Anda di halaman 1dari 27

Biografi Nurcholis Madjid

Nurcholis Madjid ataupun yang akrab dengan sapaan Cak


Nur, lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M
bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H dari keluarga kalangan
pesantren. Nurcholis Madjid dibesarkan dilingkungan keluarga
kiai terpandang. Ayahnya bernama KH. Abdul Madjid, seorang
ulama terkemuka di kalangan NU. Pendidikan yang ditempuh
Nurcholis Madjid dimulai sejak Sekolah Rakyat dan Madrasah
Ibtidaiyah Pesantren Darul-ulum, kemudian melanjutkan jenjeng
pendidikannya di Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyah (KMI)
Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Setelah
itu ia melanjutkan studinya ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Jurusan Sastra Arab
dan tamat pada tahun 1968.
Selama menjalani aktifitas kemahasiswaannya, Nurcholis
Madjid aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Diantaranya
adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan sekaligus pernah
menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI selama dua
periode sejak 1966-1969 dan 1969-1971). Pada tahun 1967-1969, ia
menjadi Presiden Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Sekretaris
Jenderal International Islamic Federation of Students
Organizations tahun 1969-1971. Sejak 1978 ia melanjutkan
studinya di University of Chicago USA dan meraih gelar Doktor
(Ph.D Study Agama Islam) pada tahun 1984 dengan disertasi
berjudul Ibn Taimiyah on Kalam and Falsafah: Problem of Reason
and Revelation in Islam, (Ibn Taimiyah Tentang Kalam dan
Filsafat: Suatu Persoalan Hubungan Antara Akal dan Wahyu
Dalam Islam). Setelah kembali ke tanah air pasca menyelesaikan
studinya di AS, Nurcholis Madjid kemudian mendirikan Yayasan
Wakaf Paramadina.
Selain menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sejak 1972, Nurchilis Madjid juga menjadi Guru Besar
tamu pada McGill University, Montreal, Canada tahun 1991-1992.
Nurchilis Madjid menjadi Ketua Yayasan Paramadina sejak 1985,
dan mejadi Rektor Universitas Paramadina Mulya sejak 1998-
2005. Dan Nurcholis Madjid wafat Pada 29 Agustus 2005.

B. Ide (pemikiran) Nurcholis Madjid dalam pembaruan islam


Ide-ide Nurcholis Madjid mulai muncul semenjak ia
berkecimpung di dunia kampus. Hingga akhirnya dia dianggap
sebagai salah satu pencetus pembaruan pemikiran Islam.
Ketokohannya secara tidak berlebihan dianggap mewakili figur
pembaru pemikiran yang mampu menggagas Islam secara lebih
brilian. Terbukti dengan banyaknya studi tentang pemikirannya
dan peranannya dalam kebangkitan modernisme di Indonesia.
Nurcholis Madjid juga dikenal sebagai tokoh yang
memperkenalkan pemikiran Islam neo-modernis di Indonesia.
Pencetusnya adalah Fazlur Rahman, gurunya sewaktu di
Chicago. Gagasan neo-modernis Islam ini mendapat tempat di
Indonesia, terutama di kalangan intelektual muda sejak awal
tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an, bahkan hingga
memasuki abad ke-21 sekarang.
Mengenai pemikiran Nurcholis Madjid, Abdurrahman
Wahid mengatakan bahwa dia berangkat dari keterbukaan sikap
yang ditunjukkan oleh peradaban Islam di puncak kejayaannya
sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan yang membuat Islam
mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya.
Penyerapan tersebut membuat Islam sarat dengan nilai universal.
Karenanya, Madjid selalu menekankan pentingnya mencari
persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan. Sikap
memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya
akan menyempitkan Islam sendiri.
Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang
mengakomodasi keberagaman/ke-bhinneka-an keyakinan di
Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial
setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan
adalah keyakinan yang mendasar. Cak Nur mendukung konsep
kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam konsep Cak
Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam
menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung
jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa
manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap
Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab
atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah
konsep yang logis.
Berikut ini akan kami sebutkan beberapa pemikiran
Nurcholis Madjid yang membawa pengaruh besar pada
rekonstruksi pemikiran Islam dan dinamisasi semangat
keislaman di Indonesai.
1. Modernisasi
Modernitas sebagai gerakan pembaharuan yang berawal di
Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap fenomena
kebudayaan. Modernitas muncul sebagai sejarah penaklukan
nilai-nilai lama abad pertengahan oleh nilai-nilai baru modernis.
Kekuatan rasional digunakan untuk memecahkan segala
persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti
wahyu dan mitos tradisional.
Jika modernisasi merupakan produk perkembangan ilmu
pengetahuan, maka Islam menurut Nurcholis Madjid, adalah
agama yang sangat modern bahkan terlalu modern untuk
zamannya, karena Islam adalah agama yang secara sejati
memiliki hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan
mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan tersebut
dalam kerangka keimanan, maka kaum Muslim hendaknya yakin
bahwa Islam bukan saja tidak menentang ilmu pengetahuan,
tetapi justru menjadi pengembangannya dan tidak melihat
perpisahan antara iman dan ilmu.
Argumentasi Nurcholis Madjid tersebut berkembang dari
pandangannya tentang historisitas sejarah Islam yang sempat
mengalami puncak kejayaannya sejak masa kekhalifaan sampai
runtuhnya kerajaan-kerajaan awal Islam di zaman klasik yang
kesemuanya memiliki kultur pengembangan ilmu pengetahuan
yang sangat kuat. Kultur ini terjadi karena di zaman itu (zaman
klasik Islam) terjadi usaha-usaha yang serius dalam hal
interpretasi teks-teks kitab suci yang dampak positifnya masih
terasa hingga sekarang.
Untuk memberikan sebuah batasan asumsi tentang
modernisasi, kita lihat pendapat Nurcholis Madjid sebagi berikut:
Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah
pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian
rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir
dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan
menggantikannya dengan bola berpikir dan tata kerja baru yang
akliah. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya-guna dan
efisiensi yang maksimal…. Jadi sesuatu dapat disebut modern,
kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-
hukum yang berlaku dalam alam.
Sebagai seorang Muslim yang dengan sepenuhnya meyakini
Islam sebagi Way of Life, yang juga akan menganut cara berfikir
Islami, menurut Nurcholis Madjid, pemaknaan terhadap
substansi modernis harus berorintasi kepada nilai-nilai besar
Islam. Dengan demikian akan memperkuat keyakinan kita bahwa
modernisasi berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna
dalam berpikir dan bekerja secara maksimal merupakan perintah
Tuhan yang imperatif dan mendasar. Karena manusia pada
prinsipnya akan selalu mengalami perubahan dalam setiap kurun
waktu, maka modernitas merupakan kelanjutan wajar dan logis
dari sejarah perkembangan manusia yang lambat atau cepat pasti
akan muncul.
Hakikat zaman modern menurut Nurcholis Madjid bukan
karena kebaruannya yang seolah-olah tidak ada lagi tahap yang
berikutnya, modern mengisyaratkan penilaian tertentu yang
cenderung positif (modern berarti maju dan baik). Bagi Nurcholis
Madjid, menjadi modern juga berarti progresif dan dinamis, jadi
tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada, karena itu
bersifat merombak tradisi-tradisi yang tidak benar, tidak rasional,
tidak ilmiah, tidak sesuai dengan hukum alam.
Zaman sekarang yang di sebut zaman modern bukanlah akhir
dari perkembangan peradaban manusia, ataupun klimaks dari
segala pemanfatan fungsi inderawi manusia terutama fungsi akal,
karena boleh jadi setelah zaman modern ini akan ada zaman lain
yang otoritas dan tingkatan ilmu pengetahuannya lebih
berkembang dan canggih dari yang kita saksikan sekarang. Ini
merupakan konsekuensi logis dinamika kehidupan manusia,
sebab peradaban manusia telah beberapa kali mengalami (yang
biasanya kita kenal) revolusi, dari revolusi Industri (teknologis)
di Inggris Tahun 1793, revolusi Perancis (sosial-politik) 1798, dan
juga revolusi Rusia 1917.
Meski demikian, kemodrenan kata Nurcholis Majid adalah relatif
sifatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu yang
dikatakan modern dapat dipastikan menjadi kolot (tidak modern
lagi) di masa yang akan datang, sedangkan yang modern secara
mutlak adalah yang benar secara mutlak, yakni Tuhan. Jadi
modernitas berada dalam suatu proses penemuan kebenaran
yang relatif menuju penemuan kebenaran yang mutlak, yaitu
Allah.
Dalam perspektif ini, kemodrenan dengan segala implikasi
sosialnya merupakan usaha kritis manusia dalam memenuhi
tuntutan hidupya. Karena ia merupakan usaha manusia maka
dengan sendirinya ia menjadi relatif, sebab pada dasarnya
kebenaran insani apapun bentuknya menjadi relatif, dan
kebenaran mutlak adalah milik Allah. Tidak seorang manusiapun
berhak mengatakan kebenaran insani sebagai kebenara mutlak,
sebaliknya, karena menyadari kerelatifan manusia, setiap orang
harus menerima dan mendengarkan kebenaran dari orang lain.
Dengan demikian akan terjadi suatu proses kemajuan yang terus
menerus dari kehidupan manusia sesuai dengan fitrah dan
wataknya yang hanif yakni mencari dan merindukan kebenaran.
Modernisasi sering dikaitkan erat dengan dunia Barat,
karena secara kebetulan momentum zaman modern dimulai oleh
Eropa Barat, sehingga akan menjadi masalah bagi bangsa-bangsa
bukan Barat ketika memasuki atau tepatnya ingin melakukan
usaha-usaha menuju proses modernisasi. Bangsa-bangsa non-
Barat akan diperhadapkan secara dilematis antara usaha
mempertahankan keaslian budaya mereka dengan sistem
modernisasi yang sepenuhnya dianggap telah menyatu dengan
budaya Barat.
Masalahnya semakin kompleks ketika diperhadapkan dengan
asumsi sosial bahwa karena modernisasi merupakan produk
Barat, maka bangsa-bangsa (terutama bangsa non-Barat) yang
ingin menjadi modern harus terlebih dulu ter-Barat-kan,
menggantikan budaya lokal mereka dengan kebudayaan yang
mirip Barat atau mengalami westernisasi, karena westernisasi
adalah pintu menuju modernisasi, seperti misalnya yang di
lakukan oleh Mustafa Kemal Attaturk (Kemalisme) yang
menciptakan Turki Baru di atas puing-puing kekuasaan Turki
Usmani dan melakukan upaya kearah Westernisasi dan
modernisasi.
Dalam memposisikan Islam dengan moderitas yang oleh
kebanyakan orang dinilai dikotomis, mestinya kita kembali
melihat Islam dalam semangatnya yang lebih dalam. Islam
adalah sebuah agama yang mempunyai watak, visi, dan
pandangan yang ke arah kemajuan. Islam justru sangat memuka
peluang dan memberi tempat pada modernitas. Dalam hal ini
masyarakat Islam bisa saja hidup di alam kemodrenan dengan
tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai-nilai agama
yang di anut. Menjadi modern itu tidak harus menghalangi
seseorang untuk tetap teguh dan kaffah dalam menjalankan
ajaran agamanya. Fraseologinya seseorang bisa menjadi modern
dengan tetap setia kepada Islam.
2. Tentang Substansi
Nurcholis Madjid dikategorikan sebagai kelompok pemikir
substantivistik. Hal itu dimaksudkan sebagai penekanan
terhadap pemikirannya bahwa substansi atau makna iman dan
peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme
keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks
wahyu. Pesan-pesan al-Qur’an dan Hadīth yang mengandung
esensi abadi dan bermakna universal, ditafsirkan kembali
berdasarkan tuntutan dan rentang waktu sejarah kaum Muslim
serta dikontekstualisasikan dengan kondisi-kondisi sosial yang
berlaku pada masanya.
Dengan pemikiran substantivistiknya, Madjid mengelaborasi apa
yang disebutnya paralelisme atau kemanunggalan keislaman dan
keindonesiaan. Dengan kata lain, sebagai salah satu pendukung
dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam harus tampil
produktif dan konstruktif terutama dalam mengisi nilai-nilai
keindonesiaan dalam kerangka Pancasila, yang menjadi
kesepakatan luhur dan merupakan kerangka acuan bersama
bangsa Indonesia.
Dalam bidang politik, kaum substansialis berupaya
menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam
aktivitas politik. Bukan hanya dalam penampilan akan tetapi juga
dalam format pemikirannya. Menurut Madjid, eksistensi dan
artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinsik, dalam iklim politik
Indonesia lebih penting dan sangat memadai untuk
mengembangkan islamisasi dalam wajah kulturalisasi
masyarakat Indonesia modern. Proses Islamisasi seharusnya
mengambil bentuk kulturalisasi, bukan politisasi. Dengan
demikian gerakan-gerakan Islam sebaiknya menjadi gerakan
budaya daripada menjadi gerakan politik.
Pemikiran Madjid tersebut tampaknya terinspirasi dari
pengalamannya berada di dunia barat dimana etika dan nilai-
nilai kesalihan sosial diterapkan dengan baik. Sehingga dalam
kehidupan bermasyarakat kelihatan lebih “islami” daripada umat
Islam yang berada di negara-negara yang mayoritas
penduduknya Muslim. Untuk kasus di Indonesia, yang mayoritas
penduduknya beragaman Islam, maka nilai-nilai keislaman yang
seharusnya lebih dikembangkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Sehingga orientasi kehidupan umat Islam
semestinya tidak hanya mengarah pada kesalihan pribadi dengan
orientasi keakhiratan saja, melainkan harus menjaga
keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
3. Integrasi Keislaman dan Keindonesiaan
Madjid menyadari bahwa pluralisme internal sebagai
kondisi obyektif bangsa Indonesia tidak dapat dihadang, bahkan
dihindari. Oleh karena itu dia berpendapat bahwa
pengembangan Islam di Indonesia memerlukan pemahaman dan
strategi yang matang. Ia mengajukan gagasan tentang perlunya
integrasi keislaman dan keindonesiaan. Menurutnya, meskipun
nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal, pelaksanaannya itu
sendiri menuntut pengetahuan dan pemahaman tentang
lingkungan sosio-kultural masyarakatnya secara keseluruhan,
termasuk didalamnya lingkungan politik dalam kerangka konsep
nation-state (negara bangsa).
Gagasan integrasi keislaman dan keindonesiaan yang
ditawarkan Madjid sejalan dengan konsep pribumisasi Islam-nya
Abdurrahman Wahid. Keduanya sebenarnya merupakan bentuk
akulturasi Islam terhadap budaya setempat. Dalam hal ini,
Madjid menyatakan perlunya frame of reference (kerangka
referensi) yang jelas mengenai keindonesiaan. Dia merasa optimis
bahwa semangat nasionalitas adalah modal yang baik untuk
mengarah pada terwujudnya konvergensi nasional, yakni suatu
bentuk saling pengertian yang berakar dalam semangat untuk
saling memberi dan menerima. Sikap untuk saling memberi dan
menerima itu bermuara pada kemantapan masing-masing
kelompok, golongan, maupun agama.
Dengan adanya integrasi keislaman dan keindonesiaan
bangsa Indonesia, Madjid optimis Indonesia siap menghadapi
dan menerima modernisasi. Modernisasi berarti rasionalisasi
untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang
maksimal. Hal itu merupakan perintah Allah yang imperatif dan
mendasar. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut
fitrah atau sunnatullah yang hāq. Sunnatullah telah
mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk
menjadi modern, manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum
yang berlaku dalam alam itu (perintah Allah). Pemahaman
manusia terhadap hukum-hukum alam melahirkan ilmu
pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu
pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya (rasionya),
sehingga modern berarti ilmiah, berarti pula rasional.
4. Penerimaan Terhadap Pancasila
Mengenai penerimaan Pancasila sebagai ideologi umat Islam
Indonesia, Madjid mengapresiasi peran besar dari NU dan
Muhammadiyah sehingga Pancasila dapat diterima oleh umat
Islam yang merupakan penduduk mayoritas. Tinggal bagaimana
caranya untuk mengisi dan menjalankan Pancasila secara lebih
baik dan konsisten. Mengingat bahwa Pancasila adalah sebuah
ideologi terbuka, maka terbuka lebar kesempatan untuk semua
kelompok sosial guna mengambil bagian secara positif untuk
mengisi dan melaksanakannya. Madjid mengatakan bahwa kaum
Muslim Indonesia dapat menerima Pancasila setidak-tidaknya
dengan dua pertimbangan. Pertama, Nilai-nilainya dibenarkan
oleh ajaran Islam. Kedua, Fungsinya sebagai nota kesepakatan
antara berbagai golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan
politik bersama.
Madjid membenarkan pernyataan Mohammad Hatta, salah
seorang penanda tangan Piagam Jakarta, yang nilai-nilainya
kelak disebut Pancasila itu, yang merumuskan bahwa sila
Ketuhanan Yanag Maha Esa adalah sila primer dan utama yang
menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan manusia.
Begitu pula pendapat Hamka yang menyatakan bahwa
Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang secara mutlak memberi
arti bagi Pancasila dan sila apapun dalam kehidupan manusia.
Ketuhanan atau tauhid itulah yang mendasari dimensi-dimensi
moral yang akan menopang setiap peradaban manusia dan
menjadi intisari agama-agama yang dibawa oleh para nabi.
Menurutnya, umat Islam tidak perlu menuntut adanya negara
Islam, karena yang terpenting adalah substansinya, bukan bentuk
formalnya. Dia lebih setuju terhadap konsep dan eksistensi
negara nasional, dalam hal ini negara pancasila.
Pendapat Madjid tersebut merupakan perwujudan dari cara
berfikirnya yang moderat. Pengalaman dari beberapa negara
yang berusaha mendirikan negara Islam memberikan pelajaran
bahwa konsep tersebut hanya akan mengecilkan dan
mempersempit peranan Islam sendiri sebagai sebuah sistem nilai.
Perdebatan mengenai penerimaan Pancasila seharusnya sudah
dianggap selesai pada saat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Apalagi nilai-nilai yang dikandung dalam
Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai yang
dikembangkan dalam Islam.
5. Islam Yes, Partai Islam No!
Mangenai peranan umat Islam dalam bidang politik, Madjid
mengetengahkan pendapat “Islam yes, partai Islam no!”.
Menurutnya, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide
yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, telah jelas bahwa
ide-ide tersebut sudah tidak menarik untuk masa sekarang.
Karena ide-ide tersebut sekarang sedang menjadi absolut,
memfosil, dan kehilangan dinamika. Kenyataannya, partai-partai
Islam yang ada gagal dalam membangun citra positif dan
simpatik dan bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya
semakin banyaknya umat Islam yang melakukan korupsi. Madjid
tidak setuju dijadikannya Islam sebagai ideologi politik. Baginya
yang terpenting adalah membentuk masyarakat yang sudah ada
ini menjadi lebih Islami dengan pendekatan-pendekatan kultural
yang bisa dilakukan.
Sebagaimana telah diketahui, partai Islam yang bermunculan
setelah Indonesia merdeka. Partai-partai tersebut bertarung pada
pemilu tahun 1955 dan banyak yang mengalami kegagalan.
Hingga akhirnya pada masa Suharto partai-partai tersebut
difusikan dalam satu partai, yaitu PPP. Setelah terbukanya pintu
reformasi, partai Islam bermunculan kembali, namun tetap kalah
oleh partai nasionalis. Posisi yang lebih baik diterima oleh PKB
dan PAN yang menggunakan Pancasila sebagai ideologi
partainya. Meskipun di satu sisi keduanya diuntungkan dengan
adanya basis massa yang besar (NU dan Muhammadiyah),
namun di sisi lain penggunaan ideologi Pancasila pada dua partai
tersebut menunjukkan sikap terbuka keduanya dalam menyikapi
keberagaman Indonesia.
6. Sekularisasi bukan Sekularisme
Salah satu pemikiran Nurcholish Madjid yang mendapatkan
banyak reaksi keras adalah tentang sekularisasi. Madjid
mengatakan bahwa Sekularisasi yang dimaksudkannya tidaklah
diarahkan untuk penerapan sekularisme. Menurutnya, yang
dimaksud dengan sekularisasi adalah setiap bentuk liberating
development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat
Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak sanggup lagi
membedakan nilai-nilai yang disangka Islami, mana yang
transendental dan mana yang sifatnya temporal. Oleh karena itu,
sekularisasi harus dipahami sebagai sebuah proses
perkembangan yang membebaskan, yang menginginkan umat
Islam melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme
Islam dengan kenyataan-kenyataan dewasa ini. Relevan pula
dengan fungsi mereka sebagai khalifah Allah di atas bumi.
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme dan merubah Muslim menjadi sekularis. Tetapi
dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya
bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan
untuk mengukhrawikannya. Dengan demikian, kesediaan mental
untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di hadapan
kenyataan-kenyataan moral, material, ataupun historis, menjadi
sifat kaum muslimin. Mengenai banyaknya sikap kontra
terhadap idenya tersebut, Madjid mengatakan bahwa Ia tidak
pernah menganjurkan sekularisme akan tetapi sekularisasi”.
Sekularisasi yang dimaksud di atas tampaknya mengarah kepada
ketelitian dan kecerdasan kaum Muslim dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang dihadapi. Mereka harus mampu
membedakan mana urusan dunia dan mana urusan akhirat.
Umat Islam harus dapat berfikir secara bebas dan kreatif, karena
dengan begitu memungkinkan umat Islam untuk mampu
berijtihad dalam mengatasi permasalahan-pe Sekularisasi
tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab
sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan
dunia baru yang tertutup yang dipandang berfungsi sangat mirip
dengan agama. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap
bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan
ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya
sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang di
sangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang
temporal.
Dari penegasan tersebut, nampaknya Nurcholis Madjid ingin
menjelaskan bahwa antara sekularisasi dan sekularisme
merupakan dua hal yang berbeda. “Sekularisasi” cenderung
kepada sebuah proses, dan “sekularisme” dengan isme-nya
merupakan bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai padanan
agama, seperti yang ada pada dua ideologi besar dunia,
sosialisme-komunis dan kapitalisme-sekuler yang dalam
prosesnya berusaha melepaskan ketergantungan manusia dari
asuhan agama.
Dengan mengutip pandapat Talcoot Parson, Nurcholis Madjid
menunjukkan bahwa sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis,
lebih banyak mengisyaratkan pengertian pembebasan
masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek
kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan orientasi
keagamaan dalam norma dan nilai kemasyarakatan.
Penegasan lebih jelas tentang penggunaan istilah sekularisasi,
Nurcholis Madjid mengatakan;
Jadi sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis.
Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang
sudah semestinya duniawi, dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian,
kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali
kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material,
moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih
lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas
dunawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi”. Fungsi
sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya
kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara
dan tindakan-tidakan dalam rangka perbaikan-perbaikan
hidupnya di atas bumi ini.
Secara sosiologis, sekularisasi adalah manifestasi pandangan
manusia sebagai khalifah Allah. Dunia dan alam diserahkan
kepada kebebasan dan tanggungjawab manusia, untuk di
manfaatkan. Maka seperti yang di katakan Nurcholis Madjid,
sekularisasi adalah pembebasan dari asuhan agama, sebagai cara
beragama secara dewasa, beragama dengan penuh kesadaran dan
pengertian, tidak sekedar konfensional belaka.
Dalam hal penggunaan istilah sekularisasi diatas, Nurcholis
Madjid seakan ingin memberikan sebuah pemahaman tentang
pentingnya membedakan agama dan paham keagamaan.
Menurut Nurcholis Madjid, agama dan paham keagamaan
adalah sesuatu yang berbeda. Agama adalah sesuatu yang
mutlak karena berasal dari Tuhan, yang maha mutlak, tetapi
pemahaman keagamaan, cara manusia memahami agama
tersebut terdapat unsur-unsur yang berbeda dalam lingkungan
daya dan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Daya
dan kemampuan manusia adalah bernilai manusiawi, karena ia
berada pada diri manusia itu sendiri.
Pemahaman keagamaan menurut Nurcholis Madjid lahir
dari pada usaha-usaha keras (ijtihad) manusia terhadap pesan-
pesan yang di sampaikan Tuhan, sehingga jelas mengisyaratkan
adanya intervensi manusia dalam mamahami agama itu sendiri.
Pemahaman terhadap agama itu sendiri, oleh Nurcholis Madjid
tidak boleh disaklarkan, sehingga diperlukan secara kontinyu
usaha-usaha membangkitkan kembali ilmu pengetahuan yang
telah hilang di masa-masa kejayaan masyarakat salaf untuk
memahami kembali pesan-pesan agama.
Matinya ilmu pengetahuan dalam Islam menurut Nurcholis
Madjid adalah akibat melemahnya kondisi sosial politik dan
ekonomi dunia Islam, disebabkan percekcokan yang tidak habis-
habisnya dikalangan mereka tidak dalam bidang-bidang pokok
melainkan dalam bidang-bidang kecil seperti masalah fiqih dan
peribadatan. Perdebatan itu justru diakhiri dengan menutup
sama sekali pintu ijtihad, dan mewajibkan setiap orang taqlid
kepada para pemimpin atau pemikir keagamaan yang telah ada,
yang berakibat mematikan kreatifitas individual dan sosial kaum
Muslim.
Dalam hubungan ini, dapatlah kita mengerti mengapa
Nurcholis Madjid menyesalkan keputusan para pemuka Islam
untuk menutup pintu ijtihad. Sehingga yang terjadi ialah umat
Islam kehilangan kreatifitas dalam kehidupan duniawi, dan
mengesankan seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak
berbuat, dengan kata lain mereka telah kehilangan semangat
ijtihad.
Umat Islam sekarang, menurut Nurcholis Madjid cenderung
memahami Islam hanya dari satu sisi ilmu tradisional Islam saja,
yakni ilmu fiqih yang hanya membidangi segi-segi formal
peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat
eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah. Sementara ilmu-ilmu
tradisional Islam lain, yakni Falsafah, Kalam, dan Tasawuf masih
kalah mendalam dan meluas.
Nampaknya Nurcholis Madjid menginginkan umat Islam
tidak secara parsial memahami Islam dengan hanya menakankan
pada masalah fiqhiyah. Apalagi fiqih itu sendiri tak lebih
merupakan usaha-usaha ulama dalam mengkontektualisaikan
ajaran Islam. Secara logis karena ulama itu sendiri adalah
manusia, maka tafsiran ulama tersebut tidak bisa dilepaskan dari
sifat kemanuisaannya, dan tak pantas dianggap absolut. Karena
mengabsolutkan pikiran ulama – sama artinya mengobsolutkan
sesuatu selain Tuhan – secara theologis bisa berakibat pada
kesyirikan kepada Allah, Tuhan yang maha absolut.
7. Peranan Umat Islam
Mengenai peranan yang harus dimainkan umat Islam di
Indonesia, menurut Madjid terpusat pada tiga hal, yaitu:
Pertama, mendukung negara Nasional Republik Indonesia.
Dalam hal ini Pancasila dipandang sebagai kontrak sosial yang
mengikat seluruh masyarakat. Kedua, Mengembangkan
pemahaman terhadap agama Islam sebagai sumber kesadaran
makna hidup yang tangguh bagi masyarakat yang sedang
mengalami perubahan dinamis. Ketiga, mengembangkan
prasarana sosio-kultural untuk mendukung proses pembangunan
menuju masyarakat industri yang maju. Hal ini harus dijadikan
pemahaman keagamaan umat Islam sehingga akan menghasilkan
proses saling menguatkan antara agama dan masyarakat.
Madjid menegaskan pendiriannya bahwa Pancasila adalah
sebuah ideologi terbuka dan demokratis. Sehingga Pancasila
harus dapat difahami secara benar agar tidak berubah menjadi
rumusan-rumusan dogma yang mati dan kaku. Sikap yang tepat
terhadap Pancasila akan menutup kesenjangan antara konsep
keumatan dan kenegaraan, khususnya karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam. Dengan hilangnya
kesenjangan, maka dapat diharapkan pada diri umat Islam rasa
ikut memiliki Indonesia sepenuhnya. Kondisi ini selanjutnya
akan melandasi perkembangan hubungan antara Islam dengan
Indonesia, yaitu bahwa keislaman adalah keindonesiaan dan
keindonesiaan adalah sebagian besar keislaman.
Keparalelan keislaman dengan keindonesiaan, menurut
Madjid secara lebih lanjut mengisyaratkan pengakuan akan
absahnya pandangan yang melihat perlunya membuat
interpretasi - jika bukan adaptasi - ajaran-ajaran universal Islam
untuk memenuhi tuntutan-tuntutan nyata Indonesia. Dalam
perkembangan selanjutnya, Indonesia akan menjurus menjadi
sebuah “negara santri.” Ini tidak berarti Pancasila akan terhapus
atau terganti, akan tetapi nilai-nilai Pancasila akan
mengejawantah dalam bentuk inlai-nilai kesantrian yang
kosmopolit dan nasional.
Menurut Madjid, Islam adalah agama yang partikular dan
universal. Di satu pihak Islam bersifat universal yang terbebas
dari pengaruh budaya lokal. Di pihak lain, Islam harus hadir di
bumi yang penyebaran dan penerimaannya oleh umat manusia
terbungkus oleh budaya-budaya setempat. Ajaran Islam yang
universal hanya bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga
ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia menjadi bentuk
dalam pengertian budaya. Dalam pengertian budaya inilah Islam
dapat muncul dalam berbagai warna dan corak.
Dengan demikian, integrasi antara keislaman dan
keindonesiaan akan dapat terwujud jika umat Islam mampu
memaknai dan memahami Pancasila dengan benar. Hal itu
sebenarnya tidak sulit untuk diwujudkan karena pada dasarnya
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan nilai-
nilai Islam. Selain itu, Islam yang berkembang di Indonesia
adalah Islam yang masuk dengan damai dan melalui proses
dialogis dengan budaya yang ada di Indonesia, yang banyak di
antaranya dikembangkan oleh para wali songo. Islam pada
dasarnya sudah berakulturasi dan mengakar dalam budaya
Indonesia jauh sebelum kemerdekanaan. Sehingga momentum
kebebasan dan demokrasi yang berkembang setelah jatuhnya
Suharto seharusnya dapat dimanfaatkan oleh umat Islam untuk
semakin mengukuhkan nilai-nilai yang diajarkan agama dalam
kehidupan masyarakat modern.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nurcholis yang modern, berawal dari pendidikannya di
Amerika. Diintegrasikan dengan pola fikir Islami yang berakhir
pada implementasi nilai-nilai Barat yang ia adopsi dari Robert N.
Bellah dan Harvey Cox. Sementara asal usul gagasan sekularisasi
dikerenakan evolusi agama Kristen yang bertransisi menuju
rasionalisasi agama karena konflik konsep tuhan dan hidup
mereka yang tidak jelas. Akhirnya nilai- nilai Islam disampingkan
dalam kehidupan sosial melahirkan sekularisasi, inklusifisme
dan pluralisme dalam Islam yang modern. Padahal penurut para
salafi semua itu merupakan bid’ah dalam Islam yang harus
dihapuskan, karena berpaling dari eksistensi Tuhan sebagai
pencipta dan pengatur kehidupan duniawi.
Tapi dalam hal semua ini para pembaru islam menginginkan
agar umat islam bisa berkembang dan maju dalam kondisi zaman
yang berubah yakni zaman modern (era globalisasi) saat ini,
maka dari itu perlu adanya rasionalisasi dalam memahami
ajaran-ajaran islam yang sesuai ataupun yang relevan dalam
perkembangan manusia sekarang dalam kata lain perlu adanya
pemahaman kontekstual sesuai dengan perkembangan manusia
dan zaman agar dapat mudah diterima. Tetapi nilai-nilai islam
tetap diutamakan dan jangan ditinggalkan. Dan keinginan
membangun kembali khazanah-khazanah keilmuan yang dulu
pernah dicapai oleh para ulama terdahulu.

Anda mungkin juga menyukai