Anda di halaman 1dari 12

ABU A’LA AL-MAUDUDI

Alfiya Ma’la Alhafidzoh, Setyas Hardiani


Universitas Darussalam Gontor

Abstrak

Sayyid Abu A’la Al-Maududi adalah pemimpin dan tokoh penting dalam kebangkitan
Islam di abad ke-20. Pemikiran Islamnya menjadi titik kunci pengembangan pemikiran
Islam. Karyanya sangat memengaruhi banyak sarjana di banyak negara, contohnya
sebuah buku berjudul Al-Khalifah wa Al-Mulk dan The Islamic Law and Constutition.
Maududi memiliki ide untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara berdasarkan
landasan tauhid. Kedaulatan menurutnya mutlak milik Tuhan, manusia hanyalah
pelaksana kedaulatan. Melalui sistem ini, akan ada keseimbangan hidup baik secara
ekonomi maupun sosial-politik. Ia menyebut sistem tersebut dengan “Teo Demokrasi”,
dimana rakyat memiliki kedaulatan, akan tetapi dibatasi oleh hukum syari’ah yang
wajib dipatuhi. Sistem yang benar dari sebuah pemerintahan Islam menurut Maududi
adalah khilafah, bukan negara yang berhaluan sosialis, kapitalis ataupun demokrasi
liberal.

Kata kunci : Abu A’la Al-Maududi, Buku Al-Khilafah wa Al-Mulk, Buku The Islamic
Law and Constutition, Teori Teo Demokrasi, Sistem Khilafah.

PEMBAHASAN

Riwayat Hidup dan Biografi Abu A’la Al-maududi

Jatuhnya Khilafah Turki Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret 1924 telah


mengakhiri kejayaan islam. Khilafah Utsmaniyah barakhir sejalan dengan kencangnya
tuntutan kemerdekaan di berbagai negara kolonial yang berpenduduk mayoritas
muslim, seperti negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, Afrika Utara, Mesir,

1
negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain. Negara-negara kolonial melihat
bahwa kekuasan Turki Utsmani yang kuat menguasai Timur Tengah dan negara-negara
“Eropa Timur” karena kekuatan Khalifah yang amat tinggi. Khilafah amat berkaitan
dengan kekuasaan, kepemimpinan, al-Imam al-A’zham, pemimpin besar.

Al-Maududi mencoba dengan sangat tekun untuk menyuguhkan Islam sebagai


suatu sistim komprehensif bagi kehidupan manusia. Meskipun terkadang ada kritik
keras yang dilontarkan oleh sementara pemikir Islam sendiri kepada Maududi, tetapi
tidaklah menggoyahkan semangat dan kemantapan tata-pikir Al-Maududi yang begitu
solid. 1

Smith mengatakan dalam bukunya Islam in Modern History bahwa al-


Maududi adalah seorang pemikir Islam yang paling sistimatik dari kawasanan Indo-
Pakistan.2 Pola pikir dan pemahaman seseorang memang tidak lepas dari konteks
zaman dan sistem sosial dimana dia tinggal. Al-Maududi adalah salah satu model
produk zamannya yang turut mewarnai kehidupan masa dan lingkungannya. Al-
Maududi, muncul dengan gagasan-gagasan yang sangat besar andilnya bagi
perkembangan masyarakat Islam. Beliau terkenal dengan ide-ide dan pikiran-
pikirannya tentang kenegaraan. Di saat orang-orang Islam bingung untuk mencari
pemecahan persoalan “bagaimanakah bentuk negara Islam sebenarnya?”.

Abu A’la Al-Maududi lahir di Aurangabad, kesultanan Hyderabad (Deccan),


suatu wilayah di India. Dia lahir pada tanggal 25 September 1903 M/ 3 Rajab 1321 H.
Dia adalah anak dari seorang pengacara dan ahli fiqih masyhur di masanya, yaitu
Ahmad Hasan. Al-Maududi adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Dari segi
keturunan, dia memiliki silsilah yang bersambung kepada Nabi Muhammad sehingga

1
Abu A’la Almaududi, 1978, Al-Khilafah wa al-Mulk. Terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan,
hal. 37

2
Abdul Qadir Djaelani, 1994, Kedaulatan Tertinggi Dalam Negara, Sekitar Pemikiran Politik Islam,
Jakarta : Media Dakwah, hal.145

2
namanya diawali Sayyid. Nama Al-Maududi sendiri diambil dari salah seorang
neneknya yang bernama Qudbuddin Maudud, pendiri tarekat Chishti.3

Pendidikan formal Al-Maududi dimulai dari sekolah menengah Fauqaniyah


yang memadukan sistem pendidikan Barat modern dan Islam tradisional. Selesai di
Madrasah Fauqaniyah, dia melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi Darul
Ulum di Hyderabad. Ketika meniti pendidikan di Perguruan Tinggi ini ayahnya
meninggal sehingga menghambat studinya dan terpaksa dia berhenti dari studi
formalnya. Dia meneruskan pendidikannya secara otodidak, dan untuk memenuhi dan
mempertahankan hidupnya dia terjun ke dunia jurnalistik. Dunia jurnalistik merupakan
karir pertama yang dijalani Al-Maududi setelah putus sekolah, tepatnya sejak tahun
1920. Kemudian dia pindah ke Delhi. Pada usia dua puluh enam tahun dia menerbitkan
karya pertamanya Al-Jihad fi Al-Islam yang banyak menarik perhatian kalangan. Tahun
1932 dia pindah ke Hyderabad dan menerbitkan Tarjuman Al-Qur’an, jurnal bulanan
yang terkemuka di abad ke-19/20 sebagai corong untuk membangkitkan semangat
umat Islam. 4

Tahun 1937 Al-Maududi menerima surat dari Iqbal yang berisi ajakan untuk
merekonstruksi yurisprudensi Islam. Keduanya bersepakat untuk bertemu dan untuk
merealisasikan cita-cita tersebut mereka memutuskan untuk tinggal di Punjab. Tahun
1938 Al-Maududi berangkat ke Punjab, tetapi nasib berkata lain, sebulan setelah
tibanya Al-Maududi di sana Iqbal menghembuskan nafasnya yang terakhir. Al-
Maududi kemudian pindah ke Lahore.5 Al-Maududi, dalam perkembangan masa
berikutnya, untuk mencanangkan gagasan-gagasannya tidak lagi menggunakan media
massa, tetapi lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat praktis, yaitu dengan
mendirikan Jama’at al-Islami.

3
Maududi, op.cip, hal.11
4
Ibid, hal.13

5
M. Iqbal dan Amin Husin, 2010, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Kencana Prenada, hal. 168-169.

3
Pada tahun 1941 Maududi mendirikan partai Jama’ati Islam (Persatuan Islam),
suatu perkumpulan yang terorganisasi dengan sangat baik dan bertujuan untuk
membentuk kembali masyarakat dan tertib Islam sedunia (baik dalam arti politik,
hokum maupun social). Walaupun pada mulanya ia menentang segala jenis
nasionalisme sehingga karenanya iapun menentang pembentukan Negara Pakistan,
namun akhirnya ia pindah juga ke Pakistan setelah terjadinya pemisahan Pakistan dari
India, di mana Jama’ati Islam sangat giat dalam bidang politik.

Pendirian Jama’at Al-Islami didasarkan pada kekhawatiran akan eksistensi


umat Isalm di India. Dengan system demokrasi menyebabkan umat Hindu menjadi
mayoritas dan umat Islam menjadi minoritas yang berarti pula umat Islam akan
kehilangan peran mereka sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Tahun 1947
Pakistan memproklamirkan diri sebagai Negara merdeka yang terpisah dari India.
Jama’at-pun pindak ke Pakistan.

Pada satu sisi, Al-Maududi memang menentang nasionalisme, tetapi pada sisi
lain, dia dikondisikan pada dua pilihan yang tidak dapat dihindari. Untuk menegakkan
kepemimpinan masyarakat muslim di India hampir dapat dikatakan mustahil (utopis).
Di sinilah kemudian dia dituntut untuk lebih realistis.Menurut Asghar Ali: “Jama’at
sejauh ini merupakan partai yang paling berpengaruh di banyak Negara Muslim
khususnya Pakistan. Di antara partai-partai kanan, ia adalah yang paling kuat dan
konsisten”.6

Al-Maududi juga menciptakan berbagai literatur tentang Islam dalam bahasa


Urdu dan kini sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Arab.
Ia banyak merekrut banyak cendikiawan Muslim Pakistan dan membina sendiri para
kadernya. Dengan berdirinya Negara Islam Pakistan tidak berarti memuluskan ambisi

6
Asghar Ali, 2000, Islamic State, Terj. Imam Mutaqin dengan judul Devolusi Negara Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 196.

4
Al-Maududi dan Jama’at Al-Islaminya untuk menggolkan Islam sebagai konstitusi dan
jalan hidup muslim.

Pada tanggal 4 Oktober 1948 dia sempat ditahan karena gerakannya yang
dinilai terlalu radikal. Berselang dua puluh bulan berikutnya dibebaskan, yaitu pada
Mei 1950. Tahun 1953 dia kembali ditahan bahkan divonis mati dengan tuduhan
menyebarkan selebaran gelap, tetapi kemudian, hukuman itu diremisi menjadi
hukuman seumur hidup. Pada tanggal 28 April 1955, atas keputusan Mahkamah
Agung, dia dibebaskan.7

Ketika Ayub Khan berkuasa, Jama’at Al-Islami secara resmi dinyatakan sebagai
partai terlarang, dan karena ketidakpatuhannya, maka untuk ketiga kalinya Al-Maududi
dijebloskan ke dalam penjara, yaitu pada tanggal 6 Januari 1964, tetapi pada akhirnya
kasus ini bias dibawa ke Pengadilan Tinggi untuk diadili secara jujur. Akhirnya
larangan tersebut dicabut kembali dan pada tanggal 9 Oktober 1964 Al-Maududi
dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Punjab.8

Pertentangan antara Al-Maududi dengan rezim Ayub Khan semakin menjadi-


jadi, bahkan untuk hal-hal yang tidak fundamental sekalipun. Misalnya, mengenai
ru’yah al-hilal untuk menentukan hari raya idul fitri. Al-Maududi berbeda pendapat
dengan pemerintah dalam menentukan hari raya idul fitri, dan karena itu, pada tanggal
29 Januari 1967 dia kembali ditahan oleh rezim Ayub Khan dan pada tanggal 15 Maret
1967 dibebaskan.

Tahun 1979 Al-Maududi meninggal sebelum sempat mewujudkan cita-citanya


menciptakan Negara Islam Pakistan menjadi benar-benar islami secara kaffah. Jama’at
Al-Islami semula bukan sebuah organisasi partai politik yang koperatif, tetapi setelah
berpindah ke Pakistan dan untuk memasukkan gagasan-gagasan politiknya ke dalam

7
Maryam Jamilah, 1996, Biografi Abul ‘Ala Maududi, Bandung: Mizan, hal. 3

8
H.A. Mukti Ali, 1996, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, hal. 238.

5
hukum positif, Jama’at harus melibatkan diri ke dalam politik praktis. Tetapi kenyataan
justru terbalik, setelah Jama’at ikut dalam perpolitikan praktis, keberhasilan mereka
justru semakin menurun. Perlu dijelaskan bahwa Negara Islam yang dimaksudkan Al-
Maududi bukan Negara bangsa (nation state) tetapi Negara Dunia (world state).
Pakistan diharapkan menjadi model ideal Negara Islam sehingga dapat dijadikan batu
loncatan (proses) menuju Negara Dunia, namun demikian, Al-Maududi telah ikut serta
mengukir sejarah Islam modern dengan gagasan-gagasannya yang dikenal luas di dunia
Islam. 9

Karya-Karya Abu Al-A’la Al-Maududi


Al-Maududi termasuk pemikir yang cemerlang dan penulis produktif, ia banyak
menghasilkan tulisan-tulisan yang berkualitas.pokok- pokok pikirannya selalu
bertemakan tentang kebangkitan islam dalam menghadapi tantangan zaman modern,
dan dituangkannya dalam berbagai tulisannya yang berjumlah kurang lebih 120
judul.Di antara karyanya yang paling monumental adalah Al-Jihad fi Al-Islam yang
ditulis pada tahun 1930 ketika ia berusia 27 tahun. Buku ini membahas tentang hukum
perang dan damai meurut ajaran Islam.10

Buku-buku lainnya, antara lain:

a. Risalah Diniyah, yang diterbitkan pada tahun 1940 kemudian


diterjemahkan ke dalam bahasa inggris yang berjudul Towards
Understanding Islam.
b. Islamic Law of Life, merupakan kumpulan lima buah ceramah/pidato Al-
Maududi yang disampaikan lewat radio pada tahun 1948, berisikan pokok
pikiran kehidupan yaitu: moral, politik, sosial, ekonomi, dan spiritual.
c. Islamic Law and Constitution, berisi kumpulan bahan kuliah pada tahun
1939 sampai 1959, oleh Khurshid Ahmad dari 10 buah karyanya.

9
Maududi, op.cit hal 39
10
Mukti Ali, op.cit, hal 141.

6
d. Tafhim Al-Qur’an, terjemahan dan tafsir Al-qur’an dalam bahasa Urdu oleh
Al-Maududi selama 30 tahun.
e. Tarjuman Al-Qur’an, kumpulan dari beberapa tulisannya tentang berbagai
masalah politik.

Pemikiran Politik Abu A’la Al-Maududi

Menurut Abu A’la Almaududi dalam bukunya yang berjudul “Ál-Khalifah wa


Al-Mulk”, konsep pemerintahan bertumpu pada konsep mendasar tentang alam
semesta, al-hakimiyah al-ilahiyah, dan kekuasaan dalam bidang perundang-undangan.
Ketiganya merujuk pada al-qur’an. 11

1. Konsep Alam Semesta


 Allah SWT adalah pencipta alam semesta dan pencipta manusia di alam ini.
 Allah adalah pemilik makhluk ini, penguasanya dan yang mengurusi segala
urusannya.
 Kekuasaan yuridiksi dan kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta ini hanya
bagi Allah, tidak mugkin akan menjadi hak siapa pun selain Dia dan tidak ada
seorang pun yang memiliki satu bagian daripadanya.
2. Konsep Al-Hakimiyah Al-Ilahiyah
 Tuhan pemelihara alam semesta ini pada hakikatnya adalah Tuhan pemelihara
manusia, dan tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada
sifat-Nya yang Maha Esa.
 Hak untuk menghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali
Allah.
 Hanya Allaha sendiri yang memiliki hak mengeluarkan hukum, sebab Dialah
satu-satunya pencipta.
 Hanya Allah sendiri yang memiliki hak mengeluarkan peraturan –peraturan,
sebab Dialah satu-satunya pemilik.

11
Abu A’la Al-Maududi, 1988, al-Khilafah wa al-Mulk, terj. Muhammad al-Baqir, Khilafah dan
Kerajaan Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, hal. 45

7
 Hukum Allah adalah sesuatu yang haq, sebab hanya Dia sendiri yang
mengetahui hakikat segala sesuatu.
3. Konsep Kekuasaan Allah di Bidang Perundang Undangan

Menurut Almaududi, konsep kekuasan Allah di bidang perundang-undangan


adalah ketentuan pembuatan undang-undang semata-mata hanya kepada Allah dan
umat Islam wajib mentaati undang-undang tersebut dan haram bagi mereka untu
mengikuti pereturan yang dibuat oleh manusia lainnya, dibuatnya sendiri, dan
kecenderungan hawa nafsu.12

Al-Maududi mengatakan bahwa kekhalifahan Tuhan yang tercermin dalam


wadah negara Islam pada kenyataannya merupakan antitesis bentuk pemerintahan
teokratis, monarkis, dan kepausan. Demokrasi yang dianut kaum Muslimin adalah
suatu sistem yang mana rakyat hanya menikmati hak kekhalifahan Tuhan yang
berdaulat. Dengan demikian demokrasi menurus Islam dibatasi oleh hukum-hukum
Allah yang harus dipatuhi Manusia.

Menurut Al-Maududi dalam bukunya The Islamic Law and Constitution, ia


menjelaskan bahwa dalam masyarakat tidak ada pemisahan dan pembedaan golongan
berdasarkan kelahiran, status sosial ataupun profesi. Ia juga menegaskan bahwa semua
urusan umat Islam harus dilakasanakan dengan musyawarah bersama. Dalam
menjelaskan siapa yang berhak ikut dalam badan permusyawaratan (Ahl al-Halli wa
al-‘Aqd), Al-Maududi membaginya menjadi dua golongan, yaitu:

1. Orang-orang yang mempunyai dedikasi dan loyalitas dan mencurahkan seluruh


hidupnya untuk perjuangan Islam, sehingga dengan demikian orang-orang ini
dikenal secara luas oleh masyarakat.
2. Orang-orang yang terkemuka karena wawasan dan kemampuan yang dimiliki
mereka dalam memahami ajaran agama Islam.13

12
Ibid, hal. 217-230
13
Al-Maududi, 1990, The Islamic Law and Constitution, Terj. Asep Hilmat, Hukum dan Konstitusi
Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, hal. 260

8
Al-Maududi secara tegas menekankan bahwa dua golongan tersebut terpilih
melalui seleksi alamiah dan secara otomatis menjadi anggota majelis permusyawaratan
dalam sebuah negara dan pemegang eksekutifnya adalah pengganti Rasulullah. Dengan
demikian tidak perlu adanya pemilihan umum, jika ada pemilihan umum, pastilah dari
golongan mereka yang terpilih.14 Dengan melihat situasi, keadaan, dan kebutuhan
zaman modern ini, maka Al-Maududi menghalalkan pemilihan modern untuk
pemilihan lembaga permusyawaratan, dengan catatan, tidak adanya pencemaran oleh
praktik-praktik kotor yang akan menjatuhkan nama baik demokrasi.15

Tujuan Negara

Al-Maududi menyatakan bahwa demokrasi Barat memiliki beberapa


kelemahan mendasar, pertama, para penguasa bisa bertindak dengan mengatas
namakan rakyat, padahal sebenarnya tidak ada tujuannya untuk rakyat melainkan untuk
melestarikan kekuasaan yang mereka pegang. Kedua, jika kekuasaan mutlak di pegang
oleh pembuat kepusan atas keinginan dan selera rakyat, maka suatu ketika tidakan tidak
manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila opini publik menghendakinya, walaupun itu
melanggar ajaran moral dan agama, ataupun sebaliknya. Al- Maududi mengecam keras
teori Demokrasi Barat sehingga menyebutnya sebagai sistem musyrik, bahkan
cenderung ke arah ilhad (ateisme).

Islam memberikan kedaulatan terbatas kepada rakyatnya. Ada peraturan-


peraturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang harus dipatuhi. Pada awalnya Al-
Maududi ingin mencocokkan pemikirannya dengan konsep Teokrasi, namun Teokrasi
Islam berbeda dengan Teokrasi Baray yang pernah berjaya. Ia mengatakan:

“ Jika saya diperkenankan menggunakan istilah baru, saya akan menyebut


sistem pemerintahan semacam ini “Teo Demokrasi”, yaitu suatu sistem
pemerintahan demokrasi Ilahi dimana rakyat mempunyai kebebasan
berdaulat, akan tetapi kedaulatan itu tidak mutlak karena dibatasi oleh

14
Ibid, hal. 261
15
Ibid, hal. 267

9
norma-norma yang datangnya dari Tuhan (a limited popular sovereignity
under suzerainty of God).”16

Al-Maududi menelaskan bahwa Tuhan telah mempertahankan hak legislasi ini


dalan tangan-Nya sendiri bukan karena ingin merampas hak asasi manusia, melaikan
untuk melindungi hak itu sendiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyelamatkan
manusia agar tidak tersesat dan mengundang kehancurannya sendiri. Menurutnya
suatu tugas akan berhasil bila dipertanggungjawabkan di hadapan instansi yang lebih
tinggi.

Selanjutnya Al-Maududi menjelaskan bahwa negara Islam bersifat universa,


tidak membatasi ruang lingkup kegiatannya. Islam juga tidak mengakui sekat-sekat
geografis, bahasa, atau warna kulit. Ia membagi golongan yang ada dalam negara
Islam menjadi dua Golongan, yaitu Muslim dan Non-Muslim.

Tujuan negara menurut Al-Maududi:

1. Mencegah terjadinya eksploitasi antarmanusia, antarkelompok atau elas dalam


masyarakat.
2. Memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan, dan agama) para warga
negara dan melindunginya dari invasi bangsa asing.
3. Menegakkan sistem keadilan sosial yang seimbang yang dikehendaki oleh Al-
Qur’an.
4. Memberantas kejahatan dan mendorong setiap kebajikan.
5. Sebagai tempat tinggal yang teduh, mengayomi setiap warganya dengan
memberlakukan hukum tanpa deskriminasi.17

Kekuasaan Politik Menurut Al-Maududi

1. Lembaga Legislatif

16
Ibid, hal. 158
17
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, 2010, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer, Depok: Kencana, hal. 178-180

10
Menurut Al-Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga yang berdasarkan
ternimologi fiqih disebut lembaga penengah dan pemberi fatwa atau majelis
permusyawaratan atau disebut Ahl-al-Halli wa al-Aqd.
2. Lembaga Eksekutif
Dalam Al-qur’an lembaga ini disebut uli al-amr yang harus dipatuhi rakyat,
dengan syarat bahwa lembaga ini mentaati Allah dan Rasul-Nya dan tidak
melakukan hal-hal yang melanggar syaria’t. Lembaga ini dipimpin oleh kepala
negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
3. Lembaga Yudikatif
Dalam terinologi islam, lembaga ini disebut dengan lembaga peradilan atau
qadha’.

KESIMPULAN

Pemikiran politik Al Maududi tentang negara adalah akomodasi dari dua


konsep yaitu demokrasi dan teokrasi yang menghasilkan konsep baru yaitu
Theodemokrasi. Meskipun teodemokrasi merupakan perpaduan antara teokrasi dan
demokrasi, tetapi Maududi dengan tegas menolak konsep demokrasi barat dan teokrasi
eropa. Beliau menolak secara tegas dengan alasan bahwa kedaulatan yang
sesungguhnya ada di tangan Tuhan, bukan di tangan rakyat (inti konsep demokrasi).
Sedangkan penolakan terhadap theokrasi, bahwa jika di eropa pemimpin/raja
merupakan perwakilan Tuhan. Maka lain halnya dengan konsep theokrasi islam,
dimana khalifah merupakan wakil dari ummat bukan wakil tuhan.

Daftar Pustaka

Ali, Mukti, 1996, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan.

Al-Maududi, Abu A’la, 1988, al-Khilafah wa al-Mulk, terj. Muhammad al-Baqir,


Khilafah dan Kerajaan Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam,
Bandung: Mizan.

11
Al-Maududi, 1990, The Islamic Law and Constitution, Terj. Asep Hilmat, Hukum dan
Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan.

Asghar, Ali, 2000, Islamic State, diterjemahkan oleh Imam Mutaqin dengan judul
Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Barsihhannor, Pemikiran abu a’la al-maududi, jurnal adabiyah vol. 12 tahun 2014,
fakultas adab dan humaniora UIN asslaudin.

Iqbal, Muhammad dan Nasution, Amin Husein 2010, Pemikiran Politik Islam Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Depok: Kencana.

Jamilah, Maryam, 1996, Biografi Abul ‘Ala Maududi, Bandung: Mizan,

Tahqiq, Nanang, 2004, Politik Islam, Jakarta: Prenada Media.

Qadir Djaelani, Abdul, 1994, Kedaulatan Tertinggi Dalam Negara, Sekitar Pemikiran
Politik Islam, Jakarta : Media Dakwah.

12

Anda mungkin juga menyukai