Abstrak
Sayyid Abu A’la Al-Maududi adalah pemimpin dan tokoh penting dalam kebangkitan
Islam di abad ke-20. Pemikiran Islamnya menjadi titik kunci pengembangan pemikiran
Islam. Karyanya sangat memengaruhi banyak sarjana di banyak negara, contohnya
sebuah buku berjudul Al-Khalifah wa Al-Mulk dan The Islamic Law and Constutition.
Maududi memiliki ide untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara berdasarkan
landasan tauhid. Kedaulatan menurutnya mutlak milik Tuhan, manusia hanyalah
pelaksana kedaulatan. Melalui sistem ini, akan ada keseimbangan hidup baik secara
ekonomi maupun sosial-politik. Ia menyebut sistem tersebut dengan “Teo Demokrasi”,
dimana rakyat memiliki kedaulatan, akan tetapi dibatasi oleh hukum syari’ah yang
wajib dipatuhi. Sistem yang benar dari sebuah pemerintahan Islam menurut Maududi
adalah khilafah, bukan negara yang berhaluan sosialis, kapitalis ataupun demokrasi
liberal.
Kata kunci : Abu A’la Al-Maududi, Buku Al-Khilafah wa Al-Mulk, Buku The Islamic
Law and Constutition, Teori Teo Demokrasi, Sistem Khilafah.
PEMBAHASAN
1
negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain. Negara-negara kolonial melihat
bahwa kekuasan Turki Utsmani yang kuat menguasai Timur Tengah dan negara-negara
“Eropa Timur” karena kekuatan Khalifah yang amat tinggi. Khilafah amat berkaitan
dengan kekuasaan, kepemimpinan, al-Imam al-A’zham, pemimpin besar.
1
Abu A’la Almaududi, 1978, Al-Khilafah wa al-Mulk. Terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan,
hal. 37
2
Abdul Qadir Djaelani, 1994, Kedaulatan Tertinggi Dalam Negara, Sekitar Pemikiran Politik Islam,
Jakarta : Media Dakwah, hal.145
2
namanya diawali Sayyid. Nama Al-Maududi sendiri diambil dari salah seorang
neneknya yang bernama Qudbuddin Maudud, pendiri tarekat Chishti.3
Tahun 1937 Al-Maududi menerima surat dari Iqbal yang berisi ajakan untuk
merekonstruksi yurisprudensi Islam. Keduanya bersepakat untuk bertemu dan untuk
merealisasikan cita-cita tersebut mereka memutuskan untuk tinggal di Punjab. Tahun
1938 Al-Maududi berangkat ke Punjab, tetapi nasib berkata lain, sebulan setelah
tibanya Al-Maududi di sana Iqbal menghembuskan nafasnya yang terakhir. Al-
Maududi kemudian pindah ke Lahore.5 Al-Maududi, dalam perkembangan masa
berikutnya, untuk mencanangkan gagasan-gagasannya tidak lagi menggunakan media
massa, tetapi lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat praktis, yaitu dengan
mendirikan Jama’at al-Islami.
3
Maududi, op.cip, hal.11
4
Ibid, hal.13
5
M. Iqbal dan Amin Husin, 2010, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Kencana Prenada, hal. 168-169.
3
Pada tahun 1941 Maududi mendirikan partai Jama’ati Islam (Persatuan Islam),
suatu perkumpulan yang terorganisasi dengan sangat baik dan bertujuan untuk
membentuk kembali masyarakat dan tertib Islam sedunia (baik dalam arti politik,
hokum maupun social). Walaupun pada mulanya ia menentang segala jenis
nasionalisme sehingga karenanya iapun menentang pembentukan Negara Pakistan,
namun akhirnya ia pindah juga ke Pakistan setelah terjadinya pemisahan Pakistan dari
India, di mana Jama’ati Islam sangat giat dalam bidang politik.
Pada satu sisi, Al-Maududi memang menentang nasionalisme, tetapi pada sisi
lain, dia dikondisikan pada dua pilihan yang tidak dapat dihindari. Untuk menegakkan
kepemimpinan masyarakat muslim di India hampir dapat dikatakan mustahil (utopis).
Di sinilah kemudian dia dituntut untuk lebih realistis.Menurut Asghar Ali: “Jama’at
sejauh ini merupakan partai yang paling berpengaruh di banyak Negara Muslim
khususnya Pakistan. Di antara partai-partai kanan, ia adalah yang paling kuat dan
konsisten”.6
6
Asghar Ali, 2000, Islamic State, Terj. Imam Mutaqin dengan judul Devolusi Negara Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 196.
4
Al-Maududi dan Jama’at Al-Islaminya untuk menggolkan Islam sebagai konstitusi dan
jalan hidup muslim.
Pada tanggal 4 Oktober 1948 dia sempat ditahan karena gerakannya yang
dinilai terlalu radikal. Berselang dua puluh bulan berikutnya dibebaskan, yaitu pada
Mei 1950. Tahun 1953 dia kembali ditahan bahkan divonis mati dengan tuduhan
menyebarkan selebaran gelap, tetapi kemudian, hukuman itu diremisi menjadi
hukuman seumur hidup. Pada tanggal 28 April 1955, atas keputusan Mahkamah
Agung, dia dibebaskan.7
Ketika Ayub Khan berkuasa, Jama’at Al-Islami secara resmi dinyatakan sebagai
partai terlarang, dan karena ketidakpatuhannya, maka untuk ketiga kalinya Al-Maududi
dijebloskan ke dalam penjara, yaitu pada tanggal 6 Januari 1964, tetapi pada akhirnya
kasus ini bias dibawa ke Pengadilan Tinggi untuk diadili secara jujur. Akhirnya
larangan tersebut dicabut kembali dan pada tanggal 9 Oktober 1964 Al-Maududi
dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Punjab.8
7
Maryam Jamilah, 1996, Biografi Abul ‘Ala Maududi, Bandung: Mizan, hal. 3
8
H.A. Mukti Ali, 1996, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, hal. 238.
5
hukum positif, Jama’at harus melibatkan diri ke dalam politik praktis. Tetapi kenyataan
justru terbalik, setelah Jama’at ikut dalam perpolitikan praktis, keberhasilan mereka
justru semakin menurun. Perlu dijelaskan bahwa Negara Islam yang dimaksudkan Al-
Maududi bukan Negara bangsa (nation state) tetapi Negara Dunia (world state).
Pakistan diharapkan menjadi model ideal Negara Islam sehingga dapat dijadikan batu
loncatan (proses) menuju Negara Dunia, namun demikian, Al-Maududi telah ikut serta
mengukir sejarah Islam modern dengan gagasan-gagasannya yang dikenal luas di dunia
Islam. 9
9
Maududi, op.cit hal 39
10
Mukti Ali, op.cit, hal 141.
6
d. Tafhim Al-Qur’an, terjemahan dan tafsir Al-qur’an dalam bahasa Urdu oleh
Al-Maududi selama 30 tahun.
e. Tarjuman Al-Qur’an, kumpulan dari beberapa tulisannya tentang berbagai
masalah politik.
11
Abu A’la Al-Maududi, 1988, al-Khilafah wa al-Mulk, terj. Muhammad al-Baqir, Khilafah dan
Kerajaan Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, hal. 45
7
Hukum Allah adalah sesuatu yang haq, sebab hanya Dia sendiri yang
mengetahui hakikat segala sesuatu.
3. Konsep Kekuasaan Allah di Bidang Perundang Undangan
12
Ibid, hal. 217-230
13
Al-Maududi, 1990, The Islamic Law and Constitution, Terj. Asep Hilmat, Hukum dan Konstitusi
Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, hal. 260
8
Al-Maududi secara tegas menekankan bahwa dua golongan tersebut terpilih
melalui seleksi alamiah dan secara otomatis menjadi anggota majelis permusyawaratan
dalam sebuah negara dan pemegang eksekutifnya adalah pengganti Rasulullah. Dengan
demikian tidak perlu adanya pemilihan umum, jika ada pemilihan umum, pastilah dari
golongan mereka yang terpilih.14 Dengan melihat situasi, keadaan, dan kebutuhan
zaman modern ini, maka Al-Maududi menghalalkan pemilihan modern untuk
pemilihan lembaga permusyawaratan, dengan catatan, tidak adanya pencemaran oleh
praktik-praktik kotor yang akan menjatuhkan nama baik demokrasi.15
Tujuan Negara
14
Ibid, hal. 261
15
Ibid, hal. 267
9
norma-norma yang datangnya dari Tuhan (a limited popular sovereignity
under suzerainty of God).”16
1. Lembaga Legislatif
16
Ibid, hal. 158
17
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, 2010, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer, Depok: Kencana, hal. 178-180
10
Menurut Al-Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga yang berdasarkan
ternimologi fiqih disebut lembaga penengah dan pemberi fatwa atau majelis
permusyawaratan atau disebut Ahl-al-Halli wa al-Aqd.
2. Lembaga Eksekutif
Dalam Al-qur’an lembaga ini disebut uli al-amr yang harus dipatuhi rakyat,
dengan syarat bahwa lembaga ini mentaati Allah dan Rasul-Nya dan tidak
melakukan hal-hal yang melanggar syaria’t. Lembaga ini dipimpin oleh kepala
negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
3. Lembaga Yudikatif
Dalam terinologi islam, lembaga ini disebut dengan lembaga peradilan atau
qadha’.
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
Ali, Mukti, 1996, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan.
11
Al-Maududi, 1990, The Islamic Law and Constitution, Terj. Asep Hilmat, Hukum dan
Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan.
Asghar, Ali, 2000, Islamic State, diterjemahkan oleh Imam Mutaqin dengan judul
Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Barsihhannor, Pemikiran abu a’la al-maududi, jurnal adabiyah vol. 12 tahun 2014,
fakultas adab dan humaniora UIN asslaudin.
Iqbal, Muhammad dan Nasution, Amin Husein 2010, Pemikiran Politik Islam Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Depok: Kencana.
Qadir Djaelani, Abdul, 1994, Kedaulatan Tertinggi Dalam Negara, Sekitar Pemikiran
Politik Islam, Jakarta : Media Dakwah.
12