Anda di halaman 1dari 8

Kelompok 5 :

Eki Puji Prasetia

Enen Dian Nurfadillah

Fuza Fauzia

Nendensari Panggalih

Sandria Noviansyah

Model Penelitian Fiqih (Hukum)

A. Pengertian Dan Karkteristik Hukum Islam

Pengertian hukum Islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariah. Untuk itu
dalam pengertian hukum Islam di sini dimaksudkan di dalamnya pengertian syariat. Dalam
kaitan ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau fiqih adalah dengan
syariat—yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash
Alquran atau Al-Sunnah. Bila ada nash dari Alquran atau Al-Sunnah yang berhubungan
dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber-sumber yang lain, bila tidak
ada nash dari Alquran atau Al-Sunnah, dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan Ilmu
Fiqih. Dengan demikian yang disebut Ilmu Fiqih adalah sekelompok hukum tentang amal
perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Yang dimaksud dengan amal perbuatan manusia ialah segala amal perbuatan orang
mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadat, muamalat, kepidanaan dan sebagainya ;
bukan yang berhubungan dengan akidah (kepercayaan). Sebab yang terakhir ini termasuk
dalam pembahasan Ilmu Kalam. Adapaun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci
ialah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hukum tertentu.

Berdasarkan batasan tersebut di atas sebenarnya dapat dibedakan antara syariah dan
Hukum Islsm atau Fiqih. Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakannya.
Jika syariat didasarkan pada pada nash Alquran atau Al-Sunnah secara langsung, tanpa
memerlukan penalaran; sedangkan hukum Islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun
oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang
terdapat dalam syariat.
B. Model-model Penelitian Hukum Islam (Fiqih)
1. Model Harun Nasution

Sebagai Guru Besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam, Harun Nasution juga
mempunyai perhatian terhadap hukum Islam. Penelitiannya dalam bidang hukum Islam ini ia
tuangkan secra rinkas dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jili II. Melalui
penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum
Islam dengan menggunkan pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil
mendeskripsikan struktur hukum Islam secara komprehensif, yaitu mulai dari kajian terhada
ayat-ayat hukum yang ada dalam Alquran, latar belakang dan sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam dari sejak zaman nabi sampai dengan sekarang, lengkap dengan
beberapa mazhab yang ada di dalamnya berikut sumber hukum yang digunakannya serta latar
belakang timbulnya perbedaan pendapat.

Dengan membaca hasil penelitiannya itu pembaca akan memperoleh informasi tentang
jumlah ayat Alquran yang berkaitan dengan hukum, yang jumlahnya 368 ayat, dan 228 ayat
atau 3 1/5 persen merupakan ayat yang mengungkapkan soal kehidupan kemasyarakatan
umat, yaitu ayat yang berkaitan dengan hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak
waris dan sebagainya; ayat-ayat mengenai perdagangan, perekonomian, jual beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dan sebagainya; ayat-ayat tentang
kriminal, mengenai hubungan Islam dan bukan Islam, soal pengadilan, hubungan kaya dan
miskin serta mengenai soal kenegaraan.

Selanjutnya, melalui pendekatan kesejarahan Harun Nasution membagi perkembangan


hukum Islam ke dalam 4 periode, yaitu periode nabi, periode sahabat, periode ijtihad serta
kemajuan dan periode taklid serta kemunduran.

Harun Nasution melaporkan bahwa di periode nabi, karena segala persoalan


dikembalikan kepada nabi untuk menyelesaikannya, nabilah yang menjadi satu-satunya
sumber hukum. Secara langsung pembuat hukum adalah nabi, tetapi secara tidak langsung
Tuhanlah pembuat hukum, karena hukum yang dikeluarkan nabi bersumber pada wahyu dari
Tuhan. Nabi sebenarnya bertugas menyampaikan dan melaksanakan hukum yang ditentukan
Tuah. Sumber hukum yang ditinggalkan nabi untuk zaman-zaman sesudahnya ialah Alquran
dan Sunnah Nabi.
Selanjutnya pada periode ini, karena daerah yang dikuasai Islam bertambah luas dan
termasuk ke dalamnya daerah di luar Semenanjung Arab yang telah mempunyai kebudayaan
tinggi dan susunan masyarakat yang bukan sederhana dibandingkan dengan masyarakat Arab
ketika itu, sering dijumapi berbagi persoalan hukum. Untuk ini para sahabat disamping
berpegang kepada Alquran dan Al-Sunnah juga kepada sunnah para sahabat.

Periode ijtihad yang disamakan oleh Harun Nasution sebagai periode kemajuan Islam I
(700-1000 M.), problema hukum yang dihadapi semakin beragam sebagai akibat dari
semakin bertambahnya daerah Islam dengan berbagai macam bangsa masuk Islam dengan
membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan. Dalam kaitan ini
maka muncullah ahli-ahli hukum mujtahid yang disebut imam atau faqih (fuqaha) dalam
Islam, dan pemuka-pemuka hukum ini mempunyai murid. Pada masa inilah timbulnya empat
mazhab dalam hukum Islam, yaitu Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad Ibn
Hambal.

Dalam pendapat hukumnya Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum yang
ada di Kufah yang letaknya jauh dari Madinah sebagai pusat kegiatan dakwah Rasulullah dan
tempat tumbuhnya Al-Sunnah. Dalam keadaan demikian Abu Hanifah banyak
mempergunakan rasio. Sumber hukum Islam yang ia gunakan adalah Alquran, Al-Sunnah, al-
ra’yu, qiyas, istihsan, dan syariat sebelum Islam yang masih sejalan dengan Alquran dan Al-
Sunnah. Mazhab ini sekarang banyak dianut di Turki, Suria, Afghanistan, Turkistan, dan
India, dan yang memakainya secara resmi adalah Suria, Lebanon, dan Mesir.

Sementara itu Imam Malik yang tinggal di Madinah sebagai pusat dakwah Rasulullah dan
tempat beredarnya hadis, serta masyarakatnya tidak semaju dibandingkan dengan masyarakat
Kufah yang dihadap Imam Malik, nampak tidak sulit mendapatkan hadis guna memecahkan
berbagai masalah. Untuk ini ia menggunakan sumber hukum berupa Alquran, Al-Sunnah,
qiyas, al-masalih al-mursalah, yaitu maslahat umum. Mazhab ini banyak dianut di Hejaz,
Maroko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait.

Selanjutnya Imam Syafi’i yang pernah berguru pada Abu Hanifah dan pada Imam Malik
serta pernah tinggal di berbagai kota seperti Kufah, Mesir, Madinah, dan Makkah tentu
menghadapi permasalahan yang berlainan lagi. Dalam kaitan pemecahan masalah yang
dihadapi, Imam Syafi’i berpegang pada lima sumber hukum Islam, yaitu Alquran, Al-
Sunnah, ijma’ (konsensus), pendapat sebagian sahabat yang tidak diketahui adanya
perselisihan mereka di dalamnya, pendapat yang di dalamnya terdapat perselisihan, serta
qiyas. Mazhab ini banyak dianut di daerah pedesaan Mesir, Palestina, Suria, Libanon, Irak,
Hejaz, India, Indonesia, dan juga di Persia dan Yaman.

Selanjutnya Ahmad Ibn Hambal yang lahir di Bagdad pada tahun 780 M dan bersal dari
keturunan Arab, selain dikenal sebagai ahli hadis juga sebagai ahli fiqih. Di antara gurunya
adalah Abu Yusuf dan Imam Syafi’i. Dalam pemikiran hukumnya Ahmad bin Hambal
memakai 5 sumber, yaitu Alquran, sunnah, pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat
tantangan dari sahabat lain, pendapat seorang atau beberapa sahabat, dengn syarat sesuai
dengan Alquran serta sunnah, hadis mursal, dan qiyaas dalam keadaan terpaksa.

Jika berbagai sumber hukum Islam dari lima mazhab tersebut disatukan antara satu dan
lainnya, maka sumber hukum Islam itu meliputi Alquran, Al-Hadis, pendappat para sahabat,
qiyas, istihsan, maslahat mursalah atau muslahat al-ummah, dan syariat sebelum Islam.

2. Model Noel J. Coulson

Hasil penelitiannya itu dituangkan dalam tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan
tentang terbentuknya hukum syariat, yang di dalamnya dibahas tentang legalisasi Al-quran,
praktek hukum di abad pertama Islam, akar yurisprudensi sebagai mazhab pertama, Imam
Syafi’i, Bapak Yurisprudensi dan menjelang kemandegan. Bagian kedua, berbicara tentang
pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Di dalamnya dibahas tentang teori
hukum klasik, antara kesatuan dan keragaman, dampak aliran dalam sistem hukum,
pemerintahan Islam dan hukum syariat, masyarakat Islam dan hukum syariat. Bagian ketiga,
berbicara tentang hukum Islam di masa modern yang di dalamnya dibahas tentang
penyerapan hukum Eropa, hukum syariat kontemporer, taklid dan pembaharuan hukum serta
neo ijtihad.

3. Model Mohammad Atho Mudzhar

Penelitian disertasinya itu berjudul Fatwas of The Council of Indonesia Ulama A Study of
Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Pada bagian pendahuluannya penulis
disertasi tersebut menjelaskan metode penelitian yang digunakannya.

Tujuan dari penelitian yang dilakukannya adalah untuk mengetahui materi fatwa yang
dikemukakan Majelis Ulama Indonesia serta latar belakang sosial politik yang
melatarbelakangi timbulnya fatwa tersebut. Penelitian ini bertolak dari suatu asumsi bahwa
produk fatwa yang dikeluarkan MUI selalu dipengaruhi oleh setting sosio kultural dan sosio
politik, serta fungi dan status yang harus dimainkan oleh lembaga tersebut. Produk-produk
fatwa MUI yang ditelitinya adalah terjadi di sekitar tahun 1975 sampai dengan 1988 pada
saat Menteri Agama dijabat oleh A.Mukti Ali (1972-1978), Alamsyah Ratu Perwiranegara
(1978-1983), dan Munawir Sjadzali (1983-1988). Sementara itu Ketua MUI dijabat oleh K.H.
Hasan Basri.

Penelitian tersebut bermanfaat dalam upaya membuka pikiran dan pandangan para ulama
fiqih di Indonesia yang cenderung kurang berani mengeluarkan fatwa, atau kurang produktif
dalam menjawab berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat sebagai akibat dari
kekurangpahaman dalam memahami situasi yang berkembang dan bagaimana memanfaatkan
situasi tersebut dalam rangka melahirkan produk hukum.

Model Penelitian Politik

1. Pengertian Politik

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminta, politik di


artikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-
dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan
(kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap
negara lain.

Dalam bahasa arab, kata politik biasanya al-siyasah dan daulah. Kata siyasah dijumpai
dalam bidang kajian hukum, ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam fiqih dikenal
adanya ulasan tentang fiqih siyasah. Sedangkan kata daulah pada mulanya dalam al-quran
digunakan untuk kasus penguasaan harta dikalangan orang-orang kaya, yaitu bahwa dengan
zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya diputar pada tangan-tangan orang kaya saja.
Karena menurut sifatnya harta tersebut harus digilir atau berputar, dan tidak hanya dikuasai
oleh orang kaya . kata daulah tersebut digunakan untuk masalah politik yang sifatnya
berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan
dalam memutuskan perkara dalam kehidupan. Namun dalam perkembangan sejarah
menggunakan kata siyasah dan kata-kata lain untuk pengertian pengaturan masalah
kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lain yang terkai dengannya.

2. Eksistensi Politik Dalam Islam

Dikalangan masyarakat islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah politik
dengan agama. Hal ini antara lain di sebabkan Karena pemahaman yang kurang utuh terhadap
cakupan ajaran islam itu sendiri.

Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik selanjutnya dapat diikuti dari uraian yang
di berikan harun Nasutian dalam bukunya Islam ditinjau Dari berbagai Aspeknya Jilid II.
Dalam buku tersebut Harun Nasution malah menegaskan bahwa persoalan yang pertama-
tama timbul dalam islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan
persoalan politik. ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam berada di
madinah,beliau tidak hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat
Kepala negara,dan sebagai kepala negara,setelah beliau wafat mesti diganti oleh orang lain
untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Para peneliti sejarah politik ada yang
mengkategorikan bahwa corak politik yang di terapkan oleh nabi Muhammad adalah corak
teo demokratis,yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap persoalan
terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan. Hal
ini di mungkinkan karena pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam wahyu
masih dalam proses turunnya.

3. Model-model Penelitian Poltik

Menurut Alfian, permasalahan politik dapat dikaji melalui berbagai macam pendeketan.
Ia dapat di pelajari dari sudut kekuasaan, struktur politik, partisipasi politik, komunikasi
politik, konstitusi, pendekatan dan sosialisasi politik, pemikiran politik, dan juga kebudayaan
politik.

Memahami berbagai pendekatan dalam memahami politik ini diperlukan, selain sebagai
alat untuk melakukan kajian, juga untuk melakukan analisa terhadap model penelitian yang
kita lakukan dan yang dilakukan oleh orang lain. Berikut ini akan di sajikan model penelitian
politik yang dilakukan oleh M. Syafi’I Ma’arif dan Harry J.benda.

a. Model M. Sykaitan syafi’i Ma’arif


Salah satu hasil penelitian bidang politik yang dilakukan Syafi’I Ma’arif tertuang dalam
bukunya berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan, yang di terbitkan oleh LP3ES Jakarta,
tahun 1985. Pada bagian pendahuluan laporan hasil penelitiannya itu, Syaf’i Ma’arif
mengemukakan substansi ajaran Al-qur’an mengenai ketatanegaraan. Dalam kaitan ini ia
mengatakan jika perkembangan social keagamaan berlanjut menurut arah ini, usaha
intelektual yang sungguh-sungguh dalam menjelaskan dan mensistematisasikan brbagai
aspek ajaran islam mutlak perlu digalakkan agar umat islam punya kemampuan menghadapi
dan memecahkan masalah-masalah modern yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia,
seperti kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, pertumbuhan penduduk, pendidikan,
perkembangan politik, dan yang sangat mendesak adalah masalah keadilan sosio-ekonomi.

Dengan mengikuti pandangan ini, menurutnya, studi Alquran secara mendalam dan
sistematik menjadi sangat mutlak diperlukan. Tanpa kerja strategis ini, bangunan sosio politik
islam akan tetap goyang, dan tanpa formulasi yang jelas tentang pandangan dunia menurut
Alquran, barangkali sedikit faedahnya bagi orang yang membicarakan rekonstruksisosial
umat islam. Perkataan umat Islam dalam kaitan ini menurutnya sebagai sebuah masyarakat
Islam yang anggotanya-anggotanya terdiri dari mereka yang berorientasi Islam atau mereka
yang memegang Islam sebagai cara hidup. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fred R. Von der
Mehden yang mengatakan bahwa sekitar 90 persen rakyat Indonesia adalah Muslim,tetapi
sengat berbeda dalam iman dan cara hidup. Yang paling menonjol dalam jumlah dan
kekuasaan politik adalah orang-orang Muslim abangan, terutama yang berdiam di pulau Jawa
dan sangat di pengaruhi mistik jawa dan pengaruh Hindu Budha yang tidak tampak.
Menurutnya sebagian besar angkatan bersenjata yang memerintah Indonesia sejak akhir
1960-an berasal dari golongan masyarakat ini, sebagai satu unsure penting dari birokrasi
negara.

b. Model Harry J. Benda

Penelitian di bidang politik dengan menggunakan pendekatan historis normative


dilakukan pula oleh Harry J. Benda, penelitian tersebut berusaha mencari informasi dari
sumber-sumber sesudah perang, dalam usaha untuk menguji dan memperbaiki gambaran
yang telah muncul dari studi catatan-catatan masa pendudukan. Menurutnya berbeda dengan
periode kolonialisme Belanda, pendudukan jepang jepang di Indonesia pada umunya, dan
perkembangan Islam selam tahun-tahun tersebut khususnya, sejauh ini sangat tidak mendapat
perhatian dari kalangan penulis-penulis Indonesia lainnya.
Sejalan dengan upaya tersebut maka penelitian yang ia lakukan di buat untuk memberikan
analisa sosio-historis tentang elite islam, dan dalam jangkuan yang lebih kecil, tentang elite-
elite nonreligius yang bersaing di panggung politik Indonesia di bawah kekuasaan asing.
Karenanya penelitian tersebut di arahkan pada tempat-tempat yang di berikan kepada para
pemimpin masyarakat islam oleh tuan penjajah berturut-turut dan konstelasi kekuasaan yang
terpencar darinya yang melibatkan para pemimpin islam, aristocrat Indonesia, dan tokoh-
tokoh pergerakan nasionalis Indonesia sekuler di abad ini.

Di lihat dari segi cakupannya, secara garis besar penelitian ini membahas perkembangan
islam di pulau jawa saja. Batasan ruang lingkup yang patut di sesalkan ini sebagian besar di
tentukan oleh sumber-sumber bahan yang di peroleh. Terutama bagi masa jepang, catatan-
catatan tertulis dari pulau-pulau lain, dengan berbagia pengecualian kecil, tidak dapat di
peroleh peneliti. Sedangkan efek-efek dari masa pendudukan jepang Islam Indonesia di Aceh,
salah satu daerah Islam di Sumatra yang kokoh keislamnya, telah menjadi pembahasan yang
sangat bagus dari monograf belanda, nasib masyarakat Islam di daerah-daerah lain di
nusantara, terutama di Daerah Pantai barat Sumatra yang penting itu, masih harus di pelajari
secara terperinci.

Bagian pertama, peneliti memasukkan referensi singkat tentang wilayah tersebut, dimana
hal ini kelihatnnya sesuai untuk memperbandingkan dan mempertentangkannya dengan
situasi di jawa, tetapi sayangnya peneliti tidak sanggunp melakukan penelitian bagian ini
kedalam zaman jepang.

Selanjutnya dikatakan dalam buku tersebut, karna aspek politik islam Indonesia
merupakan pokok utama dalam buku tersebut, generalisasi tidak dapat dihindarkan.
Pembahasan seperti ini terpaksa tidak memprdulikan adanya perbedaan regional yang
meliputi Islam bahkan dalam konteks terbatas di pulau jawa, dimana cabang-cabang
politiknya, teristimewa di karesidenan banten di jawa barat, dinilai harus mendapatkan
perhatian tersendiri.

Di antara kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tersebut adalah meskipun Islam di
daerah lain tak dapat disangkal telah memainkan peranan utama di dalam perkembangan
politik Indonesia, di jawa –menurut Benda- telah mendapatkan perwujudan organisatoris
paling penting. Di sanalah juga, kelompok-kelompok islam paling langsung terlibat dalam
membentuk politik Indonesia pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai