Anda di halaman 1dari 9

Pemikiran Kalam K.H.Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ).

Oleh: Novita Sari Diyah Ayu Anggraini, NIM: 185221296

A. Pendahuluan
Membicarakan sebuah pemikiran yang tidak bisa lepas dari hal-hal yang
berlatar belakang pemikiran modernis. Modernisasi menjadi salah satu tombak
perubahan suatu pemikiran terutama khusus dalam Islam. Secara sosiologis,
pemikiran yang dilakukan dengan latar belakang adanya perubahan kehidupan sosial
yang terjadi karena efek globalisasi dari proses modernisasi. Perubahan yang
disebabkan dari modernisasi adalah tantangan baru yang dihadapi oleh masyarakat.
Sehingga perubahan sosial ini akan mempengaruhi pemikiran dan perilaku kelompok
sosial dimasyarakat termasuk perubahan pemikiran dan perilaku keagamaan. Salah
satu tokoh pemikiran modernis yaitu K.H. Abdurrahman Wahid atau sering disebut
“Gus Dur”.
K.H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan “Gus Dur” adalah
salah satu tokoh reformis pemikir Islam kontemporer yang sering dikategorikan
sebagai pemikir yang kontroversial, cuek dan acuh. Dia bahkan dituduh sekuler,
pengkhianat umat dan tidak membela kepentingan umat Islam.1Pemikirannya
meliputi wacana hubungan agama dengan negara, demokratisasi, pluralisme, dan
pribumisasi. Pemikiran Gus Dur merupakan pemikiran segar yang lahir dari refleksi
atas pemahaman dan penghayatannya tentang Islam secara kontekstual. Ide-ide yang
disampaikan oleh Gus Dur menuai beragam respon dari masyarakat Indonesia yang
telah lama terbelenggu dengan kebijakan pemerintahan orde baru yang dibungkus
dengan ide pembangunan.
Meskipun jasadnya telah wafat pada 30 Desember 2009 silam, namun
pemikiran dan ajaran beliau masih hidup sampai sekarang. Bahkan, banyak orang,
baik muslim maupun non-muslim yang mengkaji dan mengamati pemikiran Gus Dur.
Mengamati pemikiran Gus Dur memang menarik sekaligus menyulitkan. Menarik,
karena idenya sangat sederhana, tetapi mampu menghujam wawasan tersendiri dalam
menganalisis persoalan hidup di Indonesia maupun di dunia. Menyulitkan, karena
pemikiannya kadang liberal, keluar dari kultur NU yang membesarkannya.
Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini akan diuraikan mengenai salah satu
tokoh pemikir ilmu kalam dan modernisasi yaitu K.H. Abdurrahman Wahid.

B. Pembahasan
1. Sejarah singkat K.H. Abdurrahman Wahid
K.H. Abdurrahman Wahid lahir di sebuah tempat yang kental dengan suasana
kesantrian dan religi, Denanyar, Jombang, Jawa Timur, lokasi dimana Nahdlatul
Ulama dilahirkan pada 4 Sya’ban 1359 H/ 07 September 1940 dari pasangan Wahid
Hasyim dan Sholehah. Beliau lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. Addakhil
1
Ulil Abshar Abdallah, “Kyai ‘Mbeling’ jadi Presiden”, Tempo, 31 Oktober 1999.
berarti Sang Penakluk. Nama tersebut diambil dari nama ayahnya yaitu Wahid
Hasyim yang merupakan seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan
tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Karena nama “addakhil” tidak cukup dikenal
oleh masyarakat dan diganti dengan nama “Wahid”, menjadi Abdurrahman Wahid,
dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.2
Sejak kecil Gus Dur dididik dan dibesarkan dalam tradisi pesantren yang
kental di bawah naungan keluarga ulama. Menurut pengakuan ibunya, sejak usia 5
tahun ia sudah lancar membaca.3Pada tahun 1955, ia melanjutkan sekolah ke SMEP
(Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Gowangan, Yogyakarta. Untuk menambah
pengetahuan agama, ia belajar 3 kali dalam seminggu di Pesantren Krapyak yang
letaknya sedikit di luar kota Yogyakarta. Di sini ia belajar bahasa Arab kepada K.H.
Ali Ma’sum, seorang kiai yang dikenal egaliter. Di pesantren ini kegemaran Gus Dur
terhadap buku semakin meningkat. Karena kemampuan pemahaman bahasa Inggris
yang dimiliki cukup baik, maka ketika usia 15 tahun ia sudah banyak bersentuhan
dengan pemikiran sosialisme Karl Marx, filsafat Plato, Talles, novel-novel William
Bochner, dan buku-buku lain yang dipinjam dari perpustakaan dan guru-guru yang
ada di SMEP Yogyakarta.
Pada tahun pertama di SMEP sebenarnya Gus Dur bukan termasuk siswa yang
cemerlang, bahkan ia terpaksa mengulang kelas karena gagal dalam ujian. Kegagalan
ini bukan karena kebodohan, tetapi karena seringnya ia menonton pertandingan sepak
bola, sehingga ia tidak punya banyak waktu untuk mengerjakan tugas sekolah.4
Karena pelajaran yang diterima di kelas dianggap kurang menantang, maka ia merasa
bosan dan lebih banyak membaca buku-buku di luar pelajaran. Setelah tamat dari
SMEP pada pertengahan tahun 1957 ia melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo
Magelang di bawah asuhan K.H. Khudhori yang merupakan tokoh NU di daerahnya.
Di Tegalrejo ini pula Gus Dur banyak menghabiskan waktunya untuk membaca
buku-buku Barat.
Pada tahun 1959, Gus Dur pulang ke kampung halaman, Jombang, untuk
belajar secara lebih serius di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan K.H.
Wahab Hasbullah. Selama belajar di pesantren ini, ia diberi kepercayaan untuk ikut
mengajar dan menjadi kepala sekolahnya. Selama nyantri di Tambak Beras ia juga
masih rajin bersilaturahmi ke Krapyak, ke kediaman K.H. Ali Ma’sum. Pada masa
inilah, antara akhir tahun 1950 hingga 1963, Gus Dur mendalami studi tentang Islam
dan sastra klasik. Studi ini tergantung dengan daya ingatan yang memang telah
dimiliki oleh Gus Dur, walaupun ia juga dikenal sebagai sosok yang malas dan
kurang disiplin dalam studi formalnya.
Pada tahun 1960 bertepatan dengan umurnya 23 tahun, Gus Dur mendapat
kesempatan belajar ke Universitas al-Azhar Mesir melalui beasiswa dari Departemen
2
Greg Barton, Bografi gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Di Terjemahkan
(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2002), Cet. VIII, hlm. 25
3
Mujamil Qomar, NU “Liberal”: dari Tradisionalisme Ahlussunah ke Universalisme Islam (Bandung:
Mizan, 2002), h. 165.
4
Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 49.
Agama. Universitas al-Azhar adalah universitas tertua di dunia yang sudah berusia
ribuan tahun. Al-Azhar adalah salah satu pusat dari sejumlah ide yang sangat modern
dari dunia Islam. Di bawah pimpinan Muhammad Abduh, salah seorang perintis
modernisasi Islam, ide-ide pembaruannya diperkenalkan di Indonesia oleh mereka
yang belajar di Universitas al-Azhar. Setelah berdiam diri selama satu tahun di Mesir,
Gus Dur mendapat pekerjaan tetap di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Melalui
pekerjaannya ini Gus Dur mendapat kesempatan untuk bergaul dengan banyak
kalangan serta banyak mendapat berita-berita terbaru dari Indonesia.
Namun, setelah 7 tahun di Mesir ia merasa tidak betah, karena menurutnya
ilmu yang dipelajari sama dengan apa yang didapat di pesantren di Indonesia.
Akhirnya ia pindah ke Bagdad, kota seribu satu malam, untuk melanjutkan studi pada
Fakultas Sastra. Di Universitas Bagdad inilah ia bisa mengembangkan pemikiran
intelektualnya. Ia bisa membaca banyak karya peneliti besar seperti Emile Durkheim
dan para peneliti Barat lainnya. Di universitas ini pula ia diminta untuk menulis asal
usul Islam di Indonesia.5
Selama dua tahun di Bagdad, Gus Dur memfokuskan diri pada riset mengenai
sejarah Indonesia. Ia kemudian banyak membaca literatur tentang Islam dan
Indonesia yang ternyata banyak ditemukan di perpustakaan di Bagdad, baik yang
ditulis para orientalis maupun oleh orang Indonesia sendiri. Dengan memanfaatkan
sumber-sumber yang ada, Gus Dur berhasil menyelesaikan penelitiannya dengan
baik. Selama di Bagdad Gus Dur banyak tertarik pada pemikiran-pemikiran kritis,
baik dari ilmuwan muslim maupun non-muslim. Ia sangat mengagumi Paul Tillich,
seorang teolog Kristen yang masyhur, renungan filsafat Muhammad Abduh, dan
pemikiran Hassan Hanafi. Di antara pemikir tersebut, yang paling dihormati adalah
Mohamed Arkoun, yang mencoba melihat Islam secara utuh. Di samping itu, dalam
bidang tasawuf, Gus Dur juga sangat mengagumi al-Gazali, melalui karya
monumentalnya yaitu Ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Pada pertengahan 1971 Gus Dur kembali ke Indonesia. Ia kemudian diminta
oleh yayasan keluarga untuk menjadi Dekan pada Fakultas Ushuluddin Universitas
Hasyim Asy’ari Jombang hingga tahun 1974. Tahun 1976 ia banyak diminta untuk
menjadi tenaga konsultan di beberapa departemen dan instansi, antara lain
Departemen Koperasi, Departemen Agama, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), dan beberapa lembaga swadaya
masyarakat (LSM), baik di dalam maupun di luar negeri. Pada tahun 1983 ia pernah
menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Pada tahun 1984 ia terpilih menjadi Ketua
Umum PBNU. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1986, ia dipercaya menjadi
Ketua Festival Film Indonesia (FFI) dan anggota Dewan Pers Nasional.
Pada Muktamar NU Ke-19 di Krapyak, Yogyakarta, ia kembali terpilih
menjadi Ketua Umum PBNU untuk yang kedua kalinya. Kemudian pada Muktamar
NU Ke-20 di Cipasung, Tasikmalaya pada tahun 1995, ia terpilih untuk yang ketiga
kalinya sebagai Ketua Umum PBNU setelah mengalahkan Abu Hasan yang didukung
5
Mujamil Qomar, NU “Liberal”, h. 166.
oleh pemerintahan Soeharto. Gus Dur juga sering menjadi narasumber dalam
seminar, baik di tingkat nasional maupun internasional. Pada 13 Agustus 1993, Gus
Dur bersama 4 warga Asia lainnya (Noburu Imamuru dari Jepang, Bano Coyaji dari
India, Vo-Tong Xuan dari Vietnam, dan Brienvinido Lumberra dari Filipina)
menerima hadiah Ramon Magsaysay di Manila, Filipina. Penghargaan itu diberikan
berdasarkan keterlibatannya yang besar dalam upaya menumbuhkan toleransi agama
di Indonesia. Pada 9 November 1994, Konferensi Sedunia Tentang Agama dan
Kemanusiaan (World Conference on Relegion and Peace) yang bertempat di Rivadel
Garda, Italia Utara memutuskan mengangkat Gus Dur sebagai salah satu
presidennya.6
Rabu, 30 Desember 2009 Gus Dur wafat di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusomo Jakarta setelah dirawat beberapa hari karena sakit dan dimakamkan
di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, Tawa Timur. Gus Dur wafat dalam usia
69 tahun, dengan meninggalkan satu orang istri, Sinta Nuriyah, dan 4 orang putri,
Alissa Qotrunada Munawaroh (Lissa), Zanuba Arifah Khafsoh (Yenny), Anita
Hayyatunnufus (Nita), dan Inayah Wulandari (Ina). Kepulangan Gus Dur menyisakan
duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia, karena kehilangan tokoh agama,
pejuang demokrasi, pemimpin politik, pembela kaum minoritas, pengusung hak asasi,
pahlawan pluralisme, penganjur perdamaian, dan penentang kekerasan. Semua
karyanya dijalaninya dengan sepenuh hati sebagai panggilan hidup, sekaligus sebagai
perwujudan keyakinan dan nuraninya. Dalam memperjuangkan prinsip hidup, Gus
Dur tidak pernah ragu-ragu, tegas, tanpa kehilangan rasa humor yang tertinggi. Ia
dikenal sebagai sosok yang humoris dengan ucapannya yang sangat terkenal ‘gitu aja
kok repot’. Kini bangsa Indonesia kehilangan sosok pemersatu dan pembela kaum
minoritas.

2. Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid.


Pembaharuan pemikiran dalam Islam tidak harus diartikan sebagai upaya
menjadikan kultur barat sebagai sumber inspirasi dalam membangun masyarakat
tanpa sikap kritis. Upaya memahami kembali sumber ajaran Islam untuk memberikan
jawaban terhadap tuntutan kehidupan sosial dengan melihat kaitannya dengan budaya
modernitas yang berkembang. Walaupun secara akulturasi budaya, modernisasi
digambarkan sebagai proses meminjam dari barat. Kemudian hal ini tidak semua
dijadikan sebagai ukuran bahwa nilai-nilai, gagasan-gagasan, dan lembaga-lembaga
di dunia muslim harus mengikuti perkembangan yang terjadi di Barat. Dalam kontek
Ke-Indonesiaan, Islam sebagai agama yang secara sosiologis dianut oleh mayoritas
masyarakat tidak luput dari pergumulan dengan modernitas sehingga perlu
kontekstulisasi nilai-nilai Islam secara kultural.
K.H. Abdurrahman Wahid memiliki pola pemikiran dan gerakan tersendiri
dalam melakukan pencerahan terhadap masyarakat Islam dalam konteks bagaimana
umat Islam menghadapi peradaban global akibat dampak modernisasi dan globalisasi
6
Ibid., h. 167.
yang telah menghadirkan banyak tawaran dalam kehidupan umat beragama. Clifford
Geertz mengungkapkan bahwa tawaran itu muncul dalam dua wajah, yaitu
sekularisme pemikiran dan ideologisasi agama. Pemikiran besar Gus Dur seperti
pluralisme, multikulturalisme, dan sekulerisme menjadi bahan perdebatan di kalangan
umat Islam. Bahkan MUI dalam fatwanya mengecam ide sekularisme, pluralisme,
dan liberalisme dengan menyatakan bahwa pemikiran tersebut bertentangan dengan
agama Islam. Pluralisme agama adalah sebuah paham yang mendoktrinkan bahwa
semua agama sama dan oleh karena itu, kebenaran setiap agama adalah relatif.
Sedangkan liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama dengan
menggunakan akal pikiran yang bebas dan hanya menerima doktrin-doktrin agama
yang sesuai dengan akal pikiran semata. Sekularisme adalah memisahkan urusan
dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan tuhan,
sedangkan hubungan antar sesama manusia diatur dengan berdasarkan kesepakatan
sosial.
Karya dari K.H. Abdurrahman Wahid meliputi: Bunga Rampai Pesantren,
Muslim di Tengah Pergumulan, Prisma pemikiran Gus Dur, Mengurai hubungan
agama dan negara. Dalam hubungan Islam dan negara, Gus Dur menjelaskan bahwa
Islam tidak mengenal doktrin tentang negara. Doktrin Islam tentang negara adalah
doktrin tentang keadilan dan kemasyarakatan. Dalam pembukaan UUD 1945 terdapat
doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Tidak ada doktrin yang menyatakan
bahwa negara harus berbentuk formalisme negara Islam, demikian pula dalam
pelaksanaan hal-hal kenegaraan. Bagi Gus Dur negara adalah al-Hukm (hukum atau
aturan).
Menurut Gus Dur Islam tidak perlu diformalkan dalam kehidupan bernegara.
Cukup apabila warga negaranya memperjuangkan sumbangan dan peranan Islam
secara informal dalam pengembangan demokrasi. Pemikiran Gus Dur tersebut sejalan
dengan Pemikiran Qamaruddin Khan, Dosen Universitas Karachi, yang mengatakan
bahwa tujuan Al-Qur’an bukanlah menciptakan sebuah negara melainkan sebuah
masyarakat, sehingga tidak adanya bentuk negara yang baku dalam Islam membawa
hikmah tersendiri. Oleh karena itu, apa pun bentuk serta wujud suatu negara jika di
dalamnya terbentuk sebuah masyarakat Qur’ani, maka itu pun sudah merupakan
tanda-tanda negara Islam.7Tidak adanya penjelasan resmi tentang negara
memungkinkan Islam untuk mengikuti kemajuan zaman dan menyesuaikan diri
terhadap kondisi dan lingkungan, tempat ia tumbuh dan berkembang. Keinginan Gus
Dur untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi dan acuan formal dalam
bernegara sejalan dengan keinginan sebagian besar warga negara yang mayoritas
Islam. Tampak bahwa Gus Dur tidak menformalkan Islam dalam memperjuangkan
Islam dalam negara yang bukan berasaskan Islam.8

7
Ashgar Ali Enginer, Devolusi Negara Islam, terj. Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
h. 59.
8
Abdurrahman Wahid, “Mencari Sintesa Agama-Negara” dalam YB. Sudarmanto, dkk, H. Mathori
Abdul Jalil, Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa (Jakarta: PT. Grasindo, 1999), h. XIV-XV.
Hal ini juga sesuai dengan perjuangan pluralisme Gus Dur. Akan tetapi asas
tunggal sudah tidak berlaku lagi, maka perjuangan pluralisme yang lain yang
diusahakan Gus Dur adalah perjuangan pluralitas agama. Perjuangan pluralitas agama
yaitu tidak bersikap diskriminatif terhadap agama selain Islam. Dalam negeri yang
plural seperti Indonesia, harus diberi kesempatan menjalankan dan mengamalkan
syariat agamanya sesuai keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Kenyataan
di atas bukan berarti bahwa bangsa Indonesia sebagian besar berpaham sekuler dalam
arti hendak memisahkan urusan agama dari negara tetapi tidak lebih pada keadaan
kemajemukan latar belakang agama, budaya, suku, dan kelompok.
Bahkan jika Indonesia menjadi negara Islam dan Islam diterima sebagai dasar
negara, akan terjadi perpecahan di kalangan rakyat Indonesia karena tidak seluruh
rakyat Indonesia beragama Islam. Berdasarkan pemikiran di atas, NU adalah
organisasi Islam pertama yang menerima kehadiran Pancasila sebagai ideologi
negara. Gus Dur dengan penuh keyakinan menjelaskan bahwa negara yang
berideologi Pancasila termasuk negara damai yang harus dipertahankan, karena
syariah dalam bentuk hukum agama, fiqh, atau etika masyarakat masih dilaksanakan
oleh kaum muslimin di dalamnya sekalipun hal itu tidak diikuti dengan legislasi
dalam bentuk undang-undang negara. Dalam pemikirannya, ia melihat besarnya
hambatan dalam proses pembangunan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman yang
sangat besar terhadap ideologi-ideologi negara yang sedang berkembang. 9Upaya Gus
Dur ini tidak lepas dari peran bapaknya sebagai perumus konsep kenegaraan. Gus
Dur menambahkan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme.
Islam bisa berkembang secara spritual dalam sebuah negara nasional yang
tidak secara formal berdasarkan pada Islam. Dari penjelasan Gus Dur di atas, lantas
muncul pertanyaan di mana peranan agama dalam perkara kenegaraan dan politik?
Untuk hal ini Gus Dur secara tegas menggarisbawahi peranan agama sebagai etika
sosial yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara.
Memaksakan Islam pada fungsi suplementer dalam negara hanya akan menjadikan
Islam lepas dari nilai-nilai fundamentalnya yang kondusif bagi tegaknya keadilan,
egalitarianisme dan demokrasi.10 Islam berfungsi dalam kehidupan bangsa dalam dua
bentuk. Pertama adalah akhlaq masyarakat (etika sosial) warga masyarakat,
sedangkan bentuk kedua adalah partikel-partikel dirinya yang dapat diundangkan
melalui proses konsensus (Undang-Undang seperti Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan agama No.7 Tahun 1989).
Dalam menjelaskan hubungan agama dengan negara, Gus Dur seringkali
menghubungkan antara agama (Islam) dengan Pancasila. Hampir semua tulisan Gus
Dur menegaskan bahwa pentingnya pemisahan antara Islam sebagai agama dan
Pancasila sebagai ideologi negara. Gus Dur meletakkan Pancasila sebagai landasan
konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi

9
KH. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999),h. 2.
10
Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Pancasila, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999),h. 130.
aqidah dalam kehidupan kaum muslimin, dan bahwa antara ideologi sebagai landasan
konstitusional tidak dipertentangkan dengan agama, tidak mencari penggantinya dan
tidak diperlakukan sebagai agama. Pancasila menurut Gus Dur juga sering
diselewengkan oleh pihak penguasa.
Untuk hal ini Gus Dur berargumen bahwa: “Pancasila adalah serangkaian
prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide-ide yang baik tentang hidup
bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang
murni dengan jiwa raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tak jarang dikebiri
atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam.”11
Pernyataan loyalitas Gus Dur dan NU sebagai organisasi yang dipimpinnya
terhadap Pancasila dan UUD 1945 dapat dilihat sebagai sebuah keprihatinan terhadap
Pancasila. Permasalahannya adalah dimana pancasila yang makin diterjemahkan
secara bebas dan atas nama demokratisasi padahal menginjak-injak pancasila.
Perdebatan tentang eksistensi pancasila secara garis besar berupaya mempengaruhi
substansi dari perdebatan politik nasional. Dengan menjadikan term negara, agama,
dan pancasila sebagai wahana menyatakan pikiran-pikiran dan pesan-pesannya. Gus
Dur ingin membedakan dirinya dengan pihak lain yang memilih Islam untuk tujuan
yang sama.

C. Kesimpulan
K.H. Abdurrahman Wahid, panggilan Gus Dur semasa hidupnya adalah sosok
yang sangat unik dan nyleneh. Gus Dur sebagai cendikiawan yang lahir dan besar
dari kalangan Nahdlyyin dan besar di Indonesia yang memiliki corak pemikiran
inklusif, terbuka menerima pemikiran dari Barat dan Islam, bahkan karena pengaruh
pendidikan, dan kegemarannya dalam mengkaji pemikiran modern ia terkadang
terkesan liberal. Diantara inklusivitas pemikirannya, Gus Dur memandang perlu
untuk dilakukan pribumisasi ajaran Islam dengan cara memahami Islam dalam kontek
budaya Indonesia. Dengan cara memasukkan unsur budaya lokal dalam memahami
nash dan hadist sebagai sumber ajaran Islam. Dalam kehidupan beragama ia
mendambakan kehidupan beragama yang damai, saling menghormati. Dimana setiap
umat meyakini agamanya dengan ketulusan hati. Sebab hanya dengan keberagamaan
yang tulus terletak makna keberagamaan yang hakiki.
Gus Dur menolak keinginan dari sebagian muslim Indonesia yang
menghendaki Islam menjadi undang-undang atau hukum negara. Meskipun sebagian
besar penduduk Indonesia beragama Islam. Menurutnya, Islam cukup menjadi etika
dalam bernegara. Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sangat inspiratif dalam
menyelesaikan berbagai problem keagamaan dan kebangsaan yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia. Baginya, doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang
keadilan dan kemasyarakatan.

11
Douglas E. Ramage "Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila Dan Penerapannya"
dalam Ellyasa KH. Dharwis, Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 101.
Untuk itu, ideologi yang relevan bagi Indonesia adalah ideologi pancasila.
Ideologi pancasila adalah seperangkat ide yang menentukan keyakinan dan cara
berpikir untuk mewujudkan suatu tujuan dengan berlandaskan pada lima sila dalam
pancasila. Perdebatan tentang eksistensi pancasila secara garis besar berupaya
mempengaruhi substansi dari perdebatan politik nasional. Demokrasi harus
diperjuangkan secara sistemik, kultural dan kontinyu tanpa radikalisme. Gus Dur
ingin membedakan dirinya dengan pihak lain yang memilih Islam untuk tujuan yang
sama.

Daftar Pustaka

Abdallah, Ulil Abshar. “Kyai 'Mbeling' Jadi Presiden". Tempo. 31 Oktober


1999.

Greg Barton, Bografi gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman


Wahid, Di Terjemahkan (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2002), Cet. VIII

Mujamil Qomar, NU “Liberal”: dari Tradisionalisme Ahlussunah ke


Universalisme Islam , Bandung: Mizan, 2002.

Enginer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam terj. Imam Muttaqin.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Wahid, Abdurrahman. “Mencari Sintesa Agama-Negara” dalam Sudarmanto,


YB (dkk). H. Mathori Abdul Jalil, Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa. Jakarta: PT.
Grasindo, 1999.

Wahid, Abdurrahman. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LkiS, 1999.

Masdar, Umaruddin. Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang
Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Ramage, Douglas E. "Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila


Dan Penerapannya" dalam Dharwis, Ellyasa KH. Gus Dur, NU, dan Masyarakat
Sipil. Yogyakarta: LkiS, 1997

M. Hamid, Gus Ger Bapak Pluralisme & Guru Bangsa,(Yogyakarta: Penerbit


Pustaka Marwa 2010), Cet. I

Syamsul Bakri, Mudhofir, Jombang-Kairo, jombang Chicago, Sintesis


Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia, (Solo: Tiga
Serangkai, 2004)

Anda mungkin juga menyukai