
Tentang penyakit jiwa, bagi Thusi merupakan sebuah penyimpangan jiwa dari
keseimbangan , baik dari segi jumlah, maupun darin segi mutu yang dinamakan Thusi
sebagai perbuatan yang tidak wajar. Jadi penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu
dari tiga sebab, yaitu : keberlebihan, kekurangan , dan ketakwajaran akal. Atas dasar
itulah Thusi menggolongkan penyakit-penyakit fatal akal teoris menjadi kebingungan,

11
kebodohan sederhana, dan kebodohan fatal. Kebingungan disebabkan oleh ketidak
mampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan adanya
bukti yang saling bertentangan atau kontroversian. Kebodohan sederhana disebabkan
oleh kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya.
Kebodohan fatal ialah disebabkan kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal , tetapi ia
merasa mengetahui hal itu. Menurut Thusi penyakit ini sulit untuk disembuhkan.
Bagi Thusi, masyarakat berperan menentukan kehidupan moral, sebab pada
dasarnya manusia adalah makhluk sosial, bahkan kesempurnaanya terletak pada tindakan
yang bersifat sosial. Lebih luas lagi dalam masalah moral, Thusi memasukkan urusan
rumah tangga kedalamnya. Thusi mendefinisikan rumah sebagai hubungan istimewa
natara suami, isteri, anaknya. Tujuan ilmu rumah tangga adalah mengembangkan sistem
disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, sosial, mental. Atau dengan kata
lain melalui rumah tangga aspek moralitas Thusi dapat tercapai dan terrealisasi.
Pemikiran akhlak Al thusi terlihat banyak terpengaruh dari Tahdzib al Akhlaq
karya Ibnu Maskawaih, tetapi dalam bukunya Akhlaq-i Nasiri Al Thusi menambahkan
pembahasan tentang persoalan rumah tangga dan politik. Pembicaraan tentang akhlak
tidak terlepas dari baik dan buruk, kebaikan oleh Al Thusi diibaratkan seperti gandum
yang ditanam dan disiram hingga tumbuh dengan baik dan kemudian menghasilkan
buahsehingga dapat dipanen. Sedangkan keburukan, ibarat buih yang muncul diatas
permukaan air sebagai gerakan dari air. Dalam kehidupan manusia, keburukan terjadi
adalah kerena penyalah gunaan manusia akan karunia Tuhan berupa kebebasan
berkehendak dan berbuat yang dikaruniakan-Nya kepada manusia. Jadi, keburukan itu
bukanlah berasal atau bersumber dari Tuha, tetapi dari oleh manusia itu sendiri.
Al Thusi memasukan urusan rumah tangga kedalam pembahasan akhlak. Ia
mendefinisikan rumah tangga sebagai hubungan istimewa antara suami dan istri, orang
tua dan anak, tuan dan hamba, dan kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga
adalah untuk mengembangkan system disiplin yang mendorong terciptanya kesejahtraan
fisik, mental, dan social seluruh anggota rumah tangga itu, dengan ayah sebagai
pemegang kendalinya. Sedangkan istri yang baik adalah yang memiliki kecerdasan,
integritas, kemurnian, kesederhanaan, dan kelembutan hati. Bekenaan dengan disiplin
anak-anak, Al Thusi mengikuti pendapat Ibnu Maskawaih, yaitu disiplin anak-anak

12
adalah dimulai dengan penanaman akhlak yang baik yang dilakukan melalui pujian,
hadiah, dan celaan yang halus.
Al Thusi juga memasukan urusan politik kedalam pembicaraan akhlak.
Diantaranya pembicaraan Al Thusi yang penting adalah pendapatnya mengenai suatu
Negara dan etika berperang. Suatu Negara, menurutnya harus didukung oleh empat
kelompok, yaitu ilmuan, prajurit, petani dan pedagang. Menurut Al Thusi, seorang raja
harus memiliki latar belakang, seperti berikut : 1) keluarga terhormat, 2) mempunyai cita-
cita tinggi, 3) adil dalam menilai, 4) teguh pendirian, 5) tegar dalam menghadapi
kesulitan, 6) lapang dada dan 7) sahabat-sahabat yang berbudi baik.13

F. Pandangan Al Thusi Tentang Waktu


Pandangan Al Thusi tentang waktu dapat kita dapatkan dari karya karya beliau
atau sumbangan beliau terhadap ilmu pengetahuan astronomi. Al Thusi orang pertama
yang memperkenalkan bukti observasi empiris tentang rotasi bumi, dengan menggunakan
lokasi komet yang relevan dengan bumi sebagai buktinya. Kontribusi teori dan bukti
penelitian rotasi bumi oleh Al Thusi sangat berperan besar dalam masa modern ini, yaitu
untuk mengetahui adanya :
1. Pergantian siang dan malam
Waktu siang hari merupakan waktu yang cocok digunakan untuk melakukan
kegiatan. Selain itu kita tidak perlu memerlukan pencahayaan buatan , udara di siang
hari cukup bagus untuk manusia. Setelah selesai beraktivitas , malam hari adalah
pilihan yang tepat.
2. Gerak semu harian matahari
Gerak semua harian matahari dapat dijadikan patokan sebagai penentuan
waktu. Sebelum adanya jam, penentuan waktu menggunakan posisi matahari dan
bayangan benda. Jika bayangan lebih panjang , maka itu menandakan malam akan
segera tiba.
3. Adanya perbedaan waktu
Dengan adanya perbedaan waktu, hal ini akan berdampak yang sangat besar
pada berbagai hal. Misalnya adalah sistem komunikasi dunia menggunakan teknologi

13
Hadariansyah. Pengantar …, hal 155-157

13
serba canggih. Sistem komunikasi tersebut akan dapat digunakan dengan maksimal
dan kualitas bagus ketika penggunaanya bergiliran. Apabila tidak ada perbedaan
waktu , maka semua wilayah yang ada di bumi mengalami siang hari dan malam hari
bersamaan. Ketika siang hari, seluruh orang menggunakan sistem informasi tersebut
di jam sibuknya secara bersamaan, kita bisa bayangkan apa yang terjadi. Mungkin
akan sering mengalami masalah karena over dalam penggunaanya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, dkk, 1988, Filsafat Islam,Semarang, Toha Putra.

Hadariansyah, 2013, Pengantar Filsafat Islam, Banjarmasin, Kafusari Press.

Mustofa, A. 2004, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam Bandung: Pustaka Setia.

Syarif, M. M., 1998, Para Filosof Muslim terjemah dari buku ketiga, bagian ketiga “The
Philoshophers”, dari buku History of Muslim Philoshophy.Bandung : Mizan.

http://agungsyifaul.blogspot.com/2012/11/nashiruddin-al-thusi_9087.html

https://republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/05/25/m4kooo-nasiruddin-altusi-
ilmuwan-serba-bisa-dari-persia-4habis

14

Anda mungkin juga menyukai